• Tidak ada hasil yang ditemukan

View of ANALISIS FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA TENTANG HUKUM MENJATUHKAN TALAK TIGA SEKALIGUS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "View of ANALISIS FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA TENTANG HUKUM MENJATUHKAN TALAK TIGA SEKALIGUS"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

Vol. 14 No. 2, Desember (2023) P-ISSN: 2086-5678, E-ISSN: 2807-8403

ANALISIS FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA TENTANG HUKUM MENJATUHKAN TALAK TIGA SEKALIGUS

Nur Nahdhiyatuz Zahro1 Agus Supriyanto2

1 Universitas Islam 45, E-mail: nahdhiya3@gmail.com

2 Universitas Islam 45, E-mail: agussupriyanto.unismabekasi@gmail.com

Artikel Abstrak

Katakunci: Fatwa, the Indonesian Council of Ulama, Triple Divorce

Article History

Received: Sep 30, 2023;

Reviewed: Okt. 26, 2023;

Accepted: Nov. 19, 2023

DOI:

https://doi.org/10.33558/maslahah.v1 4i1

This study aims to find out more about the fatwa of the Indonesian Council of Ulama in imposing triple divorce in one occasionat to obtain evidence from the results of istinbath that influenced the fatwa of the Indonesian Council of Ulama so that they dropped three divorces at once. This research is a qualitative type with descriptive analysis method supported by normative law or library research. Data collection is the fatwa of the Indonesian Ulema Council Triple divorce at once as well as books, journals, articles and so on. The result of this research is the fatwa decision of of the Indonesian Council of Ulama which states that talak occurred in three at once, so the talak law fell in one. In this decision, of the Indonesian Council of Ulama considered the opinions of the majority of scholars and Law no. 1 Marriage and the Compilation of Islamic Law as stated in article 115 KHI "Divorce can only be carried out in front of a Religious Court trial after the Religious Court has tried and failed to reconcile".

1. Pendahuluan

Perceraian atau talak merupakan obat terakhir untuk mengakhiri pertentangan dan pergolakan antara suami isteri serta menjadi jalan keluar yang layak untuk keduanya.

Kendati dibolehkan Allah membenci perceraian atau talak. Menurut Hukum Islam, seorang suami mempunyai hak talak sedangkan isteri tidak. Talak adalah hak suami, karena dialah yang berminat melangsungkan perkawinan, dialah yang berkewajiban memberi nafkah, dia pula yang wajib membayar mas kawin, mut‟ah, serta nafkah dan iddah. Disamping itu laki-laki adalah orang yang lebih sabar terhadap sesuatu yang tidak disenangi oleh perempuan. Laki-laki tidak akan segera menjatuhkan talak apabila marah atau ada kesukaran yang menimpanya. Sebaliknya kaum wanita itu lebih cepat marah, kurang tabah sehingga ia cepat-cepat minta cerai hanya karena ada sebab yang

(2)

sebenarnya sepele atau tidak masuk akal. Karena itulah kaum wanita tidak diberi hak menjatuhkan talak.

Kata talak dalam bahasa arab berasal dari kata “al-thalaq” artinya melepaskan, mengangkat tali pengikat. Adapun istilah syarak talak adalah: “Melepas tali perkawinan dan mengakhiri hubungan suami isteri”

Menurut Al Jaziry mendefinisikan talak sebagai berikut: “Menghilangkan ikatan perawinan atau mengurangi pelepasan ikatannya dengan menggunakan kata-kata tertentu”.

Jikalau permasalahan cinta dan tidak cinta sudah dipindahkan kepada pembangkangan dan lari menjauh, langkah awal yang ditunjukan Islam bukan talak.

Akan tetepi, harus ada langkah usaha yang dilakukan pihak laindan pertolongan yang dilakukan oleh orang-orang baik. Sebagaimana firman Allah Swt dalam Q.S. An-Nisa (4):35.

Wa in khiftum syiqâqa bainihimâ fab„atsû ḫakamam min ahlihî wa ḫakamam min ahlihâ, iy yurîdâ ishlâḫay

Artinya:

“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduannya, maka kirimlah seorang hakam dari kelurga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakim itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”

Dan firman Allah Swt dalam Q.S. An-Nisa (4):128.

Wa inimra'atun khâfat mim ba„lihâ nusyûzan au i„râdlan fa lâ junâḫa „alaihimâ ay yushliḫâ bainahumâ shul-ḫâ, wash-shul-ḫu khaîr, wa uḫdliratil-anfususy-syuḫḫ, wa in tuḫsinû wa tattaqû fa innallâha kâna bimâ ta„malûna khabîrâ

Artinya:

“Dan jika seorang wanita khawatir akan Nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminnya, maka tidak mengapa bagi keduannya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka).”

Jika jalan penengah ini tidak dapat didapatkan hasil, permasalahannya menjadi sangat kritis, kehidupan rumah tangga sudah tidak normal, tidak ada ketenangan dan ketentraman dan mempertahankan rumah tangga seperti sia-sia. Pelajaran yang diterima adalah mengakhiri kehidupan rumah tangga sekalipun dibenci Islam, yakni talak;

Sesungguhnya halal yang paling dibenci Allah adalah talak.

Talak ini terbagi dua macam yaitu: talak ba‟in sugra dan talak ba‟in kubra.

Diantara permasalahan yang diperselisihkan dikalangan ulama adalah talak tiga yang diucapkan sekaligus seperti perkataan seorang suami: “Kamu saya talak tiga” atau gabungan dari pengulangan, seperti ucapan seorang suami: “Kamu diceraikan, kamu

(3)

diceraikan, kamu diceraikan.” Sebagian ulama berpendapat, tidak jatuh talak tiga kecuali hanya jatuh talak satu.

Hadis kontradiktif berkaitan dengan jatuhnya talak tiga yang diucapkan satu kali sekaligus adalah hadis riwayat Thawus, bahwa Abu al-Shaba bertanya kepada Abdullah bin Abbas tentang talak tiga sekaligus yang dianggap jatuh satu talak yang artinya:

“Sesungguhnya Abu al-Sahba berkata kepada Abdullah bin Abbas: „Apakah kamu tau pada masa Nabi, Abu Bakar tiga talak sekaligus (hukumnya) dijadikan satu talak dan jatuh tiga talakan atas perintah Umar?.‟ Abdullah bin Abbas berkata (menjawab) benar.”

Setelah para ulama bersepakat tentang haramnya mengucapkan tiga kali talak sekaligus, namun mereka masih berselisih pendapat apabila suami mentalak isterinya tiga kali dengan sekali ucap. Apakah talak tersebut sah (jatuh talak) ataupun tidak (tidak jatuh talak). Jumhur ulama berpendapat sah. Akan tetepi sebagian lain berpendapat tidak sah dan yang berpendapat sah pun juga masih berselisih. Sebagian ada yang berpendapat bahwa tiga kali ucapan talak berarti tiga kali talak, ada juga yang berpendapat bahwa dihitung sekali talak saja. Selain itu, ada lagi membeda-bedakan antara perempuan yang ditalak itu sudah dikumpuli atau belum dikumpuli. Sebagian berpendapat yang sudah dikumpuli dihitung tiga kali, sedangkan yang belum dikumpuli dihitung sekali talak saja.

