• Tidak ada hasil yang ditemukan

Akseptasi modernitas beragama orang Dayak di Kampung Nyarumkop

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "Akseptasi modernitas beragama orang Dayak di Kampung Nyarumkop"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

ISSN: 2580-8567 (Print) – 2580-443X (Online) Journal Homepage: ejournal.umm.ac.id/index.php/JICC

336

10.22219/satwika.v6i2.22165

[email protected]

Akseptasi modernitas beragama orang Dayak di Kampung Nyarumkop

Donatianus BSE. Praptantyaa,1, Diaz Restu Darmawanb,2, Jagad Aditya Dewantara c,3, Efriani d,4*, Agus Yuliono e,5

abcde Universitas Tanjungpura, Jl. Prof. Dr. H. Hadari Nawawi, Pontianak, 78124, Indonesia

1 [email protected]; 2 [email protected];3[email protected]

4[email protected]; 5 [email protected]

*Corresponding Author

INFO ARTIKEL ABSTRAK Sejarah Artikel:

Diterima: 13 Agustus 2022 Direvisi: 8 September 2022 Disetujui: 19 September 2022 Tersedia Daring: 31 Oktober 2022

Kampung Nyarumkop sebagai pusat persekolahan misi Gereja Katolik, telah merepresentasikan modernitas dalam kehidupan orang Dayak.

Dengan demikian, penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan aspek akseptasi, bentuk, dan pola akseptasi orang dayak terhadap agama mondial. Penelitian ini menggunakan pendekatan antropologi budaya dengan prosedur etnografis. Selama 6 bulan kami melakukan observasi, wawancara mendalam, dan studi literatur, terhadap fenomena akseptasi agama mondial yakni Agama Katolik di tengah orang Dayak. Penelitian ini mengungkap akseptasi terhadap Agama Katolik oleh orang Dayak, terjadi karena terdapatnya domain psikologi, domain sosial dan domain budaya yang memiliki aspek keterbukaan terhadap hal-hal baru di luar diri mereka. Keterbukaan tiga domain ini mendorong orang Dayak di Kampung pada modernitas yang tampak dalam gejala global village dan Detradisionalisasi.

Kata Kunci:

Akseptasi Agama Modernitas Desa Global Detradisionalisasi

ABSTRACT Keywords:

Acceptance of Religion Modernity

Global Village Detraditionalization

Nyarumkop village as the center of the Catholic Church's mission schooling has represented modernity in the life of the Dayak people. Thus, this study aimed to describe the aspects of the acceptance, form, and pattern of acceptance of the Dayak people towards the mondial religion. This research has used a cultural anthropological approach with ethnographic procedures. For 6 months we have conducted observations, in-depth interviews, and literature studies, on the phenomenon of acceptance of the mondial religion, namely Catholicism among the Dayak people. This research has revealed that the acceptance of Catholicism by the Dayak people occurs because of the psychological domain, social domain and cultural domain which have an aspect of openness to new things outside of themselves. The openness of these three domains has pushed the Dayak people in Kampung to modernity which can be seen in the symptoms of global village and detraditionalization.

© 2022, Praptantya, Darmawan, Dewantara, Efriani & Yuliono This is an open access article under CC-BY license

How to Cite: Praptantya, D. B. S. E., Darmawan, D. R., Dewantara, J. A., Efriani, E., & Yuliono, A. (2022).

Akseptasi modernitas beragama orang Dayak di Kampung Nyarumkop. Satwika: Kajian Ilmu Budaya dan Perubahan Sosial, 6(2), 336-351. https://doi.org/10.22219/satwika.

v6i2.22165

(2)

337

Praptantya et.al (Akseptasi Modernitas Beragama orang Dayak….) 1. Pendahuluan

Agama Katolik diperkenalkan sebagai pembawa keselamatan juga sebagai simbol- simbol moderinitas di tengah-tengah orang Dayak, terutama di Kampung Nyarumkop sebagai pusat missi. Penyebaran agama mondial ini telah membawah pengaruh yang cukup besar terhadap keberadan orang Dayak dan kebudayaannya. Para misionaris dengan misinya La mission sacree untuk menyadarkan orang-orang liar, memandang kebudayaan Dayak sebagai ragi usang yang layak di buang.

Hal ini cenderung menghilangkan kebudayaan Dayak dan menggantikannya dengan nilai-nilai baru (Muhrotien, 2012).

Meskipun pada mulanya, kedatangan misionaris tidak disambut dengan penyambutan yang meriah, mereka diterima sebagai orang asing, namun orang-orang Dayak menghargai misionaris sebagai orang yang “sangat baik”, yang selalu siap sedia untuk membantu dengan obat atau garam, yang kadang mereka tidak miliki. Setelah beberapa tahun, para misionaris mulai mendirikan sekolah yang sangat sederhana dan juga membangun pastoran. Para Pastor berkunjung keluar-masuk kampung untuk mengambil anak-anak Dayak di kampung, untuk kemudian dididik di sekolah misi. Dengan hati-hati dan perlahan, kemudian para Pastor tersebut mulai membaptis orang- orang Dayak (Efriani, 2021).

Agama Katolik membawah aspek sosial budaya dengan pendekatan akulturasi. Ritual- ritual dalam keagamaan asli orang Dayak diadopsi bentuk kegiatannya namun diisi dengan konsep-konsep kristiani. Misalnya saja, adat pemberkatan benih pada pesat panen, diganti dengan membawah benih padi ke Gereja untuk diberkati oleh para Pastor (Praptanya, Efriani, & Dewantara, 2020).

Kegiatan ritual keagamaan dilakukan secara rutin tidak hanya tampak pada hari minggu, tetapi juga pada hari-hari besar kegamaan seperti hari Natal dan hari Paskah. Melalui lembaga pendidikan dan juga pelayanan sosial lainnya, sepeti rumah sakit, pewartaan ajaran agama, dalam waktu yang relatif lama telah berhasil memperkenalkan nilai-nilai baru dalam kehidupan orang Dayak. Orang-orang Dayak mulai meninggalkan mantera-mantera

termasuk mantera dalam adat berladang, mantera untuk benih-benih pada pada pesta syukur sehabis panen, kemudian digantikan dengan doa yang diajarkan dalam Gereja Katolik (Kristianus, 2017).

Fenomena diterimanya agama mondial dalam kehidupan budaya masyarakat, memang telah mendatang perhatian khusus bagi para peneliti. Misalnya saja beberapa studi tentang akulturasi (Abspoel, 2018), seperti dimodifikasi budaya lokal di Kalkuta, India dalam praktik religi Gereja Katolik (Andrews, 2010), inkulturasi antara Gereja Katolik dengan budaya, agama dan identitas penduduk asli di Kalimantan Timur, yang mempengaruhi identitas masyarakat asli (Schiller, 2009).

Para ahli menegaskan bahwa agama dan budaya adalah dua hal yang saling berinteraksi dan saling mempengaruhi, sebagai realitas dan fakta sosial sekaligus juga sebagai sumber nilai dalam tindakan-tindakan sosial maupun budaya (Ghazali, 2011; Mahfuz, 2019; Marzali, 2017).

Muhammad (2020) meneliti hubungan agama dan budaya pada masyarakat awam di Keureumbok Aceh dan diungkapkan terdapat hubungan yang erat antara agama dan budaya masyarakat Keureumbok percaya pada simbol agama yang merupakan manifestasi dari unsur budaya serta meleburkannya dalam kehidupan keagamaan.

Namun, dari kajian para peneliti tentang pertemuan agama dengan kebudayaan lokal, masing sangat minum literatur yang memfokuskan kajiannya pada aspek-aspek yang mendorong terjadinya penerimaan dari pemilik kebudayaan terhadap hadirnya Agama Mondial di tengah mereka. Bahkan Sirait &

Istinatun, (2022) yang secara khusus berbicara tentang akseptasi teologi pada agama Kristen dan Islam, pun tidak menyajikan domain- domain yang mendorong akseptasi tersebut.

Mencermati hal tersebut, kajian ini memfokuskan pada kajian akseptasi modernitas beragama dengan mepelajari berbagai fenomena yang mendasari akseptasi dan juga bentuk dari hasil akseptasi tersebut.

