ANALISIS FAKTOR – FAKTOR YANG MEMENGARUHI TINGKAT PENGANGURAN TERBUKA KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI JAWA
TIMUR TAHUN 2014-2018
JURNAL ILMIAH
Disusun Oleh :
SHASHABILLA AJENG PRAYOGO 145020100111029
JURUSAN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
2020
ANALISIS FAKTOR – FAKTOR YANG MEMENGARUHI TINGKAT PENGANGURAN TERBUKA KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI JAWA
TIMUR TAHUN 2014-2018
Shashabilla Ajeng Prayogo, Dias Satria Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya
Email: [email protected]
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi tingkat pengangguran terbuka di Kabupaten/Kota yang ada di Provinsi Jawa Timur pada Tahun 2014-2018 baik secara parsial maupun simultan. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis metode kuantitatif. Data panel yang digunakan dalam penelitian ini diolah menggunakan Microsoft Excel dan Stata 14. Penelitian ini menggunakan analisis regresi data panel dengan random-effect model.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa angkatan kerja dan tingkat pendidikan berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat pengangguran terbuka di Kabupaten/Kota yang ada di Provinsi Jawa Timur pada Tahun 2014-2018. Sebaliknya, upah minimum dan pertumbuhan ekonomi menunjukkan hasil yang tidak signifikan. Upah minimum, angkatan kerja, dan pertumbuhan ekonomi berpengaruh negatif terhadap tingkat pengangguran terbuka di Kabupaten/Kota yang ada di Provinsi Jawa Timur pada Tahun 2014-2018, sedangkan tingkat pendidikan berpengaruh positif.
Secara simultan upah minimum, angkatan kerja, pertumbuhan ekonomi, dan tingkat pendidikan juga berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat pengangguran terbuka di Kabupaten/Kota yang ada di Provinsi Jawa Timur pada Tahun 2014-2018.
Kata Kunci: Tingkat Pengangguran Terbuka, Upah Minimum, Angkatan Kerja, Pertumbuhan Ekonomi, Tingkat Pendidikan
A. PENDAHULUAN
Pengangguran merupakan salah satu persoalan yang dialami oleh banyak negara di dunia, tidak terkecuali dengan Indonesia. Pada Bulan Agustus Tahun 2015, dilaporkan tingkat pengangguran terbuka di Indonesia adalah sebesar 6,18% (Badan Pusat Statistik, 2018:111). Hingga beberapa tahun selanjutnya, meskipun tren menunjukkan adanya penurunan, tingkat pengangguran terbuka di Indonesia masih berada di atas lima persen.
Saat ini Indonesia dihadapkan pada beberapa tantangan dalam mengatasi masalah pengangguran. Tantangan tersebut adalah bonus demografi dan Revolusi Industri 4.0. Bonus Demografi dideskripsikan sebagai percepatan pertumbuhan ekonomi yang dimulai dengan perubahan struktur umur dari populasi di suatu negara sebagai slaah satu bentuk transisi dari tingkat kelahiran dan kematian yang tinggi ke rendah (Gribble dan Bemner dalam Hayes dan Setyonaluri, 2015:1). Fenomena ini diprediksi akan terjadi pada Tahun 2020-2035 (Badan Pusat Statistik, 2019:4). Tantangan kedua adalah Revolusi Industri 4.0. Munculnya revolusi industri yang keempat ini diprakarsai oleh gagasan untuk mengintegrasikan seluruh teknologi yang telah ditemukan pada revolusi-revolusi industri yang sebelumnya ke dalam berbagai bidang industri.
Provinsi Jawa Timur merupakan salah satu daerah dengan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) yang selalu berada di bawah rerata nasional. Terlepas dari populasi penduduknya yang sangat tinggi, yakni sekitar 39,3 juta pada Tahun 2017, angka pengangguran di Provinsi Jawa Timur tidak pernah setinggi daerah lain dengan populasi yang sama tingginya seperti Jawa Barat dan Jawa Tengah. TPT di Provinsi Jawa Timur bahkan selalu berada di bawah rerata nasional. Perbandingan TPT di Provinsi Jawa Timur dan Indonesia dapat ditampilkan dalam Grafik 1.1.