Berdasarkan uraian di atas penulis tertarik untuk mengkaji lebih terkait bagaimana fatwa Majelis Ulama Indonesia memutuskan dan menjatuhkan hukum talak tiga sekaligus dalam bentuk skripsi dengan judul “Analisis Fatwa Majelis Ulama Indonesia Tentang Hukum Menjatuhkan Talak Tiga Sekaligus”

Dari latar belakang masalah di atas dirumuskan permasalahan yaitu: (1) Bagaimana Fatwa Majelis Ulama Indonesia menjatuhkan hukum talak tiga sekaligus?; (2) Bagaimana bukti dari hasil istinbath yang mempengaruhi fatwa majelis Ulama indonesia sehingga menjatuhkan talak tiga seakaligus, bagaimana hukum dibolehkan atau tidak dibolehkannya talak tiga sekaligus dan dalil-dalil yang menguatkan hukum talak tiga sekaligus tersebut?

2. Kajian Teori

Menurut bahasa, talak berarti melepas tali dan membebaskan. Misalnya, năqah tăliq (unta yang terlepas tanpa ikatan). Menurut syara‟, melepas tali nikah dengan lafal talak atau sesamnya. Menurut Imam Nawawi dalam bukunya Tahdzĭb, talak adalah tindakan orang terkuasai terhadap suami yang terjadi tanpa sebab kemudian memutus nikah. Definisi pertama lebih baik, karena secara lahir ada relevansi antara makna secara etimologi dan syar‟i sedangkan definisi kedua relevansinya jauh.

Perceraian dalam istilah fiqih disebut dengan kata thalaq (قلا ط). Secara etimologi kata thalaq berasal dari bahasa Arab yaitu thalaqa-yathlaqu-thalaqan yang mempunyai arti pisah, cerai, bebas, meninggalkan dan lepasnya ikatan perkawinan. Menurut istilah syara‟, talak adalah: “Melepas tali perkawinan dan mengakhiri hubungan suami isteri”.

Menurut Abdurrahman al Jaziri mendefiniskan talak dengan menghilangkan ikatan pernikahan atau mengurangi pelepasan ikatan dengan menggunakan kata-kata tertentu.

(4)

Menghilangkan ikatan pernikahan berarti isteri tidak lagi halal bagi suaminya (dalam hal ini jika terjadi talak tiga). Sedangkan mengurangi pelepasan ikatan pernikahan ialah berkurangnya hak talak bagi suami (dalam hal jika terjadi talak raj‟i).

Jika suami mentalak isterinya dengan talak satu,maka masih ada dua talak lagi, jika talak dua, maka tinggal satu talak lagi, jika sudah talak tiga, maka hak talaknya menjadi habis.

Sedangkan dasar hukum talak terdapat dalam beberapa ayat Alquran. Dalam Q.S Al-Baqarah (2):229 Allah berfirman:

Ath-thalâqu marratâni fa imsâkum bima„rûfin au tasrîḫum bi'iḫsân, wa lâ yaḫillu lakum an ta'khudzû mimmâ âtaitumûhunna syai'an illâ ay yakhâfâ allâ yuqîmâ ḫudûdallâh, fa in khiftum allâ yuqîmâ ḫudûdallâhi fa lâ junâḫa „alaihimâ fîmaftadat bih, tilka ḫudûdullâhi fa lâ ta„tadûhâ, wa may yata„adda ḫudûdallâhi fa ulâ'ika humudh- dhâlimûn

Artinya: “Talaq (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma‟ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya.

Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim”.

Dan firman Allah Swt dalam Q.S Al-Baqarah (2):231.

Wa idzâ thallaqtumun-nisâ'a fa balaghna ajalahunna fa amsikûhunna bima„rûfin au sarriḫûhunna bima„rûf, wa lâ tumsikûhunna dlirâral lita„tadû, wa may yaf„al dzâlika fa qad dhalama nafsah, wa lâ tattakhidzû âyâtillâhi huzuwaw wadzkurû ni„matallâhi

„alaikum wa mâ anzala „alaikum minal-kitâbi wal-ḫikmati ya„idhukum bih, wattaqullâha wa„lamû annallâha bikulli syai'in „alîm

Artinya: "Dan apabila kamu menceraikan istri-istri (kamu), lalu sampai (akhir) idahnya, maka tahanlah mereka dengan cara yang baik, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang baik (pula). Dan janganlah kamu tahan mereka dengan maksud jahat untuk menzalimi mereka. Barangsiapa melakukan demikian, maka dia telah menzalimi dirinya sendiri. Dan janganlah kamu jadikan ayat-ayat Allah sebagai bahan ejekan. Ingatlah nikmat Allah kepada kamu, dan apa yang telah diturunkan Allah kepada kamu yaitu Kitab (Al-Qur'an) dan Hikmah (Sunnah), untuk memberi pengajaran kepadamu. Dan

(5)

bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Mengetahui segala sesuatu."

Dalam hadis terdapat beberapa dalil tentang talaq, yaitu:

Artinya: "Telah menceritakan kepada kami Yahya dari Malik dari Nafi‟, bahwasanya Abdullah bin „Umar menceraikan isterinya dalam keadaan haidh pada masa Rasulullah masih hidup. Lalu „Umar bin al Khathab menanyakan hal itu kepada Rasulullah Saw, Rasulullah Saw berkata kepada „Umar al Khathab: “Kembalilah padanya, kemudian tahanlah sampai dia suci, kemudian haidh, kemudian suci lagi.

Selanjutnya, jika kamu mau tahanlah dia dan jika kamu berkehendak, boleh kamu ceraikan sebelum kamu menyentuhnya. Demikianlah „iddah yang diperintahkan oleh Allah dalam menceraikan istri. Dalam redaksi lain, "sampai ia haid satu kali berikutnya, bukan haid yang saat itu ia menceraikannya." Dalam redaksi lain lagi, "Ia dihitung dari talaknya itu, dan Abdullah lalu merujuknya sebagaimana diperintahkan Rasulullah - ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-."”. (HR. Muslim)

Artinya: “Dari Mahmud bin Labid ra. berkata: diberitahukan kepada Rasulullah Saw. Tentang seorang laki-laki yang mentalaq istrinya dengan tiga kali talaq sekaligus, lalu Nabi Saw. Berdiri dalam keadaan marah, kemudian bersabda: apakah kitab Allah telah dipermainkan sedang Aku dihadapan kalian semua, sehingga seorang laki-laki berdiri, kemudian dia berkata: wahai Rasulullah apakah aku tidak membunuhnya?”.

(HR. al Nasa‟i)

Artinya: Dari Ibnu Umar r.a berkata telah bersabda Rasullulah Saw, “perkara halal yang sangat dibenci Allah adalah talaq”. (H.R. Imam Abu Daud)

Dasar hukum perceraian menurut hukum positif: (1) Pasal 38 sampai dengan Pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan; (2) Pasal 14 sampai dengan Pasal 36 PP Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan; (3) Pasal 65 sampai dengan Pasal 82 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan (4) Pasal 113 sampai dengan Pasal 128 Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.

Para ulama membagi rukun talaq menjadi tiga macam: (1) Berkaitan dengan suami yang mentalaq; (2) Berkaitan dengan isteri yang ditalaq dan (3) Berkaitan dengan shighat talaq.

Sedangkan beberapa hal yang menjadi rukun talaq dengan syarat-syaratnya antara lain sebagai berikut:

Pertama, suami: Untuk sahnya talaq, suami yang menjatuhkan talaq disyaratkan:

(a) Baligh: Talaq yang dijatuhkan anak kecil dinyatakan tidak sah, sekalipun dia telah pandai. Demikian kesepakatan para ulama mazhab kecuali mazhab Hambali. Para ulama mazhab Hambali mengatakan bahwa talaq yang dijatuhkan anak kecil yang mengerti dinyatakan sah, sekalipun usianya belum mencapai sepuluh tahun. (b) Berakal sehat.

