National Conference on Social Science and Religion (NCSSR 2022) 829
AKIBAT HUKUM TERHADAP PARATE EKSEKUSI DALAM PERSPEKTIF HAK TANGGUNGAN
Yohana Natania Br Sianipar
Pascasarjana Magister Ilmu Hukum, Universitas Lancang Kuning, Indonesia Email: [email protected]
Abstract: Referring to Article 6 of the Mortgage Law, the execution process can be carried out without going through a court, in other words, there is no need to request fiat execution from the Head of the District Court because the right of the first Mortgage holder to sell the Mortgage object on his own power is a right based on law. The method that the writer uses in this research is normative or doctrinal legal research. This study concludes that the parate execution mortgage is an absolute right owned by the creditor, this absolute right can be exercised when the debtor defaults, and its implementation is purely with the aim of recovering the losses received by the creditor for the default act committed by the debtor. And goods executed by the creditor are objects to which a mortgage is attached as a consequence of the guarantee agreement given by the debtor when he agrees to bind himself with the creditor in a credit agreement.
Keywords: Parate Execuite, Mortgage, Debtor, Creditor
Abstrak: Merujuk pada Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan proses eksekusi dapat dilakukan tanpa melalui pengadilan, dengan kata lain tidak perlu meminta fiat eksekusi dari Ketua Pengadilan Negeri karena hak dari pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri adalah hak berdasarkan undang-undang, jadi tanpa perjanjian pun hak tersebut sudah lahir.
Metode yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif atau doctrinal. Penelitian ini menyimpulkan bahwa hak tanggungan parate eksekusi merupakan hak mutlak yang dimiliki oleh kreditur, hak mutlak ini dapat dijalankan ketika debitur melakukan wanprestasi, dan pelaksanaannya murni dengan tujuan megembalikan kerugian yang diterima oleh kreditur atas tindakan wanprestasi yang dilakukan oleh debitur. Dan barang yang dieksekusi oleh kreditur adalah objek yang padanya melekat hak tanggungan sebagai konsekuensi atas perjanjian jaminan yang diberikan oleh debitur saat dirinya bersepakat untuk mengikatkan diri dengan kreditur dalam sebuah perjanjian kredit.
Abstrak ditulis dalam bahasa Indonesia. Abstrak berisi latar belakang, tujuan penulisan, metode dan hasil penelitian. Abstrak ditulis dalam satu alinea dan tidak lebih dari 200 kata. Maksimal 1 halaman. (Times New Roman 11 dan spasi tunggal).
Kata Kunci: Parate Eksekusi, Hak Tanggungan, Kreditur, Debitur
National Conference on Social Science and Religion (NCSSR 2022) 830
PENDAHULUANPinjam-meminjam uang umumnya sering dipersyaratkan adanya penyerahan jaminan utang oleh pihak peminjam kepada pihak pemberi jaminan. Jaminan utang dapat berupa barang (benda) sehingga merupakan jaminan kebendaan dan/atau berupa janji penanggungan utang sehingga merupakan jaminan perorangan. Jaminan kebendaan memberikan hak kebendaan kepada pemegang jaminan. Perjanjian utang piutang antara debitur dan kreditur dituangkan dalam perjanjian kredit. Perjanjian kredit memuat hak dan kewajiban dari debitur dan kreditur. Perjanjian kredit diharapkan akan membuat para pihak yang terikat dalam perjanjian memenuhi segala kewajibannya dengan baik. namun di dalam perjanjian pinjam-meminjam tersebut ada kalanya salah satu pihak yang tidak memenuhi perjanjian sesuai dengan yang telah disepakati bersama. Dalam praktik perbankan masalah jaminan menjadi penting karena jaminan merupakan perlindungan bagi kreditur seperti bank, selain itu penyerahan jaminan juga berkaitan dengan kesungguhan debitur untuk memenuhi kewajibannya dalam melunasi kredit, mengantisipasi risiko yang mungkin timbul dalam tenggang waktu antara pelepasan dan pelunasan kredit yang diberikan oleh bank, sehingga dapat digarisbawahi bahwa lembaga jaminan bertugas untuk melancarkan dan mengamankan pemberian kredit.