Grafik 1.1: Tingkat Pengangguran Terbuka di Provinsi Jawa Timur dan Indonesia Pada Tahun 2014-2018
Sumber: Data Diolah BPS, 2019
Berdasarkan grafik di atas dapat diketahui apabila angka TPT Provinsi Jawa Timur selalu berada di bawah rerata nasional. Meskipun tidak menjadi daerah dengan TPT terendah, keberhasilannya dalam menekan angka pengangguran tetap layak menjadi sorotan mengingat populasi penduduknya yang tetinggi ketiga di Indonesia. Populasi penduduk yang tinggi tentunya menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah sebagai perumus kebijakan dalam mengusahakan terserapnya seluruh tenaga kerja. berkaca dari kasus tersebut, Provinsi Jawa Timur dapat dijadikan subjek penelitian yang tepat dalam meneliti faktor-faktor yang memengaruhi tingkat pengangguran terbuka.
Adanya bonus demografi dan Revolusi Industri 4.0 tentunya akan menjadi tantangan tersendiri bagi Indonesia. Dampak yang ditimbulkan akan sangat bergantung pada kebijakan yang diambil oleh pemerintah nantinya. Meskipun penelitian tentang pengangguran telah banyak dilakukan, penelitian terbaru masih sangat diperlukan karena relevansinya terhadap masalah dan tantangan yang ada saat ini. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk meneliti faktor-faktor yang memengaruhi tingkat pengangguran terbuka Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur pada Tahun 2014-2018.
B. KAJIAN PUSTAKA
Pengangguran Terbuka
Pengangguran dapat didefinisikan sebagai seseorang yang sudah digolongkan dalam angkatan kerja dan secara aktif sedang mencari pekerjaan pada suatu tingkat upah tertentu, namun tidak dapat memperoleh pekerjaan yang diinginkannya (Sukirno dalam Utomo, 2013:7). Menurut (BPS, n.d.) penganggur terdiri dari: (a) mereka yang tak punya pekerjaan dan mencari pekerjaan; (b) mereka yang tak punya pekerjaan dan mempersiapkan usaha; (c) mereka yang tak punya pekerjaan dan tidak mencari pekerjaan karena merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan; dan (d) mereka yang sudah punya pekerjaan tetapi belum mulai bekerja. Adanya pengangguran dapat menyebabkan masalah-masalah lain seperti terganggunya stabilitas perekonomian dan sosial-politik (Fatmasari, 2018:30-31).
Berdasarkan pendekatan penggunaan tenaga kerja (labor utilization approach), pengangguran dibedakan menjadi tiga golongan, yaitu pengangguran terbuka atau (open unemployed), setengah menganggur (under employed), dan bekerja penuh. Todaro dalam Ramiayu (2016:5) menyatakan bahwa pengangguran terbuka melingkupi mereka yang tidak bekerja, baik secara sukarela (mampu bekerja secara permanen namun lebih memilih untuk tidak bekerja karena alasan tertentu) maupun karena terpaksa (ingin mendapatkan pekerjaan namun belum
4.19 5.94
4.47 6.18
4.21 5.6
4 5.5
3.99 5.34
0 1 2 3 4 5 6 7
J A W A T I M U R I N D O N E S I A
2014 2015 2016 2017 2018
mendapatkannya). Pada penelitian ini faktor-faktor yang diduga memengaruhi tingkat pengangguran terbuka ada empat, yakni upah minimum, angkatan kerja, pertumbuhan ekonomi, dan tingkat pendidikan.
Upah Minimum
Upah minimum didefinisikan oleh Wijaya (2014:6) sebagai suatu penerimaan bulanan terendah (minimum) sebagai imbalan dan dinyatakan atau dinilai dalam bentuk uang yang ditetapkan atas dasar suatu persetujuan atau peraturan perundang-undangan serta dibayarkan atas dasar suatu perjanjian kerja antara pengusaha dengan karyawan termasuk tunjangan, baik bagi karyawan itu sendiri maupun keluarganya. Tujuan penetapan upah minimum adalah sebagai jaring pengaman (social safety net) dan dimaksudkan agar upah tidak terus merosot sebagai akibat dari ketidakseimbangan pasar tenaga kerja (disequilibrium labor market). Penetapan upah minimum didasarkan pada tiga indikator, yakni: 1) Kebutuhan Hidup Layak (KHL) yang merupakanstandar kebutuhan seorang pekerja/buruh lajang untuk dapat hidup layak secara fisik dalam satu bulan; 2) pertumbuhan ekonomi atau Produk Domestik Regional Bruto (PDRB); dan 3) inflasi atau kecenderungan kenaikan harga-harga umum pada barang dan jasa yang terjadi secara terus menerus pada periode tertentu.