Dengan demikian talaq yang dijatuhkan oleh orang gila tidak sah. Begitu juga dengan

(6)

talaq yang dijatuhkan oleh orang yang tidak sadar. Tetapi para ulama mazhab berbeda pendapat tentang talaq yang dijatuhkan oleh orang mabuk. Imamiyah mengatakan bahwa talaq orang mabuk sama sekali tidak sah. Sementara itu mazhab empat berpendapat bahwa talaq orang mabuk itu sah manakala dia mabuk karena minuman yang diharamkan atas dasar keinginan sendiri. (c) Atas kehendak sendiri: Dengan demikian talaq yang dijatuhkan oleh orang yang dipaksa (menceraikan isterinya) menurut kesepakatan para ulama mazhab tidak dinyatakan sah. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Saw, “Sungguh Allah melepaskan dari umatku tanggung jawab dari dosa silap, lupa dan sesuatu yang dipaksakan kepadanya”. (d) Betul-betul bermaksud menjatuhkan talaq. Dengan demikian jika seorang laki-laki mengucapkan talaq karena lupa, keliru atau main-main, maka menurut Imamiyah talaqnya dinyatakan tidak jatuh.

Kedua, isteri. Mengenai isteri-isteri yang dapat dijatuhi talaq, para fuqaha sepakat bahwa mereka harus:

1) Perempuan yang dinikahi dengan sah

2) Perempuan yang masih dalam ikatan nikah yang sah 3) Belum masih masa iddahnya pada talaq raj‟i

4) Tidak sedang haid.

Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah Saw. yang rtinya: Dari Jabir ra. berkata.

Rasulullah Saw bersabda, “tidak ada talaq melainkan sesudah menikah dan tidak ada kemerdekaan melainkan setelah dimiliki”. (HR Abu Ya‟la dan disahihkan oleh Hakim)

Dalam hadits ini disebut kata talaq setelah sebelumnya disebutkan pernikahan.

Hal ini menunjukkan bahwa perceraian apabila suami dan isteri telah melakukan pernikahan secara sah. Jika seseorang berkumpul bersama (sepasang pria dan wanita yang hidup bersama tanpa menikah) dan kemudian seorang pria mengajukan cerai.

Seperti ini tidak dijatuhkan talaq

Ketiga, sighat. Jumhur fuqaha telah sepakat bahwa sighat talaq itu ada dua, yaitu sighat yang jelas (sharih) dan sighat sindiran (kinayah). Kata-kata talaq yang sharih artinya lafal yang digunakan itu terus terang menyatakan perceraian. Misalnya, suami berkata kepada isterinya “Engkau telah aku ceraikan”, “Aku telah menjatuhkan talaq untukmu”, atau “Engkat tertalaq” dan lain sebagainya.

Imam Malik dan para pengikutnya berpendapat bahwa kata-kata talaq yang tegas/jelas hanyalah kalimat “talaq” saja. Maka selain kata itu termasuk sindiran.

Sedangkan Imam Syafi‟I mengatakan bahwa kata-kata tegas/jelas itu ada tiga, yaitu:

talaq (cerai), firaq (pisah) dan sarah (lepas)

Sedangkan kata-kata sindiran (kinayah), menurut pendapat Imam Malik apabila suami mengucapkan talaq dengan kata-kata sindiran dan ia tidak berniat untuk mentalaq isterinya maka talaqnya tidak jatuh. Kecuali jika dia berniat ingin menjatuhkan talaq.

Sementara pada pendapatnya Imam Syafi‟i jika suami berniat menjatuhkan talaq maka talaq pun telah jatuh.

Sedangkan pada pendapat Imam Abu Hanifah bahwa talaq dapat terjadi dengan semua kata-kata kinayah apabila disertai dengan niat. Dengan demikian talaq tidak dianggap sah kecuali bila disertai dengan adanya niat.

(7)

Dilihat dari segi kondisi istri yang ditalak, maka talak terbagi menjadi 2 macam, yaitu:. Talak Sunni danTalak Bid‟ah. Dilihat dari boleh atau tidaknya suami merujuk atau kembali kepada istrinya, maka talak dibagi menjadi 2 macam, yaitu:

Pertama, talak roj‟i. Para Ulama Mazhab sepakat bahwa yang dinamakan talak Roj‟i ialah talak dimana suami masih memiliki hak untuk kembali kepada istrinya (rujuk)sepanjang istrinya tersebut masih dalam masa iddah, baik istrinya tersebut bersedia dirujuk maupun tidak.Salah satu diantara syaratnya adalah bahwa si istri sudah dicampuri6.Sebab istri yang dicerai sebelum dicampuri, tidak mempunyai masa iddah, berdasar pada firman Allah Swt.

Yâ ayyuhalladzîna âmanû idzâ nakaḫtumul-mu'minâti tsumma thallaqtumûhunna ming qabli an tamassûhunna fa mâ lakum „alaihinna min „iddatin ta„taddûnahâ, fa matti„ûhunna wa sarriḫûhunna sarâḫan jamîlâ

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya”. (QS, Al Ahzab Ayat 49)

Kedua, talak ba‟in, yaitu talak yangsuamitidak memiliki hak untuk rujuk atau kembali kepada wanita yang ditalaknya, yang mencakup pada beberapa jenis:

1) Wanita yang ditalak sebelum dicampuri (jenis ini disepakati oleh semua pihak);

2) Wanita yang dicerai tiga;

3) Talak Khulu‟, Sebagian Ulama Mazhab mengatakan bahwa khulu‟ adalah faskh nikah, bukan talak.

4) Wanita yang telah memasuki masa menopause khususnya pendapat imamiyah, karena mereka mengatakan bahwa wanita menopause yang ditalak tidak memmpunyaiiddah. Hukumnya sama dengan wanita yang belum dicampuri.

Hanafi mengatakan khalwat dengan istri tanpa melakukan percampuran, menyebabkan adanya kewajiban iddah, akan tetapi laki-laki yang menceraikannya tidak boleh rujuk pada saat masa iddah,sebab talaknya adalah talak bain. Hambali mengatakan khalwat itu sama seperti mencampuri dalam kaitannyadengan kewajiban iddah bagi si wanita, dan kebolehan rujuk bagi laki-laki. Sedangkan khalwat menurut imamiyah dan syafii tidak melahirkan akibat hukum apapun.f)Hanafi mengatakan apabila seorang suami mengatakan kepada istrinya engkau kutalak dengan talak bain atautalak yang berat, atau talak segunung, talak yang paling buruk, atau talak yang paling hebat dan ungkapan –ungkapan lain sejenis itu maka talak yang jatuh adalah talak bain yang tidak memungkinkan lagi bagi laki-laki tersebut untuk merujuknya kembali disaat wanita tersebut berada pada masa iddahnya.

(8)

Alasan perceraian merupakan suatu kondisi dimana pihak suami dan isteri mempergunakannya sebagai alasan untuk mengakhiri atau memutuskan tali perkawinan mereka. Adapun macam-macam alasan perceraian dalam Islam adalah:

Pertama, khulu‟. Khulu‟ artinya menanggalkan (mencabut). Dikatakn demikian karena masing-masing dari suami isteri merupakan pakaian bagi pasangannya. Khulu‟

disebut juga dengan al-fida‟yang artinya tebusan. Hal ini karena seorang isteri menebus dirinya dengan memberikan harta kompensasi kepada suaminya.