Kemampuan untuk menilai keterbukaan individu terhadap sistem kepercayaan lain menjadi sangat penting dalam usaha memahami bagaimana keyakinan agama benar-benar

(3)

338

Praptantya et.al (Akseptasi Modernitas Beragama orang Dayak….) memengaruhi kehidupan mereka terutama

mempengaruhi proses dan cara berpikir seseorang. Lebih jauh, sangat penting untuk memahami pengalaman keagamaan, doktrin, dan fundamentalisme berhubungan secara khusus dengan fleksibilitas keyakinan atau agama tertentu, sehingga akseptasi agama menjadi suatu evaluasi terhadap seberapa terbuka dan menerima seseorang terhadap sistem kepercayaan orang lain.

Akseptasi modernisasi beragama dalam tulisan ini dimasudkan untuk membicarakan pertemuan tradisi orang Dayak di Kampung Nyarumkop dengan satu agama besar di Indonesia yakni Agama Katolik. Gereja Katolik sendiri, merupakan agama yang memiliki tingkat akseptasi yang cukup tinggi di dunia yang tampak dalam beberapa fenomena (Mong, 2018; Poplavsky, 2012; Riches, 2018; Russell- Mundine & Mundine, 2014). Tampak bahwa tradisi Gereja Katolik diselaraskan dengan tradisi dan Kebudayaan masyarakat yang dijumpainya, tentu hal ini merupakan wujudnya dalam ajaran gereja yang tertuang dalam dokumen Konsili Vatikan 2 yakni Nostra Ætate atau Pada Zaman Kita atau In Our Time (Paus Paulus VI, 1965). Sikap terbuka dari Gereja Katolik dinyatakan dengan tegas dalam dokumen ini, bahwa tujuan penyelamatan disampaikan dan diselaraskan dengan tradisi dan budaya lokal. Femomena akseptasi seperti ini mengungkapkan sikap moderat sehingga pencapaian tindakan penerimaan (Baker et al., 2018), yang berdampak pada terjadinya perubahan/pergeseran.

Dengan demikian, kajian ini dimasudkan untuk mendeskripsikan fenomena akseptasi modernisasi beragama orang Dayak, menganalisis faktor pendorong terjadinya akseptasi, menganalisis bentuk perubahan, serta model akseptasi yang terjadi.

2. Metode

Penelitian tentang akseptasi modernitas pada orang Dayak di kampung Nyarumkop didesain menggunakan metode kualitatif untuk menemukan sejarah, dan model akseptasi yang terjadi di tengah-tengah orang Dayak dalam pertemuannya dengan tradisi Barat melalui Gereja katolik, yang mungkin menghantarkan

mereka pada suatu modernitasi beragama.

Pendekatan kualitatif dalam penelitian ini digunakan untuk mengungkapkan makna- makna (Creswell, 2009) hubungan antar tradisi masyarakat lokal dan tradisi Gereja Katolik yang mungkin memiliki makna dan fungsi yang sama, sehingga dapat diterima dan menyatu dalam kehidupan orang Dayak di kampung nyarumkop

Dayak di kampung Nyarumkop, di Kecamatan Singkawang Timur, terutama mereka yang menganut Agama Katolik menjadi unit analisis (Arikunto, 2002) dalam kajian ini.

Selanjutnya dilakuan penarikan informan secara purposive sampling, ialah: orang tua (usia 60 tahun ke atas) yang dianggap mewarisi sejarah hadirnya Gereja Katolik di tengah- tengah masyarakat Nyarumkop. Informan dengan kriteria ini, peneliti berjumpa dengan bapak CS. Beliau mantan guru pertanian bagi masyarakat di Nyarumkop. Beliau berasal dari Karangan–Landak, dan sudah menetap di Nyarumkop sejak 1969; para pemimpin Gereja Katolik yang terdapat pada beberapa Gereja di Singkawang Timur; Pimpinan Persekolahan Katolik yang menjadi pusat Misi; Pengurus Yayasan-yayasan di bawah naungan Gereja.

Penarikan informan ini dilakukan dengan snowball sampling sesuai dengan data yang diperlukan (Sugiyono, 2018).

Pengumpulan data dilakukan selama 6 buan yakni pada April–September 2021, di kampung Narumkop. Kampung ini berada di Kelurahan Singkawang Timur, Kota Singkawang Provinsi Kalimantan Barat (gambar 1).

Pengumpulan data dilakukan dengan observasi-partisipasi (Suprayogo & Tobroni, 2001), dengan pengamatan langsung terhadap kehidupan sosial budaya dan fenomena

Nyarumkop

Gambar 1. Nyarumkop, lokasi penelitian

(4)

339

Praptantya et.al (Akseptasi Modernitas Beragama orang Dayak….) beragama pada masyarakat di Pedesaan

Singkawang Timur. Kemudian dengan tanya jawab secara langsung melalui wawancara tidak-terstruktur (unstructured interview) (Denzin & Lincoln, 1994), serta studi dokumen, berupa pengumpulan catatan sejarah tetang hadirnya Gereja katolik di tengah-tengah masyarakat Pedesaan di Kecamatan Singkawang Timur.

Keabsahan data dalam penelitian ini dijaga dengan triangulasi data dan triangulasi teknik.

Selain itu, juga dilakukan dialog yang berkesinambungan menyangkut interpertasi tentang realitas dan memastikan kejujuran informan; juga melakukan pengamatan jangka panjang dan berluang di lokasi penelitian.

Analisis data dalam penelitian ini dilakukan berdasarkan model analisis interaktif yang dikembangakan oleh Miles dan Huberman pada tahun 1984 (Miles & Huberman, 1994).

3. Hasil dan Pembahasan

Suatu akseptasi agama merupakan sikap yang dibentuk oleh berbagai domain yang dapat mencerminkan keterbukaan individu terhadap penerimaan sistem kepercayaan selain sistem kepercayaan mereka sendiri (Fatmawati &

Dewantara, 2022; Praptanya et al., 2020).

Menemukan domain-domain yang berhubungan dengan penerimaan dan keterbukaan seseorang terhadap keyakinan orang lain di luar tradisinya menjadi sangat penting untuk diteliti. Beberapa peneliti telah mengelompokkan domain yang membentuk sikap akseptasi agama, diantaranya ialah, domain psikologi, domain sosial dan domain budaya (Wintering et al., 2014), namun belum ditemukan adanya kekuatan yang khusus masing-masing domain dalam kajian terpisah.

Kemampuan untuk menilai keterbukaan individu terhadap sistem kepercayaan lain menjadi sangat penting dalam usaha memahami bagaimana keyakinan agama benar-benar memengaruhi kehidupan mereka terutama mempengaruhi proses dan cara berpikir seseorang. Lebih jauh, sangat penting untuk memahami pengalaman keagamaan, doktrin, dan fundamentalisme berhubungan secara khusus dengan fleksibilitas keyakinan atau agama tertentu, sehingga akseptasi agama

menjadi suatu evaluasi terhadap seberapa terbuka dan menerima seseorang terhadap sistem kepercayaan orang lain.

Hubungan yang kuat antara agama dan kebudayaan tentu tidak hanya ditentukan oleh ukuran religiusitas seseorang atau kelompok, namun oleh faktor-faktor psikologi, sosial dan budaya. Domain Psikologis dianggap sangat mewakili akseptasi suatu etnis terhadap hadirnya tradisi baru di antara mereka, terutama karena sikap kesediaan untuk menghargai kehadiran “orang lain” dan ini umumnya juga diekpresikan dalam tindakan menghargai keyakinan atau tradisi di luar yang mereka miliki. Perasaan menghargai, kemudian dapat mempengaruhi psikologi sesorang sehingga ambil bagian dalam sistem kepercayaan yang baru tersebut (Casmana, Dewantara, Timoera, Kusmawati, & Syafrudin, 2022; Olendo &

Dewantara, 2022; Sada, Alas, & Anshari, 2019).

Sementara itu, domain sosial merepresentasikan penerimaan keyakinan agama yang terkait dengan kesediaan individu/kelompok untuk hidup berdampingan atau hidup bersama orang dengan tradisi yang berbeda dengan diri mereka. Kesediaan untuk menerima orang lain hadir di tengah mereka, kemudian menjadikan seorang untuk berpartisipasi dalam praktik sistem keyakinan yang baru tersebut. Selain itu, domain budaya adalah yang umumnya domina dalam penerimaan agama, karena domain ini merupakan sistem yang di dalamnya individu berinteraksi dengan nilai-nilai budaya-budaya baru, yang kemudian mengembangkan individu pada kehidupan yang dinamis. Penerimaan agama, merupakan konsekuensi dari sifat kebudayaan yang dinamis yang terintegrasi dengan domain sosial dan domain psikologi individu/kelompok, yang mendorong keterbukaan dan pemenerimaan orang terhadap sistem kepercayaan, ideologi dan ritual lain serta mempraktikkannya.

