• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Eksitensi Partai Politik Lokal Di Aceh Pasca Perdamaian

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "Analisis Eksitensi Partai Politik Lokal Di Aceh Pasca Perdamaian"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

Jurnal Pendidikan, Sains, dan Humaniora Mei 2021 eISSN 2657- 0998

520

Analisis Eksitensi Partai Politik Lokal Di Aceh Pasca Perdamaian

Usman

Universitas Abulyatama usman@abulyatama.ac.id

ABSTRAK

Artikel ini membahas tentang eksistensi Partai Aceh, sebagai kekuatan politik lokal pada pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah, pasca perdamaian. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui eksistensi Partai Politik Lokal Aceh sebagai kekuatan sosial politik lokal, dan berbagai dinamika baik konflik internal, hingga turunnya kekuatan politik lokal dan suara pemilih setiap pelaksanaan pemilihan umum legislataf dan pemilihan kepala daerah. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif meliputi pengumpulan data melalui buku, jurnal, media massa dan dokumen lainnya. Teknik penelitian yang di gunakan adalah teknik penelitian studi literatur. Tahapan yang di lakukan dalam penelitian ini yaitu kritik atau analisis sumber, dan interpretasi (menafsirkan sumber). Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode deskriptif analitis. Dari serangkaian proses penelitian yang dilakukan, penulis memperoleh kesimpulan bahwa pasca damai Aceh telah terjadi transisi politik, dari kekuatan perlawanan senjata, ke perjuangan melalui Partai Politik Lokal. Eksistensi partai politik lokal salah satu partai mantan kombatan adalah Partai Aceh (PA). Sejak pemilu dan pilkada selama tiga periode, Partai Aceh (PA) mampu mendapatkan suara mayoritas, namun dalam tiga dekade tersebut terjadi penurunan suara pemilih yang sangat sinifikan, hilangnya kursi baik di DPRA, DPRK dan kekuasaan eksekutif diberbagai daerah. Ini diakibatkan telah terjadi konflik internal Partai Aceh dan banyak kader yang tidak mampu merealisasikan janji politik, sehingga pemilih/simpatisan kecewa, akhirnya pemilih memilih partai nasional.

Keywords : Eksistensi, Partai Politik Lokal, Masa Transisi, Konflik Internal, Pemilih

PENDAHULUAN

Konflik Aceh yang meluluh-lantakkan sosial ekonomi, budaya, harta benda, korban jiwa dan trauma, akhirnya selesai secara demokratis dengan kesepakatan damai melalui Memorandum of Understanding (MOU) kedua belah pihak yang bertikai, yaitu Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Republik Indoensia. Dengan hasil dan kesepakatan tersebut, Propinsi Aceh memasuki fase transformasi politik, terjadi perubahan perjuangan dari gerakan senjata berubah ke perjuangan jalur politik untuk mewujudkan percepatan pembangunan sosial politik, ekonomi, agama, dan budaya sesuai dengan diberikan kewenangan yang tertuangkan dalam Undang Undang Pemerintah Aceh (UUPA) No.11 Tahun 2006 tentang Otonomi Khusus kepada Aceh. Hasil kesepakatan damai tentu saja dapat dimaknai sebagai kemenangan bagi demokratisasi, yaitu menyelesaikan konflik Aceh, selesai diatas meja perundingan tanpa menggunakan kekuatan senjata.

(2)

521 Dalam pembangunan politik, kesepakatan politik yang dicapai merupakan bagian dari proses pembangunan politik dan demokratisasi. Pokok masalahnya adalah bagaimana kedua hal tersebut dapat memberikan implikasi yang luas terhadap sistem politik nasional, dan secara khusus terhadap pembangunan politik lokal. Secara teoritis, penyelesaian konflik Aceh dapat memberikan inspirasi untuk menguji dan mengembangkan konsep teori dalam konteks hubungan pemerintah pusat dan daerah yang khas di dunia ketiga, khususnya bagi Indonesia.

Sesuai fakta sejarah, rakyat Aceh melakukan perlawanan Pemerintah Republik Indonesia, telah terjadi sejak awal kemerdekaan, kekecewaan pada pemerintah pusat yang tidak merealisasikan janji politik, sehingga Aceh saat tersebut bergabung dengan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pada tahun 1953 dengan tujuan adalah untuk mendirikan Negara Islam Indonesia (El Ibrahimy, 1982:46).

Selanjutnya, setelah berakhirnya pemberontakan DI/TII pada tahun 1962, pada 4 Desember 1976 Aceh kembali melakukan pemberontakan baru dibawah pimpinan Tgk.

Hasan Tiro mendirikan Gerakan Aceh Merdeka (AM) yang kemudian menjadi Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Adapun tujuan pemberontakan tersebut adalah ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hingga Pemerintah Republik Indonesia melakukan operasi penumpasan pemberontakan tersebut dan menetapkan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) sejak tahun 1989 hingga 1998.

Pertikaian Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) telah menimbulkan banyak jatuh korban jiwa. Berbagai upaya perundingan gagal diwujudkan dalam perdamaian di Aceh. Dari Jeda Kemanusiaan I dan II tahun 2000 dan 2001 di era Presiden Abdurrahman Wahid, hingga Perjanjian Penghentian Permusuhan (COHA) tahun 2002-2003 di masa Presiden Megawati Sukarnoputri.

Setelah gagal menghasilkan kesepakatan damai dan penghentian pemusuhan RI- GAM tanggal 9 Desember 2002 di Swedia, Aceh dinyatakan dalam keadaan Darurat Militer tanggal 18 Mei 2003. Keputusan tertuang dalam Keppres No. 28 Tahun 2003 yang menetapkan seluruh Provinsi Aceh dalam keadaan dengan status Darurat Militer dan digelarnya Operasi Terpadu tahap I dan II masing-masing 6 bulan (Farhan Hamid, 2006:98).

Setelah tsunami menerjang Aceh pada tanggal 26 Desember 2004, Pemerintah Republik Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berupaya kembali melakukan kontak secara personal dengan pemimpin GAM di luar negeri. Pemerintah Republik Indonesia mengupayakan agar Pimpinan GAM di Swedia bersedia bertemu untuk membahas kesepakatan damai.

Tercapainya kesepakatan damai RI-GAM tanggal 15 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia memberi harapan baru bagi masyarakat Aceh menuju kehidupan yang lebih baik.

Kemudian pada tanggal 15 Juli 2006, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) menyepakati Rancangan Undang-undang Pemerintahan Aceh (RUUPA), yang terdiri atas 40 Bab dan 273 Pasal, disahkan menjadi Undang-Undang Pemerintahan Aceh oleh DPR-RI pada 11 Juli 2006 dan ditetapkan oleh Presiden SBY tanggal 1 Aguatus 2006.