Kedua, syiqaq. Syiqaq juga dapat diartikan perselisihan atau percekcokan antara suami dan isteri dan dikhawatirkan terjadi perceraian, sedangkan kehidupan suami dan isteri dihadapkan pada ambang pintu kehancuran. Jika terjadi kasus Syiqaq antara suami isteri, maka diutus seorang hakim dari pihak suami dan seorang hakim dari pihak isteri untuk mengadakan penelitian dan penyelidikan tentang sebab musabab terjadi Syiqaq serta berusaha mendamaikannya atau mengambil tindakan putusnya perkawinan jika sekiranya jalan inilah yang sebaik-baiknya.

Ketiga, nusyuz. Nusyuz berasal dari kata nasyaza-yansyizu-nusyuuzan, yang artinya perempuan yang mendurhakai suaminya. Sedangkan Prof. Dr. Amir Syarifuddin mengartikan Nusyuz secara etimologi berasal dari bahasa Arab yang berarti

“irtifaa” yang artinya meninggikan atau terangkat. Kalau dikatakan isteri Nusyuz terhadap suaminya berarti isteri merasa dirinya sudah lebih tinggu kedudukannya dari suaminya, sehingga ia tidak lagi merasa berkewajiban mematuhinya. Secara definitive Nusyuz diartikan dengan kedurhakaan isteri terhadap suami dalam menjalankan apa-apa yang diwajibkan Allah Swt atasnya.

Keempat, fasakh. Fasakh adalah membatalkan akad nikah dan melepaskan hubungan yang terjalin antara suami isteri. Sajuti Thalib S.H menjelaskan dalam bukunya “Hukum Kekeluargaan Indonesia”, bahwa arti Fasakh ialah diputuskannya hubungan perkawinan (atas permintaan salah satu pihak) oleh Hakim Agama karena salah satu pihak menemui cela pada pihak lain atau merasa tertipu atas hal-hal yang belum diketahui sebelum berlangsungnya perkawinan. Perkawinan yang telah adalah sah dengan segala akibatnya dan dengan difasakhkan ini bubarlah hubungan perkawinan itu.

Kelima, li‟an. Kata Li‟an diambil dari kata al-la‟nu, yang berarti laknat. Hal ini karena pada sumpah kelima, suami yang melakukan Li‟an terhadap isterinya berkata

“bahwa laknat Allah akan menimpanya, jika dia termasuk orang yang berdusta”.

Keena, ila. Ila‟ artinya bersumpah. Menurut istilah syara‟ artinya terlarangnya suami bersetubuh dengan isterinya sebagai akibat sumpahnya sendiri yang dinyatakan bahwa tidak akan bersetubuh. Bunyi lafadz ila‟ dari suami kepada istrinya yaitu “aku bersumpah tidak akan bersetubuh dengan engkau selama empat bulan ini”. Bila sampai waktu empat bulan, sedang suami tidak mau juga bersetubuh, maka isteri boleh menuntut untuk bercerai. Apabila ia tidak mau dicampuri lagi oleh suaminya atau suami terus-menerus mengasingkan diri di tempat lain, maka hakim boleh menceraikannya.

Ketujuh, zhihar. Kata zhihar diambil dari kata azh-zhahru, yaitu perkataan seorang suami kepada isterinya “anti „alayya kazhahri ummi”, yang berarti “bagiku kau bagaikan punggung ibuku”. Pada masa jahiliah, zhihar adalah talaq, lalu islam

(9)

menghapus hukum itu. Bahkan mengharamkan suami melakukan zhihar kepada isterinya. Jikapun ia melakukannya, maka wajib membayar denda zhihar.

Apabila seorang suami melakukan zhihar kepada isterinya, tapi sebenarnya ia bermaksud untuk talaq, maka yang terjadi adala zhihar. Tetapi apabila ia mentalaq isterinya, tetapi sebenarnya bermaksud zhihar, maka yang terjadi adalah talaq.

Contoh, jika seorang suami berkata kepada isterinya “bagiku, kamu bagaikan punggung ibuku”, namun dengan kata tadi sebenarnya ia bermaksud talaq, maka yang terjadi adalah zhihar dan talaq tidak terjadi pada isterinya.

Perceraian dapat menimbulkan beberapa akibat, Secara umum akibat hukum adanya perceraian adalah: (1). Harta Benda dalam Perkawinan. Dalam pasal 35 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa: 1)Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. 2) Harta bawaan dari masing- masing suami isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagaimana hadiah atau warisan adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan hal lain. Pada pasal 37 disebutkan, jika perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.

Mengenai kedudukan anak, berdasarkan ketentuan yang ada bahwa pemeliharaan anak, ditentukan atas keturunan yang sah sebagai anak kandung. Sebagaimana pasal 42 Undang-Undang Perkawinan “Anak yang saha adalah yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”. Sedangkan anak yang dilahirkan pernikahan, hanya mempunyai hubungan pedeta dengan ibunya dan keluarga ibunya sesuai dengan pasal 43 ayat 1.

Pasal 156 KHI mengatur mengenai putusnya perkawinan sebagai akibat perceraian (cerai gugat). Hal ini diungkapkan sebagi berikut: (1) Anak yang belum mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadanah ibunya, kecuali ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya diganti oleh: a) Wanita-wanita dalam garis lurus keatas; b) Ayah; c)Wanita-wanita dalam garis lurus keatas dari ayah; d) Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan. (2) Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadanah dari ayah atau ibunya. (3) Apabila pemegang hadonah tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya telah tercukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan dapat memindahkan hak hadanah kepada kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadanah pula. (4) Semua biaya hadanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus diri sendiri (21 Tahun). (5) Bila terjadi perselisihan mengenai hadanah dan nafkah anak, Pengadilan Agama mengenai putusnya berdasarkan Undang-Undang hak asuh anak. (6) Pengadilan dapat pula dengan mengikat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut padanya.

3. Metodologi Penelitian

Jenis Penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif atau penelitian perpustakaan ini merupakan penelitian yang mengkaji studi dokumen, yakni menggunakan berbagai data sekunder seperti peraturan perundang-undangan, keputusan pengadilan, teori hukum dan dapat berupa pendapat para ahli.

(10)

Adapun sumber data terdapat dua jenis sumber data dalam penelitian yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer adalah bahan orisinil yang menjadi dasar bagi penelitian dan merupakan penyajian formal pertama dari hasil penelitian. Sumber data primer dalam penelitian ini adalah fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang hukum menjatuhkan talak tiga sekaligus.

Sumber data sekunder adalah, sumber yang mempermudah proses penilaian literatur primer, yang mengemas ulang, menata kembali, menginterprestatsi ulang, merangkum, mengindeks atau dengan cara lain menambah nilai pada informasi baru yang dilaporkan dalam literatur primer.

Metode pengumpulan informasi berbentuk teknik dokumentasi ataupun riset dokumenter. Memakai data primer yang berbentuk kumpulan Fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang hukum menjatuhkan talak tiga sekaligus serta informasi sekunder yang berbentuk buku-buku selaku penunjang dalam analisis kasus tersebut.

