• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Implementasi Kebijakan Pengendalian Resistensi Antimikroba di Rumah Sakit

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "Analisis Implementasi Kebijakan Pengendalian Resistensi Antimikroba di Rumah Sakit"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

Analisis Implementasi Kebijakan Pengendalian Resistensi Antimikroba di Rumah Sakit

*Nani Indriana, **Wiku Bakti B. Adisasmito

*Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Kampus Baru UI Depok 16424, Indonesia

**Departemen Administrasi Kebijakan Kesehatan. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Kampus Baru UI Depok 16424,

Indonesia

E-mail: [email protected]

Abstrak

Di Indonesia, upaya mengendalikan resistensi antimikroba salah satunya melalui dpembentukan Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA) dan dibentuknya Permenkes no 8 Tahun 2015 tentang Program Pengendalian Resistensi Antimikroba di Rumah Sakit. Penelitian ini bertujuan untuk menggali lebih dalam terhadap implementasi kebijakan Program Pengendalian Resistensi Antimikroba di Rumah Sakit dibandingkan antara rumah sakit pemerintah dengan rumah sakit swasta yaitu RS Persahabatan dan RS PMI, untuk selanjutnya dapat menjadi masukan dalam perumusan strategi pengendalian resistensi antimikroba yang efektif dan efisien di rumah sakit. Metode penelitian merupakan studi deskriptif dengan analisis kualitatif melalui wawancara mendalam dan telaah dokumen. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa Pelaksanaan Program Pengendalian Resistensi Antimikroba di Rumah Sakit Pemerintah lebih baik dari Rumah Sakit Swasta berdasarkan Permenkes No 8 Tahun 2015 tentang PPRA di Rumah Sakit. Saran yang diajukan adalah mempercepat peningkatan awwareness rumah sakit terhadap PPRA, Bagi RS Persahabatan dengan meningkatkan status tim menjadi Komite, bagi RS PMI dengan meningkatkan leadership tim PPRA.

Kata Kunci : PPRA; Resistensi Antimikroba; Rumah Sakit; Implementasi Kebijakan

Analysis of Policy Implementation of Antimicrobial Resistance Control at the Hospital

Abstract

In Indonesia, an effort to control Antimicrobials Resistance at the hospital through the formation of Antimicrobials Resistance Control Commitee, and published Ministry of Health regulation no 8, 2015 about anti microbials resistance control program at the hospital. This research is to aim deeper The Implementation of The Regulation of Antimicrobials Resistance Control Program at the Hospital compare to public hospital with private hospital at Persahabatan Hospital and PMI Hospital, where next could be input in formulating the effective & efficient strategy of Antimicrobials Resistance Control at The Hospital. The research method is descriptive study with qualitative analysis through deep interview and studied document.

The results concluded that the implementation of Antimicrobial Resistance Control Program in Government Hospital is better than Private Hospital based on Permenkes No. 8/2015 on PPRA at Hospital. The suggestion is to accelerate the increase of awareness of the hospital to PPRA, for Persahabatan Hospital by raising the status of the team to the Committee, for PMI Hospital by improving the leadership of PPRA team Key words : PPRA; Antimicrobial Resistance; Hospital; Policy

Implementation

Pendahulua n

(2)

Fasilitas pelayanan kesehatan berkontribusi terhadap transmisi kejadian resistensi antimikroba, disebabkan adanya ketidakmampuan dalam mengidentifikasi mikroorganisme

(3)

resisten secara efektif dan efisien melalui tes diagnostik. Faktor pendorong utama terjadinya resistensi antimikroba di rumah sakit adalah penyalahgunaan atau terlalu seringnya menggunakan obat antimikroba, dimana sekitar 50% penulisan resep antibiotik adalah tidak tepat atau tidak ada indikasinya. Faktor lain yang juga berpengaruh adalah permintaan pasien untuk meresepkan antibiotik, adanya keuntungan finansial dari pemasok obat, tidak memadainya kebersihan serta pencegahan dan pengendalian infeksi di rumah sakit, serta kurangnya akses untuk mendapatkan antibiotik yang tepat (Holmes et al., 2016; Huttner et al., 2013; WHO, 2015)

Resistensi antimikroba di fasilitas pelayanan kesehatan di Indonesia terlihat dari beberapa hasil penelitian dan hasil survey. Pada tahun 2000-2005 dilakukan AMRIN study (Antimicrobial Resistance in Indonesia-Prevalence and Prevention Study) di dua kota di Indonesia dengan hasil pada 2.494 individu di masyarakat terdapat 43% bakteri Escherichia coli resisten terhadap berbagai jenis antibiotik antara lain: ampisilin sebesat 34%, kotrimoksazol sebesar 29% dan kloramfenikol sebesar 25%. Sementara pada 781 pasien yang dirawat di rumah sakit didapatkan 81% Escherichia coli resisten terhadap ampisilin sebesar 73%, kotrimoksazol sebesar 56%, kloramfenikol sebesar 43%, siprofloksasin sebesar 22%, dan gentamisin sebesar 18% (Kemenkes RI 2015b)

Pada tahun 2013 juga dilakukan survei di enam rumah sakit di Indonesia yang menunjukkan hasil bahwa bakteri Escherichia coli dan Klebsiela pneumonia telah memproduksi enzim ESBL sekitar 40-60 persen, hal itu menunjukkan bakteri telah resisten terhadap antibiotik. Beberapa penelitian di rumah sakit di Indonesia dari tahun 2002-2016 juga menunjukkan adanya resistensi MRSA di berbagai rumah sakit di Indonesia (Chudlori, Kuswandi, & Indrayudha, 2012; Hayati, Azwar, & Puspita, 2016;

KPRA, n.d.; Refdanita, Maksum, Nurgani, & Endang, 2004; Tjaniadi et al., 2003)

Data menunjukkan bahwa prevalensi ESBL di Indonesia terus mengalami peningkatan dari 9% pada tahun 2002 menjasi 45-89% di tahun 2016 seperti yang ditunjukkan dalam grafik.

