• Tidak ada hasil yang ditemukan

analisis faktor-faktor yang menghambat account representative

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "analisis faktor-faktor yang menghambat account representative"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MENGHAMBAT ACCOUNT REPRESENTATIVE UNTUK MENERBITKAN SURAT TAGIHAN PAJAK DALAM RANGKA MELAKSANAKAN

UNDANG- UNDANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN (STUDI KASUS PADA KPP PRATAMA BANGKO)

Imam Nurhadi Fadlil Usman

Politeknik Keuangan Negara STAN [email protected] , [email protected]

INFORMASI ARTIKEL Diterima Pertama 17-10-2017

Dinyatakan Diterima 19-01-2018

KATA KUNCI: Account Representative, STP, Undang-Undang KUP

ABSTRACT

Self Assessment Program is a program mandated by General provisions and procedures of taxation law (UU KUP) which requires Taxpayers to calculate, take into account, pay and self-report the tax payable in accordance with the provisions of the taxation legislation. The task of tax authorities, in this case the Account Representative (AR) is to ensure the fulfillment of obligations made by the Taxpayer in accordance with the provisions of applicable taxation legislation. Each Account Representative is assigned by the Head of the Tax Service Office (KPP) to supervise several Taxpayers. The number of taxpayers supervised by AR vary. They oversee the obligations of the Taxpayers through the existing taxpayer supervision system in KPP. If there is a Taxpayer who has not fulfilled his / her obligation as determined by the prevailing laws and regulations, AR shall remind them through the Tax Collection Letter (STP). In the implementation, there are still many taxpayers who do not perform their self assessment obligations correctly and not reprimanded by AR through the issuance of STP.

ABSTRAK

Program Self Assessment merupakan amanah dari Undang- Undang Tata Cara dan Ketentuan Umum Perpajakan (UU KUP) yang mewajibkan Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan jumlah pajaknya sendiri yang seharusnya terhutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Tugas fiskus, dalam hal ini Account Representative (AR) adalah memastikan apakah Wajib Pajak telah melaksanakan kewajiban perpajakannnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku, dengan merujuk pada UU KUP sebagai dasar dan ketentuan utamanya. Tiap AR diberi tugas oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) untuk mengawasi beberapa Wajib Pajak. AR mengawasi kewajiban Wajib Pajak melalui sistem yang ada pada KPP. Apabila terdapat Wajib Pajak yang belum memenuhi kewajibannya sesuai dengan yang ditentukan oleh UU KUP, maka AR punya kewajiban untuk menegur dengan menerbitkan Surat Tagihan Pajak (STP). Dalam pelaksanaan sebenarnya masih banyak Wajib Pajak yang tidak menjalankan kewajiban self assessment mereka dengan benar, dan tidak dilakukan teguran oleh AR melalui penerbitan STP.

Halaman 47

(2)

1. PENDAHULUAN

Undang-Undang nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 16 Tahun 2009, mewajibkan Wajib Pajak menghitung, memperhitungkan, dan membayar, serta melaporkan jumlah pajaknya sendiri yang seharusnya terhutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan perpajakan, sehingga penentuan penetapan besarnya pajak yang terhutang berada pada Wajib Pajak sendiri (self assessment).

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melalui petugasnya di setiap Kantor Pelayanan Pajak (KPP) mengawasi kewajiban self assessment yang perlu dilaksanakan oleh semua Wajib Pajak. Tugas pengawasan tersebut dilaksanakan oleh Account Representative (AR) yang ada dan tersebar pada seluruh KPP di Indonesia. Tiap AR diberi amanah untuk mengawasi beberapa Wajib Pajak yang telah ditunjuk oleh Kepala KPP, yang jumlahnya berbeda-beda. Mereka mengawasi kewajiban Wajib Pajak melalui sistem yang ada pada KPP. Apabila terdapat Wajib Pajak yang belum memenuhi kewajibannya sesuai dengan yang ditentukan oleh UU KUP, maka AR harus menegur mereka dengan menerbitkan Surat Tagihan Pajak (STP).

Dalam rangka penerbitan STP tersebut, banyak pertimbangan-pertimbangan yang perlu dilakukan oleh AR sehingga mereka tidak begitu saja menerbitkan STP (Tabel penerbitan STP pada lampiran 1).

Di DJP, KPP Pratama merupakan KPP yang bekerja sesuai dengan wilayah kerja masing-masing. KPP Pratama Bangko, yang merupakan tempat studi kasus, merupakan KPP Pratama yang berada di bawah Kanwil DJP Sumatera Barat dan Jambi, terletak di pedalaman daerah Jambi, dimana jarak tempuh dari Kota Jambi sendiri mencapai 6 (enam) jam perjalanan darat. KPP Pratama Bangko memiliki 4 wilayah kerja yang terdiri dari tiga (3) Kabupaten, yaitu Kabuaten Merangin, Kabupaten Sarolangun, dan Kabupaten Kerinci, serta satu (1) Kota Administrasi, yakni Kota Administrasi Sungai Penuh. KPP Pratama Bangko, dengan wilayah kerja seluas itu, dalam kisaran 5 tahun belakang hanya memiliki pegawai 50-70 orang. Saat ini, jumlah pegawai atau fiskus yang berstatus Pegawai Negeri Sipil berjumlah 74 (tujuh puluh empat) orang.

Diantara KPP Pratama yang berada di wilayah Kanwil DJP Sumatera Barat dan Jambi, KPP Pratama Bangko merupakan KPP Pratama yang memiliki pegawai yang paling sedikit. Kerangka penelitian yang digunakan dalam penelitian ini berhubungan dengan UU KUP, AR, dan Wajib Pajak, berikut gambarannya:

Gambar I Kerangka Penelitian

Sumber: diolah penulis

Penelitian difokuskan pada permasalahan- permasalahan yang terjadi ketika AR tidak menerbitkan STP kepada Wajib Pajak yang tidak menjalankan kewajiban self assessment-nya dengan baik (grafik kepatuhan Wajib Pajak pada lampiran 2)..