(3)

522

Beberapa aspek penting yang diamanahkan dalam UUPA antara lain; Syariat Islam diberlakukan sesuai tradisi dan norma yang hidup di Aceh, diberikan izin berdirinya partai politik lokal, pengelolaan minyak dan gas bersama, Syariat Islam, dan lainnya yang diatur secara khusus, sesuai dalam kesepakatan MOU Helsinki. Selanjutnya sayap militer Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dibubarkan dan kemudian di bentuk Komite Peralihan Aceh (KPA) sebagai wadah transisi para mantan kombatan GAM ke masyarakat sipil.

Komite tersebut diketuai Mantan panglima militer GAM Muzakir Manaf (Hamid Awaludin,2008:22).

Produk hukum sebagai implementasi butir di atas adalah dikeluarkan Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 2007 tentang partai politik lokal di Aceh. Respon masyarakat Aceh tentang keberadaan partai politik lokal positif. Survei Lembaga Suvei Indonesia (LSI) pada 28 Juli – 2 Agustus 2005 dan Maret 2006 menunjukkan manyoritas masyarakat Aceh mendukung pembentukan partai politik lokal. Keberadaan partai lokal pernah dilontarkan pakar politik Indonesia dari Ohio State University, Prof William Liddle yang berpendapat: bahwa partai lokal tidak dibolehkan di Indonesia, tetapi kalau ada kemauan pasti ada cara Aceh damai. Setidaknya beri kesempatan GAM ikut bersaing dalam pemilihan umum di Aceh. (Koran Acehkita, Edisi 025/TH Ke-3, 8-14 Oktober 2007).

Berdasarkan Pasal 76 UUPA bahwa partai politik lokal yang telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 didaftarkan dan disahkan sebagai badan hukum oleh kantor wilayah departemen di Aceh yang ruang lingkup tugasnya di bidang hukum dan hak asasi manusia, melalui pelimpahan kewenangan dari menteri yang berwenang. Pengesahan partai politik lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diumumkan dalam Berita Negara. Untuk perubahan anggaran dasar, anggaran rumah tangga, nama, lambang, tanda gambar, dan kepengurusan partai politik lokal didaftarkan pada kantor wilayah departemen di Aceh yang ruang lingkup tugasnya di bidang hukum dan hak asasi manusia.

Partai politik lokal di Provinsi Aceh adalah lahir dari bagian kompromi politik antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dalam rangka sebagai salah satu solusi perdamaian di propinsi tersebut, dengan persetujuan, Gerakan Aceh Merdeka (GAM) meninggalkan mengakhiri cara-cara kekerasan, dalam mencapai tujuan mereka di bawah payung hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. Keberhasilan dalam mencapai kompromi politik, patut dihargai mengingat konflik yang berkepanjangan berakibat pada penderitaan rakyat Aceh, dengan kekerasan bersenjata yang sudah terjadi puluhan tahun. Langkah-langkah kompromi yyang disepakati dengan tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan menjaga nama baik Republik Indonesia dapat dianggap sebagai keberhasilan dalam penyelesaian konflik Aceh. Munculnya partai politik lokal melalui Perjanjian Perdamaian Helsinki menutup kemungkinan bagi para pimpinan Gerakan Aceh Merdeka untuk menuntut berpisah dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Partai politik lokal yang dipimpin oleh mantan tokoh Gerakan Aceh Merdeka meraih kemenangan dalam pemilu di Provinsi Aceh adalah peluang besar untuk mewujudkan pembangunan Aceh berkelanjutan. Semangat membangun Aceh berdasarkan otonomi khusus merupakan keinginan manyoritas rakyat Aceh dan diinginkan juga oleh mantan pertinggi Gerakan Aceh Merdeka. Perjanjian Helsinki merupakan sikap banting setir para petinggi Gerakan

(4)

523 Aceh Merdeka dalam usaha memajukan rakyat Aceh.

Tiga dekade pelaksanaan pilkada di Aceh, dapat di lihat eksitensi partai lokal yang mendominasi suara dan mendapatkan kursi terbanyak di lembaga legislatif dan eksekutif.

Pemilihan Umum legislatif tahun 2009, partai lokal (Partai Aceh) unggul dari partai-partai nasional dalam merebut kursi di DPRA, DPRK dan kursi kekuasaan Pemerintahan Aceh.

Pada pemilu 2009, Partai Lokal yaitu Partai Aceh hampir menguasai separo kursi parleman di DPRA dan kabupaten/Kota. Begitu besar pengaruh partai lokal (Partai Aceh) diawal, namun diperiode pemilu selanjutnya perolehan kursi di DPRA pada pemilu 2014 dan 2019, turun sangat dratis, biarpun masih saja tetap menguasai kursi parlemen secara mayoritas.

Ini menandakan ada persoalan internal Partai Aceh, artinya diawal begitu besar kepercayaan rakyat Aceh pada Partai Aceh, namun periode selanjutnya, eksitensi Partai Aceh turun, salah satu adalah akibat masalah internal dan banyak kader serta rakyat kecewa pada elit yang tidak mampu merealisasikan janji-janji politik mereka, akhirnya para simpatisan meninggalkan Partai Aceh, pindah memilih partai nasional.

Dari uraian tersebut di atas jelas terlihat bahwa MoU Helsinki telah memberi dampak yang sangat besar terhadap perkembangan dan perjalanan perpolitikan di Aceh terhadap eksitensi partai politik lokal di Aceh. Penulis mengulas kilas balik perjalanan partai politik lokal, yaitu Partai Aceh, eksitensi sebagai kekuatan politik Aceh dalam memperjuangkan berbagai kepentingan harkat dan martabat sesuai yang sudah diamanahkan dalam Undang-Undang Pemerintah Aceh.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Data yang diperoleh melalui dokumentasi atau literatur-literatur berupa arsip, majalah, artikel, jurnal, surat kabar dan berbagai sumber dan analisis sehingga peneliti memperoleh informasi mengenai masalah empiris yang hendak dipecahkan. Berhubung penelitian ini bertujuan mengambarkan fenomena perkembangan sosial politik di Aceh secara jelas, cermat, dan faktual, maka metode yang dipakai adalah metode deskriptif. Metode deskriptif adalah dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan dan melukiskan keadaan subyek atau obyek penelitian seperti, individu, lembaga, kelompok dan masyarakat pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagainya.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Eksistensi Partai Lokal (Parlok)

Pemilihan Legislatif 2009, 2014 dan 2019

Pasca konflik Aceh dengan pemerintah pusat, malah menimbulkan konflik baru secara horizontal. Pada saat Pilkada Aceh tahun 2006, selain terpilih Irwandi Yusuf- Muhammad Nazar representasi GAM/Komite Paeralihan Aceh (KPA) dan SIRA, melalui jalur perseorangan (independen) awal dimulainya keretakan elite GAM/KPA. Berlanjut pasca terbentuk partai lokal (parlok) GAM/KPA, yaitu Partai Aceh (PA). Di mana pada Pemilu 2009 demi pragmatisme kekuasaan berkonflik dengan sayap politik, civil society, seperti SIRA dan SMUR, karena mereka membetuk partai sendiri yaitu pembentukan

(5)

524

partai politik lokal SIRA dan PRA. Padahal, saat konflik organisasi tersebut saling mendukung melawan rezim otoriter Pusat (Usman, Wiramadinata : 2019).