(4)

Gambar Error! No text of specified style in document..1 Prevalensi ESBL di Indonesia Tahun 2002-2016

70 66

60 50

Surveilans 2016: 45- 40

30 20

10 9

0

28

RSDS AMRIN

35 40

RSDS

WHO/PPR

A 26-56% ESBL

2000 2005 2010 2013 2016

Tahun Sumber: KPRA 2017

Upaya Indonesia untuk mengatasi resistensi antimikroba dilaksanakan melalui dibentuknya Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA) pada tahun 2014 dan dikeluarkannya Perturan Menteri Kesehatan No 8 Tahun 2015 tentang Program Pengendalian Resistensi Antimikroba di Rumah Sakit.(Kemenkes RI, 2015; Moeloek, 2015). Sesuai dengan Permenkes, bahwa rumah sakit diwajibkan untuk membentuk tim PPRA yang bertujuan menerapkan pengendalian resistensi antimikroba di rumah sakit melalui perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, monitoring, dan evaluasi. Workshop PPRA sudah dilaksakan sejak tahun 2010 sebelum diterbitkannya Permenkes No 8 Tahun 2015 tentang Pengendalian resistensi Antimikroba di Rumah Sakit. Berdasarkan “Data Workshop PPRA RS Rujukan,” 2016, pada tahun 2010 PPRA dilaksanakan di 20 rumah sakit umum pusat sebagai pilot project. Sampai tahun 2016 sebanyak 112 rumah sakit rujukan nasional, propinsi, dan regional yang mengikuti workshop PPRA. Implementasi PPRA bertujuan untuk memperkuat pengendalian resistensi antimikroba di empat pilar, yaitu Mikrobiologi klinis, Pengendalian Infeksi, Farmasi klinis, dan komite Farmasi.

Selain itu untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap resistensi antimikroba, penggunaan antibiotik secara bijak di rumah sakit,serta surveilans terhadap resistensi antimikroba dan penggunaan antibiotik.

Sampai saat ini belum pernah ada penelitian yang membandingkan implementasi program penendalian resistensi antiimikroba di rumah sakit pemerintah dan swasta. Hal ini mendorong penulis untuk melakukan penelitian tentang Implementasi Kebijakan Program Pengendalian Resistensi Antimikroba di Rumah Sakit. Penelitian ini bertujuan untuk Menggali lebih dalam terhadap implementasi kebijakan Program Pengendalian Resistensi

Persentase

(5)

Antimikroba di Rumah Sakit dibandingkan antara rumah sakit pemerintah dengan rumah sakit swasta

Tinjauan Teoritis

Program Pengendalian Resistensi Antimikroba di Rumah Sakit

Berdasarkan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit dan berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No 56 Tahun 2014 tentang klasifikasi dan perizinan rumah sakit, Rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat, dapat didirikan dan diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah, atau swasta.

Salah satu implementasi dari fungsi rumah sakit adalah dengan dilaksanakannya program pengendalian resistensi antimikroba secara baku, terukur, dan terpadu sesuai dengan amanat Permenkes No 8 Tahun 2015 tentang Program Pengendalian Resistensi Antimikroba di Rumah Sakit. Pengendalian resistensi antimikroba adalah aktivitas yang ditujukan untuk mencegah dan atau menurunkan adanya kejadian mikroba resisten.

Dalam aplikasinya, bertumpu pada dua upaya utama, yakni: 1) mengendalikan berkembangnya mikroba resisten akibat tekanan seleksi oleh antibiotik, melalui penggunaan antibiotik secara bijak, dan 2) mencegah penyebaran mikroba resisten melalui peningkatan ketaatan terhadap prinsip pencegahan dan pengendalian infeksi. Pelaksanaan program pengendalian resistensi antimikroba melalui pembentukan tim, penyusunan kebijakan dan panduan penggunaan antibiotik, melaksanakan menggunakan antibiotik secara bijak, dan melaksanakan prinsip pencegahan pengendalian infeksi.

Pembentukan tim bertujuan menerapkan program pengendalian resistensi antimikroba di rumah sakit melalui perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, monitoring, dan evaluasi. Evaluasi dilakukan melalui evaluasi penggunaan antibiotik dan pemantauan atas muncul dan menyebarnya mikroba multiresisten melalui audit dan surveilans.Indikator mutu program meliputi perbaikan kuantitas dan kualitas penggunaan antibiotik, perbaikan pola kepekaan antibiotik, penurunan pola resistensi antimikroba, penurunan angka kejadian infeksi di rumah sakit disebabkan mikroba multiresisten, dan peningkatan mutu penanganan kasus infeksi secara multidisiplin melalui forum kajian kasus infeksi terintegrasi (Kemenkes RI, 2015).

(6)

George C Edwards III, 1980 (Nawawi, 2009) menyatakan bahwa implementasi dipengaruhi empat variabel yang saling berkaitan satu sama lain, yaitu:

1. Komunikasi efektif antara pelaksana program (kebijakan) dengan kelompok sasaran akan menyebabkan kebijakan dapat terlaksana dengan baik. Implementasi yang efektif akan terlaksana, jika para pembuat keputusan mengetahui mengenai apa yang akan mereka kerjakan. Terdapat tiga indikator yang dapat digunakan dalam mengukur keberhasilan variabel komunikasi yaitu Transmisi, Kejelasan, dan Konsistensi

2. Sumber Daya, merupakan faktor penting implementasi kebijakan agar efektif dan efisien.

Mencakup Sumber daya manusia (Staff); Anggaran (Budgetary; Fasilitas (Facility;

dan Kewenangan (Information and Authority).

3. Disposisi, adalah watak dan karakteristik yang dimiliki oleh pelaksana kebijakan, seperti komitmen, kejujuran, dan sifat demokratis. Jika para pelaksana mempunyai kecenderungan atau sikap positif atau adanya dukungan terhadap implementasi kebijakan maka terdapat kemungkinan yang besar impelementasi kebijakan akan terlaksana sesuai dengan keputusan awal.

4. Struktur Birokrasi, mencakup dua hal penting, yaitu mekanisme dan struktur organisasi pelaksana. Mekanisme implementasi kebijakan biasanya ditetapkan melalui Standard Operating Procedurs (SOP), sedangkan struktur organisasi sejauh mungkin menghindari hal yang terlalu panjang, kompleks, dan berbelit karena cenderung melemahkan pengawasan.

Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan studi deskriptif dengan analisis kualitatif untuk menggambarkan dan menggali lebih dalam tentang implementasi kebijakan PPRA di rumah sakit melalui wawancara mendalam dan telaah dokumen. Penelitian dilakukan selama bulan Mei – Juli 2017 di Kementerian Kesehatan, KPRA, RSUP Persahabatan Jakarta dan RS PMI Bogor. Informan dipilih dengan cara purposive sampling yaitu peneliti menentukan informan sesuai dengan kriteria permasalahan yang akan diteliti, terdiri dari Direktorat Upaya Pelayanan Rujukan Kementerian Kesehatan RI, Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba, Komite Medik Rumah Sakit, Ketua Tim PPRA Rumah Sakit, Ketua Komite Pencegahan Infeksi Rumah Sakit, Kepala Laboratorium Mikrobiologi Rumah Sakit, Kepala Instalasi Farmasi Rumah Sakit

Implementasi Kebijakan

(7)

Tabel 1 Perbandingan Hasil Penelitian

No Komponen RSUP Persahabatan RS PMI

1 Komunikasi

Transmisi ToT oleh Kemenkes dan KPRA Kepada RS tahun 2016

Sosialisasi PPRA di Internal RS:

Peningkatan Pemahaman & ketaatan SMF dlm penggunaan antibiotik secara bijak melalui Sosialisasi tg PPRA &

Pola kuman di acara selasa klinik &

morning report

Belum ada karena tidak menjadi sasaran sosialisasi

Sosialisasi PPRA di Internal RS:

Peningkatan Pemahaman Tim PPRA mengenai PPRA melalui lokakarya mini

Kejelasan Memahami maksud dan tujuan Memahami maksud dan tujuan Konsistensi Hal-hal yang bersifat teknis dipahami Hal-hal yang bersifat teknis belum

dipahami 2 Sumber Daya

SDM Kompetensi SDM Tim PPRA cukup, keanggotannya sesuai dengan

kompetensi yang dibutuhkan terkendala kecukupan SDM yang melakukan evaluasi

Uraian tugas: Berfokus pada pelaksanaan antibiotik policy dan antibiotik guidlines

Kompetensi SDM tim PPRA cukup, keanggotannya sesuai dengan kompetensi yang dibutuhkan

Uraian tugas tidak ada

Anggaran Belum ada anggaran khusus

Paket pembayaran BPJS membebani RS untuk kebutuhan antibiotik diluar fornas

Belum ada anggaran khusus

Paket oembayaran BPJS

dikhawatirkan menjadi beban bagi RS untuk melakukan kultur

Fasilitas Lab mikrobiologi tersedia dan menjalankan fungsi:

menyediakan data secara invivo. Laporan periodik/semester tg pola kepekaan kuman terhadap antibiotik di ruang ICU dan Non ICU kepada direktur

Lab mikrobiologi tersedia dan menjalankan fungsi:

melaporkan hasil survey pemeriksaan pola kepekaan bakteri terhadap berbagai antibiotik di ruang ICU dan PICU

Kewenangan Peningkatan peran pemangku kepentingan di bidang penanganan penyakit infeksi & penggunaan antibiotik melalui:

-Persetujuan pemberian antibiotik golongan kuning & merah melalui tim PPRA di masing-masing SMF -Review penggunaan antibiotik

melalui ronde klinik

Pemantauan penggunaan antibiotik dilakukan untuk pasien rawat inap,

Belum terlihat gambaran peningkatan peran pemangku kepentingan di bidang penanganan penyakit infeksi & penggunaan antibiotik

Tidak ada pemantauan penggunaan Hasil Penelitian dan Pembahasan

(8)

No Komponen RSUP Persahabatan RS PMI disesuaikan dengan masa ACC tim PRA

Panduan penggunaan antibiotik Melalui onsite konseling dan PIO (Tidak khusus antibiotik)

Belum dilakukan surveilans pola penggunaan antibiotik &

pelaporan berkala

Surveilans pola mikroba penyebab infeksi

& kepekaan terhadap antibiotik dilaporkan periodik per 6 bulan

antibiotik oleh tim PPRA

Panduan penggunaan antibiotik Melalui PIO (Tidak khusus antibiotik)

Belum dilakukan surveilans pola penggunaan antibiotik & pelaporan berkala

Surveilans pola mikroba penyebab infeksi & kepekaan terhadap antibiotik dilaporkan periodik per 6 bulan

3 Struktur Birokrasi

Koordinasi Antar organisasi: Kemenkes –KPRA- RS

PPRA masuk dalam komponen akreditasi

Internal: Rapat, WA Grup dan Telp

Struktur org: Tim, bertanggung jawab pada KFT: SK No

Hk.02.04/SK/VIII/876/2016 tgl 3 Maret 2016

Keanggotaan: SMF Bedah, farmasi, mikrobiologi, penyakit dalam, anak, kebidanan & kandungan, anasthesi, bedah, THT, Mata, Paru , saraf, Kulit

& kelamin, Gigi & Mulut, Rehab Medik, Komite PPI, Komite KF

Pencegahan dan Pengendalian Infeksi, melalui:

-Workshop & pelatihan hand hygiene -Penanganan KLB mikroba

multiresisten melalui sistem, link antara PPI dengan mikrobiologi klinik untuk setiap kasus MDRO -Penanganan Isolasi

Belum dilakukan koordinasi antar organisasi dan koordinasi di internal RS

Struktur: Komite PRA,

bertanggung jawab pada direktur:

SK No 1.0042/KPTS/XII/2015 tgl 23 Desember 2015.