Pada bagian ini dipaparkan pertemuan tradisi Orang Dayak dengan tradisi gereja katolik di Kelurahan Nyarumkop. Selanjutnya dideskrispsikan fenomena akseptasi moderasi beragama orang Dayak melalui domain sosial, budaya dan psikologi untuk selanjutnya

(5)

340

Praptantya et.al (Akseptasi Modernitas Beragama orang Dayak….) dianalisi bentuk akseptasi dan model yang

dapat dikembangkan.

3.1 Kampung Nyarumkop dan Orang Dayak

Nyarumkop dikenal sebagai “kampung”

yang menjadi pusat persekolahan misi Katolik di Kalimantan Barat, yang (pernah) menjadi sekolah idaman bagi Orang Dayak pada umumnya. Bagi Orang Dayak, dapat bersekolah di sekolah misi tersebut, merupakan suatu harapan dan prestise tersendiri. Menurut catatan sejarah gereja di Kalimantan Barat (gambar 2), sekolah misi Nyarumkop didirikan pada tahun 1882 (Yeri, 2016), sehingga dapat dikatakan misi Katolik yang berada di Nyarumkop kurang lebih dua abad berkarya.

Gambar 2. Gereja Santa Maria Persekolahan Katolik Nyarumkop (PKN)

Berdasarkan sejarah, Nyarumkop merupakan kampung yang mayoritas penduduknya Orang Dayak Salako (Takdir, 2017). Seperti halnya kelompok masyarakat yang lain, kelompok Dayak Salako juga memiliki, terikat dan patuh pada tradisi yang diwariskan oleh para leluhurnya. Bagi mereka, tradisi berfungsi sebagai pengatur, pengendali, pengontrol dan bahkan pendorong manusia Dayak Salako untuk bersikap dan berkepribadian sebagai orang Dayak Salako.

Seringkali, tradisi menjadi jiwa (spirit) dan bahkan menjadi religi-nya, sehingga mereka tidak dapat memisahkan mana yang tradisi dan mana yang religinya. Tradisi dan religi, berkelindan menjadi satu, sehingga fenomena ini cukup sulit untuk ditelit secara terpisah (Nasruddin, 2011). Penelitian pada tradisi, tentu tidak akan terpisahkan dari penelitian pada religi (Geerts, 1992). Begitu pula halnya,

meneliti religi pasti tidak akan dapat meninggalkan aspek tradisi yang hidup dalam masyarakat Dayak.

Tradisi seringkali menjadi jiwa dari kehidupan masyarakat. Tradisi merupakan institusi sosial yang mengatur, mengendalikan, mengawasi atau mengontrol, mendorong sikap dan sifat suatu masyarakat. Oleh karena itu, di Indonesia bahkan dunia–suku bangsa- sukubangsa itu selalu terikat dan patuh kepada tradisinya, yang diwariskan secara turun- temurun, dari generasi ke generasi berikutnya.

Maka dari itu, seringkali pula tradisi tidak dapat dipisahkan dari sistem kepercayaan masyarakat, tradisi melekat dengan religi.

Begitu pun masyarakat di Kampung Nyarumkop.

Melekatnya tradisi dengan religi, menimbulkan kerancuan bahkan kesulitan dalam penelitian sistem kepercayaan, atau lebih luas lagi sulit memisahkan antara budaya dan agama. Dengan demikian, antropologi yang sering meneliti kebudayaan dan agama, harus selalu membuka diri untuk menerima sudut pandang bidang ilmu pengetahuan lain, agar hasil penelitiannya komprehensif, terutama karena menyangkut kehidupan manusia pada umumnya.

Niels Mulder menggunakan istilah

“javanisme” untuk melukiskan kehidupan orang Jawa yang memiliki kepercayaan dan pandangan hidup selaras dan seimbang, sikap

‘nrimo’ terhadap segala peristiwa yang dihadapi sehingga dapat tercapai ketentraman batin (Mulder, 1973). Batin yang tentram, bagi orang Jawa, adalah keberhasilan seseorang dalam menempatkan diri di bawah masyarakat dan menempatkan masyarakat di bawah alam semesta. Peneliti juga melihat, dalam kehidupan Orang Dayak juga terdapat unsur- unsur atau ciri-ciri sikap kepercayaan dan pandangan hidup yang mirip dengan orang Jawa, sebagaimana dilukiskan oleh Niels Mulder tersebut. Oleh karena, orang Dayak tentu bukan orang Jawa maka istilah

‘javanisme’, dan tentu tidak tepat pula untuk melukiskan kehidupan orang Dayak; sehingga peneliti mempertimbangkan istilah yang lebih tepat bagi orang Dayak adalah ‘dayak-isme’.

Artinya, Orang Dayak dalam kehidupannya,

(6)

341

Praptantya et.al (Akseptasi Modernitas Beragama orang Dayak….) masih memelihara dan mengikuti tradisi

warisan nenek moyang, baik sistem kepercayaannya maupun pandangan hidupnya.

Dalam bukunya Austronesia Dayaka, Takdir menjelaskan bahwasannya Dayak itu berasal dari kata Dayaka (dalam Bahasa Sansekerta) yang berarti pemberi. Hal ini dapat dimaknai bahwa Orang Dayak itu memiliki kepribadian yang suka memberi (Takdir, 2017).

Artinya, sikap batin dan praktik kehidupannya lebih menekankan pada keselarasan dan keseimbangan, sikap murah hati dalam berbagi dengan orang yang membutuhkan, ikhlas dalam menghadapi peristiwa kehidupan, dengan memposisikan diri sebagai individu yang hidup bersama orang lain (dalam komunitasnya, mengingat dahulu orang Dayak hidup dalam rumah bantang, rumah panjang), dan komunitas di dalam alam semesta.

Sebagai masyarakat atau komunitas yang mengandalkan tradisi lisan, maka sikap batin dan sikap hidup manusia Dayak, dituangkan dalam mitos dan cerita rakyat. Mitos dan cerita rakyat merupakan salah satu cara manusia dalam menjelaskan fenomena sekitarnya, yang tidak mudah untuk dipahami. Oleh karena itu, mitos atau cerita rakyat cenderung mengacu pada budaya, tempat berkembangnya mitos dan cerita rakyat tersebut; sehingga, mitos atau cerita rakyat dalam konteks budaya pemilik mitos, maka mitos atau cerita rakyat menjadi seperangkat symbol yang berfungsi memperjelas pemahaman akan fenomena dunia sekitarnya, yang seringkali hadir dalam misteri.

Manusia selalu memiliki dorongan untuk mengetahui, memahami bahkan menata fenomena yang terjadi di sekitarnya, agar manusia dapat melangsungkan kehidupannya.

Misalnya, mitos tentang padi atau cerita rakyat Nek Kulub pada masyarakat Dayak, dengan segala variasi ceritanya, menggambarkan nilai- nilai budaya bagi manusia Dayak (Agustinus &

Mekarryani, 2021). Sehingga, dengan nilai- nilai budaya menjadi pedoman bagi manusia Dayak dalam bersikap dan bertingkah laku dalam hidup ini. Dalam konteks inilah, penulis menggunakan istilah 'dayakisme' untuk merepresentasikan sikap dan pola tingkah laku manusia Dayak.

Sikap dan pola tingkah laku manusia Dayak menunjukan hubungan yang baik dengan penerimaan atau akseptasi terhadap agama mondial terutama terhadap agama kritiani. Khususnya Kampung Nyarumkop yang merupakan kampung bagi orang-orang Dayak Salako yang berbahasa Badameo atau Badamea, kini dikenal sebagai kampung persekolah Katolik. Orang-orang Dayak dari berbagai pelosok daerah datang untuk menimba ilmu di persekolah ini. Mereka kemudian di babptis dan menerima ajaran Gereja Katolik.

Pada tahun 2016, Nyarumkop merayakan 1 abad Persekolahan Katolik tersebut. Dalam sejarahnya para Misionaris misionaris Ordo Kapusin (Ordo Fratrum Minorum Capuccinorum) Belanda datang ke Nyarumkop, Kalimantan Barat, dan mulai membuka tempat pendidikan pada tahun 1916. Mula-mula persekolahan ini hanya memiliki 4 bidang pelajaran yakni membaca, menghitung, belajar bahasa Belanda dan pendidikan Agama Katolik. Tujuan utama dari para misionaris ini ialah agar masyarakat pedalaman memperoleh ilmu pengetahuan. Fenomena ini memperlihatkan orang-orang Dayak memiliki kemampuan untuk melakukan akseptasi terhadap gereja Katolik dan ajarannya.