Sukandarrumidi (2006,125) menyatakan bahwa dalam menemukan masalah untuk diteliti, maka seorang peneliti harus mampu menjawab pertanyaan- pertanyaan seperti: apa, siapa, bilamana (kapan), dimana, mengapa, dan bagaimana. Pertanyaan penelitian yang akan dijawab diantaranya:

1. Apa saja faktor yang menghambat AR dalam melakukan pengawasan terhadap Wajib Pajak pajak, terutama dalam penerbitan STP bagi wajib pajak yang belum melaksanakan kewajiban pajaknya seperti yang diatur UU KUP?

2. Mengapa permasalahan pelaksanaan pengawasan Wajib Pajak berupa penerbitan STP oleh AR bisa terjadi?

3. Kelompok Wajib Pajak mana yang menjadi prioritas pengawasan AR terkait penerbitan STP?

4. Kapan permasalahan pelaksanaan pengawasan Wajib Pajak berupa penerbitan STP oleh AR terjadi?

5. Bagaimana permasalahan pelaksanaan pengawasan Wajib Pajak berupa penerbitan STP disikapi dan ditanggapi oleh AR?

1. LANDASAN TEORI

Pasal 1 UU KUP, menyebutkan bahwa STP adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi administrasi berupa bunga dan/atau denda. STP mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan surat ketetapan pajak. Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan STP apabila:

1. Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar, yang biasanya ketentuan ini terdapat pada Wajib Pajak yang memiliki kewajiban mengangsur Pajak Penghasilan Pasal 25 yang sudah jelas perhitungannya;

2. Dari hasil penelitian terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis dan/atau salah hitung, kesalahan tersebut dapat ditagih kekurangan pajaknya dan tidak akan menimbulkan perdebatan;

3. 3. Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda dan/atau bunga, yang biasanya dikenakan pada Wajib Pajak yang tidak atau terlambat melakukan pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT)

(3)

atau juga karena terlambat dalam melakukan kewajiban pembayaran pajaknya;

4. Wajib Pajak yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, tetapi tidak membuat faktur pajak atau membuat faktur pajak, tetapi tidak tepat waktu;

5. Wajib Pajak yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak yang tidak mengisi faktur pajak secara lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya, selain:

a. identitas pembeli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) huruf b Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya;

atau

b. identitas pembeli serta nama dan tandatangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) huruf b dan huruf g Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya, dalam hal penyerahan dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak pedagang eceran;

6. Wajib Pajak yang melaporkan faktur pajak tidak sesuai dengan masa penerbitan faktur paja; atau 7. Wajib pajak yang merupakan Pengusaha Kena

Pajak yang gagal berproduksi dan telah diberikan pengembalian Pajak Masukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (6a) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya.

Pengusulan penerbitan STP dilakukan oleh AR sebagai fiskus yang bertugas mengawasi kewajiban perpajakan yang dilakukan oleh Wajib Pajak di Kantor Pelayanan Pajak setempat (SOP Tata Cara Penerbitan Surat Tagihan Pajak revisi pertama nomor KPP70- 0063 tanggal 30 Desember 2010). Penjelasan Pasal 6 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 145/PMK.03/2012 tentang Tata Cara Penerbitan Surat Ketetapan Pajak dan Surat Tagihan Pajak bahwa Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan STP untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak 2007 dan sebelumnya dalam hal:

1. Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar;

2. Dari hasil penelitian Surat Pemberitahuan terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis dan/atau salah hitung;

3. Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda dan/atau bunga;

4. Pengusaha yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-Undang PPN tetapi tidak melaporkan kegiatan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;

5. Pengusaha yang tidak dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tetapi membuat Faktur Pajak; atau

6. Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tidakmembuat Faktur Pajak atau membuat Faktur Pajak tetapi tidak tepat waktu atau tidak mengisi selengkapnya Faktur Pajak.

3. METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif.

Creswell (2014, 59) menyatakan, penelitian kualitatif adalah penelitian yang dimulai dengan asumsi dan menggunakan kerangka penafsiran/teoritis Yang membentuk atau mempengaruhi studi tentang permasalahan riset yang terkait dengan makna yang dikenakan oleh individu atau kelompok pada suatu permasalahan sosial atau manusia.

Penelitian ini juga menggunakan strategi penelitian studi kasus. Creswell (2014, 135) mendefinisikan penelitian studi kasus sebagai pendekatan kualitatif yang penelitiannya mengeksplorasi kehidupan nyata, sistem terbatas kontemporer (kasus) atau beragam sistem terbatas (berbagai kasus). Melalui pengumpulan data yang detail dan mendalam yang melibatkan beraga sumber informasi atau sumber informasi majemuk (misalnya, pengamatan, wawancara, bahan audiovisual, dan dokumen dan berbagai laporan) dan melaporkan deskripsi kasus dan tema kasus. Penelitian kualitatif studi kasus digunakan oleh penulis disebabkan permasalahan yang dibahas merupakan penerapan atas pengawasan kepada Wajib Pajak berupa penerbitan STP dalam rangka pelaksanaan UU KUP yang berlaku secara nasional.

Data utama/primer yang akan digunakan adalah yang diperoleh dari sumber asli atau sumber pertama, yaitu berupa hasil wawancara.

Dalam mengolah data penelitian ini, penulis menggunakan 6 langkah dalam menganalisis dan menginterpretasikan data sebagaimana yang dijelaskan oleh Creswell (2014), yaitu meliputi langkah- langkah sebagai berikut:

1. menyiapkan dan mengorganisir data untuk dianalisis

2. mengeksplorasi dan meng-coding data

3. coding untuk membuat deskripsi dankata dasar 4. merepresentasikan dan melampirkan temuan 5. menginterpretasikan temuan

6. memvalidasi keakuratan temuan.

