• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS IMPLEMENTASI SISTEM BAGI HASIL PADA PERUSAHAAN PABRIK GULA DENGAN PETANI TEBU (STUDI PADA PT. PERKEBUNAN NUSANTARA X PABRIK GULA TJOEKIR, JOMBANG)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "ANALISIS IMPLEMENTASI SISTEM BAGI HASIL PADA PERUSAHAAN PABRIK GULA DENGAN PETANI TEBU (STUDI PADA PT. PERKEBUNAN NUSANTARA X PABRIK GULA TJOEKIR, JOMBANG)"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS IMPLEMENTASI SISTEM BAGI HASIL PADA PERUSAHAAN PABRIK GULA DENGAN PETANI TEBU (STUDI PADA PT. PERKEBUNAN

NUSANTARA X PABRIK GULA TJOEKIR, JOMBANG)

JURNAL ILMIAH

Disusun Oleh:

Senja Rizka Sacharina 155020501111060

JURUSAN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG

2019

(2)
(3)

ANALISIS IMPLEMENTASI SISTEM BAGI HASIL PADA

PERUSAHAAN PABRIK GULA DENGAN PETANI TEBU (STUDI PADA PT. PERKEBUNAN NUSANTARA X PABRIK GULA TJOEKIR,

JOMBANG)

Senja Rizka Sacharina, Nurul Badriyah Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya

Email: senjarizkas@gmail.com

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penerapan sistem bagi hasil pada Pabrik Gula Tjoekir dan relevansi akad mudharabah dalam penerapan sistem bagi hasil antara petani tebu dengan Pabrik Gula Tjoekir. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembagian keuntungan antara petani tebu dan Pabrik Gula Tjoekir didasarkan atas nilai rendemen (persentase). Pada proses penggilingan, penentuan nilai rendemen yang ditetapkan oleh Pabrik Gula Tjoekir dirasa masih tergolong lemah dalam hal tingkat akurasi.

Hal tersebut dapat mengandung unsur ketidakjelasan karena pada saat penentuan nilai rendemen tidak dapat membedakan antara pemilik tebu satu dengan yang lain. Bentuk kerjasama yang dipraktikkan oleh Pabrik Gula Tjoekir dengan petani tebu adalah akad mudharabah. Namun dalam hal ini terdapat 2 permasalahan yang tidak sesuai dengan syarat sahnya akad mudharabah.

Pertama adalah tidak diperbolehkannya modal usaha dalam bentuk barang karena modal bentuk barang tidak dapat dipastikan taksiran harganya dan dapat mengakibatkan ketidakpastian (gharar).

Kedua, dalam pembagian nisbah keuntungan tidak diperbolehkan dalam bentuk nominal atau persentase atas modal usaha.

Kata kunci: Bagi Hasil, Rendemen, Mudharabah.

A. PENDAHULUAN

Indonesia disebut sebagai negara agraris karena sebagian besar mata pencaharian penduduknya merupakan petani. Sektor pertanian di Indonesia memiliki potensi yang cukup besar untuk dikembangkan, yaitu dari sub sektor perkebunan, peternakan, kehutanan, serta hortikultura.

Dari salah satu sektor pertanian, sub sektor yang memiliki peranan sangat pen ting dalam kontribusi di sektor pertanian adalah sub sektor perkebunan. Salah satu komoditas sub sektor perkebunan yang memiliki peran strategis adalah tanaman tebu. Tebu (Saccharum Officinarrum) merupakan tanaman perkebunan yang digunakan sebagai bahan ba ku utama dalam pembuatan gula. Produksi tebu yang ada di Jawa Timur tersebar hampir di seluruh kabupaten/kota, namun 5 kebupaten/kota dengan produksi tebu terbesar adalah Malang, Kediri, Lumajang, Jombang, dan Mojokerto.

Pada Kabupaten Jombang terdapat perusahaan pabrik gula yang berdiri yaitu Pabrik Gula Tjoekir. Dalam hubungan kerjasama usaha tani tebu ini terdapat pihak yang terlibat yaitu, petani tebu dan Pabrik Gula Tjoekir. Keuntungan yang diperoleh antara petani tebu dan Pabrik Gula Tjoekir di tentukan pada saat proses penggilingan tebu berlangsung yaitu dengan ditentukan berdasarkan nilai rendemen. Dari hubungan kerjasama antara petani tebu dengan Pabrik Gula Tjoekir terdapat fakta bahwa besar kecilnya keuntungan petani tebu yang di dapatkan berdasarkan nilai rendemen ditentukan dengan menggunakan metode Krepyak Mini Sampler dimana tingkat akurasi perhitungan rendemen masih tergolong lemah. Apabila dikaitkan dalam Islam hubungan kerjasama ini sama halnya menggunakan akad mudharabah karena petani tebu sebagai pemasok bahan baku utama yaitu tebu sebagai modal atau disebut dengan shahibul maal, sedangkan Pabrik

(4)

Gula Tjoekir sebagai pihak yang menyediakan jasa penggilingan atau disebut dengan mudharib.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat relevansi akad mudharabah dalam penerapan sistem bagi hasil dari hubungan kerjasama antara petani tebu dengan Pabrik Gula Tjoekir.

B. KAJIAN PUSTAKA Kontrak Kerjasama dalam Bidang Usaha Tani

Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1997 dalam Pasal 1 menyebutkan bahwa kemitraan merupakan kerjasama usaha antara usaha kecil dengan usaha menengah dan atau dengan usaha besar disertai pembinaan dan pengembangan oleh usaha menengah dan atau usaha besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan.

Dalam kegiatan usaha tani, petani berada pada dua posisi yang berbeda dalam kontrak usahataninya. Berikut perbedaan posisi principal–agent pada kontrak usahatani:

1) Posisi principal-agent usahatani tanpa kontrak

Hubungan kontrak usaha tani yang terjadi dalam hal ini tanpa kontrak dengan perusahaan adalah antara petani dan pekerja (buruh tani). Kontrak ini berjalan tanpa menggunakan kontrak yang formal (tertulis). Dalam kondisi tersebut petani sebagai prinsipal, ya itu individu yang memiliki modal dan sumber daya (lahan dan sarana produksi) dengan pekerja (buruh tani) sebagai agen yang mengolah dan menyediakan tenaga kerja.

2) Posisi principal-agent usahatani dengan keterlibatan perusahaan dalam kontrak

Ketika petani menjalankan usahanya dengan perusahaan, maka posisi petani akan berubah.