Berikut kutipan wawancara dengan informan.

Awal membangun ini memang misionaris Kapusin dari Belanda belum ada yang lain pada saat itu.

mereka bergerak dalam pendidikan karena mereka mengajari umat supaya mereka tidak bunuh- membunuh, supaya mereka tidak mengayau.

Makanya di sekolah Nyaromkop ada ekstranya ya ekstra pendidikan agama dan ekstra pendidikan pertanian. Para Bruder MTB juga mengajar pendidikan, kalo pastor umumnya yang masuk ke kampung–kampung. Yang ngurus sekolah itu MTB makanya sekolah itu kepala yayasannya dari MTB.

3.2 Akseptasi modernitas masyarakat pedesaan di Nyarumkop

Fenomena di atas memperlihatkan orang-orang Dayak memiliki kemampuan untuk melakukan akseptasi terhadap gereja Katolik dan ajarannya. Berikut ini domain psikologi, domain sosial dan domain budaya dalam

(7)

342

Praptantya et.al (Akseptasi Modernitas Beragama orang Dayak….) akseptasi modernitas agama pada etnis Dayak

Di Kampung Nyarumkop.

Domain Psikologi

Domain Psikologi merupakan sikap kesediaan untuk menghargai kehadiran para Misionaris Gereja Katolik di tengah-tengah orang Dayak. Domain Psikologis ini mewakili sejauh mana seorang individu menerima validitas sistem kepercayaan dalam Agama Katolik dalam sistem kepercayaan orang Dayak.

Domain psikologis menunjuk perasaan nyaman ketika tradisi gereja katolik berpartisipasi dalam praktik sistem kepercayaan Orang Dayak. Hal ini menunjukkan keterbukaan terhadap hadirnya Gereja Katolik dalam kehidupan orang-orang Dayak.

Para misionaris Gereja bersedia ambil bagian dan berpartisipasi dalam praktik sistem kepercayaan orang Dayak. Seorang pastor dari Belanda bernama Heriodorus, OFM.Cap. adalah contoh imam Katolik yang dapat menyampaikan doa-doa dalam sistem kepercayaan orang Dayak. Pastor Herio sangat terkenal di kalangan orang Dayak karena dia sangat menguasai adat Dayak tertutama dalam upacara-upacara dan ritual orang Dayak yakni Nyangahant. Selain itu Pastor Herio juga sangat mahir dalam menyiapkan sesajian dalam ritual orang Dayak yang dikenal dengan babuis.

Selain terlibat aktif berpatisipasi dalam ritual dan kepercayaan orang Dayak, para Imam Gereja Katolik juga terlibat langsung dalam aktivitas sehari hari orang Dayak, seperti berburu di dalam hutan. Terdapat juga Imam Gereja Katolik yang memiliki keahlian pada bidang medis, sehingga dapat menolong orang- orang Dayak yang sakit. Kehadiramn mereka di tengah-tengah orang Dayak dengan pendekatan yang mempuni telah membawa mereka dalam penerimaan pada domain psikologis.

Berikut selengkapnya verbatim wawancara bersama informan:

Awal Pastor Heriodorus yang Belanda, Pandai Nyagahatn. Pastor itu bebuis pun pandai.

Semua dipelajari apapun harus dia ikuti, orang berburu dia pun berburu juga. Itu memang pendekatan nomor satu. Ndak hanya nonton, dia pergi ikut masyarakat. Itu dulu zaman misionaris yang dokternya pun ada. Pastor Lazarus di Jangkang, orang sakit apa dulu dia

yang kasi obat. Kalo pastor Matorus itu mengumpulkan alat segala Gong, Kolintang segala macam itu dikumpulkannya. Pastor Agato di Sanggau itu menyiapkan tanah, saya itu udah sekali ke sana membantu. Laverna itu tempat retret ya pastor Agato itulah yang menyiapkan itu. Dia orang Swiss, dia mempersembahkan tanah untuk kehidupan biara.

Selain itu, orang-orang Dayak juga telah mengintegrasikan ibadat dan perayaan Gereja Katolik dalam kehidupan mereka. Orang- orang Dayak “tergerak hatinya menjadi simpati” terhadap para misionaris dan ajaran yang meraka bawa. Hal ini terutama Gereja Katoli memilik prinsip dalam kehadirannya bukan untuk menghapuskan adat, namun menyempurnakannya dalam terang dan ajaran Gereja dan iman Kristiani. Saat ini fenomena akseptasi ini menjadi nyata dengan eksisnya tradisi dan adat orang Dayak yang beragama Katolik.

Fenomena yang tampak saat ini ialah diakulturasinya tradisi Gereja Katolik dalam kehidupan dan tradisi orang Dayak (Efriani, Praptantya, & Dewantara, 2020). Misalnya ketika membangun rumah, mereka menggunakan adat dalam ritualnya, juga menggunakn ibadah Gereja Katolik dalam tradisi pemberkatan rumah. Jadi terdapat 2 tradisi yang dijalankan oleh orang-orang Dayak yang beragama Katolik. Begitu pula dalam ritual-ritual lainya, khususnya dalam ritual peralihan, seperti kelahiran, perkawinan dan kematian. Bagi orang-orang Dayak yang beragama Katolik, hidup mereka menjadi sempurna ketika tradisi mereka tetap dijalankan serta tradisi Gereja Katolik juga dijalankan secara beriringan tanpa saling menggantikan dalam fungsi dan maknanya.

Domain Sosial

Domain sosial ini merupakan domain penerimaan individu yang berlainan keyakinan, untuk berhubungan dengan dan bersedia menerima individu tersebut, sebagaimana adanya. Lebih kuat lagi tingkat akseptasi sekelompok masyarakat, apabila mereka juga menerima individu yang berbeda keyakinan sebagai bagian dari keluarganya,

(8)

343

Praptantya et.al (Akseptasi Modernitas Beragama orang Dayak….) baik melalui pernikahan atau perpindahan

agama. Dengan kata lain, domain sosial ini merupakan penerimaan keyakinan yang berhubungan dengan kesediaan individu untuk hidup dengan orang-orang yang memiliki keyakinan yang berlainan seperti dalam pernikahan. Sekali lagi, seseorang mungkin bersedia menikahi seseorang di luar keyakinannya meskipun individu tersebut tidak mau melepaskan keyakinan itu.

Dalam akseptasi modernitas khsususnya beragama, domain sosial tampak dalam kesediaan penduduk Nyarumkop menerima para misionaris yang secara negara bahkan ras berbeda dengan orang-orang Dayak. Secara fisik para misionaris dari Benua Eropa yang berbangsa Belanda dan Swiss berkulit putih, sangat berbeda dengan orang-orang Dayak.

Namun kehadiran mereka di tengah orang Dayak, diterima bahkan diterima di dalam rumah, tidur dan menginap di rumah orang Dayak, sebagimana dituturkan oleh informan kami, bahwa para misionaris ini turut dalam kegiatan sehari-hari orang Dayak misalnya pergi ke hutan untuk berburu, hingga terlibat dalam adat Dayak

Selain itu, orang Dayak di kampung Nyarumkop juga menerima kehadiran orang- orang yang datang dari berbagai pelosok daerah sebagai pelajar di persekolahan Katolik Nyarumkop. Orang-orang Dayak dari berbagai pelosok datang ke kampung Nyarumkop untuk bersekolah berasal dari berbagai sub etnis Dayak yang bahasanya berbeda dengan bahasa badameo. Orang- orang itu datang dari Hulu Kapuas, dari Sekadau, dari Sanggau, dari Landak, dari Bengkayang, dan Sambas. Selain para pelajar yang datang dari berbagai pelosok kalimantan barat, para tenaga pendidik juga datang dari berbagai daerah, bahkan ada yang berasal dari pulau Jawa. Para pengajar atau guru tersebut kemudian membuat rumah berdampingan dengan orang-orang kampung Nyarumkop, bahkan mereka menentap hingga sekarang, seperti yang diungapkan oleh infroman berikut: Kalo sekarang itu sekolah udah banyak, kalo dulu orang Sanggau, Sekadau, Pahauman, Sambas bahkan dari Jawa ke sini juga karna kan kalo misalnya orang tuanya ditugaskan di sini ya diarahkan ke sini juga.