Dalam menguji keabsahan data, penelitian ini menggunakan metode triangulasi. Norman K. Denzin (2009) mendefinisikan triangulasi sebagai gabungan atau kombinasi berbagai metode yang dipakai untuk mengkaji fenomena yang saling terkait dari sudut pandang dan perspektif yang berbeda. Menurutnya, triangulasi meliputi empat hal, yaitu triangulasi metode, triangulasi antar-peneliti (jika penelitian dilakukan dengan kelompok), triangulasi sumber data, dan triangulasi teori. Penelitian ini akan menggunakan triangulasi sumber data yang akan didapatkan dari hasil wawancara berbagai sumber, diantaranya AR, Kepala Kantor, Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi, serta Pegawai Direktorat Peraturan Perpajakan I.

4. PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN

4.1. Gambaran Objek Penelitian

Objek penelitian ini adalah AR pada KPP Pratama Bangko. KPP Pratama Bangko merupakan kantor dengan jenjang Eselon III, yang berada di bawah Eselon

(4)

II Kantor Wilayah DJP Sumatera Barat dan Jambi. KPP Pratama Bangko terletak di Jl. Jend. Sudirman KM. 2, Bangko, Merangin, Jambi, Indonesia dengan hotline nomor telepon (0746) 21100 – 21444. Dalam mengemban tugasnya di wilayah kerja yang sangat luas, KPP Pratama Bangko dibantu oleh dua (2) Kantor Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP), yakni KP2KP Sarolangun yang terletak di Kabupaten Sarolangun dan KP2KP Sungai Penuh yang letaknya di Kota Administrasi Sungai Penuh.

Sebagian besar pekerjaan AR pada KPP Pratama Bangko berhubungan dengan Wajib Pajak Bendaharawan Pemerintah. Wajib Pajak Bendaharawan Pemerintah merupakan Wajib Pajak yang sangat dominan dan memiliki potensi di KPP Pratama Bangko. Penerimaan pajak dari Wajib Pajak Bendaharawan Pemerintah sebesar 60-70% dari total penerimaan pajak di KPP Pratama Bangko. Besarnya kontribusi penerimaan pajak dari Wajib Pajak Bendaharawan Pemerintah di KPP Pratama Bangko mengakibatkan kegiatan utama yang berlangsung di KPP Pratama Bangko juga berhubungan langsung dengan Wajib Pajak Bendaharawan Pemerintah.

Pengawasan atas Wajib Pajak Bendaharawan Pemerintah sendiri bisa dibilang sederhana karena Wajib Pajak Bendaharawan Pemerintah hanya berkewajiban melaporkan SPT Masa saja. Fokus pekerjaan terkait penerbitan STP di KPP Pratama Bangko adalah seputar kewajiban penyetoran dan pelaporan SPT Masa, yakni STP Pasal 7, Pasal 8, dan Pasal 9 UU KUP. Pasal 7 merupakan pengenaan sanksi administrasi atas terlambat atau tidak disampaikannya Surat Pemberitahuan baik Masa ataupun Tahunan.

Pasal 8 merupakan pengenaan sanksi bunga atas pembetulan SPT baik Masa atau Tahunan yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar sehingga terdapat keterlambatan atas setoran pajak yang kurang. Pasal 9 merupakan pengenaan sanksi bunga atas terlambat atau tidak dibayar dan disetornya utang pajak yang tertera dalam UU KUP. STP-STP pada pasal-pasal tersebut merupakan STP-STP yang dianggap pekerjaan rutin.

Gambar KPP Pratama Bangko

Sumber: image.slidesharecdn.com 4.2. Permasalahan Penerbitan STP

Dari penelitian yang dilakukan dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Faktor-faktor yang menghambat penerbitan STP oleh AR.

a. Data yang digunakan untuk dasar penerbitan STP masih kurang akurat.

Data permulaan yang diperlukan mencakup:

1) Data penyetoran pajak

Data-data yang disediakan oleh sistem dan aplikasi yang ada hanyalah merupakan data trigger. Banyak kekeliruan yang terjadi sehingga harus dilakukan pengecekan dengan cermat. Kekeliruan yang terjadi bisa beragam, antara lain kekeliruan penyetoran pajak.

2) Data status Wajib Pajak

Database Wajib Pajak yang dimiliki KPP perlu dilakukan cleansing (pembersihan) data terlebih dahulu.

3) Data pelaporan SPT sering terlambat

b. Pengenaan denda dan ancaman penegakkan hukum pajak lainnya kurang digubris oleh Wajib Pajak.

Kesadaran Wajib Pajak atas kewajiban perpajakan yang harus dilakukannya, terutama di KPP Pratama yang memiliki wilayah yang luas dan jumlah fiskusnya yang relatif sedikit, masih rendah. Dengan wilayah yang luas, kunjungan kerja atau visit tidak bisa dilakukan secara menyeluruh, baik kunjungan dalam rangka melakukan sosialisasi, ataupun dalam rangka melakukan penggalian potensi perpajakan.

Kurang sadarnya Wajib Pajak terhadap kewajiban perpajakannya menjadi masalah tersendiri. Sosialisasi yang dilakukan kurang efektif karena penegakkan hukum atas peraturan perpajakan belum bisa dilakukan secara merata.

c. Waktu yang dapat digunakan oleh AR untuk menerbitkan STP sangat sedikit.

Jika dibandingkan dengan jumlah pekerjaan AR yang ada, serta kesibukan dalam rangka menjalankan tugas sebagai fiskus menjadi alasan tersendiri mengapa STP tidak bisa dilakukan penerbitannya oleh AR secara merata dan keseluruhan.

d. Aplikasi yang digunakan untuk menerbitkan STP belum terintegrasi dengan baik.