Pada 25 April 2009, Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan hasil rekapitulasi perolehan suara nasional Pilpres 2009 yang telah diselenggarakan pada 22 - 23 Juli 2009. Berikut merupakan hasil suara Pilpres 2009 (www.kpu.go.id) yang telah ditetapkan sebagai berikut:

Tabel 1. Rekapitulasi Hasil Suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2009 h

t t p : / / w a r t

asejarah.blogspot.com/2013/10/pemilihan-presiden-2009

Partai Aceh juga memegang peran politik yang sangat besar di Aceh. Partai Aceh menguasai 33 dari 69 kursi di DPR Aceh periode 2009-2014. Untuk tingkat DPRK, Partai Aceh memimpin kursi legislatif di 12 Kabupaten dari 23 Kabupaten/Kota.

Selanjutnya saat pelaksanaan pemilu tersebut berbagai tindakan kekerasan terjadi, seperti yang diberitakan dalam republika.co.id bahwa semakin sering terjadinya teror dan intimidasi politik dengan menggunakan kekerasan di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) saat mendekati pelaksanaan pemilu legislatif (Pileg) 2014 yang berlangsung pada 9 April 2014. Selanjutnya, terjadi persaingan diantara partai-partai terutama persaingan partai lokal Partai Nasional Aceh (PNA) dan Partai Aceh (PA). Terkait dengan tindak kekerasan dalam pemilu, Mantan Pangdam Iskandar Muda Aceh, Supiadin Aries Saputra menjelaskan dalam (Usman, Wiratmadinata : 2019): Kekerasan pemilu di Aceh terjadi karena adanya persaingan politik antara partai lokal. Persaingan politik di Aceh sudah dimulai sejak Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) pada tahun 2006 lalu. Saat itu mulai terbentuknya sejumlah partai lokal di Aceh dampak dari penjanjian damai antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Indonesia di Helsinki, Finlandia yang ditanda tangani 15 Agustus 2005. Sejak itulah terjadi persaingan antar partai lokal yang bermunculan.

Persaingan di kalangan elit politik Aceh menyangkut harga diri kelompok dan sulit dihentikan, selama pihak-pihak yang bertikai tidak mau menghentikannya.

Hasil lengkap perolehan suara pada Pemilu 2014 sebagaimana ditetapkan oleh KPU (Komisi Pemilihan Umum) pada rapat pleno penghitungan suara di Gedung KPU, Selasa (22/7/2014), sebagai berikut:

Tabel 2. Rekapitulasi Hasil Suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2014 No Pasangan Calon Jumlah Suara Persentase Suara

1 Megawati-Prabowo 32.548.105 26,79 %

2 SBY-Budiono 73.874.562 60,80 %

3 JK-Wiranto 15.081.814 12,41 %

Jumlah 121.504.481 100,00 %

Jumlah Suara Sah 121.504.481

Jumlah Suara Tidak Sah 6.479.174

Jumlah Suara Peserta 127.983.655

Jumlah Suara Pemilih 171.068.667

(6)

525 No Nama

33 Provinsi

Perolehan Jumlah Suara

Kandidat Prabowo-Hatta

(%)

Perolehan Jumlah Suara

Kandidat Jokowi-JK

(%)

Total Suara Sah

Kandidat dengan Suara Terbanyak

di Masing- Masing Provinsi 1 Aceh 1.089.290 (54,39%) 913.309(45,61%) 2.002.599 Prabowo-Hatta 2 Sumatera

Utara

2.831.514 (44,76%) 3.494.835(55,24% 6.326.349 Jokowi-JK 3 Sumatera

Barat

1.797.505 (76,92%)

539.308(23,08%) 2.336.813 Prabowo-Hatta 4 Riau 1.349.338

(50,12%)

1.342.817 (49,88 %)

2.692.155 Prabowo-Hatta 5 Jambi 871.316

(49,25 %)

897.787 (50,75 %)

1.769.103 Jokowi-JK 6 Sumatera

Selatan

2.132.163 (51,26 %)

2.027.049 (48,74 %)

4.159.212 Prabowo-Hatta 7 Bengkulu 433.173

(45,27 %)

523.669 (54,73 %)

956.842 Jokowi-JK 8 Lampung 2.033.924

(46,93 %)

2.299.889 (53,07 %)

4.333.813 Jokowi-JK 9 Kepulauan

Bangka Belitung

200.706 (32,74 %)

412.359 (67,26 %)

613.065 Jokowi-JK

10 Kepulauan Riau

332.908 (40,37 %)

491.819 (59,63 %)

824.727 Jokowi-JK

11 DKI

Jakarta

2.528.064 (46,92 %)

2.859.894 (53,08 %)

5.387.958 Jokowi-JK 12 Jawa

Barat

14.167.381 (59,78 %)

9.530.315 (40,22 %)

23.697.696 Prabowo-Hatta 13 Jawa

Tengah

6.485.720 (33,35 %)

12.959.540 (66,65 %)

19.445.260 Jokowi-JK

14 DI

Yogyakarta

977.342 (44,19 %)

1.234.249 (55,81 %)

2.211.591 Jokowi-JK 15 Jawa

Timur

10.277.088 (46,83 %)

11.669.313 (53,17 %)

21.946.401 Jokowi-JK

16 Banten 3.192.671

(57,10 %)

2.398.631 (42,90 %)

5.591.302 Prabowo-Hatta

17 Bali 614.241

(28,58 %)

1.535.110 (71,42 %)

2.149.351 Jokowi-JK

18 Nusa

Tenggara Barat

1.844.178 (72,45 %)

701.238 (27,55 %)

2.545.416 Prabowo-Hatta

19 Nusa

Tenggara

769.391 (34,08 %)

1.488.076 (65,92 %)

2.257.467 Jokowi-JK

(7)

526

Sumber: www.kompas.com

Dalam pelaksanaan pemilu 2014, mayoritas masyarakat Indonesia ada 33 Provinsi dan ditambah dengan warga negara Indonesia di Luar Negeri memberikan pilihan suara mereka pada kandidat Jokowi-JK, sehingga mereka terpilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden.