Dalam hal ini petani tidak lagi (hanya) sebagai pemilik, namun juga sebagai agen.

Perubahan ini membawa beberapa konsekuensi jika dicermati melalui hubungan keagengan.

Hubungan kontrak usaha tani antara petani tebu dengan Pabrik Gula terdapat pembagian hasil berdasarkan rendemen tebu yang dihasilkan. Namun, sistem bagi hasil antara Pabrik Gula dengan petani tebu justru tidak mendukung upaya peningkatan produktivitas. Di Indonesia dalam menentukan nilai rendemen adalah menggunakan metode Krepyak Mini Sampler (KMS). Hasil kajian Martoyo dan Santoso (2003) bahwa dengan penggunakan metode Krepyak Mini Sampler menemukan lori dengan berat tebu tinggi dan diperkirakan niranya tinggi namun pa da kenyataannya berat nira rendah, begitu pula sebaliknya. Selain metode Krepyak Mini Sampler, metode yang digunakan adalah metode core sampler. Hasil penelitian dari Wahyuni (2014) bahwa metode core sampler yang diterapkan di PTPN VII Unit Usaha Bungamayang, Lampung menunjukkan hasil rendemen dengan core sampler yang mencerminkan rendemen individu tiap petani berbeda-beda. Hal ini membuat perhitungan sistem bagi hasil berdasarkan rendemen individu menjadi lebih adil karena dihitung sesuai dengan kualitas tebu tiap petani.

Pentingnya Bagi Hasil dalam Perekonomian

Menurut Antonio (2001: 95) bagi hasil merupakan sistem pengelolaan dana dalam perekonomian Islam yaitu pembagian hasil usaha antara pemilik modal (shahibul maal) dan pengelola (mudharib). Bagi hasil merupakan pembagian atas hasil usaha yang telah dilakukan oleh pihak-pihak yang terlibat dalam melakukan perjanjian. Dalam hal kedua pihak yang melakukan perjanjian usaha, maka hasil atas usaha yang telah dilakukan oleh kedua pihak maupun salah satu pihak akan dibagi sesuai dengan porsi dari masing -masing pihak yang melakukan akad perjanjian.

Dalam Al-Qur’an telah dijelaskan alasan mengapa harus menggunakan sistem bagi hasil dibandingkan dengan menggunakan sistem bunga dalam sistem ekonomi. Ada beberapa ayat-ayat Al-Qur’an yang mendasari perlunya sistem bagi hasil, diantaranya:

a) Adanya doktrin kerjasama dalam ekonomi Islam dapat menciptakan kerja yang produktif dalam kegiatan sehari-hari masyarakat, telah dijelaskan pada surat Al-Baqarah ayat 190.

ٍَيِدَتْعًُْنا ُّةِحُي َلَ َ هاللَّ هٌِإ ۚ اوُدَتْعَت َلََو ْىُكََىُهِتاَقُي ٍَيِرهنا ِ هاللَّ ِميِثَس يِف اىُهِتاَقَو Artinya: “dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu,(tetapi) janganlah k amu melampaui batas, k arena sesungguhnya Allah tidak menyuk ai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al-Baqarah: 190).

(5)

b) Dapat meningkatkan kesejahteraan dan mencegah kesengsaraan sosial, telah dijelaskan pada surat Al-Imran ayat 103.

َو ۚ اىُقهسَفَت َلََو اًعيًَِج ِ هاللَّ ِمْثَحِت اىًُِصَتْعاَو َى ْخِإ ِِّتًَْعُِِت ْىُت ْحَث ْصَأَف ْىُكِتىُهُق ٍَْيَت َفهنَأَف ًءاَدْعَأ ْىُتُُْك ْذِإ ْىُكْيَهَع ِ هاللَّ َتًَْعَِ اوُسُكْذا

ْىُتُُْكَو اًَا

ْىُكههَعَن ِِّتاَيآ ْىُكَن ُ هاللَّ ٍُِّيَثُي َكِن َٰرَك ۗ اَهُِْي ْىُكَرَقََْأَف ِزاهُنا ٍَِي ٍجَسْفُح اَفَش ًَٰهَع ٌَوُدَتْهَت

Artinya: “dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah ak an nik mat Allah k epadamu k etik a k amu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Mak a Allah mempersatuk an hatimu, lalu menjadi lah k amu k arena nik mat Allah,orang-orang yang bersaudara; dan k amu telah berada di tepi jurang nerak a, lalu Allah menyelamatk an k amu dari padanya. Demik ianlah Allah menerangk an ayat - ayat-Nya k epadamu, agar k amu mendapatk an petunjuk .” (QS. Al-Imran: 103).

c) Dapat mencegah adanya penindasan ekonomi dan distribusi kekayaan yang merata, telah dijelaskan pada surat Al-Fajr ayat 17-20.

اًّثُح َلاًَْنا ٌَىُّثِحُتَو )ٔ۱( اًًَّن ًلًْكَأ َثاَسُّتنا ٌَىُهُكْأَتَو )ٔ١( ٍِيِكْسًِْنا ِواَعَط ًَهَع ٌَى ُّضاَحَت َلََو )ٔ١( َىيِتَيْنا ٌَىُيِسْكُت َلَ ْمَت هلًَك )ٕٓ(اًًَّج Artinya: “sekali-sekali tidak (demikian), sebenarnya kamu tidak memuliakan anak yatim, dan k amu tidak saling mengajak memberi mak an orang misk in, dan k amu memak an harta pusak a dengan cara mencampur baurk an (yang halal dan yang bathil). dan k amu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan.” (QS. Al-Fajr 17-20).

d) Pembagian kerja atau spesialisasi yang berdasarkan pada ketergantungan serta pertukaran barang/jasa karena tidak memungkinkan berdiri sendiri, telah dijelaskan pada surat Al-Lail ayat 8-10.

( ًَُْغَتْساَو َمِخَت ٍَْي اهيَأَو ( ًَُْسُحْناِت َبهرَكَو )١

( يَسْسُعْهِن ُُِسِّسَيَُُسَف)۱

ٔٓ

Artinya: “dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup, serta mendustakan pahala terbaik . Mak a k elak Kami ak an menyiapk an baginya (jalan) yang suk ar.” (QS. Al Lail:

8-10).