Keanggotaan: KSM Laboratorium Klinik, penyakit dalam, rehab medik, kulit & kelamin, anesthesi, jantung, mata, anak, umum, radiologi, saraf, THT, Orthopedi, Obsgyn, Gigi &

Mulut, Komite PPI, Keperawatan, Farmasi

Pencegahan dan pengendalian infeksi melalui

- Melaksanakan kewaspadaan standar

- Temuan 1 kasus MDRO di rumah sakit, dilakukan kultur

pasien meninggal SOP Panduan Penggunaan Antimikroba Edisi III:

Terapi empirik & definitif

Antibiotika profilaksis bedah

Antimikroba pasien immunocomprimised

Pengendalian resistensi antimikroba (Penggolongan antibiotik

Hijau, Kuning,Merah)

Tidak ada

Supervisi Pembinaan kepada rumah sakit dilaksanakan melalui ToT

Belum ada pengawasan

Tidakdilakukan pembinaan dan pengawasan

4 Disposisi

Insentif Bagi RS tidak ada Bagi RS tidak ada

(9)

No Komponen RSUP Persahabatan RS PMI

Harapan; ada insentif

Keuntungan: efisiensi biaya karena penggunaan antibiotik lebih

terkontrol dan mengurangi hari rawat

Harapan: ada insentif bagi pelaksana di RS

Sikap Pelaksana

Dukungan manajemen: terbentuknya tim, fasilitasi kegiatan penunjang

Sistem kerja berjalan

Hambatan: SMF yang belum mau melaksanakan

Dukungan manajemen: terbentunya tim

Tindakan aktif KSM melakukan kultur

Berdasarkan hasil analisa di atas dapat terlihat bahwa pelaksanaan program pengendalian resistensi antimikroba di Rumah Sakit Persahabatan sebagai rumah sakit pemerintah lebih baik dibandingkan dengan pelaksanaan program di Rumah Sakit PMI sebagai rumah sakit swasta. Terlihat pula bahwa adanya interaksi antara faktor komunikasi, sumber daya, struktur birokrasi dan disposisi sangat berpengaruh terhadap keberhasilan implementasi kebijakan pengendalian resistensi antimikroba di rumah sakit. Lebih lanjut analisis dari masing-masing aspek akan diuraikan.

1. Analisis Komunikasi

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa proses penyaluran informasi kebijakan Peraturan menteri kesehatan no 8 Tahun 2015 tentang program pengendalian resistensi antimikroba belum dilaksanakan secara seimbang kepada rumah sakit pemerintah dan rumah sakit swasta. Meskipun sasaran implementasi kebijakan adalah rumah sakit pemerintah dan rumah sakit swasta, namun komitmen sosialisasi masih terbatas dilaksanakan kepada rumah sakit pemerintah belum menyentuh rumah sakit swasta.

Menurut Nawawi, 2009 terdapat banyak cara untuk melakukan sosialisasi kebijakan, yaitu melalui publikasi seremonial penandatanganan naskah kebijakan publik, berita di media massa, seminar, dan sarana lainnya. Proses penyaluran informasi yang dilakukan kepada RSUP Persahabatan dilaksanakan melalui ToT karena proses sosialisasi bertujuan tidak hanya untuk meningkatkan awarness pelaksana kebijakan, namun juga untuk meningkatkan kemampuan pelaksana kebijakan sebagai bagian dari pembinaan.

Bentuk penyaluran informasi juga dilaksanakan melalui workshop dan buku saku Permenkes no 8 Tahun 2015. Sosialisasi yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan dan KPRA pun belum konsisten karena berdasarkan capaian workshop PPRA tahun 2016 baru 60% atau sebanyak 86 rumah sakit rujukan dari 144 rumah sakit rujukan. Sementara saat ini jumlah rumah sakit yang sudah

(10)

teregistrasi sebanyak 2.705 rumah sakit. Sosialisasi seharusnya dilakukan secara terus menerus dan konsisten sehingga informasi mengenai program pengendalian resistensi antimikroba mencapai ke seluruh kelompok sasaran kebijakan

Subarsono, 2016 menyatakan bahwa apabila tujuan dan sasaran suatu kebijakan tidak jelas atau bahkan tidak diketahui sama sekali oleh kelompok sasaran, maka kemungkinan akan terjadi resistensi dari kelompok sasaran. Sehingga perlu diyakini bahwa organisasi pelaksana memahami dengan benar maksud dan tujuan dari kebijakan itu sendiri. Semua informan mengetahui tujuan dari kebijakan ini, yaitu untuk mengendalikan agar resistensi antimikroba tidak terus terjadi. Namun tidak semua informan, khususnya informan di rumah sakit swasta memahami bagaimana teknis pelaksanaan PPRA di rumah sakit. Karena penyampaian informasi yang belum konsisten, terutama kepada pelaksana rumah sakit swasta menyebabkan pelaksana di rumah sakit PMI belum memahami secara mendalam terhadap maksud dan tujuan dari kebijakan.

konsistensi informasi menurut subarsono, 2016 berarti perintah yang diberikan dalam pelaksaaan suatu komunikasi harus konsisten dan jelas sehingga tidak menyebabkan kebingungan pada saat pelaksanaan. Berdasarkan hasil penelitian terlihat bahwa konsistensi informasi belum merata di seluruh kelompok sasaran. Konsistensi informasi terjadi di Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan, dimana di dalam lingkungan rumah sakit sudah dilakukan sosialisasi sampai ke tingkat Staf Medik Fungsional secara konsisten. Berbeda dengan di rumah sakit PMI dimana informasi yang bersifat teknis belum sepenuhnya dipahami oleh pelaksana kebijakan.Menurut pandangan penulis, maksud dan tujuan dari Permenkes perlu dituangkan dalam bentuk uraian tugas bagi tim pelaksana di rumah sakit. Penunjukkan komite melalui SK Tim sudah mengindikasikan adanya awareness terhadap kebutuhan pengendalian resistensi antimikroba, hal ini perlu didukung oleh konsistensi informasi dari seluruh pelaksana kebijakan baik tim dan sekuruh KSM yang ada di rumah sakit, sehingga kebijakan dapat betul terlaksana

Dapat disimpulkan bahwa kurangnya komunikasi menjadi kendala pada proses implementasi kebijakan pengendalian resistensi antimikroba di Rumah Sakit PMI Bogor

2. Analisis Sumber Daya

Subarsono (2016) mengatakan bahwa manusia merupakan sumber daya terpenting dalam menentukan keberhasilan implementasi kebijakan. Tahap-tahap tertentu dari keseluruhan proses implementasi menuntut adanya sumber daya manusia yang

(11)

kompeten/berkualitas.. Sumber Daya Manusia di RSUP Persahabatan dinyatakan memiliki kompetensi yang cukup dan sesuai untuk melaksanakan kebijakan ini,terlihat dari setiap anggota tim yang ada memiliki kompetensi seperti yang tertuang dalam Permenkes. Keberadaan sumber daya yang memadai dan kompeten seharusnya dapat bekerja dengan baik sesuai dengan proporsi tugasnya masing-masing, namun pada kenyataanya SDM yang ada belum dapat melaksanakan evaluasi, peneliti melihat bahwa hal tersebut disebabkan setaip individu yang ada di rumah sakit memiliki peran ganda, baik menjalankan tugas pokok fungsi hariannya disertai dengan peran dalam tim PPRA.