Di Provinsi Aceh, terlihat bahwa hasil Pemilu 2014 menunjukkan suara terbanyak berada pada kandidat Prabowo-Hatta dengan perolehan suara sebanyak 1.089.290 (54,39

%) dibandingkan dengan perolehan suara yang didapatkan oleh kandidat Jokowi-JK sebanyak 913.309 (45,61 %) Hasil total keseluruhan jumlah suara sah pada Pemilu 2014 di Aceh yaitu 2.002.599 suara (100 %) serta selisih jumlah suara antara kandidat Prabowo-

Timur 20 Kalimantan

Barat

1.032.354 (39,62 %)

1.573.046 (60,38 %)

2.605.400 Jokowi-JK 21 Kalimantan

Tengah

468.277 (40,21 %)

696.199 (59,79 %)

1.164.476 Jokowi-JK 22 Kalimantan

Selatan

941.809 (50,05 %)

939.748 (49,95 %)

1.881.557 Prabowo-Hatta 23 Kalimantan

Timur

687.734 (36,62%)

1.190.156 (63,38 %)*

1.877.890 Jokowi-JK 24 Sulawesi

Utara

620.095 (46,12 %)

724.553 (53,88 %)*

1.344.648 Jokowi-JK 25 Sulawesi

Tengah

632.009 (45,17 %)

767.151 (54,83 %)

1.399.160 Jokowi-JK 26 Sulawesi

Selatan

1.214.857 (28,57 %)

3.037.026 (71,43 %)

4.251.883 Jokowi-JK 27 Sulawesi

Tenggara

511.134 (45,10 %)

622.217 (54,90 %)

1.133.351 Jokowi-JK

28 Gorontalo 378.735

(63,10 %)

221.497 (36,90 %)

600.232 Prabowo-Hatta 29 Sulawesi

Barat

165.494 (26,63 %)

456.021 (73,37 %)

621.515 Jokowi-JK

30 Maluku 433.981

(49,48 %)

443.040 (50,52 %)

877.021 Jokowi-JK 31 Maluku

Utara

306.792 (54,45 %)

256.601 (45,55 %)

563.393 Prabowo-Hatta

32 Papua 769.132

(27,51 %)

2.026.735 (72,49 %)

2.795.867 Jokowi-JK 33 Papua

Barat

172.528 (32,37 %)

360.379 (67,63 %)

532.907 Jokowi-JK 34 Luar

Negeri

313.600 (46,26 %)

364.257 (53,74 %)

677.857 Jokowi-JK Jumlah 62.576.444

(46,85 %)

70.997.851 (53,15 %)

133.574.277 Jokowi-JK Selisih Suara Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK 8.421.389 suara

(8)

527 Hatta dan Jokowi-JK adalah 175.981 (8,78 %) sebagaimana yang terlihat dalam bentuk kurva di bawah ini:

Kurva Hasil Suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden di Provinsi Aceh 2014

Setelah berkoalisi dengan Partai Aceh, Partai Gerindra termasuk partai nasional yang mendapatkan hasil suara terbanyak untuk DPR RI dan berhasil mengirim dua kadernya ke Senayan pada Pemilu Legislatif 2014.

Pelaksanaan Pilkada 2006, 2012, 2017 Secara Langsung di Aceh

Pilkada di Aceh memberikan kesempatan bagi masyarakat dalam memilih Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati serta Wali Kota/Wakil Wali Kota secara langsung, karena setiap individu bisa mengajukan diri sebagai calon Gubernur ataupun

Wali Kota tanpa harus berasal dari partai tertentu

(https://anwariksono.wordpress.com/2006/12/26/pilkada-aceh-2006/ (diakses 1 Maret 2016). Sangat diperlukannya peran aktif dari masyarakat dalam menciptakan pilkada yang jujur, adil, aman, dan damai sangat penting. Konflik tidak lepas dari kehidupan masyarakat. Munculnya konflik juga berasal dari gesekan-gesekan masalah sosial di masyarakat. Oleh karena itu, permasalahan dalam pilkada hendaknya tidak perlu menjadi konflik fisik yang hanya akan menghancurkan dan menambah beban bagi masyarakat sendiri. Justru, ketika ditemukan kecurangan-kecurangan di dalam pilkada, masyarakat hendaknya melihat ini sebagai kasus hukum kriminal yang harus diselesaikan lewat jalur hukum juga, bukan melalui kontak senjata. Kampanye yang melibatkan masyarakat dan memobilisasi massa perlu juga memperlihatkan bahwa rasa damai tetap ada dalam pilkada.

Jangan sampai, aksi memobilisasi massa menjadi ajang kerusuhan antar pendukung calon.

0%

10%

20%

30%

40%

50%

60%

70%

80%

90%

100%

54,39 %

45,61

%

8,78

% 100 %

(9)

528

Bom yang meledak pada saat pencoblosan melukai jalannya pilkada damai. Apalagi bom meledak di salah satu TPS (Tempat Pemungutan Suara) di Aceh Utara.

Pilkada 2006

Terlaksananya Pilkada tahun 2006 pasca perdamaian secara langsung di Aceh memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk menyuarakan pilihannya secara demokratis. Pasangan Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar dari Calon Independen terpilih sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur dengan suara terbanyak. Hasil akhir rekapitulasi perhitungan suara masyarakat dalam pelaksanaan Pilkada 2006 di Aceh untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur, sebagai berikut:

Tabel 3. Hasil Rekapitulasi Perhitungan Suara dalam Pilkada 2006 di Aceh No Nama Pasangan Calon Perolehan Jumlah Suara (%)

1 drh. Irwandi Yusuf, M.Sc dan Muhammad Nazar, S.Ag (Calon Independen)

768.745 (38,20 %) 2 DR. Ir. H. A. Humam Hamid, MA dan Drs. H.

Hasbi Abdullah, M.Si (PPP)

334.484 (16,62 %) 3 Drs. H. A. Malik Raden, MM dan H. Sayed Fuad

Zakaria, SE (Partai Golkar, PDIP, dan PKPI)

281.174 (13,97 %) 4 Ir. Azwar Abubakar, MM dan M. Nasir Djamil,

S.Ag (PAN dan PKS)

213.566 (10,61 %) 5 Drs. Ghazali Abbas Adan dan H. Salahuddin Alfata

(Calon Independen)

156.978 (7,80%) 6 Ir. H. Iskandar Hoesin, MH dan Drs. H. M. Saleh

Manaf (PBB)

111.553 (5,54 %) 7 Letjen TNI (Purn) H. Tamlicha Ali dan Drs. Tgk.

Harmen Nuriqmar (PBR, PPNUI, dan PKB)

80.327 (3,99 %) 8 H. M. Djalil Yusuf dan Drs. H. R. A. Syauqas

Rahmatillah, MA (Calon Independen)

65.543 (3,26 %)

Total Suara Sah 2.012.370 (99,99 %)

Pasangan Calon dengan Suara Terbanyak dalam Pilkada 2006

drh. Irwandi Yusuf, M.Sc dan Muhammad Nazar, S.Ag (Calon Independen)

Sumber: https://id.wikipedia.org

Dari hasil tabel rekapitulasi suara di atas dapat disimpulkan bahwa pasangan drh.

Irwandi Yusuf, M.Sc dan Muhammad Nazar, S.Ag memperoleh suara terbanyak dengan persentase suara sebesar 38,20 %, dan persentase suara terendah diperoleh pasangan H. M.

Djalil Yusuf dan Drs. H. R. A. Syauqas Rahmatillah, MA dengan persentase suara sebesar 3,26 %. Total suara sah dalam Pilkada 2006 sebanyak 2.012.370 suara.