Dari beberapa ayat yang telah disebutkan di atas menunjukkan bahwa dengan melalui bagi hasil dapat menciptakan suatu tatanan ekonomi yang lebih merata. Implikasi dari kerjas ama ekonomi merupakan aspek sosial politik dalam pengambilan keputusan dilakukan secara musyawarah untuk kepentingan bersama dalam bidang ekonomi, kepentingan negara, dan kesejahteraan rakyat.

Relevansi Akad Mudharabah

Mudharabah berasal dari kata dhrab yang artinya memukul atau berjalan. Pengertian memukul atau berjalan lebih tepatnya yaitu sebuah proses di mana seseorang memukul kakinya dalam menjalankan suatu usaha (Antonio, 2001: 95). Menurut Az-Zuhaili (2011: 482-488), terdapat syarat-syarat sahnya akad mudharabah yaitu diantaranya:

a) Syarat-syarat pelaku akad

Hal yang disyaratkan dalam pelaku akad (shahibul maal dan mudharib) adalah harus memiliki kecakapan untuk melakukan wakalah. Hal ini karena mudharib bekerja atas perintah pemilik modal di mana mengandung makna mewakilkan.

b) Syarat-syarat modal

1) Modal dalam akad mudharabah harus berupa uang yang masih berlaku, yaitu dinar, dirham dan sejenisnya. Tidak diperbolehkan modal dalam akad mudharabah berbentuk barang, baik harta bergerak maupun tidak bergerak. Jumhur ulama berpendapat bahwa modal yang berbentuk barang dapat mengandung unsur penipuan (gharar) karena dapat menyebabkan ketidak jelasan pada saat pembagian keuntungan.

2) Besaran keuntungan harus diketahui. Jika besar modalnya tidak diketahui, maka mudharabah tidak sah, karena ketidakjelasan terhadap modal menyebabkan ketidakjelasan terhadap keuntungan. Sementara penentuan jumlah keuntungan merupakan syarat sah dalam mudharabah.

3) Modal harus ada, bukan dalam bentuk utang. Akad mudharabah tidak sah jika berbentuk utang dan modal tidak ada. Mudharabah yang dilakukan dengan utang adalah fasid, karena

(6)

modal yang yang ada di tangan orang yang berutang itu adalah masih milik orang yang berutang.

4) Modal harus diserah terimakan pada „amil (mudharib). Hal ini agar „amil dapat bekerja dengan modal tersebut. Selain itu, modal tersebut adalah amanah yang berada ditangan

„amil, maka tidak tidak sah kecuali menyerahkannya padanya, yaitu melepaskannya seperti wadi‟ah.

c) Syarat-syarat keuntungan

1) Besaran keuntungan harus diketahui. Hal ini karena ma‟qud alaih (obyek akad) atau tujuan dari akad merupakan keuntungan sementara ketidak jelasan terhadap ma‟qud alaih dapat menyebabkan akad mudharabah menjadi batal dan tidak sah.

2) Keuntungan merupakan bagian dari milik bersama (musyaa‟), yaitu dengan rasio persepuluh atau bagian dari keuntungan, seperti jika keduanya sepakat dengan sepertiga, atau seperempat, atau setengah.

C. METODE PENELITIAN Jenis & Pendekatan Penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan jenis penelitian kualitatif. Tujuan dari penelitian kualitatif adalah untuk menerangkan realitas yang berkaitan dengan penelusuran teori dari bawah (grounded theory) dan mengambangkan pemahaman akan satu atau lebih dari fenomena yang dihadapi (Gunawan, 2014: 80). Pendekatan penelitian yang digunakan adalah deskriptif.

Situs Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Pabrik Gula Tjoekir jalan Irian Barat Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang.

Data dan Sumber data

Data yang digunakan adalah primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari wawancara, observasi dan dokumentasi. Sedangkan data sekunder diperoleh dari beberapa dokumen perusahaan atau dari web perusahaan demi menunjang kelengkapan data.

Unit Analisis dan Penentuan Informan

Unit analisis dalam penelitian ini adalah sistem bagi hasil yang diterapkan oleh Pabrik Gula Tjoekir dalam membagi keuntungannya dengan petani tebu dan relevansi akad mudharabah dalam penerapan sistem bagi hasil pada Pabrik Gula Tjoekir. Informan dalam penelitian ini terbagi menjadi dua yakni informan kunci dan informan pendukung. Informan kunci dalam penelitian ini adalah 5 pegawai Pabrik Gula Tjoekir yang terdiri dari Manajer Keuangan dan Umum, 2 Karyawan bagian Quality Assurance (QA), Karyawan bagian tanaman, dan karyawan bagian Delivery Order (DO) Pabrik Gula Tjoekir. Sedangkan informan pendukung dalam penelitian ini adalah 4 petani tebu dan Ahli Fiqh Muamalah.

Metode Analisa Data

Miles dan Huberman (1984) dalam Sugiyono (2016: 337) berpendapat bahwa aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai tuntas. Teknik analisis data yang dilakukan terdiri dari reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan.

Reduksi data merupakan proses yang berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya dan membuang yang tidak perlu. Dengan reduksi data akan memberikan gambaran yang lebih jelas, dan mempermudah dalam penelitian untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya .

Penyajian data merupakan proses dalam memberikan saran agar dalam menampilakan sebuah data harus dengan baik melalui tabel, charts, network, dan format gambar lainnya saat menarik kesimpulan. Hal ini berfungsi agar dapat memberikan kemudahan dalam membaca dan menarik kesimpulan.

Langkah terakhir dalam analisis data kualitatif yaitu penarikan kesimpulan dan verifikasi.

Dengan adanya kesimpulan dalam penelitian kualitatif memungkinkan dapat menjawab rumusan

(7)

masalah yang dirumuskan sejak awal. Kesimpulan dalam penelitian kualitatif yang diharapakan adalah temuan baru yang sebelumnya belum ada dan bertujuan untuk mencapai tujuan penelitian.

Metode Keabsahan Temuan

Pengujian keabsahan temuan dapat dilakukan dengan triangulasi data.Triangulasi data memiliki 3 jenis yakni, triangulasi sumber, triangulasi teknik dan triangulasi waktu. Pertama triangulasi sumber digunakan untuk mengecek kredibilitas data yang sudah diperoleh.

Kedua triangulasi teknik yaitu untuk mengecek kredibilitas data dengan cara mengecek kepada sumber yang sama namun menggunakan teknik yang berbeda.