Apabila dalam suatu hubungan perutangan debitur tidak memenuhi prestasi secara sukarela, kreditur mempunyai hak untuk menuntut pemenuhan piutangnya bila hutang tersebut sudah dapat ditagih, yaitu terhadap harta kekayaan debitur yang dipakai sebagai jaminan. Hak pemenuhan dari kreditur itu dilakukan dengan cara menjual benda-benda jaminan dari debitur yang kemudian hasil dari penjualan tersebut digunakan untuk memenuhi hutang debitur. Jaminan kebendaan adalah jaminan yang berupa hak mutlak atas suatu benda yang memiliki hubungan langsung dengan benda-benda itu, dapat dipertahankan terhadap siapapun benda itu berada (droit de suite) dan dapat dialihkan.
Jaminan kebendaan lahir dan bersumber pada perjanjian. Jaminan tersebut ada karena diperjanjikan antara kreditur dan debitur, misalnya Hak Tanggungan.
Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan proses eksekusi dapat dilakukan tanpa melalui pengadilan, dengan kata lain tidak perlu meminta fiat eksekusi dari Ketua Pengadilan Negeri karena hak dari pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri adalah hak berdasarkan undang-undang, jadi tanpa perjanjian pun hak tersebut sudah lahir. Alternatif pelunasan piutang kreditur dalam Undang-Undang Hak Tanggungan menggambarkan bahwa eksekusi Hak Tanggungan mudah dan pasti. Seperti Parate Eksekusi memiliki arti bahwa pemegang hak tanggungan tidak perlu memperoleh persetujuan dari pemberi Hak Tanggungan dan juga tidak perlu meminta penetapan dari pengadilan setempat apabila akan melakukan eksekusi atas Hak Tanggungan yang menjadi jaminan debitur dalam hal debitur cidera janji.
Kenyataannya kemudahan yang diberikan oleh Undang-Undang Hak Tanggungan bagi pemegang jaminan kebendaan untuk melunasi hak-hak piutangnya tidak selalu mudah untuk ditempuh. Sering sekali pihak kreditur berada dalam posisi yang tidak diuntungkan sehingga menyebabkan terhambatnya proses pelunasan dan eksekusi jaminan, belum lagi apabila debitur atau pemilik jaminan memiliki itikad yang tidak baik terhadap kreditur.
Penulis mengambil sebuah pembahasan yaitu Bagaimanakah Akibat Hukum Terhadap Parate Eksekusi Dalam Perspektif Hak Tanggungan?
METODE
Jenis penelitian dalam penulisan artikel ini menggunakan studi kasus normative berupa produk perilaku hukum, misalnya mengkaji Undang-Undang Pokok Kajiannya
National Conference on Social Science and Religion (NCSSR 2022) 831
adalah hukum yang dikonsepkan sebagai norma atau kaidah yang berlaku di dalam masyarakat dan menjadi acuan perilaku setiap orang. Sehingga hukum normative berfokus pada inventarisasi hukum positif, asas-asas dan doktrin hukum, penemuan hukum sistematik hukum, taraf sinkronisasi, perbandingan hukum dan sejarah hukum.Adapun sumber data yang digunakan di dalam penulisan ini adalah sebagai berikut:
a. Sumber data hukum primer b. Data hukum sekunder c. Data hukum tersier
Adapun teknik pengumpulan data diambil dari kalangan ahli hukum, pendapat para ahli hukum dan sebagainya yang berkaitan dengan penelitian ini. Sedangkan analisis data yang diambil oleh peneliti ialah analisis secara kualitatif, kegiatan yang dilakukan di dalam analisis data penelitian hukum normative dengan cara data yang diperoleh di analisis secara deskriptif kualitatif taitu analisa terhadap data yang tidak bisa dihitung.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sebuah perjanjian kredit yang terjadi antara debitur denga kreditur adalah perjanjian yang sah dan parate eksekusi yang terjadi disebabkan kondisi debitur tidak dapat melaksanakan kewajibannya untuk mebayar hutang dengan bunga kepada kreditur sehingga dinyatakan melakukan wanprestasi, pernyataan wanprestasi yang dikeluarkan pun tidak sembarang umumnya seorang debitur akan dinyatakan wanprestasi ketika dirinya selama 3 (tiga) bulan tidak mampu membayar angsuran beserta bunga kepada kreditur, lalu kreditur melalui tim penagihan dan hukum akan melakukan somasi sebanyak 3(tiga) kali kepada debitur yang isinya adalah perintah kepada debitur untuk segera melunasi hutangnya/ membayar angsuran beserta bunga dan denda yang sudah tercantum agar debitur tidak ditetapkan melakukan wanprestasi kepada lembaga perbankan, setelah 3 (tiga) somasi tersebut masih belum dapat juga debitur melaksanakan kewajibannya barulah debitur dianggap melakukan wanprestasi oleh kreditur.