Menurut Nicholson dalam Kusumaningtyas 2018:4), upah minimum dan tingkat pengangguran terbuka memiliki hubungan negatif. Peningkatan upah minimum akan mengakibatkan biaya produksi ikut meningkat juga. Jika output yang dihasilkan perusahaan tidak mengimbangi input yang dikeluarkan, pengusaha memiliki dua pilihan, yakni menyesuaikan input yang dikeluarkan dengan cara mengurangi tenaga kerja yang dipekerjakan atau meningkatkan harga barang yang diproduksinya. Kedua pilihan ini pada akhirnya akan meningkatkan pengangguran.
karena ketika produsen meningkatkan harga barang, hal tersebut akan berdampak pada penurunan tingkat permintaan. Pada saat hal tersebut terjadi produsen akan ikut menurunkan permintaan tenaga kerja. Fenomena ini disebut juga dengan derived demand, dimana tingkat permintaan tenaga kerja bergantung pada permintaan barang yang diproduksinya (Simanjuntak, 1985:74).
Angkatan Kerja
Angkatan kerja (labor supply) merupakan penduduk usia kerja yang terlibat dalam kegiatan produktif, baik aktif maupun non-aktif. Banyaknya pasokan angkatan kerja yang ada dalam perekonomian dapat dihitung dengan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK). Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (atau yang biasa disebut dengan Labor Force Participation Rate) merupakan rasio perbandingan antara jumlah angkatan kerja dengan penduduk dalam usia kerja dalam kelompok yang sama (Simanjuntak, 1985:36). Tingkat partisipasi angkatan kerja mengindikasikan besarnya presentase penduduk usia kerja yang aktif secara ekonomi di suatu negara/wilayah. TPAK dapat dihitung menggunakan rumus berikut:
= × 100%
dimana:
a = jumlah angkatan kerja
b = jumlah penduduk berusia di atas 15 tahun
Terdapat dua teori yang berkaitan dengan angkatan kerja dan pengangguran, yakni Added Worker Effect (AWE) dan Discouraged Worker Effect (DWE). Added worker effect atau efek pertambahan pekerja menjelaskan bahwa dengan adanya pengangguran di salah satu anggota keluarga maka akan ada anggota keluarga lain yang akan terjun ke dalam pasar tenaga kerja.
Sedangkan discouraged worker effect menjelaskan bahwa seorang angkatan kerja yang tak kunjung mendapat pekerjaan akan berhenti mencari kerja dan keluar dari pasar tenaga kerja. Elmeskov dan Pichelmann, (1993:144) menyatakan bahwa hubungan antara tingkat partisipasi angkatan kerja dan tingkat pengangguran terbuka adalah negatif, dimana wilayah dengan tingkat partisipasi angkatan kerja yang tinggi memiliki angka pengangguran yang rendah, sedangkan wilayah dengan tingkat partisipasi angkatan kerja yang rendah memiliki angka pengangguran yang tinggi.
Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi menunjukkan pertumbuhan produksi barang dan jasa di suatu wilayah perekonomian dalam selang waktu tertentu. Produksi tersebut diukur dalam konsep nilai tambah (value added) yang diciptakan oleh sektor-sektor ekonomi di wilayah bersangkutan yang secara total dikenal sebagai Produk Domestik Bruto (PDB). Dalam ruang lingkup yang lebih kecil
seperti provinsi dan kabupaten/kota, pertumbuhan produksi tersebut dapat dinyatakan dengan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB).
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan jumlah balas jasa yang diterima oleh faktor-faktor produksi yang ikut serta dalam proses produksi di suatu daerah (provinsi dan kabupaten/kota) dalam jangka waktu tertentu (biasanya satu tahun). PDRB dapat diukur atas dasar harga konstan atau atas dasar harga berlaku. Jika PDRB diukur atas dasar harga berlaku, maka nilai tambah barang dan jasa dihitung menggunakan harga yang berlaku pada setiap tahun. Sedangkan jika PDRB diukur atas dasar harga konstan, maka nilai tambah barang dan jasa tersebut ditunjukkan oleh perhitungan menggunakan harga yang berlaku pada satu tahun tertentu sebagai dasar.