Terakhir triangulasi waktu digunakan untuk mendapatkan data berdasarkan waktu yang sangat berpengaruh pada kredibilitas data yang diperoleh. Dalam mengumpulkan data yang dilakukan oleh peneliti, dalam penelitian ini dilakukan pada saat pagi dan jam yang sudah disepakati antara peneliti dan informan. Wawancara dilakukan pada saat pagi atau jam ke rja lokasi penelitian agar informasi yang diperoleh lebih valid (Sugiyono, 2011).

Dari 3 macam triangulasi data yang ada, dalam penelitian ini menggunakan 3 triangulasi.

Pengungkapan keabsahan temuan dapat dicerminkan melalui triangulasi sumber, triangulasi teknik, dan triangulasi waktu. Hal tersebut dipilih oleh peneliti karena relevan dengan penelitian yang dilakukan.

D. PEMBAHASAN Gambar an Umum Wilayah Penelitian

Pabrik Gula Tjoekir didirikan oleh NV. Kody En Coster Van Vour Houtsf Tjoekir pada tahun 1884 dan terus berproduksi sampai dengan Perang Dunia II. Setelah terjadinya aksi Irian Barat (TRIKORA), pada tahun 1958 tepatnya pada tanggal 8 Desember 1958 Pabrik Gula Tjoekir diambil alih oleh pemerintah Indonesia di bawah suatu badan berupa perusahaan Perkebunan Negara Baru. Untuk mengkoordinasi pabrik-pabrik atau perkebunan bekas milik Belanda di Jawa Timur pada tahun 1959 – 1960 dibagi dalam pra unit di mana Pabrik Gula Tjoekir termasuk pra unit 4.

Berdasakan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2014 Tentang Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia kedalam Perusahaan Perseroan (Persero) PT.

Perkebunan Nusantara III dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 468/KMK.06/2014, maka terbentuklah Holding PT. Perkebunan Nusantara (Persero) di mana PT. Perkebunan Nusantara III (Persero) sebagai induk Holding dan PT. Perkebunan Nusantara X merupakan salah satu anak perusahaan.

Hubungan Kerjasama Pabrik Gula Tjoekir dan Petani Tebu

Hubungan kerjasama yang terjalin antara Pabrik Gula Tjoekir dengan petani tebu bermula sejak pihak pabrik gula mengalami kekurangan pasokan bahan baku karena jumlah pasokan bahan baku di bawah kapasitas giling, sedangkan pihak petani membutuhkan pengolahan lebih lanjut agar tebu lebih bernilai. Proses terjadinya bagi hasil antara petani tebu dengan Pabrik Gula Tjoekir diawali dengan proses terjalinnya hubungan kerjasama.

Gambar 1 Proses Terjalinnya Hubungan Kerjasama Petani Tebu dan Pabrik Gula Tjoekir 3

1 2

4 Sumber: Ilustrasi Peneliti, 2019

Kesepakatan kerjasama berawal dari petani membentukan kelompok tani yang diajukan ke koperasi yang ditunjukkan pada alur 1. Pada alur 2 menunjukkan pengajuan kerjasama dengan Pabrik Gula Tjoekir dengan merekomendasikan kelompok tani yang telah dibentuk ole h Koperasi.

Kemudian penyerahan tebu ke Pabrik Gula Tjoekir untuk digiling ditunjukkan pada alur 3. Alur terakhir yaitu alur 4 penyerahan hasil produksi gula ke petani tebu.

Petani Tebu Koperasi Pabrik Gula

Tjoekir

(8)

Implementasi Bagi Hasil Pada Pabrik Gula Tjoekir

Bentuk hubungan kerjasama Pabrik Gula Tjoekir dan petani tebu adalah bagi hasil berdasarkan besaran nilai rendemen tebu yang dihasilkan dari proses penggilingan tebu. Dalam menentukan keuntungan dari hasil produksi gula Pabrik Gula Tjoekir membagi 3 jenis bagi hasil antara petani tebu dengan Pabrik Gula Tjoekir tergantung dengan rendemen (Pabrik Gula Tjoekir, 2015), yaitu:

1) Apabila rendemen sampai dengan 6%, maka bagi hasil antara petani tebu dengan pabrik gula sebesar 34% untuk pabrik dan 66% untuk petani tebu.

2) Apabila rendemen 6% sampai dengan 8%, maka bagi hasil antara petani tebu dengan pabrik gula sebesar 30% untuk pabrik gula dan 70% untuk petani tebu.

3) Apabila rendemen lebih dari 8%, maka bagi hasil antara petani tebu dengan pabrik gula sebesar 25% untuk pabrik gula dan 75% untuk petani tebu.

Terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi besaran nilai rendemen. Pertama, selama proses penggilingan tebu sering terjadi kehilangan gula sehingga angka rendemen nyata yang dihasilkan lebih rendah jika dibandingkan dengan sukrosa sesungguhnya. Dalam proses pengelohan gula dan menyebutkan beberapa kemungkinan penyebab kehilangan gula selama proses penggilingan, yaitu terbawa dalam bagase (ampas), filter cak e (blotong) atau molasses (tetes) (Lembaga Penelitian IPB, 2002).

Kedua, dalam menentukan nilai rendemen Pabrik Gula Tjoekir menggunakan metode Krepyak Mini Sampler (KMS). Metode ini mengalami kendala yaitu mengenai akurasi, sebagai contoh untuk pemisahan pemilik nira satu tebu dengan tebu yang lain, demikian pula kualitas nira ma sih sulit dilakukan. Hal ini dikarenakan tidak ada pembatas atau sensor yang jelas yang dapat memisahkan antara pemilik tebu satu dengan lainnya

Ketiga, Nilai rendemen tidak hanya mempresentasikan kinerja dari pabrik gula, namun mempresentasikan kinerja kebun juga. Hal ini karena nilai rendemen yang diperoleh juga sangat bergantung kepada kualitas tebu. Namun tidak semua petani memiliki kualitas tebu yang baik.

Pada kenyataannya beberapa petani tebu ada yang mengirimkan tebunya yang masih belum masak, artinya batang tebu tersebut tidak mengandung gula atau kadar gulanya yang masih rendah.