Sikap terbuka dan penerimaan orang Dayak di Kampung Nyarumkop, bukan hanya terhadap orang-orang yang datang, namun juga terhadap agama-agama selain agama Katolik. Sekalipun di mata orang-orang Dayak khususnya di Kalimantan Barat, Kampung Nyarumkop menjadi ikon peradaban orang Dayak, namun, saat ini fenomena yang tampak ialah, keterbukaan Kampung Nyarumkop terhadap agama lain selain Katolik. Kesediaan penduduk Nyarumkop yang beragama non- Kristen untuk hidup berdampingan dengan penduduk yang bertradisi Katolik atau Kristen.

Boleh juga, bagi penduduk yang masih mememeluk agama tradisi atau agama adat, bersedia untuk hidup berdampingan atau hidup bersama dengan tradisi modern.

Berikut hasil wawancara dengan infroman:

Jadi Adat budaya dan hubungannya dengan Gereja di sini sangat baik. Di sini ada terbagi beberapa kelompok, kalo di sini saya katakan sebagai tempat transmigrasi karena dekat dengan pinggir aspal jadi sudah banyak campur dari luar. Jadi kita harus hidup toleransilah di sini. Dan di sini tidak hanya orang Katolik saja, orang-orang Protestan juga banyak sudah. Kalo untuk kawin campur juga ada di sini.

Domain Budaya

Domain Budaya dapat terjadi karena terdapatnya nilai-nilai dinamis pada kebudayaan mereka sehingga dapat berinteraksi dengan nilai-nilai dari tradisi lokal dan tradisi Gereja Katolik. Domain ini menunjukkan seberapa terbuka orang Dayak di Kampung Nyarumkop dalam menerima ajaran Gereja Katolik. Sikap terbuka ini sangat dipengaruhi oleh heterogenitas orang-orang di Kampung Nyarumkop. Sebagai kampung persekolahan, Nyarumkop menjadi pemukiman bagi orang-orang dari berbagai daerah, bahkan terdapat masyarakat yang berasal dari luar Kalimantan, seperi dari pulau Jawa.

Heterogenitas masyarakat di Kampung Nyarumkop, menjadikan kebudayaan sangat dinamis, dan memberikan ruang bagi penerimaan terhadap hadirnya ritus–ritus dan tradisi dari budaya di luar budaya Dayak, terutama tradisi Gereja Katolik. Seperti yang diungkapkan oleh informan kami, bahwa

(9)

344

Praptantya et.al (Akseptasi Modernitas Beragama orang Dayak….) aktivitas budaya seperti naik dango dan

basamsam yang merupakan adat orang Dayak, telah mengalami perubahan. Tidak semua orang di kampung Nyarumkop merayakan tradisi tersebut. Berikut hasil wawancara dengan infroman:

Kalo di Nyarumkop ini tidak merata, yang tetap melaksanakan itu mereka yang arah atas sana, kalo yang di dekat kompleks Gereja ini sudah jarang. Tapi kalo membuat rumah itu tetap ada adat budaya.

Misalnya kalo Naik Dango ya itu kami dah jarang ikut soalnya di kita sudah ada Paskah dan Natal.

Jangan terlalu banyak pesta. Ya jadi kalo kita ikut paling ya bikin lemang juga, masak tumpi juga potong ayam juga jangan terlalu berlebih-lebih.

Misalnya pada hari Paskah itu dirayakan karna kebangkitan, pada Natal itu kelahiran.

Fenomena ini menunjukkan sikap terbuka dan penerimaan terhadap perkembangan zaman. Terdapat penyesuaian kebudayaan dengan keadaan masyarakat yang telah heterogen. Posisi pemukinan yang dilintasi jalur nasional, (jalan lintas Singkawang- Bengkayang) juga telah menjadi faktor pendorong sikap terbuka masyarakat di kampung Nyarumkop. Dengan demikian, perayaan Gereja seperti hari Raya Natal dan Hari Raya Paskah, menjadi perayaan wajib bagi mereka.

Selain memilih menjalankan perayaan Gereja sebagai perayaan wajib, masyarakat di Kampung Nyarumkop juga menjalankan adatnya masing-masing, dan mereka saling menghargai. Heterogenitas masyarakat membuat mereka sadar akan pentingnya sikap terbuka dan penerimaan satu dengan yang lain.

Seperti yang kami peroleh dalam wawancara berikut:

Kita kan sudah berkembang sudah ada bermacam- macam orang bermacam macam agama. Ketika ada yang meninggal umpamanya. Oh itu tetap… itu memang sejak dulu orang tua kita kebersamaan dengan umat waktu zaman rumah bantang memang ada. Kalo dulu kan memang satu kepercayaan, sekarang ini kita semua suku siapa saja yang meninggal, orang tetap mengantar beras mengantar uang pergi ke situ, adat tetap dibuat.

Adat kematian misalnya menggunakan adat masing-masing. Kalo dia asalnya orang Taman, ya mereka menggunakan adat Taman, kalo mereka orang Jawa, ya menggunakan adat Jawa. Ya kita hargai… kan mereka laksanakan sebelum pemakaman jenazah biasanya. Ya sebelum berangkat ke gereja dibuat adatnya dulu.

3.3 Gejala modernitas di Kampung Nyarumkop

Religi Kristen hadir di Indonesia, diperkenalkan kepada bangsa Indonesia oleh para para Misionaris dari Gereja Khaldea Timur yang membina jemaat-jemaat di seluruh Asia Tenggara, Keuskupan berpusat di kota Bandar Pancur, Sumatera Barat. Khusus untuk akseptasi religi Katolik di tengah-tengah etnis di Kalimantan Barat dimulai dari hadirnya Gereja Katolik pada akhir abad ke-19, yakni pada tahun 1894 yang dimulai oleh para mosionaris Jesuit, yang kemudian dilanjutkan oleh Para misionaris dari Ordo Fransikan pada tahun 1903. Kehadiran Gereja di tengah- tengah orang di beberapa pedesaan di Kalimantan Barat, telah menjadi fenomena akseptasi, yang hingga kini membawa nuansa baru dalam kehidupan berreligi, sosial dan budaya orang atau etnis yang dijumpainya, terutama orang Dayak. Berikut ini gejala modernitas pada etnis Dayak di Kampung Nyarumkup, terutama mereka yang beragama Katolik.

Global Village

Desa global adalah ide yang awalnya dikemukakan oleh ahli teori media Kanada Marshall McLuhan (1911–1980). Dia berpendapat bahwa karena perkembangan dan perluasan media komunikasi massa, dunia menjadi seperti desa. Teori media McLuhan menekankan cara perkembangan teknologi mengubah masyarakat, budaya, dan individu.

Dia menggambarkan pergeseran yang meluas dan penting. Secara khusus ia melihat perluasan media massa komunikasi memiliki efek jangka panjang dan mendasar. Ia melihat bahwa perkembangan media seperti televisi merupakan perluasan dari kapasitas manusia.

Indra manusia berubah dan cara-cara baru mengalami dunia terbuka. Bagi McLuhan, perubahan media massa komunikasi juga mempercepat dunia di mana orang dapat berkomunikasi satu sama lain lebih cepat dan langsung. Jadi, bagi McLuhan perubahan ini telah menyebabkan ledakan hubungan sosial di mana orang berpotensi lebih dekat secara sosial satu sama lain (Longhurst, 2012).

(10)

345

Praptantya et.al (Akseptasi Modernitas Beragama orang Dayak….)

Global Village” dengan demikian menyampaikan bagaimana dunia menjadi lebih kecil, lebih terhubung, dan jarak sosial terkikis. Selain itu, pandangan ini didasarkan pada pemahaman McLuhan tentang sifat desa dan kota. Perkembangan bentuk-bentuk baru media massa memiliki efek mendalam pada bagaimana orang hidup di ruang kota.

Teknologi dan adopsinya memfasilitasi komunikasi yang cepat dan interaksi secara global mengubah perbedaan sosial dan spasial.

Layaknya konsep global village, gejala seperti ini tentu menjadi penanda akseptasi modernitas pada masyarakat di pedesaan Nyarumkop. Hegemoni teknologi dan media massa juga telah mereduksi aktivitas sosial etis Dayak ke dalam wajah baru desa yang menglobal. Hampir setiap aktivitas sosial masyarakat tidak lagi terlepas dari teknologi, baik aktivitas publik bahkan aktivitas domestik. Dalam pengamatan kami selama penelitian ini berlangsung, sepertinya kami tidak menemukan rumah tanpa televisi. Begitu juga dengan penduduknya (orangnya) mereka telah memiliki alat komunikasi seperti telpon pintar dan sejenis.

Selain itu, Tradisi Gereja Katolik sebagai tradisi global/dunia telah mewarnai kehidupan sosial etnis Dayak yang beragama Katolik di Desa Nyarumkop. Beberapa tradisi seperti naik Dango telah tidak wajib dirayakan.

