• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Ekonomi Lampung di Tinjau Dari

N/A
N/A
Nguyễn Gia Hào

Academic year: 2023

Membagikan "Analisis Ekonomi Lampung di Tinjau Dari"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

ANALISIS KUALITAS PERTUMBUHAN EKONOMI LAMPUNG DITINJAU DARI PENDEKATAN BLOK PENGHASILAN MENENGAH (TOTON.SE.M.Si. Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Bandar Lampung) Lampung masih merupakan daerah termiskin ketiga. Semakin lama kita terjebak dalam praktik ini, semakin lama kita terjebak di tingkat pendapatan menengah. Negara Indonesia termasuk Provinsi Lampung saat ini sedang terkendala oleh permasalahan yang terkait dengan Middle Income Trap, untuk menghindari hal tersebut maka pertumbuhan ekonomi Provinsi Lampung harus berkualitas.

Terjemahan data BPS tersebut menggambarkan bahwa Provinsi Lampung masih merupakan provinsi miskin baik secara regional maupun nasional. Artinya, pembangunan yang dilakukan Pemerintah Provinsi Lampung saat ini belum memberikan dampak yang signifikan terhadap kemajuan pembangunan ekonomi Lampung, sehingga banyak masyarakat di Provinsi ini yang tidak merasakannya. Stagnasi pertumbuhan tersebut disebabkan oleh aktivitas ekonomi provinsi Lampung yang selama ini belum bisa lepas dari jebakan pendapatan kelas menengah.

Hal ini sangat penting karena selama ini Pemprov Lampung selalu menjadi kambing hitam atas keterpurukan perekonomian Lampung, padahal peran utama dalam membentuk perekonomian Lampung seharusnya dilakukan oleh pembangunan kabupaten/kota. Sehingga dapat menjadi parameter bagi pembangunan provinsi Lampung ke depan, khususnya pada daerah/kota yang bermasalah dengan kualitas pertumbuhan ekonominya. 2. Bagaimana mengidentifikasi faktor penghambat dan pendorong pembangunan ekonomi di seluruh kabupaten/kota di provinsi Lampung dengan pendekatan middle income trap.

Mengetahui faktor penghambat dan pendorong pembangunan ekonomi di seluruh kabupaten/kota provinsi Lampung melalui pendekatan middle income trap 3.

BAB II

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

Perhitungan berdasarkan harga konstan bermanfaat antara lain dalam perencanaan ekonomi, proyeksi dan dalam menilai pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan dan sektoral. PDRB per penduduk merupakan gambaran nilai tambah yang dapat diciptakan oleh setiap individu penduduk sebagai hasil dari kegiatan produksi. PDRB per nilai per kapita diperoleh dari hasil bagi antara total PDRB dengan jumlah penduduk enam bulan.

Menurut Jhingan (2010), peningkatan pendapatan per kapita belum tentu meningkatkan taraf hidup riil masyarakat jika pendapatan per kapita meningkat dan konsumsi per kapita menurun. Hal ini karena hanya segelintir orang kaya yang menikmati peningkatan pendapatan dan tidak banyak orang miskin.

Pertumbuhan Ekonomi

Jika laju pertumbuhan ekonomi selalu rendah dan tidak melebihi laju pertumbuhan penduduk, maka rata-rata pendapatan masyarakat (pendapatan per kapita) akan menurun. Sedangkan jika pertumbuhan ekonomi jangka panjang sama dengan pertumbuhan penduduk, maka perekonomian negara tidak akan mengalami perkembangan (stagnasi) dan tingkat kesejahteraan masyarakat tidak akan meningkat. Salah satu syarat penting bagi pembangunan ekonomi adalah pertumbuhan ekonomi harus lebih tinggi dari pertumbuhan penduduk (Sukirno, 2007).