Relevansi Akad Mudharabah Dalam Implementasi Sistem Bagi Hasil di Pabrik Gula Tjoekir Apabila dikaitkan dalam fiqh muamalah bentuk kerjasama yang dipraktikkan oleh Pabrik Gula Tjoekir dengan petani tebu adalah akad mudharabah. Hal ini karena petani sebagai pemilik modal menyerahkan keseluruhan modalnya kepada Pabrik Gula Tjoekir sebagai pengelola modal berupa tebu untuk diolah menjadi gula. Secara teknis, akad mudharabah merupakan akad kerjasama usaha antara dua pihak di mana pihak pemilik modal (shahibul maal) menyediakan seluruh modalnya 100% (Antonio, 2001: 95).

Dalam akad mudharabah, terdapat ketentuan-ketentuan yang terdapat pada rukun dan syarat.

Dari beberapa rukun dan syarat mengenai mudharabah apabila melihat kondisi dilapangan secara langsung yaitu di Pabrik Gula Tjoekir terdapat beberapa yang sesuai dan tidak sesuai dengan ketentuan syarat sahnya akad mudharabah. Pertama, akad mudharabah pada dasarnya harus ada pelaku. Pihak pertama sebagai pemilik modal (shahibul maal) sedangkan pihak kedua sebagai pelaksana usaha (mudharib). Di Pabrik Gula Tjoekir pemilik modal (shahibul maal) adalah petani tebu karena petani tebu yang memasok bahan baku utama dalam pembuatan gula yaitu tebu.

Sedangkan pihak pengelola (mudharib) adalah Pabrik Gula Tjoekir sebagai pengelola modal tersebut untuk digiling menjadi gula.

Kedua, obyek mudharabah (modal kerja). Pada obyek mudharabah pemilik modal menyertakan modalnya sebagai obyek mudharabah, sedangkan pelakasanaan usaha menyerahkan kerjanya sebagai obyek mudharabah. Pada Pabrik Gula Tjoekir, modal yang diserahkan oleh petani tebu adalah berbentuk barang yaitu tebu. Menurut Wahbah Az-Zhuaili dalam bukunya yang berjudul Fiqih Islam Wa Adillatuhu bahwa pelaksanaan akad mudharabah dengan menyertakan modal barang dianggap tidak sesuai dengan syarat sahnya akad mudharabah. Apabila dikaitkan dengan pendapat Wahbah Az-Zuhaili, maka penyertaan modal barang berupa tebu yang dikirim oleh petani tebu ke Pabrik Gula Tjoekir dianggap tidak sah. Syarat akad mudharabah yang sah menurut Wahbah Az-Zuhaili bahwa modal harus berbentuk uang yang masih berlaku, yaitu dinar dan dirham dan sejenisnya. Dalil Jumhur Ulama berpendapat bahwa modal berbentuk barang dapat mengandung ketidakpastian (gharar), karena mudharabah dapat menyebabkan adanya ketidakjelasan saat pembagian keuntungan.

(9)

Ketiga, persetujuan kedua belah pihak. Menjalin kerjasama ini telah tertuang pada perjanjian secara tertulis antara petani tebu dan Pabrik Gula Tjoekir. Pada perjanjian tersebut memuat hak dan kewajiban yang harus dipenuhi dari masing -masing pihak dan persyaratan lainnya yang menunjang perjanjian kerjasama tersebut. Dalam perjanjian tertulis ini harus disetujui oleh pihak yang terlibat, yaitu petani tebu, Pabrik Gula Tjoekir, dan KPTR (Koperasi Petani Tebu Rakyat).

Dalam Islam telah dianjurkan bahwa dalam membuat suatu perjanjian hendaknya dituang dalam perjanjian secara tertulis dan dihadiri saksi.

Keempat, nisbah keuntungan. Pada Pabrik Gula Tjoekir, besar kecil keuntungan yang diperoleh berdasarkan nilai rendemen dari hasil pengolahan tebu. Dalam pembagian keuntungan yang diterapkan oleh Pabrik Gula Tjoekir terdapat dua permasalahan yang dikeluhkan oleh petani tebu. Pertama, Dalam menentukan nilai rendemen, Pabrik Gula Tjoekir masih menggunakan metode Krepyak Mini Sampler, di mana metode tersebut tingkat akurasi dalam penentuan rendemen tiap petani dirasa lemah karena tidak ada pembatas sensor yang jelas yang dapat memisahkan antara satu dengan lainnya. Kedua, mengenai transparansi dalam menentukan nilai rendemen petani. Meskipun sudah diketahui pembagian keuntungan berdasarkan persentase nilai rendemen antara petani tebu dengan Pabrik Gula Tjoekir diawal perjanjian, namun petani tebu merasa adanya kejanggalan pada rumus dalam menentukan nilai rendemen. Rumus tersebut seperti berikut:

Keterangan:

NNPP : Nilai Nira Pertama Perahan (diperoleh dari mutu tebu petani yang dihitung dari pol dan brix nira yang diukur secara individu di depan pabrik. Perhitungannya: NNPP = pol – 0,4 (brix-pol).

FR : Faktor Rendemen merupakan angka kinerja pabrik gula sehingga dan ditetapkan nilainya minimum 0.68.

Dari rumus diatas, petani tebu tidak mengetahui bagaimana Pabrik Gula Tjoekir dalam menentukan faktor rendemen tersebut. Hal ini menyebabkan terjadi ketidaksesuaian tebu yang dikirim oleh petani ke Pabrik Gula Tjoekir dengan nilai rendemen yang dihasilkan. Dari permasalahan ini maka kurangnya transparansi Pabrik Gula Tjoekir dalam menentukan nilai rendemen. Kedua permasalahan yang telah disebutkan bahwa penggilingan tebu pada saat menentukan nilai bagi hasilnya antara Pabrik Gula Tjoekir dengan petani tebu mengarah pada unsur ketidakjelasan atau gharar. Hal ini karena tidak adanya transparansi dari pihak Pabrik Gula Tjoekir pada saat menentukan bagi hasilnya dengan petani tebu.

Selain itu, dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia DSN MUI No.

115/DSN-MUI/IX/2017 menyebutkan beberapa ketetentuan nisbah bagi hasil menunjukkan bahwa nisbah bagi hasil tidak diperbolehkan dalam bentuk nominal atau angka persentase dari modal usaha. Pembagian nisbah yang dilakukan oleh Pabrik Gula Tjoekir dikatakan tidak sesuai dengan syarat sahnya akad mudharabah pada ketentuan Fatwa DSN MUI No. 115/DSN-MUI/IX/2017.

Hal ini karena pembagian nisbah bagi hasil yang dilakukan oleh Pabrik Gula Tjoekir berdasa rkan persentase dari modal yang dikirim oleh petani tebu, yaitu tebu .