Arthur Okun (1929-1979) merumuskan konsep output potensial yang menunjukkan hubungan antara output dan pengangguran yang disebut dengan Hukum Okun. Hukum Okun menjelaskan bahwa setiap penurunan dua persen PDB yang berhubungan dengan PDB potensial akan diikuti dengan peningkatan angka pengangguran dengan estimasi sebanyak satu persen. Dalam Hukum Okun juga dijelaskan seberapa pentingnya hubungan pasar output dengan pasar tenaga kerja, dimana keduanya menggambarkan pergerakan jangka pendek dari PDB riil dan perubahan angka pengangguran (Samuelson dan Nordhasus dalam RB dan Soekarnoto, 2014:110).
Tingkat Pendidikan
Pendidikan memainkan peranan penting dalam mewujudkan perubahan cara manusia hidup dan bertindak (Badan Pusat Statistik, 2018:3). Tak hanya investasi fisik seperti mesin dan teknologi, investasi pada intangible capital atau modal nonfisik seperti pendidikan dapat membawa banyak keuntungan di masa mendatang, baik bagi perusahaan, perekonomian, maupun pekerja itu sendiri.
Teori modal manusia atau human capital menjelaskan bahwa seseorang dapat meningkatkan penghasilannya melalui peningkatan pendidikan (Simanjuntak, 1985:59). Bagi para angkatan kerja, investasi waktu dan dana yang lebih banyak pada pendidikan dapat diartikan sebagai kemampuan kerja yang meningkat. Kemampuan kerja yang meningkat akan memudahkannya untuk masuk dan terserap di dunia kerja, terutama karena pasar tenaga kerja memiliki preferensi tersendiri terhadap pekerja dengan pendidikan yang lebih tinggi (Zimmer, 2016:9). Selain itu, dengan mengenyam pendidikan yang lebih tinggi mereka akan mendapat imbalan berupa tingkat penghasilan yang lebih tinggi yang kemudian berimplikasi pada tingkat konsumsi yang lebih tinggi pula. Hal ini sejalan dengan prinsip investasi pada bidang usaha secara umum, dimana adanya pengorbanan konsumsi pada saat investasi dilakukan akan menghasilkan imbalan berupa tingkat konsumsi yang lebih tinggi beberapa waktu kemudian (Simanjuntak, 1985:58).
Dampak positif juga dirasakan oleh para penganggur ketika mereka memilih untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi. Dengan mengenyam pendidikan yang lebih tinggi, akan lebih mudah bagi mereka untuk bergabung kembali ke pasar tenaga kerja dan mendapat pekerjaan (Zimmer, 2016:14). Hal ini bisa jadi disebabkan karena alasan sebelumnya para penganggur kehilangan pekerjaan mereka adalah kurangnya kemampuan yang mereka punya sehingga menyulitkan mereka untuk bersaing di dunia kerja. Jadi, ketika para pengangguran tersebut kembali terjun ke dalam pasar tenaga kerja dengan kemampuan yang lebih dari sebelumnya, mereka akan lebih dilirik oleh perusahaan.
C. METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif yang dapat didefinisikan sebagai metode penelitian yang menghasilkan data kuantitatif (angka-angka statistik) atau pengodean yang dapat dikuantifikasikan. Alasan penulis memilih metode ini adalah karena kemudahannya dalam membentuk model permasalahan secara matematis dengan menggunakan angka-angka hasil observasi yang kemudian digunakan untuk menganalisis variabel-variabel yang diperlukan.
Ruang Lingkup
Ruang lingkup dari penelitian ini meliputi faktor-faktor yang memengaruhi tingkat pengangguran terbuka di Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur dalam kurun waktu lima tahun, yakni Tahun 2014-2018.
Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder berupa data panel yang bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS) Pusat dan Jawa Timur. Data panel merupakan data
gabungan dari cross-section dan time-series, dimana data panel tersebut mencakup tingkat pengangguran terbuka di kesembilan kota dan ke-29 kabupaten yang ada di Provinsi Jawa Timur terhitung dari Tahun 2014-2018. Penggunaan data panel pada penelitian ini dilatarbelakangi oleh keunggulan-keunggulan yang dimilikinya, seperti datanya yang lebih variatif dan informatif, rendahnya peluang kolinieritas antar variabel, banyaknya derajat kebebasan degree of freedom), dan minimalisasi bias.