Berikutnya setelah informasi terkumpul hingga langkah berikutnya ialah analisis terhadap informasi yang telah dikumpulkan tersebut. Jenis analisis data yang dipergunakan adalah dengan menggunakan metode deskriptif analisis yaitu dengan menguraikan pokok permasalahan kemudian ditarik kesimpulan. Tata cara deskriptif analisis ini untuk menggambarkan informasi yang seteliti mungkin agar dapat dianalisis dengan pengecekan secara konseptual atas suatu komentar, sehingga bisa diperoleh suatu kejelasan makna yang semacam dan tercantum dalam fatwa tersebut.

Pola pikir yang digunakan dalam menganalisis data adalah dengan pola pikir deduktif, yaitu memaparkan dalil-dalil umum yang selanjutnya digunakan untuk menganalisis hal yang khusus. Maksud dalil tersebut adalah dalil yang menjelaskan tentang talak, digunakan untuk menganalisis fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang hukum talak tiga sekaligus.

4. Temuan dan Analisis Temuan Penelitian

Dalam rapatnya tanggal 27 Djulhijjah 1402 H, bertepatan dengan tanggal 24 Oktober 1981 M Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwanya yang berjudul Talak Tiga Sekaligus. Fatwa ini dikeluarkan oleh permintaan tertulis dari Direktorat Urusan Agama Islam, Direktorat Jendral Bimas Islam dan Urursan Haji No.

D II/02/4468/1981 tanggal 22 September 1981 tentang masalah Talak Tiga Sekaligus.

Pada rapatnya ini Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia menimbang dari beberapa pendapat , beberapa pendapat tersebut terbagi menjadi empat. Adapun yang Pertama, pendapat jumhur sahabat dan Tabi‟in serta Imam Mazhab al-Arba‟ah bahwa talak tiga sekaligus jatuhnya adalah tiga dan Ibnu Hazm dari Mazhab Zahiri juga bependapat demikian. Kedua, pendapat Thawus, Mazhab Imamiyah, Ibnu taimiyah dan Ahlu az-Zahir talak tiga sekaligus jatuhnya satu.

Ketiga, jika dilihat dari dalil pendapat yang pertama memanf lebih kuat, akan tetapi Fatwa Ulama Indonesia juga tidak bis amenimbang dari pendapat ulama saja.

Fatwa Ulama Indonesa juga menimbang pendapat keempat, bahwa di Indonesia sudah berlaku UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dimana putus perkawinan dengan talak dan tata cara talaj bagi yang beragama Islam sudah diatue pada pasal 10 Jo 31UU tersebut dan Pasal 14/sd 18 PP No. 9/1975.

(11)

Setelah menimbang dari empat pendapat diatas. Fatwa Majelis Ulama Indonesia membaca ulang bahwa UU Perkawinan No. 1/1974 dan PP No.9/1975 jika dilaksanakan dengan baik tidak akan terjadi lagi talak tiga sekaligus di Indonesia.

Setelah menimbang dan membaca ulang berdasarkan hal-hal yang Fatwa Majelis Ulama Indonesia sebutkan di atas, Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia pun memutusakan dan memberi pendapat; Pertama, Harus diusahakan dengan sungguh- sungguh supaya kasus talak tiga sekaligus jangan sampai terjadi lagi. Kedua, untuk mencapai maksud tersebut di atas ialah dengan melaksanakan UU No.1/1977 dan PP No.9/1975. Ketiga, Peranan Pengadilan Agama sangat menentukan bagi tercapainya maksud itu. Keempat, kecuali itu penyuluhan Undang-undang Perkawinan dan Peraturan Pelaksanaannya bagi masyarakat harus dilaksanakan sungguh-sungguh.

Hasil wawancara dengan anggota komisi fatwa MUI, yaitu Dr. H.M. Nurul Irfan, M.Ag.

“Dalam fatwa MUI belum spesifik apakah talak tiga sekaligus jatuh talak satu atau talak tiga. Dalam fatwanya memang seperti itu, jadi kalau pertanyaannya talak tiga diucapkan dalam satu majelis, sekali nyebut talak tiga padahal kenyataanya baru sekali talak itu jatuhya talak satu. Saya mengambil pendapat Ummar Ibnu Khattab yang menyatakan demikan. Untuk data terbaru pada keputusan talak tiga sekaligus tidak ada, jadi memang hanya seperti pada fatwa itu, fatwa itu tidak pernah bertentangan dengan undang-undang perkawinan, karena undang-undang perkawinan intinya adalah hukum Islam yang sejalan dengan fatwa MUI. Kalau hikmahnya atau timbulnya fatwa ini pasti ada mustafir tentunya, ada pihak yang meminta fatwa dan akhirnya dikeluarkan fatwa seperti itu”.

Dr. H.M. Nurul Irfan, M.Ag, beliau berpendapat bahwa talak tiga sekaligus yang diucapkan suami ketika dalam satu majelis maka jatuhnya talak satu, pendapat tersebut diambil dari hadist Ummar Ibnu Khattab yang juga mengatakan demikian. Bahkan dalam Talak Tiga Sekaligus, Majelis Ulama Indonesia menimbang UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan karena sama sekali tidak bertentangan dengan hukum Islam.

Dalam hal ini hukum perkawinan Indonesia KHI serta peraturan pelaksanaanya telah mengatur secara ketat tata cara perceraian dalam rangka memberi perlindungan hukum kepada isteri dari kemungkinan terjadi perceraian yang sewenang-wenang yang dilakukan suami tehadap isterinya.

Menurut Mazhab Syafi‟i jika suami mengatakan kepada isterinya “engkau adalah orang yang tertalak” serta diniatkan talak maka jatuhlah talak. Jika diniakan talak satu, maka jatuh talak satu. Jika diniatkan talak dua atau tiga maka jatuh talak dua atau tiga.

Para ulama sepakat mengenai jumlah talak maksimal yaitu tiga. jika talak sudah sampai tiga kali maka ia disebut dengan Talak Bai‟in yaitu suami tidak boleh rujuklagi rujuk kepada isterinya kecuali telah memenuhi beberapa syarat.

Jumhur Ulama yang terdiri dari al-mazahib al-arba‟ah (Mazhab yang empat) berpendapat bahwa talak tiga yang dijatuhkan sekaligus tetep dihitung jatuh talak tiga sebagaimana yang dijelaskan dalam kitab fikih mazahib al-arba‟ah. “Apabila sesorang menceraikan isterinya tiga kali sekaligus, jika ia berkata kepada isterinya: Engkau saya ceraikan tiga kali, jatuhlah sebanyak bilangan yang diucapkannya itu menurut mazhab yang empat dan itulah fatwa jumhur ulama”.

(12)

Dari pandangan Ibnu Taimiyah dan para ulama lain sepakat bahwa talak hanya rukhsah atau tidak sah hukumnya. Karena pengucapan talak tersebut awalnya diharamkan dan tidak benarkan oleh Allah SWT, dengan satu kali dan waktu yang sama dan jumlah angka talak. Dalam Al-Quran sudah mengartikan nominal talak bahwa talak terjadi tiga kali dengan melakukan dan penerapannya dengan secara bertahap tidak secara langsung. Dalam arti lain bahwa, apabila seorang suami melakukan pernikahan dengan seorang perempuan, kemudian terjadi perselisihan hingga mengakibatkan laki- laki menalak istrinya tersebut maka jatuhlah talaknya tetapi hanya berlaku pertama atau satu kali, lalu baru terhitung kedua kali setelah melakukan talak satu sebelumnya dengan waktu yang berbeda, sang suami sudah rujuk terhadap istrinya (selagi saat waktu iddah) bisa juga kawin lagi apabila saat atau waktu Iddahnya selesai.