Proses Penjualan Produksi Gula Pabrik Gula Tjoekir

Selain pembahasan mengenai penerapan sistem bagi hasil terdapat fenomena bahwa terdapat proses penjualan produksi gula yang dilakukan oleh Pabrik Gula Tjoekir. Setelah nilai rendemen yang sudah dibagi hasil antara petani tebu dengan Pabrik Gula Tjoekir, maka aka n mengeluarkan slip Delivery Order (DO) yang nantinya akan diterima oleh petani tebu . DO yang diterima oleh petani terbagi menjadi 2, yaitu DO 10% dan DO 90%. DO 10% yang nantinya akan diberikan secara natura kepada petani, artinya diberikan dalam bentuk b arang yaitu gula. Sedangkan DO 90% akan dilelangkan melalui Koperasi dan diberikan dalam bentuk uang atau rupiah.

Sedangkan proses penjualan gula milik Pabrik Gula Tjoekir akan dilelang melalui Kantor Pusat. Dari hasil penjualan tersebut akan menjadi pemasukan untuk Kantor Pusat, bukan Pabrik Gula Tjoekir. Hal ini karena tugas dari Pabrik Gula Tjoekir hanya sebagai jasa pengolah saja.

Selain penjualan gula petani tebu dilakukan lelang melalui koperasi, gula milik petani tebu juga dapat dilelang melalui BULOG. Pada masa giling tahun 2018 di periode 3 hingga 8 dibeli oleh BULOG. DO yang dilelangkan petani tebu ke BULOG yaitu DO 90%. Sedangkan DO 10%

R = NNPP x FR

(10)

tetap milik petani dengan berupa natura atau barang. Namun yang menjadi kendala adalah mengenai keterlambatan waktu pembayaran gula ke petani tebu. Permasalahan tersebut muncul akibat stok gula yang ada di BULOG melebihi kapasitas karena Pemerintah juga melakukan impor gula.

E. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Berdasarkan dari hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1) Hubungan kerjasama antara Pabrik Gula Tjoekir dan petani tebu bermula sejak pihak Pabrik Gula Tjoekir mengalami kekurangan pasokan bahan baku karena jumlah pasokan bahan baku di bawah kapasitas giling, sedangkan pihak petani tebu membutuhkan pengolahan tebu lebih lanjut agar tebu lebih bernilai. Kerjasama tersebut telah tertuang pada suatu perjanjian yang memuat hak dan kewajiban dari masing-masing pihak. Dari kerjasama ini, terdapat pembagian keuntungan berdasarkan pada besaran nilai rendemen. Dalam menentukan besaran keuntungan dibagi menjadi 3 jenis bagi hasil, yaitu:

a) Apabila rendemen sampai dengan 6%, maka bagi hasil antara petani tebu dengan pabrik gula sebesar 34% untuk pabrik dan 66% untuk petani tebu.

b) Apabila rendemen 6% sampai dengan 8%, maka bagi hasil antara petani tebu dengan pabrik gula sebesar 30% untuk pabrik gula dan 70% untuk petani tebu.

c) Apabila rendemen lebih dari 8%, maka bagi hasil antara petani tebu dengan pabrik gula sebesar 25% untuk pabrik gula dan 75% untuk petani tebu.

Menurut informasi yang diperoleh oleh peneliti selama melakukan penelitian , dalam menentukan besaran nilai rendemen terdapat beberapa hal yang dapat mempengaruhi besaran nilai rendemen yang diperoleh. Pertama, dalam menentukan besaran nilai rendemen dilakukan pada saat proses penggilingan tebu. Pada proses penggilingan tersebut terjadi 3 kemungkinan kehilangan gula, yaitu bagase (ampas), filter cak e (blootong), dan molases (tetes). Apabila pada saat proses penggilingan tebu terjadi proses yang tidak sempurna, maka kemungkinan kandungan gula kemungkinan terbawa oleh ketiga limbah pabrik tersebut. Dari ketiga kemungkinan tersebut sangat mempengaruhi besaran nilai rendemen yang nantinya diperoleh.

Kedua, terdapat rumus dalam menghitung nilai rendemen dari masing -masing petani demikian rumus perhitungannya, adalah:

Keterangan:

NNPP : Nilai Nira Perahan Pertama (diperoleh dari mutu tebu petani yang dihitung dari pol dan brix nira yang diukur secara individu di depan pabrik. Perhitungannya: NNPP = pol – 0,4 (brix-pol).

FR : Faktor Rendemen merupakan angka kinerja pabrik gula sehingga dan ditetapkan nilainya minimum 0.68.

Berdasarkan rumus di atas ditemukan bahwa kurangnya transparansi Pabrik Gula Tjoekir dalam menentukan besaran nilai rendemen. Menurut informasi yang diperoleh dari petani tebu ditemukan terdapat tidak transparansinya Pabrik Gula Tjoekir dalam mene ntukan rendemen.

Hal ini karena tidak disebutkan nilai yang diperoleh dari FR (Faktor Rendemen). Dalam perhitungan FR (Faktor Rendemen) sendiri menunjukkan efisien Pabrik Gula Tjoekir dalam mengolah tebu. Dari rumus tersebut maka dapat dikatakan bahwa terd apat unsur ketidakjelasan pada saat menentukan besaran nilai rendemen. Pada proses penggilingan, dalam menentukan nilai rendemen petani Pabrik Gula Tjoekir menggunakan metode Krepyak Mini Sampler.

Menurut informasi yang diperoleh bahwa dengan menggunakan metode Krepyak Mini Sampler terdapat kelemahan yaitu lemahnya tingkat akurasi perhitungan rendemen. Dengan menggunakan metode Krepyak Mini Sampler sulit membedakan nira tebu milik petani satu dengan milik petani yang lain. Hal ini karena tidak ada pembatas atau sensor yang jelas yang dapat memisahkan antara satu dengan lainnya.