Metode Analisis
Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis regresi data panel.
Dalam metode analisis ini terdapat tiga model regresi, yakni Common Effect Model (CEM), Fixed Effect Model (FEM), dan Random Effect Model (REM). Pada penelitian ini model regresi yang digunakan adalah Random Effect Model dengan pendekatan Generalized Least Squares (GLS).
Persamaan regresinya dapat diuraikan sebagai berikut:
= + + + ℎ + ! " + ℇ
Seluruh variabel kemudian ditransformasikan ke dalam bentuk Logaritma Natural sehingga persamaannya dapat diuraikan kembali sebagai berikut:
$ _ = + $ _ + $ _ + $ _ ℎ + !$ _ " + ℇ
dimana:
unemp : tingkat pengangguran terbuka wage : variabel upah minimum labor : variabel angkatan kerja growth : variabel pertumbuhan ekonomi edu : variabel tingkat pendidikan β0 : konstanta
β1- β4 : koefisien regresi
ℇ : faktor gangguan (error term) i : individu ke-i (kabupaten/kota) t : periode ke-t (tahun 2014-2018)
D. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Regresi Data Panel
Regresi data panel pada penelitian ini dilakukan menggunakan aplikasi STATA 14. Hasil regresi data panel penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1: Hasil Regresi Data Panel
Random-effects GLS regression Number of obs = 190
Group variable: citynum Number of groups = 38
R-sq: Obs per group:
within = 0.0714 min = 5
between = 0.4869 avg = 5.0
overall = 0.3834 max = 5
Wald chi2 (4) = 42.63
corr (u_i, x) = 0 (assumed) Prob > chi2 = 0.0000
Ln_unemp Coef. Std. Err. z P>|z| [ 95% Conf. Interval ] Ln_wage -0.5614554 1.078954 -0.52 0.603 -2.676167 1.553256 Ln_labor -12.23975 2.379562 -5.14 0.000 -16.90361 -7.575896 Ln_growth -0.0300826 0.047729 -0.63 0.529 -0.1236397 0.0634645 Ln_edu 0.6744863 0.2079767 3.24 0.001 0.2668595 1.082113 _cons 19.18843 4.233518 4.53 0.000 10.89089 27.48598 sigma_u 0.25894767
sigma_e 0.22693164
rho 0.56560811 (fraction of variance due to u_i) Sumber: STATA, 2020 (data diolah penulis)
Berdasarkan hasil regresi data panel tersebut, dapat ditulis model persamaan regresi sebagai berikut:
$ _ = 19,188 − 0,561 $ _ − 12,240 $ _ − 0,030 $ _ ℎ
+ 0,674 $ _ "
Interpretasi dari persamaan tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:
1. Nilai koefisien variabel upah minimum adalah sebesar 0,561 dan bertanda negatif.
Artinya, setiap peningkatan upah minimum sebesar satu persen akan menyebabkan penurunan TPT sebesar 0,561%. Nilai prob z (0,603) yang lebih besar daripada nilai signifikansi α (0,05) menandakan bahwa pengaruh upah minimum terhadap TPT tidak signifikan.
2. Nilai koefisien variabel angkatan kerja adalah sebesar 12,240 dan bertanda negatif.
Artinya, setiap peningkatan angkatan sebesar satu persen akan menyebabkan penurunan TPT sebesar 12,240%. Nilai prob z (0,000) yang lebih kecil daripada nilai signifikansi α (0,05) menandakan bahwa pengaruh angkatan kerja terhadap TPT signifikan.
3. Nilai koefisien variabel pertumbuhan ekonomi adalah sebesar 0,030 dan bertanda negatif. Artinya, setiap peningkatan pertumbuhan ekonomi sebesar satu persen akan menyebabkan penurunan TPT sebesar 0,030%. Nilai prob z (0,529) yang lebih besar daripada nilai signifikansi α (0,05) menandakan bahwa pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap TPT tidak signifikan.
4. Nilai koefisien variabel tingkat pendidikan adalah sebesar 0,674 dan bertanda negatif.
Artinya, setiap peningkatan tingkat pendidikan sebesar satu persen akan menyebabkan penurunan TPT sebesar 0674%. Nilai prob z (0,001) yang lebih kecil daripada nilai signifikansi α (0,05) menandakan bahwa pengaruh tingkat pendidikan terhadap TPT signifikan.