Masyarakat Desa di Nyarumkop telah merayakan Natal dan Paskah sebagai hari raya wajib bagi mereka. Ritus peralihan (ritual of passage) (van Gennep, Vizedom, & Caffee, 2013) dalam kehidupan merekapun telah diwarnai dengan perayaan dalam tradisi Gereja. Misalnya saja, perayaan kelahiran Bayi, pembabtisan, perayaan ulang tahun, bahkan perkawinanpun dalam ritus Gereja Ktaolik, demikian juga dengan ritus kematian.

Detradisionalisasi

Akseptasi modernitas dipandang menyebabkan menurutnya masyarakat tradisional di dunia. Hal ini diklaim karena proses modernisasi menyebabkan memudarnya tradisi-tradisi lokal dan tercabutnya manusia dari kelokalannya (Bryant, 1999). Berbgai perbubahan dalam

kehidupan masyarakat telah menciptakan dunia baru dan mengubah wajah kehidupan desa. Namun tidak sedikit orag-orang yang merindukan kebudayaannya, sekalipun mereka dalam dunia yang serba modern, mereka tidak benar-benar meninggalkan kehidupan leluhur mereka yang disebut tradisional itu. Fenomena ini merupakan refleksifitas sosial yang oleh Giddens disebut detradisionalisasi atau kembali ke tradisi.

Bagi Giddens detradisionalisasi bukan berarti hilangnya tradisi, tetapi tradisi masih tetap ada bahkan hidup dan berkembang dalam konteks yang berbeda. Namun dalam hal ini, tradisi bukan lagi satu-satunya dasar pembuatan keputusan dengan demikian, tradisi memiliki peran dan fungsi yang baru.

Bagi Giddens, orang-orang akan menjumpai dimana tradisi telah tidak memiliki relevansi yang kuat dalam pengambilan keputusan, sehingga dapat berpaling dan memakai sumber-sumber kebenaran dan rasionalitas lain dalam pertimbangan tindakan (Giddens, 1990).

Fenomena detradisionalisasi ini, tampak pula sebagai gejala modernitas pada masyaraka perdesaan di Nyarumkop. Etnis Dayak di pinggiran kampung Nyarumkop masih menjalankan tradisi mereka, seperti pergi kedukun atau berdukun saat mengalami sakit, namun dilain pihak mereka juga telah mengenal sistem kesehatan dari dunia medis.

Selain itu, informan kami menuturkan bahwa sekalipun saat ini telah berdiri Gereja dan tempat ibadah lainnya, namun juga masih terdapat tempat ibdah-ibadah dan pemujaan tradisional seperti pantak dan panyuguh. Doa dan permohonan juga acapkali disampaikan kepada jubata seabgaimana agama tradisional nenek moyang mereka.

Dalam hal ini, religi tradisional itu bagian dari budaya, bahkan oleh Koentjaraningrat dinyatakan bahwa sistem religi dan kepercayaan itu merupakan unsur budaya yang paling sulit berubah, jika dibandingkan dengan unsur budaya lainnya (Pratiwi, 2017). Sistem religi dan kepercayaan itu merupakan wujud kebudayaan yang bersifat ideal. Wujud budaya yang berisi kompleks gagasan, ide-ide, nilai- nilai, aturan-aturan dan lain lain. Wujud ideal

(11)

346

Praptantya et.al (Akseptasi Modernitas Beragama orang Dayak….) ini, letaknya ada dipikiran semua warga

masyarakat yang memiliki budaya tersebut.

Lebih lanjut, Koentjaraningrat juga menyebutkan bahwa inilah yang disebut adat.

Dengan demikian adat dalam kehidupan etnis Dayak di Kampung Nyarumkop merupakan esensi dari tradisi. Tradisi ini tetap tumbuh dan dihidupi oleh orang-orang Dayak tersebut sekalipun mereka telah menerima ajaran gereja katolik dalam kehidupan sosial religius mereka. Tradisi memiliki daya ikat terhadap kandungan moral dan emosional, cara mengontrol waktu melalui tindakan, atau menghadirkan masa lalu di masa sekarang melalui ritual-ritual. Tradisi mejadi identitas baik kolektif maupun personal orang Dayak di Kampung Nyarumkop.

3.4 Model akseptasi modernitas masyarakat pedesaan di Nyarumkop

Modernitas dan modernisasi keduanya berasal dari kata sifat dalam bahasa Latin modernus, yang berarti “hari ini,” “saat ini.”

Kata sifat itu muncul pada awal Abad Pertengahan, sebagian besar berhubungan dengan urusan gereja (Manifesto, 2017).

Konsep ini memberikan kesaksian tentang pentingnya dan pemujaan bagi zaman Yunani-Romawi dan pengetahuan kuno, institusi, dan seni dalam budaya Eropa.

"Modern" dan "modernitas" berkembang secara kontras dengan "kuno" dan

"tradisional" (Tjondronegoro, 1978). Dalam ilmu sosial modernitas dipandangan sebagai suatu pembeda antara kondisi masyarakat kontemporer dengan masa lalu mereka.

Modernitas adalah pengalaman, atau sikap terhadap, dunia kontemporer. Dalam teori sosial, modernitas kadang-kadang muncul sebagai tujuan atau keberhasilan modernisasi dianggap sebagai “masyarakat modern”.

Modernitas dianggap sebagai suatu proses menuju peradaban baru.

Modernitas pada kajian ini dipahami dalam konteks antropologi. Dalam antropologi, modernitas telah lama diasosiasikan dengan seperangkat cita-cita dan praktik normatif yang dimulai pada tradisi Pencerahan abad ketujuh belas dan kedelapan belas, yang mengajukan lintasan sejarah yang

tak terhindarkan dari kemajuan bertahap dan kesempurnaan umat manusia melalui kemajuan ilmu pengetahuan dan akal. Tradisi intelektual ini berperan penting dalam melembagakan kerangka evolusioner yang menempatkan masyarakat non-Barat pada tahap sejarah dunia yang lebih rendah yang puncaknya dianggap Barat modern (Wilf, 2018). Dalam praktiknya, narasi modernitas sebagai fase peradaban yang benar-benar baru bergantung pada pemeliharaan dan bukannya penghapusan kesenjangan yang dianggap ada antara Barat dan non-Barat atau antara modernitas dan tradisi. Misalnya, modernitas diidentikkan dengan penghapusan keyakinan agama, prasangka, dan takhayul; perbaikan kondisi material umat manusia melalui perkembangan teknologi, industrialisasi, dan kapitalisme; pembentukan institusi legal- rasional; hubungan impersonal dan utilitarian;

individualisme dan otonomi pribadi; dan urbanisme dan kosmopolitanisme, untuk menyebutkan beberapa penekanan utama (Appadurai, 1996).

Pada paruh pertama abad kedua puluh, banyak antropolog mereproduksi narasi utama modernitas sebagai tahap peradaban yang sangat baru dengan merangkul sejumlah oposisi biner yang dan dengan demikian mendukung oposisi dasar antara tradisi dan modernitas. Oposisi biner tersebut meliputi mitos/historis, sakral/ profan, pedesaan/perkotaan, komunitas/

komodifikasi, ritual/rutin, agama/sains, pinggiran/pusat, adat/perubahan, imitasi/

kreativitas, dan auralitas/literasi. Narasi utama modernitas sebagai teori informasi kemajuan seperti teori modernisasi, teori ketergantungan, ekonomi pembangunan, dan yang terbaru teori globalisasi, yang mengemukakan bahwa cita-cita normatif, praktik, dan formasi kelembagaan modernitas, yang berasal dari Barat, pasti akan menyebar ke seluruh dunia dan menghapus perbedaan budaya, sehingga membentuk kembali budaya non-Barat dalam citra Barat sendiri dengan mentransisikannya dari istilah-istilah yang ditemukan di sisi kiri oposisi biner tersebut ke istilah-istilah yang ditemukan di sisi kanan oposisi ini (Sahlins, 1999).

(12)

347

Praptantya et.al (Akseptasi Modernitas Beragama orang Dayak….) Para antropolog juga mempermasalahkan

narasi utama modernitas dengan memberikan analisis etnografis tentang tanggapan pribumi terhadap pemukim yang menjajah yang klaimnya untuk mewujudkan modernitas diperluas ke berbagai proyek

"membudayakan". Bertentangan dengan narasi utama modernitas, pertukaran budaya yang terlibat dalam pertemuan antara masyarakat adat dan pemukim Barat tidak pernah searah. Alih-alih hanya menyerah pada cita-cita dan praktik normatif asing, masyarakat adat sering memasukkannya ke dalam tatanan budaya modern mereka sendiri.