Berbeda halnya dengan di Rumah Sakit PMI, peneliti melihat bahwa dari segi SDM, terlihat bahwa anggota yang ada memilliki kompetensi yang dibutuhkan, namun tim belum bergerak untuk bekerja, peneliti menilai bahwa ada faktor motivasi yang menjadi penghambat dalam implementasi kebijakan di rumah sakit PMI.

Fasilitas adalah sarana dan prasarana yang harus disediakan oleh rumah sakit dalam menjamin terlaksananya kebijakan pengendalian resistensi antimikroba di rumah sakit. Berdasarkan hasil wawancara dengan informan N1 dan N2 dinyatakan bahwa fasilitas utama bagi rumah sakit untuk dapat mengimplementasikan kebijakan ini adalah ketersediaan laboratorium mikrobiologi yang berfungsi secara baik. Dan ketidakberadaan fasilitas ini di rumah sakit pada umumnya yang menjadi penghambat implementasikebijakan di rumah sakit. Peran laboratorium mikrobiologi klinik dalam pengendalian resistensi antimikroba ditegaskan oleh (Simões, 2016), mencakup isolasi dan identifikasi mikroba, penentuan pola kepekaan antimikroba, surveilans epidemiologi dan deteksi wabah. Keberadaan laboratorium mikrobiologi sudah dimiliki oleh Rumah Sakit Persahabatan maupun Rumah Sakit PMI, sehingga dapat dikatakan bahwa tidak ada permasalahan terkait fasilitas rumah sakit untuk mengimplementasikan program pengendalian resistensi antimikroba di rumah sakit.

Sumber daya keuangan merupakan faktor krusial mendukung dalam kebijakan.

Setiap program membutuhkan dukungan staf untuk melakukan pekerjaan administratif dan teknis serta memonitor program yang semuanya membutuhkan biaya. Di Lingkungan pemerintah, anggaran berasal dari APBN, digunakan untuk sosialisasi dan pembinaan.

Namun dikarenakan adanya faktor lain seperti pemotongan anggaran dan program prioritas, anggaran yang ada dinilai tidak cukup untuk melakukan sosialisasi dan pembinaan yang berkelanjutan. Di Rumah Sakit Persahabatan dan rumah sakit PMI dinyatakan bahwa masalah anggaran terletak pada paket manfaat yang dibayarkan dari BPJS Kesehatan. Di rumah sakit Persahabatan dinyatakan bahwa paket manfaat yang dibayarkan oleh BPJS Kesehatan tidak menanggung jika rumah harus meresepkan antibiotik di luar formularium nasional, sehingga

(12)

hal tersebut menjadi beban bagi rumah sakit.Sebagai rumah sakit rujukan tersier, RSUP banyak mendapatkan pasien dengan kasus MDRO.

Di Rumah Sakit PMI dinyatakan bahwa paket manfaat dalam BPJS Kesehatan yang dibayarkan akan membebani rumah sakit untuk melaksanakan kultur kuman selisih biayanya. Rumah Sakit PMI adalah rumah sakit swasta murni yang pembiayaanya berasal dari pasien rumah sakit, dimana sebesar 90% nya adalah pasien BPJS Kesehatan. Menurut Ratri (2014) Anggaran diperlukan untuk membiayai operasionalisasi pelaksanaan kebijakan misal untuk membayar gaji pelaksana kebijakan, penyediaan fasilitas, untuk operasionalisasi program dan yang lainnya. Seharusnya beban biaya justru menjadi motivasi bagi Rumah Sakit PMI untuk dapat segera melaksanakan program pengendalian resistensi antimikroba di rumah sakit. Dengan melaksanakan program pengendalian resistensi antimikroba, akan meminimalisir terjadinya peningkatan morbiditas dan mortalitas, lama hari rawat dan meningkatnya biaya perawatan RS (Negara, 2014)

Edward dalam Winarno, 2014 menyatakan bahwa adanya instrumen kebijakan, pelaksana kebijakan dapat mengoptimalkan waktu yang tersedia dan dapat berfungsi untuk menyeragamkan tindakan dalam organisasi yang kompleks dan tersebar luas, sehingga dapat menimbulkan fleksibilitas yang besar dan kesamaan yang besar dalam penerapan peraturan. Sesuai dengan Permenkes no 8 Tahun 2015, dalam implementasinya, rumah sakit perlu menyusun panduan penggunaan antimikroba.di Rumah Sakit Persahabatan, Panduan Penggunaan Antimikroba edisi III telah disusun dan menjadi panduan bagi tim PPRA untuk memberikan persetujuan bagi peresepan antibiotik khususnya golongan kuning dan merah.Sementara di Rumah Sakit PMI belum disusun.

Berdasarkan hasil analisis di atas dapat disimpulkan bahwa keempat variabel dalam aspek sumber daya sangat mempengaruhi terlaksananya kebijakan ini di rumah sakit Persahabatan dan Rumah Sakit PMI

3. Analisis Struktur Birokrasi

Pada level birokrasi pada penelitian ini koordinasi terjalin antara kementerian Kesehatan, KPRA, dan Rumah Sakit Pemerintah. Peran dari Dinas Kesehatan belum terlihat dalam implemntasi kebijakan ini meskipun dalam perturan sudah jelas tertuang bahwa dinas kesehatan dan kepala daerah memiliki peran penting dalam pembinaan dan pengawasan terhadap program pengendalian resistensi antimikroba di rumah sakit.