Pembahasan 1.Upah Minimum
Upah minimum memiliki pengaruh negatif yang tidak signifikan terhadap TPT. Hal tersebut sesuai dengan penelitian Lindiarta (2014:7) yang menyatakan apabila upah minimum berpengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap TPT di Kota Malang. Secara teoritis dijelaskan bahwa upah minimum memiliki hubungan positif terhadap TPT dimana meningkatnya upah minimum akan menyebabkan peningkatan pada TPT. Namun, hasil dari penelitian ini menunjukkan hal yang berbeda. Perbedaan tersebut dapat dijelaskan dengan teori kekakuan upah.
Kekakuan upah adalah kondisi dimana upah gagal dalam menyesuaikan tingkat penawaran dan permintaan tenaga kerja (Ramiayu, 2016:4). Pada teori ini dijelaskan bahwa upah tidak bersifat fleksibel; upah minimum selalu berada di atas tingkat keseimbangan pasar. Ketika upah minimum yang ditetapkan pemerintah meningkat, maka penawaran tenaga kerja akan ikut meningkat. Namun, ketika tingkat upah riil tersebut berada di atas tingkat keseimbangan pasar, perusahaan tidak akan menyerap tenaga kerja lagi dan hal tersebut akan menyebabkan pengangguran. Tingkat upah yang ditetapkan perusahaanpun tidak bisa begitu saja turun karena adanya kebijakan upah minimum.
Dengan begitu, perubahan yang ditimbulkan dengan adanya ketentuan upah minimum tidak akan langsung terlihat, namun akan direspon dalam jangka panjang. Hal inilah yang kemudian menyebabkan hubungan yang tidak signifikan antara upah minimum dan tingkat pengangguran terbuka.
2.Angkatan Kerja
Angkatan kerja memiliki pengaruh negatif dan signifikan terhadap TPT. Hal tersebut sesuai dengan penelitian Khotimah (2018:98) yang menyatakan bahwa angkatan kerja dan TPT di Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki hubungan negatif dan signifikan. Secara teoritis dijelaskan bahwa angkatan kerja dan TPT memiliki hubungan negatif dimana apabila tingkat partisipasi angkatan kerja meningkat, maka TPT akan menurun dan berlaku pula sebaliknya.
Hubungan antara angkatan kerja dan Tpt dapat dijelaskan dengan teori discouraged worker effect dan additional worker effect. Angkatan kerja dari kelompok umur 25-60 tahun memiliki tuntutan untuk lebih produktif karena tanggungan untuk menafkahi keluarganya. Namun, ketika umur sekelompok angkatan kerja tersebut mencapai lebih dari 60 tahun, maka mereka tidak lagi memiliki tuntutan yang sama karena faktor umur mereka. Oleh karena itulah tingkat partisipasi angkatan kerja dari kelompok umur 25-60 tahun lebih tinggi dan relatif stabil dibandingkan dengan kelompok umur tua.
Menurut teori kedua, salah satu anggota keluarga yang tidak lagi bekerja akan mendorong anggota keluarga dalam usia produktif lainnya untuk ikut terjun ke dalam pasar tenaga kerja. Para angkatan kerja yang menanggung beban seperti menafkahi keluarganya akan cenderung lebih bekerja keras demi mendapatkan penghasilan yang cukup untuk menghidupi keluarganya. Hal itulah yang kemudian menarik perusahaan untuk mengerjakan para pekerja tersebut, dan dengan itulah angka pengangguran dapat dikurangi.
3.Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi memiliki pengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap TPT. Hal tersebut sesuai dengan penelitian Ramiayu (2016:14) dimana pertumbuhan ekonomi dan TPT di Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur memiliki hubungan negatif. Hubungan tersebut dapat dijelaskan dengan Hukum Okun. Menurut Hukum Okun, output atau PDRB dan TPT memiliki hubungan negatif dimana penurunan PDRB dapat meningkatkan angka pengangguran. Peningkatan pertumbuhan ekonomi yang direpresentasikan oleh laju pertumbuhan PDRB riil akan dapat menurunkan tingkat pengangguran. Kondisi ini dapat dijelaskan sebagai berikut: ketika permintaan barang dan jasa di pasar meningkat, maka output yang dihasilkan akan meningkat pula. Peningkatan produksi akan dapat meningkatkan penyerapan tenaga kerja, dan hal tersebut kemudian berimplikasi pada berkurangnya pengangguran.