Pelaksanaan penerbitan STP melalui aplikasi yang sudah ada yaitu Sistem Informasi Direktorat Jenderal Pajak (selanjutnya disebut SIDJP). Setelah dilakukan perekaman melalui SIDJP, STP tersebut muncul pada aplikasi SIDJP di Seksi Penagihan yang selanjutnya diterbitkan STP. Jika STP tidak bayar oleh Wajib Pajak, Seksi Penagihan akan melakukan penagihan.

e. Jaringan sering bermasalah.

Para sering mengalami masalah pada jaringan terutama pada siang hari, yakni ketika saat penggunaan aplikasi SIDJP sedang banyak- banyaknya. Jaringan juga sering dilakukan perbaikan, baik maintenance oleh Kanwil, oleh Kantor Pusat DJP, maupun oleh KPP sendiri, yang mengakibatkan pekerjaan menjadi

(5)

terhambat. Permasalahan tersebut sering terjadi karena salah satu penyebabnya adalah pasokan listrik yang masih belum stabil.

f. Penerbitan STP, bukan merupakan tugas utama AR.

Tugas AR tidak hanya menerbitkan STP saja.

Menerbitkan STP bukanlah prioritas utama AR.

Yang menjadi target utama AR adalah mengejar target penerimaan pajak. Target penerimaan pajak dicapai melalui penggalian potensi Wajib Pajak.

g. Jumlah AR masih kurang.

Permasalahan ini merupakan permasalahan yang juga terjadi secara nasional. Sebagai AR, tidak hanya membutuhkan kerja keras, tetapi juga membutuhkan kerja cerdas. Secara kuantitas sumberdaya AR masih sangat kurang, apalagi dengan jumlah Wajib Pajak yang lebih dari 5.000.

2. Mengapa STP terhambat penerbitannya.

a. Otomasi data pelaporan SPT, baik Masa maupun Tahunan, yang mumpuni yang mempermudah proses penerbitan STP bagi yang telat atau tidak melapor SPT belum tersedia.

Sesuai dengan SOP nomor KPP70-0063 tanggal 30 Desember 2010, otomasi ini seharusnya sudah ada dan tersedia. Otomiasi ini membantu. Bila otomasi data pelaporan ada, AR bisa langsung mengajukan nota penghitungan kepada atasannya dan melakukan perekaman di SIDJP untuk menerbitkan STP.

b. Masyarakat memiliki sifat kurang peduli terhadap pajak.

Kepedulian masyarakat, terutama di daerah apalagi yang terpencil memang sangat kurang sekali terhadap pajak. Mereka yang jauh dari Kota, kurang dan bahkan tidak pernah merasakan fasilitas-fasilitas yang disediakan oleh pemerintah akan merasa bahwa pajak tidak ada gunanya buat mereka.

Banyak Wajib Pajak Bendaharawan yang kurang peduli kepada pajak, walaupun sudah dihimbau beberapa kali. Kesadaran masyarakat akan pentingnya pajak masih kurang.

Pengenaan denda dan ancaman penegakkan denda perlu dilakukan secara merata dan tepat.

c. Pekerjaan yang dilakukan oleh AR sangatlah banyak.

Tugas utama berupa menggali potensi perpajakan dalam rangka mencapai target penerimaan pajak menjadi kesibukan yang harus dilaksanakan oleh AR. Ada pula sosialisasi ke lapangan, konsultasi Wajib Pajak, kunjungan kerja, dan lain-lain merupakan kegiatan- kegiatan mereka dalam rangka penggalian potensi perpajakan.

d. Jumlah Wajib Pajak yang diawasi sangatlah banyak.

Jumlah Wajib Pajak KPP Pratama Bangko sebanyak 104 ribu, dan yang efektif (berkewajiban Pajaknya) adalah 84 ribu. Jika

dilakukan pembagian secara merata maka pembagiannya adalah sekitar 5.000 lebih Wajib Pajak yang dilakukan pengawasan oleh setiap AR. Cukup banyaknya jumlah Wajib Pajak yang diawasi oleh AR menjadi permasalahan di KPP Pratama yang terletak di daerah terpencil seperti KPP Pratama Bangko.

e. Belum tersedianya data otomatis dari aplikasi untuk mempermudah dalam proses pengajuan penerbitan STP

Ketersediaan data yang akurat dan pasti menjadi permasalahan penerbitan STP yang tidak bisa dihindari. Sesuai SOP nomor KPP-70- 0063 tanggal 30 Desember 2010, data yang mendasari untuk penerbitan STP seharusnya sudah tersedia tanpa perlu dicari lagi.

Dari sistem yang ada diharapkan tersedia peringatan atau notifikasi atas Wajib Pajak yang perlu diterbitkan STP, sehingga tidak perlu susah- susah mencari-cari data.

f. Jaringan di siang hari sangatlah sibuk.

Permasalahan jaringan menjadi lebih kompleks lagi apabila hal ini terjadi di daerah, terutama daerah terpencil. Selain sama-sama sibuknya jaringan pada siang hari karena semua menggunakan, di daerah juga terdapat permasalahan jaringan listrik yang berbeda dengan di perkotaan, yaitu masih sering mati dan bahkan dalam waktu yang lama.

Sibuknya jaringan pada siang hari dan bahkan terkadang error, menjadi permasalahan yang biasa terjadi di KPP seluruh Indonesia.

Permasalahan jaringan bukanlah permasalahan yang bisa diselesaikan secara cepat dan seketika, tetapi harus secara bertahap dan perlahan karena pastinya membutuhkan dana dan sumber daya yang tidak murah.

g. Mengejar target penerimaan pajak adalah prioritas kerja AR.