Begitulah berlakunya hukum talak yang ketiga, ialah akan diakui apabila ada sesudah berlakunya talak dua suami kembali lagi ke istrinya atau suami menikahi lagi di sebabkan sudah selesai waktu Iddah lalu menalaknya. di sebabkan dalam kitab suci Al- Quran telah membuat tentang hukum talak yang awalnya adalah diharamkan, maka sebagaimana yang dimaksud hukum berlakunya tiga talak secara langsung atau sekaligus termasuk kepada hal yang diharamkan tergolong dalam jenis perbuatan yang tidak dibenarkan, dan melaksanakan perilaku yang tidak dibenarkan maka hukum tersebut ialah batil.

Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan yakni UU No. 1 tahun 1974 pasal 4 sampai 7 KHI dijelaskan bahwa setiap perkawinan yang sah dimata hukum yaitu perkawinan yang dilaksanakan dihadapan dan dibawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah. Karena perkawinan diluar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum dan perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah.

Dengan demikian seorang suami yang mentalak isterinya harus melihat lagi bahwa peraturan hukum di Indonesia harus mempertimbangkan UU No.1 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 115 KHI.

Pasal 115

“Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan”.

Sesuai dalam rapatnya tanggal 27 Djulhijjah 1402 H, bertepatan dengan tanggal 24 Oktober 1981 M Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwanya yang berjudul Talak Tiga Sekaligus. Fatwa ini dikeluarkan oleh permintaan tertulis dari Direktorat Urusan Agama Islam, Direktorat Jendral Bimas Islam dan Urursan Haji No.

D II/02/4468/1981 tanggal 22 September 1981 tentang masalah Talak Tiga Sekaligus.

Pada rapatnya ini Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia menimbang dari beberapa pendapat , beberapa pendapat tersebut terbagi menjadi empat. Adapun yang Pertama, pendapat jumhur sahabat dan Tabi‟in serta Imam Mazhab al-Arba‟ah bahwa talak tiga sekaligus jatuhnya adalah tiga dan Ibnu Hazm dari Mazhab Zahiri juga bependapat demikian. Kedua, pendapat Thawus, Mazhab Imamiyah, Ibnu taimiyah dan Ahlu az-Zahir talak tiga sekaligus jatuhnya satu.

(13)

Ketiga, jika dilihat dari dalil pendapat yang pertama memanf lebih kuat, akan tetapi Fatwa Ulama Indonesia juga tidak bis amenimbang dari pendapat ulama saja.

Fatwa Ulama Indonesa juga menimbang pendapat keempat, bahwa di Indonesia sudah berlaku UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dimana putus perkawinan dengan talak dan tata cara tala bagi yang beragama Islam sudah diatue pada pasal 10 Jo 31UU tersebut dan Pasal 14/sd 18 PP No. 9/1975.

Setelah menimbang dari empat pendapat diatas. Fatwa Majelis Ulama Indonesia membaca ulang bahwa UU Perkawinan No. 1/1974 dan PP No.9/1975 jika dilaksanakan dengan baik tidak akan terjadi lagi talak tiga sekaligus di Indonesia.

Setelah menimbang dan membaca ulang berdasarkan hal-hal yang Fatwa Majelis Ulama Indonesia sebutkan di atas, Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia pun memutusakan dan memberi pendapat; Pertama, Harus diusahakan dengan sungguh- sungguh supaya kasus talak tiga sekaligus jangan sampai terjadi lagi. Kedua, untuk mencapai maksud tersebut di atas ialah dengan melaksanakan UU No.1/1977 dan PP No.9/1975. Ketiga, Peranan Pengadilan Agama sangat menentukan bagi tercapainya maksud itu. Keempat, kecuali itu penyuluhan Undang-undang Perkawinan dan Peraturan Pelaksanaannya bagi masyarakat harus dilaksanakan sungguh-sungguh.Dari pernyataan penetapan Talak Tiga Sekaligus dalam rapatnya belum pasti apakah talak tiga sekaligus jatuh talak satu atau jatuh menjadi talak tiga. Akan tetapi jika kita cermati lagi dari Analisis Fatwa Majelis Ulama Indonesia Tentang Hukum Menjatuhkan Talak Tiga Sekaligus bahwa talak tiga sekaligus jatuh menjadi talak satu.

Dalam menetapkan fatwa talak tiga sekaligus Majelis Ulama Indonesia menggunakan dalil dari hukum sebagai berikut:

Dalam hal ini Majelis Ulama Indonesia menggunakan Al-Qur‟an sebagai dalil untuk menetapkan fatwanya. Adapun ayat Al-Qur‟an yang digunakan Majelis Ulama Indonesia dalam mentapkan hukum talak tiga sekaligus didasarkan oleh Firman Allah Swt Q.S Al-Baqarah (2):229.

Artinya:

“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya.

Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim”.

Ayat di atas bermakna bahwa talak yang disyaria‟atkan Allah SWT ialah talak yang dijatuhkan oleh suami satu demi satu tidak sekaligus, suami boleh memelihara kembali bekas isterinya setelah talak pertama dengan cara yang baik, demikian pula setelah talak kedua. Adapun maksud dari memelihara kembali adalah dengan merujuknya dan mengembalikannya kedalam ikatan perkawinan dan berhak mengumpuli dan menggaulinya dengan cara yang baik pula. Hak rujuknya terdapat dalam talak raj‟i saja

(14)

Majelis Ulama Indonesia juga mendasarkan fatwanya pada Hadist dari Mahmud bin Lubid, beliau berkata:

Artinya:

“Rasulullah SAW memberitahukan kepada kami tentang seorang laki-laki yang menceraikan isterinya dengan talak tiga semuanya (sekaligus). Maka Rasulullah berdiri dengan keadaan marah seraya bersabda: “Apakah kitab Allah dipermain-mainkannya sedangkan aku berada dihadapnmu?”. Seorang laki-laki tegak berdiri seraya berkata:

“Ya Rasulullah tak bolehkan kubunuh dia?”.

Hadits riwayat lainnya adalah sebagai berikut:

Artinya:

“Diriwayatkan dari Ibnu Abbas RA dia berkata: “Talak pada masa Rasulullah SAW dan masa Abu Bakar serta dua tahun pada masa pemerintahan Umar r.a adalah talak tiga yang diucapkan sekaligus dihitung satu. Lalu Umar berkata “Orang-orang ini ingin menyegerakan urusan yang semestinya mereka berhak untuk meperlambatkannya, sebaiknya kami putuskan saja pada mereka”. Lalu Umar membuat keputusan bahwa talak tiga yang diucapkan sekaligus benar-benar berlaku tiga”. (HR. Muslim)

Hadits di atas dapat dipahami, dari kemarahan Rasulullah bahwa talak tiga dengan satu kali ucapan dapat membuat jatuhnya talak tiga. Sebab, bila talak itu tidak menjadi talak tiga atau menjadi talak satu maka Rasulullah tidak perlu untuk bersikap marah.

Karena ikatan suami isteri belum berakhir. Sehingga suami dapat kembali bercampur dengan isterinya tanpa harus menyatakan rujuk, jika memang tidak ada talak yang jatuh maka suami dapat kembali rujuk kepada isterinya, bila talak yang jatuh itu talak satu.