Setelah diteliti lebih dekat, oposisi biner yang telah lama dipegang antara modernitas dan tradisi paling lemah. Institusi legal-rasional modern seperti pengadilan digunakan untuk memajukan kepentingan budaya asli dengan membantu mendefinisikan warisan budaya sebagai kekayaan intelektual yang dapat dilindungi di pasar dan dikomodifikasikan.

Tatanan budaya pribumi dengan demikian diubah menjadi sumber daya ekonomi untuk masa depan kelompok pribumi dan objek refleksivitas dan elaborasi yang tinggi, yaitu, proyek dalam formasi dalam perjalanan mereka menuju keusangan dan substitusi oleh hegemoni Barat.

Teknologi modern diintegrasikan ke dalam praktik subsistensi tradisional, dan teknologi media modern digunakan dengan cara yang menumbuhkan dan menyebarluaskan subjektivitas, kepekaan, dan kerangka kerja indrawi asli. Bentuk- bentuk pribumisasi seperti itu sering membingungkan para penjajah dan kapitalis Barat yang mendapati bahwa mereka harus mengubah praktik mereka sendiri dan beradaptasi dengan bentuk-bentuk ini.

Meskipun tatanan budaya lokal juga berubah sebagai akibat dari pertukaran semacam itu, jarang sekali perubahan meniru tipe modernitas ideal Barat. Secara keseluruhan, para antropolog telah menantang klaim Barat atas kepemilikan monopoli atas modernitas melalui perhatian mereka pada keragaman modernitas di Barat, serta modernitas

“alternatif” dan “multiple” di seluruh dunia.

Akseptasi Modernitas pada masyarkat perdesaan di Kampung Nyarumkop, didorong oleh 3 domain akseptasi yakni domain psikologi, domain sosial, dan domain Budaya.

Model akseptasi ini dalam hemat kami dapat dikatakan sebagai akseptasi yang interaktif (gambar 3).

Pada Domain Psikologi masyarakat Pedesaan di Kampung Nyarumkop yakni etnis Dayak Salako, menampakan kesediannya menghargai bahkan berpatisipasi dan ambil bagian dalam budaya dan tradisi baru yang di bawa oleh para misionaris dari Eropa. Selain itu, sikap terbuka dari para misionaris untuk

berpartisipasi aktif dalam sistem kepercayaan etnis Dayak telah mendorong terjadinya penerimaan dari Etnis Dayak.

Pada domain sosial, tampak kesediaan etnis Dayak di Kampung Nyarumkop dalam menerima kedatang para Misionaris yang memiliki banyak perbedaan dengan mereka,

Gambar 3. Pola akseptasi modernitas beragama orang Dayak

(13)

348

Praptantya et.al (Akseptasi Modernitas Beragama orang Dayak….) berbeda warga negara bahkan ras dan warna

kulit. Penerimaan yang yang diberikan sangatlah berharga dan intensif seperti kerelaan untuk memberi tempat tinggal atau tumpangan, bahkan beraktivitas bersama.

Penerimaan sosial ini mendorong terjadinya penerimaan budaya, yang menyebakan interaksi dan akulturasi antara kebudayaan lokal etnis Dayak dengan tradisi Gereja Katolik.

Akseptasi terhadap agama mondial ini, telah menampakan gejala modernitas pada masyarakat desa di Kampung Nyarumkop.

Gejala modernitas tersebut tampak dalam 2 bentuk yakni global village dan detradisionalisasi. Global Village tampak dalam perubahan sosial masyarakat desa di Kampung Nyarumkop yang ditandai dengan adopsi terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek). Namun di sisi lain, keterikatan terhadap tradisi terus dipelihara oleh masyarakat Desa di Kampung Nyarumkop, sehingga terjadi detradisionalisasi dalam kehidupan mereka sebagai bagian dari masyarakat global yang modern.

4. Kesimpulan

Terdapat tiga domain yang memiliki kekuatan dalam mendorong Akseptasi terhadap hadirnya tradisi Gereja Katolik di Kampug Nyarumkop, namun belum dapat disimpulkan domain yang dominan di antara ketiganya. Akan tetapi tampaknya, domain psikologi, sebagai mana yag diungkapkan oleh Simon Takdir tentang orang Dayak yang memiliki sifat pemurah dan pemberi (Takdir, 2017). Sifat pemurah dan pemberi ini, tergambar dalam kehidupan sosial mereka yang murah hati, cenderung hidup komunal dalam rumah betang. Sikap terbuka dan penerimaan terhadap tradisi baru yang datang ke kampung Nyarumkop tampak dalam partisipasi aktif dalam kesediaan menghargai dan ambil bagian pada “tradisi baru” tersebut.

Kehidupan mereka berangsur-angsur terbuka terhadap dunia yang luas, kampung mereka menjadi tepat bagi terjadinya perkembangan ilmu pengetahuan dan pendidikan. Gejala global village pun telah mewarna kehidupan

mereka, namun di sisi lain keterikatan mereka dengan nilai-nilai luhur tradis nenek moyang telah menghantarkan mereka pada detradisionalisasi.

Kajian ini masih terdapat kekurangan, terutama pada bagian pengukuran 3 domain yakni domain psikologi, domain sosial, dan domain budaya. Hemat kami, dibutuhkan pengukuran akan kekuatan keterbukaan dianatar 3 doamian tersebut guna menemukan aspek yang dominan dalam akseptasi terhadap hal-hal baru di luar diri masyarakat. Oleh karena itu, melalui penelitian ini disarakan untuk dilakukan kajian lanjutan menggunakan skala Akseptasi (Belief Acceptance Scale) sebagaimana dilakukan oleh Wintering et al., 2014. Selain itu, gejala Global village pada masyarakat desa juga perlu untuk dilakukan kajian lanjutan, mengingat penyebaran media massa dan media komunikasi yang telah menghilangkan skat ruang dan waktu. Kajian ini tentu akan lebih baik jika dilakukan oleh pemerhati, penggiat ataupun akdemisi pada bidang masyarakat dan media komunikasi.

Hemat kami, gejala Global village pada masyarakat di pedesaan dapat dioptimalkan pada pemanfaatan yang baik guna mendukung berbagai aspek pembangunan terutama pada pengembangan ekonomi kreatif berbasis masyarakat lokal. Gejala detradisionalisasi juga memberikan ruang bagi penelitian lanjutan atas hasil kajia ini. Adapun penelitian yang dapat dilakukan ialah berbagai dimensi dalam usaha objek pemajuan kebudayaan.

Terdapat tradisi-tradisi yang hingga saat ini tetap dilestarikan, mampu bertahan dalam kehidupan kontemporer, bahkan nilai-nilainya telah diakulturasikan dalam tradisi Gereja.

Nilai-nilai baik yang luhur tersebut dapat diajukan sebagai warisan budaya tak benda (WBTB) untuk dilindungi sehingga akan tetap lestari.

5. Ucapan Terima Kasih

Terima kasih kepada lembaga penelitian dan pengabdian kepada masyarakat (LPPM) Universitas Tanjungpura yang telah memberikan dana atas penelitian ini. Terima kasih kepada para informan, pemerintah Desa dan Adat Kampung Nyarumkop.

(14)

349

Praptantya et.al (Akseptasi Modernitas Beragama orang Dayak….) 6. Daftar Pustaka

Abspoel, P. (2018). Tradition as a key to the Christian faith. International Journal of Philosophy and Theology, 79(5), 470–

492.

https://doi.org/10.1080/21692327.2017.

1389654

Agustinus, E., & Mekarryani, H. (2021).

Penerapan Kearifan Lokal Adat Balala’

dalam pencegahan Penyebaran Pandemi Covid-19 di Kabupaten Landak (K. Atok

& Efriani, eds.). Pontianak: Derwati Press.

Andrews, R. (2010). Christianity as an Indian religion: The Anglo-Indian experience.

Journal of Contemporary Religion,

25(2), 173–188.

https://doi.org/10.1080/1353790100375 0878

Appadurai, A. (1996). Modernity at Large:

Cultural Dimensions of Globalization.

Minneapolis: University of Minnesota Press.

Baker, J. O., Rogers, D., Moser, T., Baker, J.

O., Rogers, D., & Moser, T. (2018).

Acceptance of evolution among American Mormons. Journal of Contemporary Religion, 33(1), 123–134.

https://doi.org/10.1080/13537903.2018.