Target penerimaan pajak yang tinggi dan semakin tinggi tiap tahunnya, menjadi dilema bagi Direktorat Jenderal Pajak, termasuk para AR di KPP Pratama. Hal ini menjadi prioritas utama pekerjaan mereka, karena juga merupakan target utama kinerja DJP secara keseluruhan target ini dicapai dengan penggalian potensi perpajakan.

h. AR masih kurang bisa dalam mengatur atau memanage waktunya dalam mengerjakan pekerjaan sehari-hari

Dominasi tugas AR di KPP Pratama Bangko terletak pada penggalian potensi dan konsultasi kepada Wajib Pajak. Para atasan mereka juga bisa memaklumi akan hal ini. Tugas lainnya seperti sosialisasi, kunjunga kerja, dan membuat laporan-laporan, juga menjadi tugas- tugas yang tidak lepas dari kegiatan-kegiatan utama AR dalam menjalankan tugas dan fungsinya.

3. Kelompok Wajib Pajak yang menjadi prioritas pengawasan AR dalam rangka penerbitan STP.

a. Wajib Pajak Bendahara

(6)

60-70% penerimaan KPP Pratama Bangko dari bendahara. Wajib Pajak Bendahara agak sulit untuk dapat melaksanakan kewajiban perpajakannya. Dalam memilih Wajib Pajak yang akan diterbitkan STP, Wajib Pajak Bendaharawan menjadi prioritas yang terakhir karena menganggap memberikan STP kepada Wajib Pajak Bendaharawan menimbulkan rasa sungkan kepada para AR. Namun terdapat dilema lain jika tidak diterbitkan STP, maka yang selanjutnya akan melakukan teguran kepada KPP Pratama adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Wajib Pajak Bendaharawan sering berganti, sehingga transfer knowledge yang seharusnya dilakukan oleh pegawai senior kepada yang lebih muda dapat berjalan dengan baik dan pelaporan pajaknya bisa terlihat. Sebagian besar dari mereka melupakan kewajiban perpajakan berupa pelaporan SPT, yakni SPT Masa, yang harus mereka lakukan pelaporannya tiap bulan. Dalam tahun 2016 sudah ditandatangani kurang lebih 2.000 (dua ribu) buah surat teguran untuk Wajib Pajak Bendahara. Penandatanganan ini bertujuan agar para AR segera dapat menyampaikan STP kepada para Bendahara.

b. Wajib Pajak Non Profit

Wajib Pajak non profit seperti Wajib Pajak Yayasan, Taman Kanak-Kanak TK), Paud, Lembaga Adat, termasuk Wajib Pajak yang sudah tidak melakukan usaha lagi menjadi Wajib Pajak yang termasuk tidak diterbitkan STP.

Hal ini bisa jadi karena dengan alasan mereka tidak ada dana, tidak melakukan usaha, dan lain-lain, sehingga AR enggan untuk menerbitkan STP terhadap pelanggaran kewajiban perpajakan mereka. Kebanyakan dari Wajib Pajak non profit hanyalah membutuhkan NPWP saja untuk kebutuhan tertentu dan tidak mau menjalankan kewajiban perpajakannya.

Dan itu terjadi pada hampir semua Wajib Pajak non profit, karena mereka menganggap kewajiban perpajakan dengan sebelah mata.

Padahal sosialisasi selalu dilakukan, dan bahkan ketika mereka baru memiliki NPWP itu sendiri sosialisasi mengenai kewajiban perpajakan kepada Wajib Pajak baru selalu dilakukan di KPP Pratama Bangko.

c. Wajib Pajak Orang Pribadi

Untuk tahun 2016 masih belum menerbitkan STP kepada Wajib Pajak Orang Pribadi Karyawan. Mereka masih dianggap sama dengan Wajib Pajak Bendaharawan karena sampai saat ini pendekatan secara persuasif masih terus dilakukan melalui sosialisasi, kunjungan kerja, dan lain- lain.

Wajib Pajak Orang Pribadi yang dipermasalahkan adalah Wajib Pajak yang hanya berkewajiban SPT Tahunan saja, yakni karyawan dan pegawai, termasuk buruh serta

pensiunan yang tentu sudah memiliki NPWP dan masih menerima penghasilan dan bukti pemotongan penghasilan mereka dari pemberi kerja. Permasalahan mereka selain alamat yang susah dicari seperti penjelasan sebelumnya di atas, juga kurang peduli terhadap kewajiban perpajakan. Bahkan diantara mereka ada yang mempertanyakan, ‘untuk apa lapor-lapor pajak, nantinya pun kita tidak mendapatkan apa-apa’.

4. Kondisi yang menghambat AR untuk menerbitkan STP.

a. Pada saat AR sedang sibuk melakukan penggalian potensi.

Menurut Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi II, mengejar target penerimaan yang dianggapnya ‘aduhai’ itu adalah usaha yang sangat keras, yang memerlukan fokus dari otak dan pikiran.

Penggalian potensi perpajakan dalam rangka mencapai target penerimaan pajak menjadi pekerjaan yang diutamakan dalam menjalankan tugas pokok dan fungsi AR. Sehingga dengan adanya kegiatan penggalian potensi, kegiatan lainnya seperti konsultasi, kunjungan kerja, dan yang lainnya termasuk penerbitan STP menjadi agak dikesampingkan. Padahal penerbitan STP sendiri merupakan amanah dari UU KUP, yang harusnya bisa dijalankan dengan baik oleh Wajib Pajak dan fiskus, agar supremasi hukum perpajakan bisa ditegakkan secara merata dan berasas Keadilan.

b. Pada saat Wajib Pajak yang datang untuk berkonsultasi banyak

Para AR beranggapan bahwa waktu yang tersedia untuk dapat menerbitkan STP sangatlah sempit jika bimbingan atau konsultasi berlangsung terus. Pendapat AR lainnya, adalah ketika melakukan penerbitan STP terdapat Wajib Pajak datang untuk berkonsultasi, yang terjadi adalah campur aduk dalam pekerjaan.