Dan pada hadits riwayat Ibnu Abba RA di atas dapat dipahami bahwa pendapat Umar ini adalah ijtihad dia sendiri yang tujuanya demi terwujudnya kemaslahatan menurut pandangannya, namun tidak boleh meninggalkan fatwa Rasulullah saw, dan yang menjadi pegangan para sahabat beliau pada masa Umar dan pada masa khalifah Umar.

Perceraian dalam Negara Republik Indonesia hanya dapat terjadi setelah diputuskan oleh pengadilan. Pengadilan Agama bagi muslim, sedangkan Pengadilan Negeri bagi non muslim. Hal ini sebagaimana tertulis dalam Pasal 2 UU No. 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan hakim yang berbunyi sebagai berikut:

“Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 dilakukan oleh sebuah mahkamah agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah mahkamah konstitusi”.

Oleh karena itu Pengadilan yang akan memutuskan terjadi atau tidaknya suatu perceraian. Karena salah satu dari kewenangan Peradilan Agama diseluruh Indonesia adalah memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara perceraian antara orang-orang yang beragama Islam atau dilakukan menurut asas personalitas keislaman, hal ini sebagaimana tertulis dalam Pasal 49 Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama.

“Perceraian hanya dapat terjadi apabila majelis hakim berpendapat bahwa segala ketentuan hukum yang disyariatkan untuk bercerai telah terpenuhi, setelah upaya hakim

(15)

untuk mendamaikan kedua belah pihak yang bertikai dan dipandang tidak berhasil untuk didamaikan”.

Dalam memutuskan perkara talak tiga sekaligus Majelis Ulama Indonesia juga merujuk pada pendapat Ulama Mazhab yang berpendapat bahwa talak tiga sekaligus yang diucapkan dalam satu majelis atau dengan lafadz tiga kali hukumnya jatuh talak tiga. Karena dalil yang digunakan Ulama Mazhab lebih kuat dan lebih valid.

Adapun pemahaman yang mengartikan bahwa terhitung talak secara langsung selafadz pemahaman ini dibenarkan para sebagian tokoh ulama diantaranya 4 (empat) Imam Mazhab serta Az-Zahiriyah dan sebagian besar sahabat diantaranya Khulafaurrasyidin selain Abu Bakar ra, Abu Hurairah dan sebagian besar tabi‟in.

Adapun persepsi lain mengatakan Talak dengan lafadz tiga langsung hukumnya tetap satu. Persepsi itu dibenarkan oleh tokoh bernama Az-Zaidiyah, Zhahiriyah, Abu Ishaq, Ibnu Taimiyah serta Ibnu Qayyim, Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa sebagaimana dalam Al-Quran dan Hadits belum ada mewajibkan yang memberlakukan tiga talak kepada mereka yang telah mensahkan talak tersebut sekliagus atau jatuh talak tiga hanya dengan satu lafadz atau satu waktu.

Dengan meniadakan adanya rujuk dan akad. Dari pandangan Ibnu Taimiyah dan para ulama lain sepakat bahwa talak hanya rukhsah atau tidak sah hukumnya. Karena pengucapan talak tersebut awalnya diharamkan dan tidak benarkan oleh Allah SWT, dengan satu kali dan waktu yang sama dan jumlah angka talak. Dalam Al-Quran sudah mengartikan nominal talak bahwa talak terjadi tiga kali dengan melakukan dan penerapannya dengan secara bertahap tidak secara langsung. Dalam arti lain bahwa, apabila seorang suami melakukan pernikahan dengan seorang perempuan, kemudian terjadi perselisihan hingga mengakibatkan laki-laki menalak istrinya tersebut maka jatuhlah talaknya tetapi hanya berlaku pertama atau satu kali, lalu baru terhitung kedua kali setelah melakukan talak satu sebelumnya dengan waktu yang berbeda, sang suami sudah rujuk terhadap istrinya (selagi saat waktu iddah) bisa juga kawin lagu apabila saat atau waktu Iddahnya selesai.

Begitulah berlakunya hukum talak yang ketiga, ialah ia akan diakui apabila ada sesudah berlakunya talak dua suami kembali lagi ke istrinya atau suami menikahi lagi di sebabkan sudah selesai waktu Iddah lalu menalaknya. di sebabkan dalam kitab suci Al- Quran telah membuat tentang hukum talak yang awalnya dalah diharamkan itu, maka sebagaimana yang dimaksud hukum berlakunya 3(tiga) talak secara langsung atau sekaligus termasuk kepada hal yang diharamkan tergolong dalam jenis perbuatan yang tidak dibenarkan, dan melaksanakan perilaku yang tidak dibenarkan maka hukum tersebut ialah batil.

Hasil wawancara dengan anggota komisi fatwa MUI, yaitu Dr. H.M. Nurul Irfan, M.Ag.

Dalam fatwa MUI belum spesifik apakah talak tiga sekaligus jatuh talak satu atau talak tiga. Dalam fatwanya memang seperti itu, jadi kalau pertanyaanya talak tiga diucapkan dalam satu majelis, sekali nyebut talak tiga padahal kenyataanya baru sekali talak itu jatuhya talak satu. Saya mengambil pendapat Ummar Ibnu Khattab yang menyatakan demikan. Untuk data terbaru pada keputusan talak tiga sekaligus tidak ada, jadi memang hanya seperti pada fatwa itu, fatwa itu tidak pernah bertentangan dengan undang-undang perkawinan, karena undang-undang perkawinan intinya adalah hukum

(16)

Islam yang sejalan dengan fatwa MUI. Kalau hikmahnya atau timbulnya fatwa ini pasti ada mustafir tentunya, ada pihak yang meminta fatwa dan akhirnya dikeluarkan fatwa seperti itu.

Dr. H.M. Nurul Irfan, M.Ag, beliau berpendapat bahwa talak tiga sekaligus yang diucapkan suami ketika dalam satu majelis maka jatuhnya talak satu, pendapat tersebut diambil dari hadist Ummar Ibnu Khattab yang juga mengatakan demikian. Bahkan dalam Talak Tiga Sekaligus, Majelis Ulama Indonesia menimbang UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan karena sama sekali tidak bertentangan dengan hukum Islam.

Dalam hal ini hukum perkawinan Indonesia KHI serta peraturan pelaksanaanya telah mengatur secara ketat tata cara perceraian dalam rangka memberi perlindungan hukum kepada isteri dari kemungkinan terjadi perceraian yang sewenang-wenang yang dilakukan suami tehadap isterinya.

Dari hasil temuan penelitian ini sudah terlihat jelas bahwa keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia merujuk pada pendapat ulama yakni Thawus, Mazhab Imamiyah, Ibnu Taimiyah dan Ahlu az-Zahir yang berpendapat talak tiga sekaligus jatuh talak satu, karena menimbang UU Nomor 1 Tahun 1974. Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa sebagaimana dalam Al-Quran dan Hadits belum ada mewajibkan yang memberlakukan tiga talak kepada mereka yang telah mensahkan talak tersebut sekliagus atau jatuh talak tiga hanya dengan satu lafadz atau satu waktu.

5. Kesimpulan

Majelis Ulama Indonesia membuat fatwa Talak Tiga Sekaligus dengan tujuan agar masyarakat tidak menggunakan hak talaknya dengan sesuka hati, sekaligus untuk menghilangkan kecemasan dan menjawab kebingungan masyarakat tentang pandangan atau pemahaman yang muncul dikalangan masyarakat Indonesia umumnya tentang pendapat yang tajam tentang memahami hukum talak tiga sekaligus. Majelis Ulama Indonesia menyatakan bahwa talak yang terjadi dengan tiga kali sekaligus maka hukum talaknya adalah jatuh satu.