1408295

Bryant, L. (1999). The Detraditionalization of Occupational Identities in Farming in South Australia. 39(2).

Casmana, A. R., Dewantara, J. A., Timoera, D. A., Kusmawati, A. P., & Syafrudin, I.

(2022). Global citizenship: preparing the younger generation to possess pro- environment behavior, mutual assistance and tolerance awareness through school engagement. Globalisation, Societies

and Education, 1–18.

https://doi.org/10.1080/14767724.2021.

2013167

Creswell, J. W. (2009). Research Design:

Qualitative, Quantitative, and Mixed

Methods Approaches (Third Edit).

London: SAGE Publications, Inc.

Denzin, N. K., & Lincoln Yvonna S. (1994).

Introduction Entering the Field of Qualitative Research. In N. K. D. & Y. S.

Lincoln (Ed.), Handbook of Qualitative Research. Thousand Oaks, California:

SAGE Publications, Inc.

Efriani. (2021). Religi Nenek Moyang Dayak Tamambaloh dan Perkembangannya.

Buddayah : Jurnal Pendidikan Antropologi, 3(1), 1–11. Retrieved from https://jurnal.unimed.ac.id/2012/index.p hp/bdh

Efriani, E., Praptantya, D. B., & Dewantara, J.

A. (2020). Dange: Sinkronisasi Gereja Katolik Terhadap Budaya Dayak Kayan Mendalam. Jurnal Masyarakat Dan

Budaya, 22(2), 45–54.

https://doi.org/10.14203/jmb.v22i2.1076 Fatmawati, & Dewantara, J. A. (2022). Social resilience of indigenous community on the border: Belief and confidence in anticipating the spread of COVID-19 through the Besamsam custom in the Dayak community. Journal of Community & Applied Social

Psychology, n/a(n/a).

https://doi.org/https://doi.org/10.1002/ca sp.2611

Geerts, C. (1992). Kebudayaan dan Agama.

Yogyakarta: Kanisius.

Ghazali, A. M. (2011). Antropologi Agama;

Upaya Menganalisa Keragaman Kepercayaan, Keyakinan dan Agama.

Bandung: Alfabeta.

Giddens, A. (1990). The Consequences of Modernity. Cambridge: Polity Press.

Kristianus. (2017). Dialektika Budaya Dayak : Enkulturasi Agama Katolik dengan Budaya Dayak Kayaan. Jurnal Studi Kultural, II(2), 87–93.

Longhurst, B. (2012). Global village. 1–2.

Mahfuz, A. G. (2019). Hubungan Agama dan

(15)

350

Praptantya et.al (Akseptasi Modernitas Beragama orang Dayak….) Budaya: Tinjauan Sosiokultural.

Tawshiyah, 14(1), 41–61.

https://doi.org/https://doi.org/10.32923/t aw.v14i1.1143

Manifesto, C. (2017). Modernity and modernization both derive from the postclassical Latin adjective.

https://doi.org/10.1002/9781118430873.

est0833

Marzali, A. (2017). Agama dan Kebudayaan.

Indonesian Journal of Anthropology,

1(1), 57–75.

https://doi.org/10.24198/umbara.v1i1.96 04

Miles B., M., & Huberman, A. M. (1994). An expanded sourcebook Qualitative data analysis (Second Edi). London: Sage Publications, Inc.

Mong, A. (2018). Our Lady of Guadalupe:

model of inculturation. International Journal for the Study of the Christian

Church, 18(1), 67–83.

https://doi.org/10.1080/1474225X.2018.

1493764

Muhammad. (2020). Hubungan Agama dan Budaya pada Masyarakat gampong Kereumbok kabupaten Pidie, Provinsi Aceh. Substantia: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin, 22(2), 85–96.

https://doi.org/http://dx.doi.org/10.2237 3/substantia.v22i2.7769

Muhrotien, A. (2012). Rekonstruksi Identitas Dayak. Yogyakarta: TICI Publications.

Mulder, N. (1973). Kepribadian Jawa dan Pembangunan Nasional. Yogyakarta:

Gadjah Mada University Press.

Nasruddin. (2011). Kebudayaan dan Agama Jawa. Religió: Jurnal Studi Agama- Agama, 1(1), 33–46.

Olendo, Y. O., & Dewantara, J. A. (2022).

Tradition , ritual , and art of the Baliatn:

The conceptualization of philosophy and the manifestation of spirituality among the Dayak Kanayatn. Wacana, Journal of the Humanities of Indonesia, 2(2), 491–

518.

https://doi.org/110.17510/wacana.v23i2.

1059.492

Paus Paulus VI. (1965). Pernyataan tentang Hubungan Gereja dengan Agama- Agama Bukan Kriste (Nostra Ætate).

Vatikan: Libreria Editrice Vaticana.

Poplavsky, R. (2012). Pentecostal Churches in Russia: Changing Self-images and Inculturation in Tyumen’. Religion, State and Society, 40(1), 112–132.

https://doi.org/10.1080/09637494.2012.

655143

Praptanya, D. B., Efriani, & Dewantara, J. A.

(2020). Dange: Synchronization Of The Catholic Church With Dayak Culture Of Kayan Mendalam. Jurnal Masyarakat Dan Budaya, 22(2), 45–54.

https://doi.org/10.14203/jmb.v22i2.1076 Pratiwi, C. A. (2017). Harai : Telaah Konsep Religi Koentjaraningrat. Japanology, 5(2), 173–185.

Riches, T. (2018). Liturgical inculturation in urban aboriginal pentecostalism. Liturgy,

33(3), 54–62.

https://doi.org/10.1080/0458063X.2018.

1449522

Russell-Mundine, G., & Mundine, G. (2014).

Aboriginal inculturation of the australian catholic church. Black Theology, 12(2), 96–116.

https://doi.org/10.1179/1476994814Z.00 000000024

Sada, C., Alas, Y., & Anshari, M. (2019).

Indigenous people of Borneo (Dayak):

Development, social cultural perspective and its challenges. Cogent Arts and Humanities, 6(1), 1–12.

https://doi.org/10.1080/23311983.2019.

1665936

Sahlins, M. (1999). What Is Anthropological Enlightenment? Some Lessons of the Twen- tieth Century. Annual Review OfAnthropology, 28, i–xxiii.

Schiller, A. (2009). On the Catholic Church

(16)

351

Praptantya et.al (Akseptasi Modernitas Beragama orang Dayak….) and indigenous identities: Notes from

Indonesian Borneo. Culture and Religion, 10(3), 279–295.

https://doi.org/10.1080/1475561090327 9689

Sirait, J. R., & Istinatun, H. N. (2022).

Akseptasi Teologi Pada Kerukunan Umat Islam dan Kristen di Indonesia.

Kamaya: Jurnal Ilmu Agama, 5(2), 79–

86.

https://doi.org/https://doi.org/10.37329/k amaya.v5i2.1589

Sugiyono. (2018). Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kualitatif, Pendekatan Kuantitatif, dan R & D.

Bandung: Alfabeta.

Suharsimi Arikunto. (2002). Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek.

Jakarta: Rineka Cipta.

Suprayogo, I., & Tobroni. (2001). Metodologi Penelitian Sosial-Agama. Bandung:

Remaja Rosda Karya.

Takdir, S. (2017). Austronesia Dayaka (tentang Kelompok Suku Salako Dayaka Borneo) (Pertama). Pontianak: Top Indonesia.

Tjondronegoro, S. M. P. (1978). Modernisasi Pedesaan : Pilihan Strategi Dasar Menuju Fase Lepas landas ? Prisma, 3(April), 15–25.

van Gennep, A., Vizedom, M. B., & Caffee, G. L. (2013). The rites of passage. In The

Rites of Passage.

https://doi.org/10.4324/9781315017594 Wilf, E. (2018). Modernity. In The

International Encyclopedia ofAnthropology (pp. 1–2).

https://doi.org/10.1002/9781118924396.

wbiea1363

Wintering, N. A., Roggenkamp, H., Moss, A.

S., Shea, J., Waldman, M. R., &

Newberg, A. (2014). Development and Evaluation of the Belief Acceptance Scale. Journal of Beliefs & Values : Studies in Religion & Education, 35(1),

48–60.

https://doi.org/10.1080/13617672.2014.

884850

Yeri. (2016). Kutipan-kutipan & foto-foto dari

“borneo almanak” 1911-1955 : dengan sedikit ditambah dari sumber lain / dikutip dan dialihbahasakan oleh, P.

Yeri, OFM. Cap. Pontianak: Institut Dayakologi.

Referensi

Dokumen terkait