Perbandingan persentase suara dari tingkat tinggi dan tinggi rendah dengan total keseluruhan suara sah dalam Pilkada 2006 di Aceh, sebagai berikut:

(10)

529 Pilkada 2012

Konflik internal GAM/KPA/PA juga semakin terbuka, ketika para elite berbeda sikap pencalonan gubernur pada Pilkada 2012. Di mana tidak mendukung Irwandi sebagai calon incumbent (petahana), dan mencalonkan Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf (Mualem) sebagai calon dan terpilih menjadi Gubernur/Wakil Gubernur Aceh periode 2012-2017. Akhirnya, Irwandi dan beberapa elite GAM/KPA/PA, pada 2012 membentuk Partai Nasional Aceh (PNA). Irwansyah dan Muharram Idris terpilih sebagai Ketua dan Sekretaris. Implikasinya, pada Pemilu 2014 kedua parlok mantan kombatan ini bersama partai Nasional bersaing merebut kursi legislatif Aceh dan kabupaten/kota (Amrizal J.

Prang, Opini: Anomali Aceh Serambi, 17/2/2016).

Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh memastikan hari pemungutan suara pemilihan kepala daerah (Pilkada) di provinsi itu digelar pada 14 November 2011 dan putaran kedua pada 14 Januari 2012. Mengulang kembali suksesnya Pilkada seperti 2006 secara aman dan damai menjadi harapan seluruh masyarakat Aceh. Pilkada Aceh yang diperkirakan lebih tiga juta pemilih itu harus berjalan damai dan tidak melahirkan masalah di kemudian hari. Pilkada damai ini lebih penting ketimbang Pilkada yang demokratis tetapi berlangsung berdarah-darah. Dengan Pemilukada yang aman dan damai pasti akan lahir seorang pemimpin yang memang dipilih dan dikehendaki oleh rakyat bukan sebuah rekayasa yang pelik, berikan kesempatan masyarakat Aceh untuk memilih pemimpin yang bersih, jujur, ikhlas, cakap dalam keilmuan, berwawasan luas dan yang paling utama adalah mempunyai niat untuk membangun Aceh demi kesejahteraan masyarakatnya tanpa

0%

10%

20%

30%

40%

50%

60%

70%

80%

90%

100%

768.745 perolehan suara tertinggi dalam

Pilkada 2006

65.543 perolehan suara tertendah dalam Pilkada 2006

2.012.370 total keseluruhan suara sah dalam Pilkada

2006 99,99 %

3,26 % 38,20 %

(11)

530

pandang bulu (http://rubik.okezone.com/read/5504/pilkada-aceh-damai-tanpa-konflik). Hasil dari Pilkada langsung tahun 2012 terpilih dengan suara terbanyak adalah Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf yang terpilih sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh. Hal tersebut berdasarkan hasil perhitungan resmi dari Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh dalam rapat pleno di gedung Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Selasa 17 April 2012, Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf resmi memenangkan Pilkada Aceh untuk pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh 2012-2017. Berikut data dan fakta Pilkada Aceh yang diselenggarakan pada 9 April 2012, sebagai berikut:

Tabel 4. Hasil Perhitungan Suara pada Pilkada 2012 di Aceh

No Pasangan Calon Perolehan Suara (%)

1 Tgk. Ahmad Tajuddin - Teuku Suriansyah 79.330 (3,33 %)

2 Irwandi Yusuf - Muhyan Yunan 694.515 (29,18 %)

3 Darni M. Daud - Ahmad Fauzi 96.767 (4,07 %)

4 Muhammad Nazar - Nova Iriansyah 182.079 (7,65 %)

5 Zaini Abdullah - Muzakir Manaf 1.327.695 (55,77 %)

Total Suara Sah 2.380.386 (100,00 %)

Total Jumlah Pemilih 2.457.196 orang

Surat Suara Rusak 76.810 suara

Pasangan Calon dengan Suara Tebanyak dalam Pilkada 2016

Zaini Abdullah - Muzakir Manaf

Daftar pemilih tetap yang ditetapkan KIP Aceh sebelumnya

3.244.729 orang

Golput 787.533 orang

Sumber: http://adiwarsidi.blogspot.com/2012/04/data-dan-fakta-pilkada-aceh.html.

Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf kader dari Partai Aceh, merupakan partai bentukan dari eks kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) serta partai pemenang Pemilu legislatif pada 2009 dan 2014 (http://www.ppmn.or.id/partai-aceh-gerindra-dan-sepak- terjang-putra-sang-begawan-di-aceh) . Dalam acehkita.com diberitakan bahwa kemenangan pasangan kandidat gubernur Aceh yang diusung Partai Aceh, Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf, dalam Pilkada Aceh karena partai lokal yang didirikan oleh bekas petempur Gerakan Aceh Merdeka (GAM) itu punya struktur komando yang terorganisir hingga ke level desa di seluruh Aceh. Hal tersebut sesuai dengan analis politik keamanan Aceh dari Katahati Institute, yaitu Teuku Ardiansyah yang mengemukakan pendapatnya sebagai berikut: “Partai Aceh memang karena mereka memiliki garis komando yang bekerja cukup baik dan terorganisir hingga ke pelosok desa dan mereka bekerja secara paralel. Selain berkampanye untuk dirinya, para calon bupati dan walikota dari Partai Aceh juga mengampanyekan calon gubernur. Hal ini yang tidak dilakukan oleh kandidat lain”.

(12)

531 Kurva Hasil Suara Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur

di Provinsi Aceh 2012

Partai Aceh juga memimpin 11 Kabupaten dari 23 Kabupaten/Kota yang terdapat di Provinsi Aceh. 11 Kabupaten yang dimenangkan oleh para kader Partai Aceh tersebut antara lain: Kota Sabang, Kabupaten Aceh Besar, Pidie, Pidie Jaya, Bireuen, Aceh Utara, Lhokseumawe, Aceh Timur, Langsa, Aceh Jaya, dan Aceh Barat Daya. Dalam www.kompas.com diberitakan hasil temuan dua lembaga pemantau Pilkada Aceh, The Aceh Institute dan Forum LSM Aceh, yang disampaikan kepada pers di Banda Aceh, Selasa (3/4/2012) mengenai tindakan kekerasan yang terjadi dalam pelaksanaan Pilkada.

Selama dalam dua pekan ini, 40 kasus kekerasan terkait proses pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) terjadi di Aceh. Dari 40 kasus tersebut, 80 persen terjadi di bekas wilayah konflik, yaitu Kabupaten Pidie, Aceh Utara, Bireuen, Aceh Timur, Aceh Jaya, dan Kota Lhokseumawe. Selanjutnya, Irfandi dari Forum LSM Aceh, mengemukakan sebagai berikut: Temuan 9 kasus di antaranya kekerasan terjadi di Lhokseumawe, sedangkan di Pidie ditemukan 7 kasus. Di Aceh Timur dan Aceh Jaya ada enam aksi kekerasan, sedangkan di Aceh Timur 5 kasus. Di Kabupaten Bireuen terdapat tindakan kekerasan sebanyak 3 kasus, menyusul Kabupaten Pidie Jaya dengan 2 kasus. Dengan kata lain, kawasan yang rawan dalam kekerasan Pilkada Aceh 2012 ini adalah wilayah yang rawan pada masa konflik yang lalu. Kita tahu bahwa kawasan Pidie, Aceh Utara, AcehTimur, masuk kategori dengan tensi kekerasan yang tinggi pada masa konflik. Pada pilkada inipun

wilayah tersebut sangat rawan dengan aksi

kekerasan"(http://regional.kompas.com/read/2012/04/03/20110268/twitter.com). 0%

10%

20%

30%

40%

50%

60%

70%

80%

90%

100%

79.330 suara perolehan Tgk. Ahmad

Tajuddin - Teuku Suriansyah

694.515 suara perolehan Irwandi Yusuf

- Muhyan Yunan

96.767 suara perolehan

Darni M.