R = NNPP x FR

(11)

2) Pabrik Gula Tjoekir melakukan kerjasama dengan petani tebu dalam hal pengolahan tebu menjadi gula. Bentuk kerjasama ini melibatkan para pihak, pertama selaku pemilik modal yaitu petani tebu dengan modal berupa tebu. Sedangkan pihak kedua sebagai pengelola yaitu Pabrik Gula Tjoekir menyediakan jasa pengelola tanaman tebu agar menjadi gula. Dalam fiqh muamalah bentuk kerjasama yang dipraktikkan oleh Pabrik Gula Tjoekir dengan petani tebu adalah akad mudharabah. Hal ini karena petani sebagai pemilik modal menyerahkan keseluruhan modalnya kepada Pabrik Gula Tjoekir sebagai pengelola modal untuk diolah menjadi gula. Dari beberapa rukun dan syarat mengenai akad mudharabah apabila melihat kondisi di lapangan secara langsung yaitu di Pabrik Gula Tjoekir terdapat dua pokok permasalahan yang tidak sesuai. Pertama, obyek mudharabah (modal kerja). Pada hubungan kerjasama antara Pabrik Gula Tjoekir dengan petani tebu modal yang diserahkan oleh petani tebu kepada Pabrik Gula Tjoekir adalah tebu. Tebu disini merupakan modal yang diserahkan dalam bentuk barang. Dalam hukum Islam, menurut Fuqaha modal mudharabah dalam bentuk barang tidak diperbolehkan karena barang tidak dapat dipastikan taksiran harganya dan dapat mengakibatkan ketidakpastian (gharar) besarnya modal mudharabah. Selain itu, berdasarkan informasi yang telah diperoleh dari Bapak Nur Faizin bahwa apabila dikaitkan dengan pendapat Wahbah Az-Zuhaili, penyertaan modal barang yang dilakukan oleh Pabrik Gula Tjoekir menyebabkan tidak sahnya akad mudharabah. Syarat akad mudharabah yang sah menurut Wahbah Az-Zuhaili bahwa modal harus berbentuk uang yang masih berlaku, yaitu dinar, dirham dan sejenisnya. Maka tidak diperbolehkan modal berbentuk barang, baik barang bergerak maupun tidak bergerak. Kedua, nisbah keuntungan. Pada Pabrik Gula Tjoekir, besar kecil keuntungan yang diperoleh berdasarkan nilai rendemen dari hasil pengolahan tebu.

Namun dalam pembagian keuntungan yang diterapkan oleh Pabrik Gula terdapat dua permasalahan yang telah disampaikan oleh petani tebu , yaitu dalam menentukan nilai rendemen masih menggunakan metode Krepyak Mini Sampler dan transparansi dalam menentukan nilai rendemen petani berdasarkan rumus yang ditetapkan oleh Pabrik Gula Tjoekir. Dari kedua permasalahan tersebut maka dapat dikatakan bah wa hasil nilai rendemen tersebut mengandung unsur ketidakjelasan. Dalam hukum Islam, bahwa penggilingan tebu pada saat menentukan nilai bagi hasilnya antara Pabrik Gula Tjoekir dengan petani tebu mengarah pada unsur ketidakjelasan atau gharar. Hal ini karena tidak adanya transparansi dari pihak Pabrik Gula Tjoekir pada saat menentukan bagi hasilnya dengan petani tebu. Selain itu, dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia DSN MUI No. 115/DSN- MUI/IX/2017 menyebutkan beberapa ketetentuan nisbah bagi hasil. Pada ketentuan terkait nisbah bagi hasil pada nomor 3 menyatakan bahwa nisbah bagi hasil tidak boleh dalam bentuk nominal atau angka persentase dari modal usaha. Apabila melihat kondisi di lapangan, bahwa dalam pembagian nisbah yang dilakukan oleh Pabrik Gula Tjoekir dikatakan tidak sesuai dengan syarat sahnya akad mudharabah pada ketentuan Fatwa DSN MUI No. 115/DSN- MUI/IX/2017. Hal ini karena pembagian nisbah bagi hasil yang dilakukan oleh Pabrik Gula Tjoekir berdasarkan persentase dari modal yang dikirim oleh petani tebu, yaitu tebu.

Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas, maka dapat dikemukakan beberapa saran dengan harapan dapat memberikan manfaat bagi petani tebu dan Pabrik Gula Tjoekir. Adapun saran yang diberikan antara lain:

1) Pabrik Gula Tjoekir diharapkan untuk lebih transparan dalam perhitungan nilai rendemen tebu.

Agar lebih akurat dalam penentuan nilai rendemen tebu, maka terdapat solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut yaitu dengan metode Core Sampler. Metode Core Sampler merupakan metode dalam mengambil contoh tebu. Penggunaan metode Core Sampler ini sudah diterapkan oleh salah satu perusahaan pabrik gula swasta, yaitu Pabrik Gula PT. Kebun Tebu Emas (KTM) Lamongan. Dengan penggunaan metode Core Sampler tidak hanya petani tebu di daerah Lamongan saja yang diuntungkan, namun beberapa petani yang berasal dari daerah lain juga mengirimkan tebunya kepada Pabrik Gula KTM. Dengan penerapan sistem Core Sampler untuk mendukung penghitungan rendemen individu yang lebih akurat sudah terbukti dapat menambah keharmonisan hubungan kemitraan antara petani dan pabrik gula. Adanya transparansi proses pengambilan sampel per truk, analisa di mini lab dan kecepatan penghitungan rendemen individu dapat meningkatkan kepercayaan petani pada pabrik gula.

Selain itu, karena sampel tebu per truk tidak tercampur, maka petani yang membawa tebu dengan kualitas baik akan mendapatkan apresiasi rendemen individu yang baik pula, dan

(12)

sebaliknya petani yang membawa tebu dengan kualitas jelek akan mendapatkan hasil penghitungan rendemen individu yang rendah. Hal ini tentu saja dapat menjadi pemicu bagi petani untuk menyediakan tebu dengan kualitas yang baik (layak giling) (LPP, 2013).

2) Dalam fiqh muamalah bahwa modal akad mudharabah tidak diperbolehkan dalam bentuk barang. Agar dalam hubungan kerjasama antara petani tebu dengan Pabrik Gula Tjoekir relevan dengan akad mudharabah, maka terdapat solusi. Dalam Fatwa DSN MUI No.

115/DSN-MUI/IX/2017 ketentuan terkait Ra‟s al-Mal bahwa modal usaha mudharabah pada dasarnya harus dalam bentuk uang dan dijelaskan jumlah/nilai nominalnya. Apabila memang modal usaha berbentuk barang, maka wajib dilakukan taqwim al-u‟rudh pada saat akad, yang artinya barangnya sudah ditafsir sudah dinominalkan. Jika berpijak pada Fatwa DSN MUI No.