Ada AR yang berpendapat bahwa pemberian konsultasi hanya sibuk terjadi ketika musim pelaporan SPT Tahunan, yaitu hingga April di awal tahun. Hal ini terjadi karena AR fokus pada pemberian bimbingan teknis kepada pelapor SPT Tahunan. Konsultasi terhadap Wajib Pajak di KPP Pratama Bangko juga merupakan aktivitas yang biasa, dan menjadi sangat banyak ketika akhir tahun. Seperti ketika penulis datang ke KPP Pratama Bangko dalam rangka melakukan wawancara penelitian pada tanggal 19 Desember 2016, Wajib Pajak yang datang untuk berkonsultasi kepada AR tidak berhenti dari pagi hingga sore, terutama Wajib Pajak Bendahara Pemerintah. Kebanyakan dari mereka berkonsultasi mengenai aplikasi ID Billing untuk melakukan pembayaran perpajakan.

c. Pada saat jaringan bermasalah.

(7)

Dalam keadaan jaringan bermasalah, maka tidak ada yang bisa dilakukan oleh AR untuk menjalankan tugas pokok dan fungsinya dengan baik, karena mereka juga bergantung kepada jaringan untuk dapat membuka aplikasi- aplikasi yang mereka butuhkan. Aplikasi SIDJP yang merupakan aplikasi sentral bagi DJP, apabila error ataupun tersendat, maka semua pekerjaan berupa pelaksanaan pengawasan Wajib Pajak bisa berhenti juga, karena memang tidak bisa dilakukan secara manual.

5. Cara AR mengatasi permasalahan.

a. Membuat prioritas Wajib Pajak yang akan diterbitkan STP.

Diprioritaskan 150 Wajib Pajak besar untuk dapat dilakukan penggalian potensi, maka termasuk ke dalamnya penerbitan STP akan berjalan bagus. Diharapkan dengan ini saja target penerimaan pajak pada tahun yang bersangkutan bisa dicapai, menurut prediksi Kepala KPP Pratama Bangko.

Pengurutan prioritas Wajib Pajak untuk diterbitkan oleh AR adalah Wajib Pajak Badan, usahawan, dan Orang Pribadi. Sedangkan sekarang Wajib Pajak Bendaharawan akan masuk hitungan khusus yang besar- besar.

Sedangkan secara keseluruhan ketegasan kepada bendahara untuk dapat diterbitkan STPnya dilakukan pada tahun 2017.

Bagi AR karena memang hal ini adalah perintah dari atasan, maka mau tidak mau harus menjalankan. Dalam pengelompokkan Wajib Pajak ada yang menggunakan istilah grade, ring, kategori 30 besar, dan pengelompokkan lainnya.

Skala prioritas Wajib Pajak yang dibuat dalam menentukan keutamaan Wajib Pajak tertentu untuk dapat diterbitkan STP, menjadi hal yang penting untuk dilakukan, mengingat Wajib Pajak yang diawasi sangatlah banyak. Apabila bisa diawasi masing-masing AR Wajib Pajak 150 besarnya, maka dengan ini saja bisa diprediksi target penerimaan bisa dicapai. Namun permasalahannya adalah pemerataan pelaksanaan hukum perpajakan yang berasaskan Keadilan belum bisa dijalankan dengan baik.

b. Menerbitkan STP yang nilainya lebih besar.

Kategori denda Rp100.000,00 (denda Pasal 7) agak diremehkan oleh AR karena jaraknya sangat jauh sekali. Terdapat ketidakberanian AR untuk menerbitkan STP di bidang Pajak Pertambahan Nilai (PPN), karena dikhawatirkan akan terjadi lebih bayar. AR sendiri memiliki perbedaan dalam menentukan STP yang nilainya lebih tinggi untuk dikenakan, diantaranya Wajib Pajak Potensial, Wajib Pajak Bendahara dengan setoran terbesar, Wajib Pajak besar dengan setoran pajak yang besar juga, dan lain-lain. Selain penerbitan STP dapat terlaksana dengan baik, dengan melakukan penerbitan STP dengan nilai yang

lebih besar, penggalian potensi juga terlaksana.

Hal ini perlu dilakukan mengingat pencapaian target penerimaan pajak yang sangat tinggi.

Begitulah yang bisa digambarkan apabila STP diterbitkan dapat diketahui nilai-nilainya yang besar-besar. Yang pasti ini bukanlah STP Pasal 7 UU KUP yang dikenakan atas keterlambatan atau tidak dilaporkannya SPT oleh Wajib Pajak, dimana memiliki sanksi administrasi yang jumlahnya relatif kecil. Apabila tebang pilih seperti ini secara terus-menerus dilakukan maka pelaksanaan UU KUP bisa dikatakan belum adil dan merata.

c. Mengerjakan penerbitan STP di malam hari.

Mengerjakan penerbitan STP di malam hari adalah inisiatif tersendiri dari para AR. Dan tentu saja mereka mendapakan apresiasi yang lebih dari atasan mereka.

Bagi AR mengerjakan penerbitan STP di malam hari bertujuan agar menghindari traffic dari sistem yang sangat padat pada siang hari. Selain itu, mereka juga menganggapnya sebagai sesuatu yang tidak perlu dipaksakan karena mereka senang-senang saja bekerja sambal menghilangkan stress mereka di siang hari.

Melakukan pekerjaan di malam hari adalah salah satu solusi atas sibuknya permasalahan jaringan yang menjadi sibuk pada siang hari.