Untuk menetapkan debitur wanprestasipun kreditur perlu menunggu, menagih, dan melakukan pengingat secara kontinyu kepada debitur agar debitur tidak melakukan wanprestasi, hal ini menunjukan bahwa debitur secara hukum telah dilindungi oleh dua instrumen yaitu hukum dan kreditur itu sendiri. Mengenai keabsahan perjanjian antara kreditur dengan debitur meskipun terjadi wanprestasi teori perjanjian yang di aplikasikan dalam perjanjian kredit masih sesuai dengan jalannya kesepakatan antara para pihak.
Namun, masyarakat seringkali mengajukan keberatan degan menggugat cara eksekusi yang dilaksanakan oleh kreditur yaitu parate eksekusi yang dianggap oleh masyarakat sebagai suatu tindakan yang cacat hukum karena tidak mendapatkan fiat dari pengadilan namun berani melakukan eksekusi, dari respon masyarakat dapat kita ketahui bahwa ada ketidaksejalanan antara teori yang mengatakan bahwa litigasi adalah upaya terakhir dalam menyelesaikan suatu sengketa namun selalu diajukan untuk memabatalkan, mempengaruhi, atau mengubah hasil dari lembaga penyelesaian sengketa lainnya, sehingga menurut penulis menaruh parate eksekusi sebagai alternatif bagi kreditur bukanlah suatu hal yang tepat, ditambah lagi dengan diteriamanya gugatan tersebut oleh lembaga peradilan semakin membuat ketidakpastian penegakkan hukum bagi tindakan wanprestasi oleh debitur dimana menurut hemat penulis seharusnya apabila teori kepastian hukum dilaksanakan dengan baik maka segala jenis laporan, gugatan, dan juga permohonan pembatalan eksekusi yang diajukan oleh debitur ditolak oleh pengadilan. Penulis berpendapat demikian karena penulis berpatikan bahwa UUHT merupakan Lex Specialis dari HIR dan RBG maka ketentuan Pasal 6 UUHT lah yang dipakai sehingga tindakan parate eksekusi dapat dibenarkan, namun meninjau dari adanya multi tafsir di pasal 9 UUHT menjadikan tidak adanya kepastian hukum bagi kreditur
National Conference on Social Science and Religion (NCSSR 2022) 832
dalam mengatasi permasalahan sengketa kredit dengan debitur yang melakukan wanprestasi.Sehingga akibat hukum yang terjadi ketika suatu parate eksekusi dilaksanakan adalah hapusnya hak tanggungan, terjadinya roya partial, terjadinya penjualan baik secara langsung maupun melalui lembaga lelang, perpindahan hak milik dari debitur kepada pihak yang melakukan pembelian atas aset yang sebelumnya melekat hak tanggungan.
SIMPULAN
Kreditur perlu melakukan somasi sebanyak 3 (tiga) kali kepada debitur yang isinya adalah perintah kepada debitur untuk segera melunasi hutangnya/ membayar angsuran beserta bunga dan denda yang sudah tercantum agar debitur tidak ditetapkan melakukan wanprestasi kepada lembaga perbankan, setelah 3 (tiga) somasi tersebut masih belum dapat juga debitur melaksanakan kewajibannya barulah bisa ditetapkan melakukan wanprestasi. Sehingga akibat hukum yang terjadi ketika suatu parate eksekusi dilaksanakan adalah, hapusnya hak tanggungan, terjadinya roya partial, terjadinya penjualan baik secara langsung maupun melalui lembaga lelang, perpindahan hak milik dari debitur kepada pihak yang melakukan pembelian atas aset yang sebelumnya melekat hak tanggungan.
Setelah melakukan tulisan diatas maka penulis memberikan saran kepada pemerintah khususnya untuk melakukan penjelasan terhadap status dari tindakan parate eksekusi hal ini agar prakik parate eksekusi dapat dilaksanakan dengan baik, tidak menimbulkan konflik, dan sesuai aturan. Bentuk dari aturan yang dikeluarkan tidak perlu dalam bentuk undang-undang namun bisa juga dalam bentuk surat edaran mahkamah agung yang isinya memberikan legitimasi kewenangan agar parate eksekusi berkekuatan hukum dan dapat dilaksanakan dan tidak dapat di ganggu gugat kecuali melanggar prosedur yang juga tercantum dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
[1]
M. Bahsan. 2007. Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
[2] R. Subekti. 1978. Jaminan-jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia. Bandung: Alumni.
[3]