Koordinasi sudah

(13)

terjalin antara kementerian Kesehatan, KPRA dan Rumah Sakit Pemerintah, namun koordinasi dengan rumah sakit swasta belum terjalin.

Pada level rumah sakit Persahabatan, koordinasi terjalin di antara Tim PPRA dengan 6 pilar pengendalian resistensi antimikroba yaitu Lab Mikrobiologi, Farmasi, KFT, Dokter/SMF, dan Perawat. Meskipun pada praktiknya belum semua bergerak dalam payung tim Pengendalian Resistensi Antimikroba namun pada dasarnya kegiatan yang dilakukan bertujuan untuk mengendalikan resistensi antimikroba. Berbeda dengan pada level Rumah Sakit PMI, kegiatan yang ada pada pilar-pilar PPRA yang ada belum mencerminkan pengendalian resistensi antimikroba.

Kedua, adalah proses supervisi. Sesuai dengan Permenkes no 8 Tahun 2015, pembinaan dan pengawasan terhadap program pengendalian resistensi antimikroba merupakan tugas dari Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota dengan melibatkan KPRA, aosiasi perumahsakitan dan organisasi profesi keehatan terkait. Pengawasan dan pembinaan dilakukan melalui advokasi, sosialisasi, dan bimbingan teknis, pelatihan dan peningkatan kapasitas umber daya manusia, dan monitoring dan evaluasi. Supervisi baru dilaksanakan ke rumah sakit pemerintah, belum menyentuh rumah sakit swasta seperti PMI. Supervisi ke rumah sakit Persahabatan dilaksanakan melalui kegiatan ToT, dimana diharapkan rumah sakit rujukan nasional dan regional dapat menjadi perpanjangan tangan bagi KPRA untuk melakukan pembinaan bagi rumah sakit di sekitarnya.

Seharusnya pembinaan dan soasialisasi dilakukan secara konsisten dan terus menerus,tidak hanya terbatas pada rumah sakit pemerintah saja.

4. Analisis Disposisi

Edward (1980) dalam (Supriadi, 2012), menyatakan bahwa jika implementasi kebijakan ingin dilaksanakan secara efektif maka pelaksana kebijakan tidak hanya harus mengetahui apa yang harus dikerjakan dan mempunyai kemampunan untuk melaksanakannya, tetapi pelaksana kebijakan juga harus mempunyai keinginan untuk melaksanakan kebijakan. Berdasarkan hasil penelitian, di Rumah Sakit Persahabatan sebagai pelaksana kebijakan, pihak manajemen sudah memberikan dukungan yang positif dengan memfasilitas terlaksananya program pengendalian resistensi antimikroba, terbentuknya tim, dan diterbitkannya kebijakan panduan penggunaan antimikroba. Dalam melaksanakan tugasnya, tim juga sudah mulai sampai pada tahap monitoring. Hambatan datang dari SMF yang belum mau melaksanakan mekanisme persetujuan pemberian antimikroba di rumah sakit. Menurut

(14)

peneliti hal ini bisa disebabkan karena belum maksimalnya pendekatan yang dilakukan kepada SMF serta belum adanya faktor yang mengikat bagi SMF untuk dapat mengikuti kebijakan yang ada. Untuk mengatasi hal tersebut diperlukan pendekatan yang konsisten dan terus menerus ke setiap personal.

Dukungan manajemen juga terlihat di Rumah sakit PMI dengansudah terbentuknya komite pengendalian resistensi antimikroba dan pernah dilaksanakannya lokakarya mini untuk mendapatkan pemahaman mengenai PPRA. Resistensi justru terjadi dalam tim yang belum melaksnakan program PRA. Menurut peneliti hal ini dapat terjadi karena tim belum memiliki uraian tugas dan belum meratanya informasi dan tingkat kepahaman tim mengenai teknis program PRA.

Menurut Subarsono, 2016, dalam proses implementasi sering didapati mekanisme insentif dan sanksi agar implementasi kebijakan dapat berjalan dengan baik. Tujuan dari sistem insentif sendiri adalah untuk meningkatkan motivasi pelaksana kebijakan dalam upaya mencapai tujuan organisasi. Berdasarkan hasil penelitian disampaikan tidak ada insentif yang diberikan dari pemerintah kepada organisasi pelaksana dalam mengimplementasikan kebijakan ini karena pengendalian resistensi antimikroba merupakan bagian dari tugas dan fungsi rumah sakit.

Dalam Permenkes pada pasal 15 disampaikan bahwa rumah sakit yang melanggar ketentuan permenkes dapat dikenakan sanksi administrasi berupa teguran lisan maupun teguran tertulis. Namun peneliti berpendapat bahwa sanksi yang ada belum dapat diterapkan karena fungsi pembinaan dan pengawasan yang seharusnya dilaksanakan oleh Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota belum berjalan. Memasukkan poin Pengendalian resistensi antimikroba sebagai indikator dalam akreditasi rumah sakit merupakan intensif yang paling tepat bagi rumah sakit karena akan berdampak secara langsung terhadap konsistennya pelaksanaan pengendalian resistensi antimikroba di rumah sakit.

5. Solus i

Berdasarkan hasil analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa terjadi kendala dan hambatan dalam implementasi kebijakan Pengendalian Resistensi Antimikroba. Sehingga solusi yang diajukan adalah sebagai berikut:

(15)

Tabel 2 Solusi terhadap Permasalahan yang ditemukan di Rumah Sakit Persahabatan dan Rumah Sakit PMI

No Komponen RS Persahabatan RS PMI

Kendala Solusi Kendala Solusi

1. Komunikasi - Tidak adanya komunikasi

kepada RS PMI dan di dalam RS PMI sehingga hal- hal bersifat teknis tidak dapat dipahami

- Meningkatkan kegiatan ToT tim PPRA oleh kemenkes dan KPRA kepada RS

Rujukan

Nasional/Regional sehingga dapat menjadi

perpanjangan tangan untuk melatih rumah sakit yang ada di sekitar RS Rujukan 2. Sumber

Daya:

- SDM

Belum berjalannya fungsi evaluasi pelaksanaan PPRA di Rumah Sakit

Meningkatkan status tim PPRA menjadi Komite PPRA:

- Kewenangan Tim untuk memberikan masukan kepada direktur rumah sakit dalam hal pengendalian resistensi antimikroba - Kewenangan tim

melaksanakan proses evaluasi - Indikator mutu dapat terukur

- Kurangnya

kepemimpinan dalam tim untuk

melaksanakan program PRA di rumah sakit - Paket manfaat dari BPJS

Kesehatan menjadi kendala dalam melaksanakan kultur

- Menunjuk ketua komite PPRA yang

berminat pada bidang Infeksi - Memasukkan

komponen pemeriksaan mikrobiologi ke dalam clinical pathway

-

Kewena n gan

Surveilans pola mikroba penyebab infeksi &

kepekaan terhadap antibiotik

Perhitungan kuantitas dan kualitas penggunaan antibiotik dituangkan dalam program kerja farmasi

- Penyelenggaraan pengendalian resistensi

antimikroba terbatas pada pembentukan komite PRA. Serta laporan periodik terhadap pola kuman,

Menyiapkan lokakarya mini tahap selanjutnya untuk:

- meningkatkan

pengetahuan, motivasi, dan komitmen tim PRA - Menyusun strategi

sosialisasi di internal rumah sakit 3 Struktur

Birokrasi - Struktur tim PPRA di bawah KFT, tidak bertanggung jawab langsung pada Direktur Rumah Sakit - Perwakilan

Keperawatan belum masuk menjadi tim

Meningkatkan status tim PPRA menjadi Komite PPRA:

- Kewenangan Tim untuk memberikan masukan kepada direktur rumah sakit dalam hal pengendalian resistensi antimikroba - Kewenangan tim

melaksanakan proses evaluasi - Indikator mutu dapat terukur

- Tidak ada koordinasi antar instansi

- Tim belum memiliki uraian tugas

- Belum disusunnya kebijakan dan panduan penggunaan antibiotik

- (Terjawab di nomor 1) - Tim melaksanakan

rapat bersama untuk:

menentukan tugas pokok dan fungsi Komite PPRA berdasarkan Permenkes no 8 tahun 2015

Menetapkan target pelaksanaan program

Menentukan KSM sebagai pilot project implementasi kebijakan

(16)

No Komponen RS Persahabatan RS PMI

Kendala Solusi Kendala Solusi

menyusun panduan penggunaan antibiotik, mengacu pada :

Pedoman umum penggunaan antibiotik,

Pedoman Nasional pelayanan kedokteran,

Pola mikroba dan kepekaan antibiotik di RS PMI

4 Disposisi - Belum semua SMF mau melaksanaka n

- Meningkatkan sosialisasi internal RS melalui selasa klinik

- Meningkatkanaktivit a s dan frekuensi ronde

klinik oleh tim PRA - Melibatkan

perwakilan SMF untuk melakukan penelitian bersama di RS mengenai pola resistensi dan

- Tim belum bekerja - Meningkatkan Leadership tim PRA Rumah Sakit - Meningkatkan

dukungan manajemen sebagai stimulus bagi tim

k e p e k a a n a n t i b i o ti k

Kesimpulan

1. Pelaksanaan Program pengendalian Resistensi Antimikroba di Rumah Sakit Persahabatan sebagai Rumah Sakit Pemerintah lebih Baik dari pelaksanaan di Rumah Sakit PMI sebagai rumah sakit swastaBerdasarkan pasal 6 sampai 9 PermenkesNo 8 Tahun 2015 tentang Program pengendalian Resistensi Antimikroba di Rumah Sakit 2. Dari 4 Aspek implementasi kebijakan, terdapat satu aspek yang menjadi masalah

utama di rumah sakit Persahabatan, yaitu aspek struktur birokrasi:

a) Struktur tim di bawah Komite Farmasi dan Terapi berdampak pada terbatasnya kewenangan tim

b) Tidak adanya evaluasi pada kegiatan PPRA menyebabkan indikator mutu dari pelaksanaan program pengendalian resistensi antimikroba tidak dapat terukur

3. Dari 4 Aspek implementasi kebijakan, terdapat dua aspek yang menjadi masalah utama di rumah sakit PMI, yaitu:

a) Aspek komunikasi, tidak adanya sosialisasi kebijakan program pengendalian resistensi antimikrona kepada rumah sakit PMI dan di dalam rumah sakit sendiri menyebabkan program tidak berjalan

(17)

b) Aspek Sumberdaya Manusia, tidak adanya leadership dari Ketua Komite menyebabkan tidak berjalannya koordinasi di internal Komite, menyebabkan program tidak berjalan

c) Paket pembiayaan BPJS yang bersifat prospektif menjadi hambatan dalam pelaksanaan program pengendalian resistensi antimikroba, khususnya di rumah sakit PMI

Saran

Bagi Kementerian Kesehatan dan KPRA

1. Mempercepat Peningkatan Awareness rumah sakit terhadap Program Pengendalian Resistensi Antimikroba di Rumah Sakit melalui:

a) Sosialisasi kebijakan pengendalian resistensi antimikroba ke rumah sakit swasta melalui surat edaran yang disertai buku saku juknis PPRA di Rumah Sakit

b) Meningkatkan komunikasi dengan Komite Akreditasi Nasional sehingga mempercepat proses memasukkan komponen PPRA dalam penilaian akreditasi Rumah Sakit

2. Menjalankan fungsi supervisi untuk menjamin keberlangsungan program di organisasi pelaksana

Bagi Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan

1. Meningkatkan status tim Pengendalian Resistensi Antimikroba menjadi Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba

2. Menindaklanjuti hasil ToT yang dilaksanakan oleh kementerian kesehatan dengan menyediakan paket pelatihan PPRA bagi rumah sakit lain yang berada di sekitar RSUP Persahabatan

3. Melaksanakan evaluasi pelaksanaan PPRA rumah sakit melalui audit kuantitas dan audit kualitas penggunaan antibiotik di rumahsakit

4. Menjadikan kepatuhan pemberian resep antibiotik sebagai Key Performance Indikator bagi SDM di rumah sakit

Bagi Rumah Sakit PMI Bogor

1. Menunjuk ketua komite PPRA baru yang berminat pada bidang Infeksi

(18)