Selain itu, kegiatan seperti sosialisasi dan konsultasi juga tidak terganggu. Apalagi pekerjaan ini dilakukan di KPP Pratama yang letaknya di daerah yang bebas dari masalah transportasi, yakni kemacetan seperti di Jakarta, maka bisa dikatakan tidak mengganggu waktu pribadi. Apalagi kebanyakan pegawai adalah orang yang bukan ber-homebase di Bangko sendiri, maka bekerja pada malam hari bukanlah masalah yang berarti. Terlepas dari dihitung atau tidaknya waktu kerja lembur atas pekerjaan penerbitan STP yang dilakukan pada malam hari, solusi ini akan semakin menambah jumlah STP yang diterbitkan, sehingga bisa melaksanakan asas Keadilan dalam hukum perpajakan secara sedikit demi sedikit.

d. Menjadikan waktu-waktu tertentu sebagai waktu penerbitan STP

Disediakan waktu-waktu tertentu untuk dapat fokus pada penerbitan STP, seperti lima (5) hari awal bulan. Agar fokus pada STP setiap tiga (3) bulan sekali agar pekerjaan lain bisa fokus terlebih dahulu, namun data untuk penerbitan STP sambal dikumpulkan. Agar menerbitkan STP tiap hari Selasa atau Kamis.

Bagi AR, waktu-waktu tertentu yang dimaksud adalah berbeda-beda. Ada yang semangat mengerjakan setiap hari dengan target 10-20 STP, pada malam hari, pada hari Sabtu dan Minggu, serta waktu lainnya. Menjadikan waktu-waktu tertentu untuk melakukan kegiatan penerbitan STP adalah salah satu pilihan yang tepat. Apabila dilakukan secara serentak, misalnya dalam 5 hari pertama

(8)

dalam sebulan, maka nantinya akan terlihat mana diantara para fiskus yang memiliki kinerja penerbitan STP yang bagus dan yang tidak.

Solusi seperti ini diperlukan mengingat banyaknya pekerjaan yang harus dilakukan dan juga jumlah Wajib Pajak yang dilakukan pengawasan juga sangat banyak.

5. KESIMPULAN DAN SARAN

Penelitian yang dilakukan di KPP Pratama Bangko dilakukan untuk menganalisis apa yang menjadi permasalahan AR dalam menerbitkan STP. Berikut kesimpulan hasil penelitian yang bisa diambil:

1. Faktor-faktor yang menghambat penerbitan STP:

a. Data yang digunakan untuk dasar penerbitan STP masih kurang akurat.

b. Pengenaan denda dan ancaman penegakkan hukum pajak lainnya kurang digubris oleh Wajib Pajak.

c. Waktu yang digunakan oleh AR untuk menerbitkan STP sangat sedikit jika dibandingkan dengan pelaksanaan pekerjaan AR lainnya.

d. Aplikasi yang digunakan untuk menerbitkan STP belum terintegrasi dengan baik.

e. Jaringan sering bermasalah.

f. Menerbitkan STP bukanlah pekerjaan utama dan prioritas bagi AR.

g. Jumlah AR yang ada masih kurang dibanding Wajib Pajak yang harus dilayani.

2. Penyebabkan STP terhambat penerbitannya yaitu:

a. Otomasi data pelaporan SPT, baik Masa maupun Tahunan, yang mumpuni yang dapat mempermudah proses penerbitan STP bagi yang terlambat atau tidak melapor SPT belum tersedia.

b. Masyarakat kurang peduli terhadap pajak.

c. Pekerjaan yang dilakukan oleh AR sangatlah banyak.

d. Jumlah Wajib Pajak yang diawasi sangatlah banyak

e. Belum tersedianya aplikasi yang dapat mempermudah proses penerbitan STP.

f. Jaringan di siang hari sangatlah sibuk.

g. Mengejar target penerimaan pajak adalah prioritas kerja AR.

h. AR masih kurang bisa dalam mengatur atau memanage waktunya dalam mengerjakan pekerjaan sehari-hari

3. Kelompok Wajib Pajak yang memiliki permasalahan untuk diterbitkan STP oleh AR:

a. Wajib Pajak Bendahara b. Wajib Pajak Non Profit c. Wajib Pajak Orang Pribadi

4. Waktu-waktu yang menghambat AR menerbitkan STP:

a. Pada saat sibuk menggali potensi pajak.

b. Pada saat banyaknya Wajib Pajak yang datang untuk berkonsultasi

c. Pada saat jaringan bermasalah.

5. Cara AR mengatasi permasalahan penerbitan STP:

a. Membuat prioritas Wajib Pajak yang akan diterbitkan STP.

b. Memprioritaskan STP yang nilainya besar.

c. Memproses penerbitan STP di malam hari.

d. Menjadikan waktu-waktu tertentu sebagai waktu penerbitan STP.

Saran kepada Kantor Pusat DJP sebagai pembuat kebijakan agar penerbitan STP yang dilakukan oleh AR bisa dilakukan dengan baik, diantaranya:

1. Membuat peraturan pelaksanaan penerbitan STP, seperti Peraturan atau Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak, yang di dalamnya mengatur waktu- waktu penerbitan STP, cara penghitungan yang baku, dan lain-lain agar penerapannya dapat seragam di seluruh KPP di Indonesia.

2. Mengingat kemajuan iptek yang hampir merata di seluruh wilayah Indonesia, serta adanya dukungan Undang-Undang tentang ITE, DJP perlu membuat peraturan STP elektronik.

3. Melakukan kerjasama dengan instansi yang mengelola data kependudukan agar data yang ada di kartu identitas sama dan selalu up to date dengan perubahan yang dilakukan oleh Wajib Pajak.

4. Mengadakan sistem aplikasi yang bisa menyambungkan antara data penyetoran pajak dan data pelaporan SPT agar proses pengajuan penerbitan STP bisa lebih mudah, termasuk dalam mendapatkan data trigger-nya. Dengan adanya aplikasi yang mudah digunakan untuk menerbitkan STP, maka masalah yang akan muncul hanya masalah teknis saja, seperti permasalahan mengenai jaringan yang macet atau sedang perbaikan.