Daud - Ahmad Fauzi

182.079 suara perolehan Muhammad Nazar - Nova

Iriansyah

1.327.695 suara perolehan Zaini Abdullah

Muzakir Manaf

2.380.386 Total Suara

Sah dalam Pilkada 2012 3,33 %

29,18 %

55,77 %

7,65 % 4,07 %

100 %

(13)

532

Istilah berbeda lainnya terdapat dalam UU No. 11 Tahun 2006 dengan undang- undang lainnya misalnya penyebutan Komisi Independen Pemilihan (KIP) yang mewakili kewenangan untuk menyelenggarakan pemilihan umum Presiden/Wakil Presiden, anggota Dewan perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, anggota DPRA/DPRK, pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota di Aceh. Daerah-daerah lainnya di Indonesia sebagaimana yang terdapat dalam UU No.32 Tahun 2004 menggunakan istilah Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD). Aceh juga berhak memiliki bendera, lambang dan himne daerah sebagaimana yang di maksud dalam ketentuan pasal 246 UU No. 11 Tahun 2006. Ketentuan tersebut sama dengan yang terdapat di Provinsi Papua seperti penjelasan yang sebelumnya (Farhan Hamid, 2006:36).

Ada beberapa kekhususan lainnya yang menurut penulis sangat berbeda dengan daerah lainnya yang dimiliki oleh Aceh sebagaimana yang terdapat dalam ketentuan UU No. 11 tahun 2006 antara lain adalah pembagian daerah di Aceh yang dibagi kedalam kabupaten/kota, kecamatan, mukim, keleruhan dan gampong. Mukim merupakan masyarakat hukum di bawah kecamatan yang terdiri dari gabungan beberapa gampong.

Sedangkan kelurahan dan gampong adalah kesatuan masyarakat hukum yang berada di bawah mukim. Pemerintah Aceh dapat mengadakan kerjasama dengan lembaga atau badan di luar negeri kecuali yang menjadi kewenangan pemerintah. Dalam naskah kerjasama tersebut di cantumkan frasa Pemerintah Aceh sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Serta pemerintah Aceh dapat berpartisipasi secara langsung dalam kegiatan seni, budaya, dan olahraga internasional (sewuramoe.acehprof.go.id).

Di Aceh terdapat pengadilan Syariat Islam yang dilaksanakan oleh Mahkamah Syariah, yang terdiri dari mahkamah Syariah Aceh sebagai pengadilan tingkat banding dan Mahkamah Syariah Kabupaten/Kota sebagai pengadilan tingkat pertama. Mahkamah Syariah berwenang memriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara yang meliputi bidang Ahwal Al-Syakhhsiyah (hukum keluarga), Muamalah (hukum perdata), dan Jinayah (hukum pidana) yang didasarkan atas ketentuan Syariat Islam dengan hukum acara yang ditetapkan berdasarkan Qanun (www.ms-aceh.go.id).

Produk hukum sejenis peraturan daerah (perda) di Aceh disebut dengan istilah Qanun. Terdapat dua macam Qanun, yaitu Qanun Aceh yang disahkan oleh Gubernur setelah mendapatkan persetujuan bersama dengan DPRA, dan Qanun Kabupaten/Kota ditetapkan oleh Bupati/Walikota setelah mendapatkan persetujuan bersama DPRK. Qanun dapat memuat ancaman pidana atau benda lebih dari 6 (enam) bulan kurungan dan/atau denda paling banyak Rp.50.000.000.00 (lima puluh juta rupiah). Bahkan Qanun mengenai jinayah (hukum pidana) dapat menentukan jenis dan bentuk ancaman pidana tersendiri.

Pemerintah Aceh dan Pemerintah kabupaten/Kota dapat membentuk lembaga, badan dan/atau komisi dengan persetujuan DPRA/DPRK. Di Aceh tedapat institusi atau lembaga yang tidak terdapat di daerah-daerah lainnya, seperti Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) yang merupakan mitra kerja Pemerintah Aceh, Kabupaten/Kota dan DPRA/DPRK, Lembaga Wali Nanggroe dan Lembaga Adat, Pengadilan Hak Asasi Manusia. Komisi kebenaran dan Rekonsiliasi, dan unit Polisi Wilayatul Hisbah sebagai bagian dari Satuan Polisi Pamong Praja, sebagai penegak Syariat Islam (law.uii.ac.id).

(14)

533 Pilkada Tahun 2017

Ketika keadaan politik di Aceh menjadi ajang persaingan dalam kompetisi untuk dapat menjadi pemimpin, rakyat Aceh mulai merindukan sosok pemimpin yang dianggap dapat mampu mengatasi seluruh persoalan pembangunan di Aceh saat ini. Hal tersebut mulai menjadi polemik, kepemimpinan yang baik dalam mengatasi problematika pembangunan Aceh hanya dapat diselesaikan oleh pemimpin yang dianggap sebagai asoe lhok (penduduk asli setempat) yang memahami seluk beluk “isi dalam” Aceh dengan “rasa memiliki” yang lebih tinggi dari pada pendatang yang sebagaimana diimpikan Hasan Tiro, ternyata belum memberikan jaminan. Baik visi maupun platfrom (jika ada) belum mampu mengakomodir aspirasi masyarakat (Sofyan, Hanif. 2016. “Dicari, Pemimpin Bevisi Benar”. Serambi Opini. 28 Maret: 18). Zaini Abdullah dan juga Muzakir Manaf yang kini menjabat sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh dan bersedia untuk melanjutkan kepemimpinannya dalam persaingan kontestasi politik di tahun 2017 mendatang, dianggap sebagai lawan berat bagi siapa pun penantangnya, hal tersebut dikarena kedua tokoh tersebut memiliki permodalan politik yang besar sekaligus power (kekuasaan) serta dapat dipahami, karena pertahanan tersebut memiliki banyak kemudahan dalam membangunan dan memperbesar modal politik (SR, Mashudi. 2016. “Berebut Kursi Aceh-I.

Serambi Opini. 28 Maret 2016. hlm. 18).