PDRB Sebagai Indikator Perekonomian Daerah

Namun terdapat perbedaan konseptual antara pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDB). Meskipun pertumbuhan ekonomi bukan satu-satunya indikator yang dapat menangkap seluruh kinerja pembangunan ekonomi, namun indikator ini telah mampu memberikan gambaran yang sangat berguna untuk melihat geliat kegiatan ekonomi di suatu daerah. Yang lebih penting dari pertumbuhan ekonomi adalah mengidentifikasi sumber-sumber pertumbuhan, baik dari sisi penawaran atau sektoral maupun dari sisi permintaan.

Bagi pemerintah daerah dengan mengetahui sumber-sumber pertumbuhan dapat diambil kebijakan yang dapat mempercepat atau memperlambat pertumbuhan sektor-sektor tertentu sesuai dengan sasaran pembangunan ekonomi yang ingin dicapai. Middle-income trap (MIT) mengacu pada kondisi di mana negara-negara berpenghasilan menengah tidak mampu mempertahankan tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup stabil untuk menjangkau kelompok pendapatan baru sebagai negara-negara berpenghasilan tinggi. Dalam kajian lainnya, MIT memiliki konsep yaitu kondisi suatu negara yang pertumbuhannya stagnan pada tingkat pendapatan menengah dan tidak berkembang ke tingkat pertumbuhan ekonomi berikutnya ke tingkat pendapatan tinggi (ADB, 2012; Bank Dunia, 2012), pertumbuhan melambat dan terus dikaitkan dengan status pendapatan menengah (Gill dan Kharas, 2007; Eichengreen et al, 2011).

Negara-negara yang terjebak dalam MIT memiliki ketidakmampuan untuk bersaing dengan negara-negara berpenghasilan rendah dalam hal biaya tenaga kerja manufaktur dan ketidakmampuan untuk bersaing dengan negara-negara berpenghasilan tinggi dalam hal keterampilan dan kemajuan inovasi. Negara-negara tersebut tidak berhasil mengalihkan sumber pertumbuhan ekonomi dari upah rendah dan sumber daya modal menjadi sumber pertumbuhan dalam hal produktivitas (ADB, 2011). Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Pope (2012) bahwa negara-negara berpenghasilan menengah selalu mengalami kesulitan untuk berpindah dari negara penghasil komoditas ke negara dengan keahlian sebagai sumber intensif untuk menggerakkan perekonomiannya.

Namun, Pope (2012) juga berpendapat bahwa kebangkitan ekonomi China menjadi penyebab negara-negara berpenghasilan menengah terjebak dalam MIT. MIT digambarkan sebagai langit-langit kaca antara tahap kedua dan ketiga industrialisasi yang tidak dapat dilalui oleh negara mana pun. Ohno berpendapat bahwa pada tahap kedua, suatu negara menyerap keahlian dan teknologi maju dari negara lain, tetapi sudah memiliki industri pendukung.

Negara-negara pada tahap ini masih menerima bantuan asing untuk menjalankan industrinya. Industrialisasi tahap ketiga adalah pengelolaan dan penguasaan teknologi sehingga suatu negara dapat menghasilkan barang-barang berkualitas tinggi tanpa bantuan asing. Beberapa ahli sepakat bahwa masalah utama MIT adalah ketidakmampuan negara meningkatkan produksi ilmu pengetahuan.

BAB III

  • Data dan Sumber Data
    • Sumber Data
    • Model Analisis Data
  • PDRB Riil (Harga Konstan)
  • Laju Pertumbuhan Ekonomi
  • Pendapatan Per Kapita

Data dianalisis dengan menggunakan model standar untuk keperluan penelitian ini, meliputi model perhitungan PDB riil, perhitungan tingkat pertumbuhan ekonomi, dan model perhitungan pendapatan per kapita. Pembangunan ekonomi menyatakan bahwa untuk melihat laju pembangunan suatu negara dan perkembangan tingkat kesejahteraan rakyatnya, pertumbuhan pendapatan daerah dan pendapatan perkapita harus dihitung dari waktu ke waktu (Lincoln Arsyad, 2004:13). . Metode penghitungan nilai PDB atas dasar harga konstan (riil) digunakan untuk mengukur pertumbuhan ekonomi karena nilai PDB tidak dipengaruhi oleh perubahan harga.