5. Memotivasi AR secara berkala agar mereka mau meningkatkan kualitas kerja yang mereka lakukan.

Selama ini lomba pelaksana terbaik (termasuk AR) sudah rutin dilakukan tiap tahun, yang di dalamnya juga bermaksud menambah motivasi mereka. Yang perlu ditambah adalah motivasi di tiap KPP unit masing-masing dimana sejauh ini sangat jarang sekali dilaksanakan.

6. Meningkatkan pengawasan kinerja AR pada tingkat KPP, Kantor Wilayah, dan Kantor Pusat.

6. KETERBATASAN

Penelitian ini disusun dengan memperhatikan kondisi pelayanan AR yang ada di KPP Pratama Bangko, yang mana unit lain bisa mempunyai kondisi dan permasalahan yang berbeda. Penggeneralisiran permasalahan mungkin bisa dilakukan kepada KPP yang memiliki kondisi dan permasalahan yang sama, namun tentunya akan ada permasalahan yang berbeda yang tidak diuraikan dalam penelitian ini.

(9)

DAFTAR PUSTAKA (REFERENCES)

Daftar Buku

Creswell, John W. 2012 Rearch Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar.

_____2014. Penelitian Kualitatif & Desain Riset.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

K. Denzin, Norman dan Yvonna S. Lincoln. 2009.

Handbook Of Qualitative Reserch. Bandung:

Pustaka Pelajar.

Mardiasmo. 2011. Perpajakan Edisi Revisi 2011.

Yogyakarta: Andi.

Sukandarrumudi. 2006. Metodologi Penelitian:

Petunjuk Praktis Untuk Peneliti Pemula.

Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Daftar Jurnal dan Artikel

Antara News. 2012. KY : tujuh faktor sebabkan

penegakan hukum lemah.

http://www.antaranews.com/berita/297354/ky-- tujuh-faktor-sebabkan-penegakan-hukum-lemah.

(diakses pada 5 Januari 2017).

Gumilar, Soni Sunardi. Analisis Kinerja Account Representative Pengaruhnya Terhadap Kualitas Pemeriksaan Pajak Pada Kpp Pratama Di Wilayah Kota Bandung. Universitas Komputer Indonesia.

Juwono, Hikmahanto. 2006. Penegakkan Hukum Dalam Kajian Law And Development:Problem Dan Fundamen Bagi Solusi Di Indonesia. Jakarta: Varia Peradilan No. 244.

Prasetyo, Donny Heru. 2016. Analisis Pengaruh Motivasi Berprestasi, Motivasi Berafiliasi, Motivasi Kekuasaan Terhadap Kinerja Pegawai Dengan Kepuasan Kerja Sebagai Variabel Intervening Pada Kpp Pratama Sleman. Yogyakarta: Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Suhardin, Yohanes. 2009. Fenomena Mengabaikan Keadilan Dalam Penegakkan Hukum. Kumpulan Jurnal: Mimbar Hukum Volume 21, Nomor 2, Juni 2009, Halaman 203-408.

Wulan, Retno. Pengaruh Penegakan Hukum Pajak Dan Self Assessment System Terhadap Kepatuhan Perpajakan (Survei Wajib Pajak Orang Pribadi Kpp Bandung Karees). Universitas Komputer Indonesia.

Website

Gambar Kpp Pratama Bangko. 2017.

Http://Image.Slidesharecdn.Com/Multi Media- 131221005201-Phpapp01/95/ Powerpoint-Photo- Unik-Bangko-Muhammad-Mohkhoirun-9-

638.Jpg?Cb=1387587174. (Diakses Pada 5 Januari 2017).

Peraturan

DJP. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER - 21/PJ/2015 tentang Pelaksanaan Tugas Dan Fungsi Seksi Ekstensifikasi dan Penyuluhan.

DJP. Standard Operating Proscedures (SOP) mengenai Tata Cara Penerbitan STP revisi pertama nomor KPP70-0063.

Direktur Jenderal Pajak. Surat Nomor S–

411/PJ.02/2016 tanggal 2 Mei 2016 tentang Penegasan Penerbitan STP.

Kementerian Keuangan. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 98/KMK.01/2006 tentang Account Representative pada KPP Yang Telah Mengimplementasikan Organisasi Modern.

Kementerian Keuangan. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 145/PMK.03/2012 tentang Tata Cara Penerbitan Surat Ketetapan Pajak dan STP.

Kementerian Keuangan. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 206.2/PMK.01/2014 tentang Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal DJP.

Pemerintah Republik Indonesia. Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

Undang- Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana teleh beberapa kali diubah terakhir kali dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009.

(10)

LAMPIRAN-LAMPIRAN

Lampiran 1

Tabel Penerbitan STP

Jumlah STP Yang Seharusnya Diterbitkan Berdasarkan Kepatuhan SPT Tahunan

Tahun Penerbitan STP 2012 2013 2014 2015 2016

(sampai dengan 15 Des)

Jumlah STP Terbit 284 507 282 925 1.000

Jumlah STP Terbit Untuk

SPT Tahunan 186 246 156 770 759

Jumlah STP Yang Seharusnya Diterbitkan Berdasarkan Kepatuhan

SPT Tahunan

35.910 21.827 12.198 17.394 37.502

Jumlah STP Yang Tidak Diterbitkan Berdasarkan Kepatuhan SPT Tahunan

35.724 21.581 12.042 16.624 36.743

Sumber: KPP Pratama Bangko data diolah

Lampiran 2

Grafik Kepatuhan Wajib Pajak KPP Pratama Bangko Dalam Kurun Waktu 5 Tahun Terakhir

Sumber: KPP Pratama Bangko data diolah

Referensi

Dokumen terkait