Partai Aceh dianggap sebagai partai yang dominan dalam memenangkan ajang persaingan politik dengan pola koalisi, kemungkinan akan terbentuknya pola koalisi, sebagaimana dikemukakan SR, Mashudi (Serambi Opini, 28/3/2016:18) sebagai berikut:

Pertama, PA akan maju sendiri dengan mengajukan pasangan dari kader partainya. Ini bukan hal yang tidak mungkin terjadi, mengingat PA memiliki syarat cukup untuk melakukan itu. Kedua, PA akan mengandeng salah satu partai nasional dengan asumsi Mualem (Muzakir Manaf) tetap diposisi calon gubernur (cagub). Ketiga, Bersekutunya PA (Partai Aceh), PNA (Partai Nasional Aceh), dan PDA (Partai Damai Aceh) mengusung satu pasangan. Kemungkinan ini sangat kecil mengingat Irwandi Yusuf dan Mualem (Muzakir Manaf) sama-sama ingin sebagai posisi calon gubernur (cagub). Keempat, Beberapa partai nasional (parnas) akan mengusung satu pasangan calon yang dianggap memiliki “nilai jual” tinggi. Kemungkinan ini sangat besar diwujudkan jika melihat banyak nama bakal calon yang siap maju lewat partai. Dan kelima, partai nasional (parnas) membangun koalisi besar melawan pasangan yang diusung Partai Aceh (PA) atau koalisi partai lokal (parlok). Ini hanya bisa terjadi jika ada diantara bakal calon yang mempunyai magnet politik, dengan popularitas dan elektabilitas yang cukup tinggi (SR, Mashudi. 2016.

“Berebut Kursi Aceh-I. Serambi Opini. 28 Maret 2016. hlm. 18).

Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa bakal calon pemimpin untuk pola koalisi dalam persaingan kontestasi politik 2017 akan menargetkan posisi gubernur sebagai prioritas utamanya, dimana setiap pemimpin tentunya memiliki magnet politik tersendiri, seperti popularitas serta elektabilitas yang dianggap cukup memadai di ajang politik 2017 mendatang sebagai pemimpin idola masyarakat Aceh

(15)

534

Pengaruh Kemiskinan Memimbulkan Konflik Horizontal

Pengaruh kemiskinan membuat munculnya konflik horizontal, seperti kasus ALA- ABAS dan persoalan pemberontakan Din Minimi untuk menuntut perhatian dari Pemerintah Aceh terkait dengan penyetaraan kesejahteraan serta kehidupan yang layak terhadap eks Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Dalam News.com diberitakan bahwa tokoh masyarakat Aceh Selatan menilai pemekaran Aceh menjadi tiga provinsi bertujuan untuk pemerataan pembangunan dan mengentaskan kemiskinan di wilayah Aceh pedalaman serta pesisir barat dan selatan daerah ini. Masyarakat mendukung pemekaran Aceh karena tujuannya memerdekakan rakyat dan daerah dari segi ketertinggalan pembangunan dan keterpurukan kondisi ekonomi. Akademisi Unsyah M. Jafar menilai pemekaran Provinsi Aceh bertentangan dengan Undang Undang Pemerintahan Aceh. M. Jafar juga berpendapat "Pemekaran provinsi secara hukum tidak ada persoalan, sehingga aspirasi masyarakat perlu dihargai, tapi khusus untuk Aceh berbeda dengan provinsi-provinsi lainnya di Indonesia.

Munculnya komplotan Din Minimi dengan menenteng senjata api di media akan berakibat fatal terhadap masyarakat Aceh. Apa yang dilakukan Din Minimi ditakutkan akan merusak perdamaian di daerah tersebut (http://atjehpost.co/articles/read/12810).

Pengamat Politik UGM, Arie Sudjito menilai pemerintah perlu melakukan dialog dengan kelompok pemberontak Aceh, Din Minimi. Diantaranya dengan merespons permintaan dari kelompok tersebut. Menurut Arie, sejumlah permintaan kelompok bersenjata GAM tersebut layak untuk dipertimbangkan. "Kalau hal ini dianggap sebagai bagian dari tantangan integrasi nasional, maka negara perlu untuk meresponsnya". Perlu adanya keadilan dalam persoalan Din Minimi, misalnya, memberikan perhatian terhadap hukum politik masyarakat yang memberontak. Kelompok Din Minim menuntut perhatian pemerintah terhadap anak-anak yatim piatu dan janda eks kombatan GAM, pengawasan pilkada, pengawasan KPK terhadap Pemda Aceh, perlindungan keluarga Din Minimi, serta amnesti bagi anggota kelompok ini (http://portalsatu.com/read/politik/pengamat-politik- ugm).

Konflik Internal

Dinamika politik penyelesaian konflik antara kelompok bersenjata pimpinan Nurdin Ismail alias Din Minimi dengan Pemerintah Aceh terkait kesejahteraan mantan kombatan GAM diselesaikan melalui soft approach (tindakan tanpa kekerasan) secara negosiasi tanpa menggunakan tindakan kekerasan oleh Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Sutiyoso, dan pemberian amnesti. Dalam Kamus Bahasa Indonesia (Tim Penyusun,2008:54) amnesti diartikan sebagai “Pengampunan atau penghapusan hukuman yang diberikan oleh Kepala Negara kepada seseorang atau sekelompok orang yang telah melakukan tindak pidana tertentu”. Amnesti tersebut diberikan oleh Presiden Joko Widodo kepada kelompok bersenjata pimpinan Nurdin Ismail alias Din Minimi.

Dinamika politik terkait dengan persaingan antar partai politik lokal di Aceh kontestasi kandidat paling kuat terjadi di dalam tubuh Partai Aceh (PA) yang merupakan manifestasi politik GAM pasca-Perjanjian Helsinki pada 15 Agustus 2005. Persaingan antar kandidat tersebut juga berdampak pada kekompakan pendukung akar rumput dan

(16)

535 terpecahnya kekuatan PA. Satu pihak mendukung duet Zaini Abdullah-Muzakir Manaf, yang didukung oleh PA, dan pihak lain mendukung Irwandi Yusuf yang memilih jalur independen karena tidak mendapat dukungan PA. Konflik antar mantan kombatan ini sering mengambil kekerasan sebagai bentuk ekspresifnya, misalnya penembakan dan pelemparan granat. Bentuk kekerasan seperti ini tidak ditemukan pada Pemilukada di daerah lain (The Habibie Center, 2013:11).

Persaingan politik pada tahun 2017 di dominasi oleh tokoh-tokoh GAM yang dulunya bersama kini bertransfrormasi untuk mendapat simpati rakyat menuju Aceh satu, 4 (empat) dari 5 (lima) kandidiat Calon Gubernur 2017 merupakan petinggi GAM dan juga petinggi Partai Aceh. Perpecahan mulai terjadi pada tahun 2012 saat Irwandi maju sebagai Calon Gubernur lewat jalur independen, dan terus berlanjut pada pemilu 2014 dengan tambahan 1 (satu) partai lokal Partai Nasional Aceh (PNA) yang didirikan oleh Irwandi, kini 2017 semakin dekat dengan panasnya atmosfir Pilkada yang sudah mulai dirasakan, para kandidat pun sudah mulai memainkan srateginya untuk menang, jika pada tahun 2012 hanya bersaing 2 (dua) kandidat dari tokoh GAM, pada Pilkada ini akan bertambah 2 (dua) kandidat yang notabenenya adalah pejuang GAM, yang bernaung di bawah KPA. Pada Pilkada 2017, 1 (satu) orang kandidat yang bukan dari tokoh GAM yaitu Tarmizi A Karim, sedang keempat lainnya Zakaria Saman, Muzakir Manaf, Zaini Abdullah, Irwandi Yusuf merupakan tokoh GAM, sehingga sangat indentik persaingan kali ini persaingan serumah (http://www.lintasnasional.com/2016/01/09/).