Hubungan tidak signifikan pada temuan penelitian ini mungkin terjadi karena proses produksi di Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur yang masih cenderung padat modal atau capital intensive. Pada sektor industri jenis ini modal yang digunakan lebih besar dan teknologi yang digunakan cenderung lebih modern dibandingkan sektor industri padat karya atau labor intensive.
Dengan meningkatkan modal berupa teknologi yang mutakhir, diharapkan perusahaan dapat mencapai efisiensi produksi dan memaksimumkan laba perusahaan (Hartanto dan Masjkuri, 2017:28).
4.Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap TPT. Hal tersebut sesuai dengan penelitian Pasay dan Indrayanti (2012:130). Pada penelitiannya didapat temuan bahwa lama mencari kerja bagi angkatan kerja yang berpendidikan tinggi lebih lama daripada yang berpendidikan rendah. Hal tersebut disebabkan oleh para angkatan kerja terdidik yang lebih selektif dalam memilih pekerjaan; tingkat upah yang diharapkannya lebih tinggi daripada angkatan kerja yang tingkat pendidikannya lebih rendah. Pekerjaan di sektor formalpun menjadi preferensi para angkatan kerja terdidik karena tingkat upah dan prospek kerja yang dinilai lebih menjanjikan.
E. KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan analisis data yang telah dilakukan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Variabel upah minimum memiliki hubungan negatif dan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap variabel TPT. Hal ini membuktikan bahwa semakin tinggi upah minimum, maka semakin rendah tingkat pengangguran di Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur.
2. Variabel angkatan kerja memiliki hubungan negatif dan berpengaruh secara signifikan terhadap variabel TPT. Hal ini membuktikan bahwa semakin tinggi angkatan kerja, maka semakin rendah tingkat pengangguran di Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur.
3. Variabel pertumbuhan ekonomi memiliki hubungan negatif dan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap variabel TPT. Hal ini membuktikan bahwa semakin tinggi pertumbuhan ekonomi, maka semakin tingkat pengangguran di Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur akan semakin menurun.
4. Variabel pendidikan memiliki hubungan positif dan berpengaruh secara signifikan terhadap variabel TPT. Hal ini membuktikan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan, maka semakin tinggi pula tingkat pengangguran di Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur.
Berdasarkan hasil temuan yang telah dipaparkan, maka rekomendasi yang dapat diberikan adalah sebagai berikut:
1. Pada hasil penelitian ini, diketahui bahwa upah minimum memiliki pengaruh yang negatif dan tidak signifikan terhadap tingkat pengangguran. Oleh karena itu, pemerintah sebaiknya memfasilitasi masyarakat agar dapat berwirausaha karena selain mendapatkan pekerjaan yang tidak bergantung pada kesepakatan upah minimum sehingga dapat menekan risiko untuk menganggur, wirausahawan dapat menciptakan lapangan pekerjaan bagi orang lain. Selain itu, sarana/prasarana penunjang juga perlu dibangun, karena hal tersebut dapat meningkatkan peluang investor untuk berinvestasi.
2. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa meningkatnya angkatan kerja justru berpengaruh pada menurunnya tingkat pengangguran. Saran yang dapat diberikan oleh penulis adalah dengan mendorong para penduduk usia aktif yang tidak tergabung dalam angkatan kerja untuk bergabung ke dalam pasar tenaga kerja dan ikut berkontribusi dalam membangun perekonomian Provinsi Jawa Timur.
3. Berdasarkan hasil penelitian yang menyatakan bahwa adanya hubungan negatif dan tidak signifikan antara pertumbuhan ekonom dan tingkat pengangguran terbuka, dorongan lebih pada sektor-sektor industri padat karya (labor intensive) yang ada di Provinsi Jawa Timur sangat diperlukan adanya. Hal tersebut diharapkan dapat menstimulasi pertumbuhan ekonomi dan menekan tingkat pengangguran.