Istinbath hukum Fatwa Majelis Ulama Indonesia tersebut didasarkan hadits riwayat An-Nasa‟i dari Mahmud bin Lubaid yang menjelaskan tentang talak tiga dengan satu kali ucapan dapat membuat jatuhnya talak tiga. Sebab, bila talak itu tidak menjadi talak tiga atau menjadi talak satu maka Rasulullah tidak perlu untuk bersikap marah.

Karena ikatan suami isteri belum berakhir. Sehingga suami dapat kembali bercampur dengan isterinya tanpa harus menyatakan rujuk, jika memang tidak ada talak yang jatuh maka suami dapat kembali rujuk kepada isterinya, bila talak yang jatuh itu talak satu.

Selain disandarkan pada hadits tersebut, perkara talak tiga sekaligus juga didasarkan pada ayat Al-Qur‟an yang bermakna bahwa talak yang disyaria‟atkan Allah SWT ialah talak yang dijatuhkan oleh suami satu demi satu tidak sekaligus, suami boleh memelihara kembali bekas isterinya setelah talak pertama dengan cara yang baik, demikian pula setelah talak kedua. Adapun maksud dari memelihara kembali adalah dengan merujuknya dan mengembalikannya kedalam ikatan perkawinan dan berhak mengumpuli dan menggaulinya dengan cara yang baik pula. Hak rujuknya terdapat dalam talak raj‟i saja.

(17)

Daftar Pustaka

Abbas, Sirajuddin. 40 Masalah Agama. Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 1981.

Abdul Rachmad Budiono. Peradilan Agama dan Hukum Islam di Indonesia. Malang:

Bayumedia Publishing, 2003.

Abdul Rahman al-Ghazaly. Fikih Munakahat. Jakarta: Prenada Media, 2006.

Abdul Rahman Ghazali. Fiqh Munakahat. Cet. ke-3. Jakarta: Kencana, 2008.

Abdurrahman al-Jaziri. al-Fiqh ’ala al-Mazahib al-Arba’ah. Kairo: Muassasah al- Mukhtar, 2000.

Abi Bakr bin Muhammad al-Husaini. Kifayat al-Ahyar fi Halli Ghayat al-Ikhtisar.

Beirut-Libanon: Daar al-Fikr, 1994.

Al-Dimasyqi, Syaikh al-Allamah Muhammad bin Abdurrahman. Fiqih Empat Mazhab.

Bandung: Hasyimi, 2017.

Amir Syarifuddin. Hukum Perkawaninan Islam di Indonesia. Cet. ke-3. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009.

Attabik Ali & Ahmad Zuhdi Muhdzar. Kamus Kontemporer Arab-Indonesia.

Yogyakarta: Yayasan Ali MAksum, 1996.

Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Dr. Wahhab Sayyed Hawwas. Fiqh Munakahat.

Jakarta: Hamzah, 2009.

Slamet Abidin, Aminuddin. Fiqih Munakahat. Bandung: Pustaka Setia, 1999.

Ghazali, Prof.Dr.Abdul Rahman. Fiqih Munakahat. Jakarta: Kencana, n.d.

Hajjaj, Muslim bin. Shahih Muslim. Jilid 2. Beirut-Libanon: Dar al Kutub al Ilmiyah, n.d.

Ibnu Hajar al Asqalani. Bulugh al Maram min Adillat al Ahkam. Semarang: Toha Putera, n.d.

Ibnu Rasyid. Bidayatul Mujtahid. Jakarta: Pustaka Amani, 1995.

Idris Ahmad. Fiqh Syafi’i. Jakarta: Wijaya Jakarta, 1969.

Iskandar. Metodologi Penelitian Kualitatf. Jakarta: Gaung Persada, 2009.

Kadar M. Yusuf. Tafsir Ayat Ahkam. 2 ed. Jakarta: Amzah, 2013.

Kementrian Agama Republik Indonesia. Al-Qur’an dan Terjemahnya, n.d.

Mahmud Yunus. Kamus Arab Indonesia. Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah dan Pentafsir Al-Qur‟an, 1973.

Moch. Anwar, dkk. Terjemah Fathul Mu’in. Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1994.

Mugniyah, Muhammad Jawad. Fiqh Lima Mazhab: Ja’fari, Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali. Jakarta: Lentera, 2011.

Nana Sudjana. Tuntunan Penyusunan Karya Ilmiah. Bandung: Sinar Biru Algensindo, 2006.

Nasution, Rusli Halil, Dosen Sekolah, Tinggi Agama, Islam Tebing, Tinggi Deli, A Pendahuluan, dan B Dasar Hukum Talak. “Talak Mennurut Hukum Islam” III, no.

2 (2018): 707–16.

Nuansa Aulia. Kompilasi Hukum Islam. Bandung: CV Nuansa Aulia, 2020.

Sajuti Thalib. Hukum Kekeluargaan Indonesia. Jakarta: Yayasan Penerbit Universitas Indonesia, 1974.

Salim, Amru Abdul Mun‟im. Fikih thalak berdasarkan Al Qur’an dan Sunnah. Diedit oleh Titi Tartilah Mukhlis B. Mukti, 2005.

Sayyid Sabiq. Fiqhu Sunnah, 2009.

(18)

Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press, 1986.

Suharsini Arikunto. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Putra, 2002.

Sulaiman bin al‟Asyas al Sijistani. Sunan Abu Dawud. Jilid 1. Beirut-Libanon: Dar al Kutub al Ilmiyah, 1996.

Syaikhu, dkk. Perbandingan Mazhab Fiqh: Perbedaan Pendapat Dikalangan Imam Mazhab. Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2013.

Tihami. Fiqih Munakahat. Jakarta: Rajawali Pers, 2004.

Referensi

Dokumen terkait

Akibat hukum yang timbul setelah ditetapkan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) adalah kembali kepada individu masing-masing, bagi umat Islam sudah seharusnya mentaati fatwa yang

Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia adalah wadah yang mengumpulkan para ulama Indonesia yang memahami konsep nilai dan moralitas yang digariskan oleh agama Islam

Sedangkan analisis ma ṣ la ḥ ah terhadap Tingkat Kebutuhan Penggunaan Alkohol dalam Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) No.11 Tahun 2009 tentang Hukum Alkohol Dalam

bahwa oleh karena itu, Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia memandang perlu menetapkan fatwa tentang Hukum Pewarna Makanan dan Minuman dari Serangga Cochineal

tentang hukum memakan bekicot. Ada sebagian ulama yang tegas mengharamkannya. Namun setelah diteliti, ternyata ada sebagian lainnya yang berpendapat tidak cukup

Tesis yang berjudul “Fatwa Majelis Ulama Indonesia No.56 Tahun 2016 tentang Penggunaan Atribut Keagamaan Non-Muslim Menurut Sumber Hukum di Indonesia” merupakan sebuah

http://bajangjournal.com/index.php/JISOS STRATEGI KOMUNIKASI MAJELIS ULAMA INDONESIA PROVINSI SUMATERA UTARA DALAM MENSOSIALISASIKAN FATWA-FATWA KEPADA MASYARAKAT Oleh Nurfauziah

Apabila pemutusan talak tiga sekali ucap menurut pandangan pendapat para ulama terhadap nash-nash yang datang mengenai masalah tersebut dan hanya menghadapinya dengan melihat