Konflik elit terjadi antara Gubernur Pertahanan, yaitu Irwandi Yusuf dengan Partai Aceh (PA). Partai Aceh mencoba menghalangi Gubernur Pertahanan tersebut untuk mencalonkan diri lewat jalur independen. Dalam kasus Aceh ini juga terlihat bahwa kekerasan tidak terjadi karena sistem pemilihan langsung, tetapi lebih karena masalah internal mantan anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang telah bertransformasi ke partai politik (The Habibie Center, 2013:10). Terjadinya perubahan bentuk pola perjuangan dalam perlawananan dari yang sebelumnya menggunakan senjata beralih menjadi sebuah gerakan politik. Dimana pimpinan GAM membentuk majelis Nasional sebagai badan yang berwenang untuk mengurusi politik dan juga pembentukan Komite Peralihan Aceh (KPA) untuk memantau proses demobilisasi dan reintegrasi mantan kombatan. Pendirian Majelis Nasional adalah dimaksudkan sebagai lembaga yang menyatukan seluruh sumberdaya politik dan ekonomi GAM.

PENUTUP Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Sejak pemilu dan pilkada selama tiga periode, Partai Aceh (PA) mampu mendapatkan suara mayoritas, namun dalam tiga dekade tersebut terjadi penurunan suara pemilih yang sangat sinifikan, hilangnya kursi baik di DPRA, DPRK dan kekuasaan eksekutif diberbagai daerah. Ini diakibatkan telah terjadi konflik internal

(17)

536

Partai Aceh dan banyak kader yang tidak mampu merealisasikan janji politik, sehingga pemilih/simpatisan kecewa, akhirnya pemilih memilih partai nasional 2. Persaingan antar partai politik dianggap sebagai ajang yang dapat memilih serta

menemukan pemimpin yang dapat menjadi idola masyarakat Aceh dalam membangun Aceh kearah yang lebih baik sekaligus mampu menyelesaikan persoalan-persoalan yang terjadi di Aceh.

3. Persaingan kontestasi politik pilkada tahun 2006, 2012, dan 2017, terjadi berbagai persaingan yang menyebabkan perpecahan internal Partai Aceh, akhirnya lahir partai baru lokal yaitu Partai Nasional Aceh.

DAFTAR PUSTAKA

Amal, Ichlasul. Teori-Teori Mutakhir Partai Politik. PT. Tiara Wacana Yogya.

Yogyakarta, 1996.

Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek, Rineka Cipta, Jakarta, 1998

Asfar, Muhammad. Distrik Preferensial : Alternatif Sistem Pemilu di Masa Depan. Jurnal PSPK edisi 5 tahun 2003

Crouch, Harold. 1982. Perkembangan Politik dan Modernisasi. Jakarta: Yayasan Perkhitmatan.

Dahl, Robert. 1999. Perihal Demokrasi Menjelajahi Teori dan Praktek Demokrasi Secara Singkat. (Terj. Zainuddin Rachman) Jakarta: Yayasan Obor

____________. 1996. On Democracy. (Penerjemah: Zainuddin Rahman). Jakarta: Yayasan Obor

Duverger, Maurice. 1983. Sosiologi Politik. Jakarta: Raja Wali Press.

Djafar, TB. Massa. 2008. “ Pilkada Dan Demokrasi Konsosiasional di Aceh” Dalam Jurnal Kajian Politik, dan Masalah Pembangunan, Jurnal Politik Volume 4/No.1/20081195

Haryanto, drs. Partai Politik Suatu Tinjauan Umum, liberty, yogyakarta, 1984.

Hadari, Nawawi ; 1981, Metode Penelitian bidang sosial. Yogyakarta ; Gama Pres Gafar, Afan. 1999. Politik Indonesia Transisi menuju demokrasi. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar.

Hamid, Ahmad Farhan. 2008. Partai Politik Lokal di Aceh. Jakarta: Kemitraan.

Jafar, Muhammad. 2009. “ Perkembangan Dan Prospek Partai Politik Lokal di Nanggroe Aceh Darussalam” (Dalam Tesis Magister Ilmu politik) Program Pascasarjana Universitas Diponegoro. Semarang.

Hasyim, Mohammad Nur. 2004. "Pemilu Legislatif 2004 di Aceh: Antara Intimidasi, Partisipasi dan Mobilisasi. (dalam Jurnal Ilmu Politik, LIPI). Tabun 2004. Vol. 1.

N0.1.

Maleong ; 1990 ; Metode Penelitian Kualitatif” Bandung. Rosda Karya.

M. Ridwan, GAM: Dari Senjata ke Kotak Suara, Banda Aceh, Aceh Institute, Hasil Penelitian, 2006

(18)

537 Peneliti LIPI, Penyelesaian Konflik Aceh: Aceh Dalam Proses Rekonstruksi dan

Rekonsiliasi. IPSK-LIPI, Jakarta, 2005.

TIM IPSK LIPI, Konflik Aceh: Faktor Penyebab dan Penyelesaian Jangka Panjang.

IPSK.

The Habibie Center, 2013:11

Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, Grasindo, Jakarta, 1992.

Reid, Anthony. Asal Mula Konflik Aceh. Yayasan Obor, Jakarta, 2005

Sulaiman, M. Isa. Aceh Merdeka: Ideologi, Kepemimpinan dan Gerakan. Jakarta, Pustaka Al- kuasar, 2000

Usman, Wiratmadinata, Dinamika Politik Aceh Pasca Perdamaian, Penerbit Engineering Press, April 2019

Sewuramoe.acehprof.go.id

SR, Mashudi. 2016. “Berebut Kursi Aceh-I. Serambi Opini. 28 Maret 2016. hlm. 18 http://www.lintasnasional.com/2016/01/09/

http://portalsatu.com/read/politik/pengamat-politik-ugm http://regional.kompas.com/read/2012/04/03/20110268/twitter.com

http://www.ppmn.or.id/partai-aceh-gerindra-dan-sepak-terjang-putra-sang-begawan-di-aceh http://rubik.okezone.com/read/5504/pilkada-aceh-damai-tanpa-konflik

https://anwariksono.wordpress.com/2006/12/26/pilkada-aceh-2006/

law.uii.ac.id

www.ms-aceh.go.id www.kompas.com

Referensi

Dokumen terkait

This research tries to find out the impact of the tax amnesty policy carried out by the Indonesian government in order to increase capital in flow in Indonesia

Pasal 78 1 Dalam hal calon meninggal dunia sejak penetapan calon sampai pada saat dimulainya hari kampanye, partai politik atau gabungan partai politik yang calonnya meninggal dunia