4. Penelitian ini berhasil membuktikan bahwa pendidikan secara efektif memiliki pengaruh terhadap tingkat pengangguran. Oleh karena itu, penulis menyarankan pengembangan sekolah vokasional dan meningkatkan kerjasama antara dunia pendidikan dengan dunia usaha. Pelatihan keahlian atau skill tambahan juga diperlukan agar para angkatan kerja lebih dapat bersaing dalam pasar tenaga kerja. Selain itu, pemerintah perlu menyediakan lapangan pekerjaan yang adaptif terhadap perkembangan jaman dan teknologi serta mengikuti era revolusi industri 4.0.
UCAPAN TERIMAKASIH
Pertama, penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu selama proses penulisan jurnal ini sehingga dapat terselesaikan. Kedua, penulis mengucapkan terima kasih kepada keluarga terutama kedua orang tua yang selalu memberikan dukungan. Ketiga, ucapan terima kasih penulis ucapkan kepada para Dosen Ilmu Ekonomi Universitas Brawijaya terutama Program Studi Ekonomi Pembangunan yang telah membuat penerbitan jurnal ini dapat terwujud.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik. n.d.. Tenaga Kerja. https://www.bps.go.id/subject/6/tenaga-kerja.html.
Diakses pada 10 Januari 2019.
Badan Pusat Statistik. 2018. Statistik Indonesia 2018. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
Badan Pusat Statistik. 2019. Statistik Pemuda 2019. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
Elmeskov, J., dan Pichelmann, K. 1993. Interpreting Unemployment : The Role of Labour-Force Participation. OECD Economic Studies, (21), 139–160.
Fatmasari, Y. 2018. Pengaruh PDRB, Pendidikan, dan Pengangguran terhadap Kemiskinan di Jawa Timur Tahun 2006-2015. Universitas Brawijaya.
Hartanto, T. B., dan Masjkuri, S. U. 2017. Analisis Pengaruh Jumlah Penduduk, Pendidikan, Upah Minimum, dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) di Kabupaten dan Kota Provinsi Jawa Timur Tahun 2010-2014. Jurnal Ilmu Ekonomi Terapan, 02(1), 21–30.
Hayes, A., dan Setyonaluri, D. 2015. Taking Advantage of The Demographic Dividend in Indonesia : A Brief Introduction to Theory and Practice. Jakarta: UNFPA Indonesia.
Khotimah, K. 2018. Pengaruh Tingkat Pendidikan, Pertumbuhan Ekonomi, Angkatan Kerja, dan Upah Minimum terhadap Tingkat Pengangguran di DIY Tahun 2009-2015 (Universitas Negeri Yogyakarta).
Kusumaningtyas, D. R. 2018. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengangguran Terdidik di Satuan Wilayah Pembangunan Gerbangkertosusila Tahun 2010-2017. Jurnal Ilmiah Mahasiswa FEB Universitas Brawijaya, 6(2).
Lindiarta, A. 2014. Analisis Pengaruh Tingkat Upah Minimum, Inflasi , Dan Jumlah Penduduk terhadap Pengangguran di Kota Malang (1996-2013). Jurnal Ilmiah Mahasiswa FEB Universitas Brawijaya, 2(2).
Pasay, N. H. A., dan Indrayanti, R. 2012. Pengangguran, Lama Mencari Kerja, dan Reservation Wage Tenaga Kerja Terdidik. Jurnal Ekonomi Dan Pembangunan Indonesia, 12(2), 116–
135.
Ramiayu, D. D. 2016. Analisis Pengaruh Rata-Rata Lama Sekolah, Upah Minimum, dan Pertumbuhan Ekonomi terhadap Tingkat Pengangguran Terbuka Kabupaten/Kota Jawa Timur. Jurnal Ilmiah Mahasiswa FEB Universitas Brawijaya, 4(2), 1–16.
Simanjuntak, P. J. 1985. Pengantar Ekonomi Sumber Daya Manusia. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Utomo, F. W. 2013. Pengaruh Inflasi dan Upah terhadap Pengangguran Di Indonesia Periode Tahun 1980-2010. Jurnal Ilmiah Mahasiswa FEB Universitas Brawijaya, 1(2), 1–7.
Wijaya, R. R. M. 2014. Pengaruh Upah Minimum, PDRB, dan Populasi Penduduk terhadap Tingkat Pengangguran Terbuka (Studi Kasus Gerbangkertasusila Tahun 2007-2012). Jurnal Ilmiah Mahasiswa FEB Universitas Brawijaya, 2(1), 1–20.