BAB IV

Berdasarkan perhitungan BRDP Provinsi Lampung dengan tahun dasar 2000, laju pertumbuhan ekonomi Provinsi Lampung mengalami peningkatan dalam 3 tahun terakhir. Sektor pertambangan dan penggalian mengalami pertumbuhan tertinggi di Provinsi Lampung sebesar 10,66 persen, diikuti sektor listrik, gas, dan air bersih (10,05 persen). Berdasarkan Produk Domestik Regional Bruto Provinsi Lampung tahun 2013, sektor pertanian memberikan kontribusi terbesar yaitu 35,54 persen, diikuti oleh sektor hotel dan restoran dan sektor industri pengolahan masing-masing sebesar 19,94 persen dan 15,52 persen.

Bank Dunia (2014) dalam penelitiannya menggunakan variabel Pendapatan Nasional Bruto (GNI) per kapita sebagai proksi MIT. PNB per kapita digunakan sebagai tolok ukur untuk menentukan seberapa sukses suatu negara dalam mengelola perekonomiannya. Penggunaan GNI per kapita juga digunakan sebagai acuan klasifikasi pendapatan negara lain pada penelitian sebelumnya.

Aviliani et al (2014) menggunakan GNI per kapita sebagai variabel dependen dalam jurnal penelitian Addressing the Middle-Income Trap: Experience of Indonesia. Felipe (2012) mengklasifikasikan semua negara di dunia menjadi empat kelompok pendapatan berdasarkan PDB per kapita. Dalam hal ini sejak tahun 2000 sampai dengan tahun 2013 Provinsi Lampung memiliki Pendapatan Nasional Penduduk (PDRB) dan pendapatan per kapita sebagai berikut.

Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa selama tahun 2011 Provinsi Lampung belum dapat lepas dari jebakan MIT, terutama dalam status daerah berpendapatan rendah (lower income). Dan sejak provinsi Lampung disahkan sebagai provinsi otonom dari tahun 1962 hingga 2013, sudah sekitar 51 tahun berlalu. Hal ini perlu ditelaah lebih lanjut dan perlu diketahui faktor apa saja yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di provinsi Lampung.

Dilihat dari beberapa permasalahan yang menjadi penyebab rendahnya pembangunan ekonomi di Provinsi Lampung saat ini adalah sebagai berikut. Rata-rata peningkatan pendapatan per kapita yang ingin dicapai pada setiap level MIT, baik rendah maupun tinggi menurut Felipe (2012). MIT Rendah Kondisi suatu negara untuk beralih dari pendapatan menengah ke bawah ke pendapatan menengah ke atas tidak melebihi jangka waktu 28 tahun dan pendapatan per kapita harus tumbuh setidaknya pada tingkat 4,7% per tahun.

MIT Tinggi Kondisi suatu negara untuk beralih dari pendapatan menengah ke atas ke pendapatan tinggi tidak melebihi periode 14 tahun dan pendapatan per kapita harus tumbuh setidaknya pada tingkat 3,5% per tahun. Implikasinya, penelitian ini tidak dapat memberikan gambaran tentang pengaruh variabel lain terhadap perubahan GNI per kapita di Indonesia, khususnya variabel kualitatif yang sulit diukur.

Gambar 4. Distrbusi Sektor Perekonomian di Provinsi Lampung
Gambar 4. Distrbusi Sektor Perekonomian di Provinsi Lampung

Gambar

Gambar 4. Distrbusi Sektor Perekonomian di Provinsi Lampung

Referensi

Dokumen terkait

Seringnya perempuan dianggap sebagai yang lemah, sehingga dalam segala hal tanpa disadari terjadinya atau munculnya tindakan diskriminasi, sebagai contoh, adanya anggapan jikalau ada

From a humble and unknown barrio teacher, he made his way to the position of Assistant Superin- tendent of City Schools, in which he wield- ed extensive powers and made himself felt as