2. Melaksanakan Rapat Koordinasi untuk mempercepat pelaksanaan program pengendalian resistensi antimikroba di rumah sakit melalui:

a) Penyusunan uraian tugas dan program kerja

b) Melaksanakan lokakarya mini untuk meningkatkan pemahaman Komite terhadap teknis pelaksanaan program PPRA

c) Melakukan sosialisasi mengenai PPRA kepada seluruh stakeholder rumah sakit d) Memasukkan pemeriksaan kultur bakteri ke dalam clinical pathway di

masing- masing kelompok staff medis e) Menyusun pola mikroba lokal di rumah sakit

f) Menyusun panduan penggunaan antimikroba yang mengacu kepala pedoman umum penggunaan antibiotik, pedoman nasional pelayanan kedokteran, serta pola mikroba dan kepekaan di lokal rumah sakit

g) Melaksanakan PPRA di salah satu KSM rumah sakit sebagai pilot project

Kepustakaan

Chudlori, B., Kuswandi, M., & Indrayudha, P. (2012). Pola Kuman dan

Resistensinya Terhadap Antibiotika dari Spesimen Plus di RSUD Dr. Moewardi Tahun 2012. Jurnal Farmasi Indonesia Pharmacon,

13(2), 70–76. Retrieved from

https://publikasiilmiah.ums.ac.id/bitstream/handle/11617/3372/2012-13-2- 70.pdf?

sequence=1&isAllowed=y

Data Workshop PPRA RS Rujukan. (2016). Jakata: Kemenkes RI.

Hayati, Z., Azwar, A., & Puspita, I. (2016). Pola dan Sensitivitas Antibiotik Bakteri Yang Berpotensi Sebagai Penyebab Infeksi Nosokomial di Ruang Rawat Bedah RSUDZA Banda Aceh. YARSI Medical Journal, 20(3), 158–166. Retrieved from h tt p: / /a c a d e mi c j o u r n a l . y a r s i . ac . i d / in d e x . p h p / j u r n a l - f k - y a r s i /ar t i c l e / v i e w/168/104

Holmes, A. H., Moore, L. S. P., Nn, A., Ord, S., Steinbakk, M., Regmi, S., … Piddock, L. J.

V. (2016). Antimicrobials: access and sustainable eff ectiveness 2 Understanding the mechanisms and drivers of antimicrobial resistance. Series 176 Www.thelancet.com, 387. https://doi.org/10.1016/S0140-6736(15)00473-0

Huttner, A., Harbarth, S., Carlet, J., Cosgrove, S., Goossens, H., Holmes, A., … Pittet, D. (2013). Antimicrobial resistance: a global view from the 2013 World Healthcare- Associated Infections Forum. ANtimicrobial Resistance and Infection Control2, 2(31),

13. Retrieved from

http://download.springer.com/static/pdf/963/art%253A10.1186%252F2047-2994-2- 31.pdf?originUrl=http%3A%2F%2Faricjournal.biomedcentral.com%2Farticle

%2F10.11 86%2F2047-2994-2-

31&token2=exp=1489604220~acl=%2Fstatic%2Fpdf%2F963%2Fart%25253A10.1186

%25252F2047-299

Kemenkes RI. (2015). Permenkes RI No. 8 Tahun 2015 tentang Program Pengendalian

(19)

Resistensi Antimikroba di Rumah Sakit. Hukor Depkes RI.

Jakarta. https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004

KPRA. (n.d.). KPRA. Retrieved March 17, 2017, from https://kpra.wordpress.com/

Moeloek, F. N. (2015). Tantangan dan Komitmen dalam Penanganan : Antimicrobial Resistance (AMR) di Indonesia - Sehat Negeriku. Retrieved March 17, 2017, from h tt p: / / s e h a t n e g e r i ku . k e m k e s . g o . i d / b a c a /b l o g/2015 0 629/1912686/ t a n t a n g a n - d a n -

komitmen-dalam-penanganan-antimicrobial-resistance-amr-di-indonesia/

Refdanita, Maksum, R., Nurgani, A., & Endang, P. (2004). Pola Kepekaan Kuman Terhadap Antibiotika di Ruang Rawat Intensif Rumah Sakit Fatmawati Jakarta Tahun 2001-2002. Makara Kesehatanq, 8(2), 41–48. Retrieved from https://ww w .r e s ea r c h g a t e . n e t /p r o f il e / M a k s u m _ R a d ji /p u b li c a t i o n /47406822_ P O L A _ K E P

EKAAN_KUMAN_TERHADAP_ANTIBIOTIKA_DI_RUANG_RAWAT_INTENSIF _RUMAH_SAKIT_FATMAWATI_JAKARTA_TAHUN_2001_-

_2002/links/0c960534f20710d193000000.pdf

Simões, A. S. (2016). Prevention and Control of Antimicrobial Resistant Healthcare- Associated Infections: The Microbiology Laboratory Rocks! Front Microbiol, 7.

Retrieved from https://ww w .n c b i . nl m . n ih . g o v / p m c /ar t i c l e s / P M C 4895126/

Supriadi, A. (2012). Analisis Prakondisi Implementasi Kebijakan Peningkatan Kompetensi Guru. Jurnal Pendidikan Dan Pembelajaran (JPP).

Tjaniadi, P., LESMANA, M., SUBEKTI, D., MACHPUD, N., KOMALARINI, S., SANTOSO, W., … OYOFO, B. A. (2003). ANTIMICROBIAL RESISTANCE OF BACTERIAL PATHOGENS ASSOCIATED WITH DIARRHEAL PATIENTS IN

INDONESIA. The American Journal of Tropical Medicine and Hygiene, 68(6), 666– 670. https://doi.org/10.4269/AJTMH.2003.68.666

WHO. (2015). GLOBAL ACTION PLAN ON ANTIMICROBIAL RESISTANCE. Geneva.

Retrieved from

h tt p: / /app s . w h o . in t/ i r i s / b i t s t r e a m /10665/193736/1/9789241509763_ e n g . p d f

Referensi

Dokumen terkait