115/DSN-MUI/IX/2017 yang telah disebutkan, maka Pabrik Gula Tjoekir disarankan menggunakan sistem beli putus. Dengan menggunakan sistem beli putus, tebu yang dibawa oleh petani tebu akan diolah dan hasilnya akan dibeli seluruhnya oleh Pabrik Gula Tjoekir.

Dalam menggunakan sistem beli putus terdapat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi, diantaranya:

a) Rendemen ditetapkan melalui pengukuran secara individu (Analisis Rendemen Individu) tebu petani di depan pabrik.

b) Pengambilan contoh tebu direkomendasikan dengan menggunakan metode Core Sampler.

c) Harga tebu harus sama di semua Pabrik Gula pada rendemen sama.

3) Petani tebu diharapkan merawat tebu dengan benar agar nilai rendemen yang diperoleh tinggi dan hasil yang didapatkan pada saat pembagiaan keuntungan bisa sesuai dengan harapan.

Dengan demikian kerjasama dengan Pabrik Gula terus terjalin dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA

Afrizal. 2016. Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: Rajawali Pers.

Ali, Mohammad Daud. 1990. Asas-Asas Huk um Islam. Jakarta: CV. Rajawali.

Al-Jaziri, Abdurrahman. 1990. Fiqh Ala Madzahib al-Arba`ah. Juz III. Beirut: al- Fikr.

Al-Shiddieqiyy, Hasbi. 1974. Pengantar Fiqh Mua‟malah. Jakarta: Bulan Bintang.

Antonio, Muhammad Syafi’i. 2001.Bank Syariah Dari Teori Ke Prak tik. Jakarta: Gema Insani.

Anwar, Syamsul. 2006. Huk um Perjanjian Syariah Teori dalam Fiqih Muamalat. Jakarta. PT.

Raja Grafindo Persada.

Ardianto, Elvinaro. 2011. Metode Penelitian Untuk Public Relations. Bandung: Simbiosa.

Arifin, Zainal. 2003. Dasar-Dasar Huk um Perburuan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Aula, Muhammad Syakir. 2004. Asuransi Syari‟ah (Life and General): Konsep dan Sistem Operasional. Jakarta: Gema Insani.

Az-Zuhaili, Wahbah. 2011. Terjemahan Fiqih Islam Wa Adilatuhu Jilid 5. Depok: Darul Fikr.

Badan Pusat Statistik Jombang. 2017. Luas Panen, Produk si, dan Produk tivitas Tanaman Tebu dan Tembak au Menurut Kecamatan di Kabupaten Jombang, (https://jombangkab.bps.go.id/statictable/2017/05/31/126/luas -panen-produksi-dan-

produktivitas-tanaman-tebu-dan-tembakau-menurut-kecamatan-di-kabupaten-jombang- 2015.htm), diakses pada 15 November 2018.

Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Timur. 2018. Produk si Perk ebunan Tebu Menurut

Kabupaten/Kota di Jawa Timur Tahun 2006 -2017,

(https://jatim.bps.go.id/statictable/2018/11/12/1389/produksi-perkebunan-tebu-menurut- kabupaten-kota-di-jawa-timur-ton-2006-2017.ht ml), diakses pada 20 Februari 2019.

Basrowi dan Suwandi. 2008. Memahami Penelitian Kualitatif. Jakarta: Rineka Cipta.

Berita Satu. 2017. BPS: Pertanian Masih Dominan Serap Tenaga Kerja, (http://id.beritasatu.com/home/bps -pertanian-masih-dominan-serap-tenaga-kerja/159757), diakses pada 18 Oktober 2018.

Dalilah, Imanina Eka. 2013. Implik asi Kredit TerhadapPendapatan Petani (Studi Kasus: Progam Kredit Ketahanan Pangan dan Energi Pada Petani Tebu di Kabupaten Malang. Skripsi Universitas Brawijaya.

(13)

Darwis, Rizal. 2016. Sistem Bagi Hasil Pertanian Pada Masyarak at Petani Penggarap di Kabupaten Gorontalo Perspek tif Huk um Ek onomi Islam, Volume 12, (No.1): 1-25.

Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia: 2017. Fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia No. 115/DSN-MUI/XI/2017 Tentang Ak ad Mudharabah. Jakarta: DSN MUI.

Dewi, Gemala. 2006. Huk um Perik atan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana.

Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Timur. 2017. Komoditi Unggulan Tebu, (http://disbun.jatimprov.go.id/komoditi_tebu.php ), diakses pada 10 Juli 2018.

Erni, Misran. 2005. Industri Tebu Menuju Zero Wate Industry. Jurnal Tek nologi Proses Volume 4 (No. 2): 6-10.

Furubotn Eirik G dan Rudolf Richter. 2005. Institutions and Economic Theory: The Contribution of The New Institional Economics (Second Edition). USA: University of Michigan Press.

Goel, Shri A.K. 2003. Contract Farming Ventures in India: A Successful Cases . SPICE. The Director General, National Intitute of Agricultural Extention Management (MANAGE). Series Editor: Dr. Vikram Singh, Volume 1 (No.4):1-6.

Gunawan Imam. 2014. Metode penelitian k ualitatif teori dan prak tik. Jakarta: Bumi Aksara.

Gunawan, Imam. 2013. Metode Penelitian Kualitatif: Teori dan Prak tik. Jakarta: PT. Bumi Aksara.

Hafsah, Mohammad Jafar. 2000. Kemitraan Usaha Konsepsi dan Strategi. Jakarta: PT. Pustaka Sinar Harapan.

Husna, Nur. 2018. Implementasi Ak ad Mudharabah Pada Petani Bawang Merah (Studi Pada Desa Pandung Batu Kecamatan Barak a Kabupaten Enrek ang). Skripsi Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar.

Ismail. 2011. Perbank an Syariah. Jakarta: Kencana.

Karim, A. Adiwarman. 2004. Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan (Edisi k e dua). Jakarta: PT.

Raja Grafindo Persada.

Karim, A. Adiwarman. 2014. Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan (Edisi k e lima). Jakarta:

PT. RajagGrafindo Persada.

Karim, Helmi. 1993. Fiqih Mu‟amalah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Kementerian Perdagangan. 2015. Laporan Ak hir Analisis Lelang Gula Ptpn/Petani Dalam Rangka Stabilisasi Harga. Pusat Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri Badan Pengkajian Dan Pengembangan Kebijakan Perdaganan Kementerian Perdagangan.

Lembaga Penelitian IPB. 2002. Studi Pengembangan Agribisnis Pergulaan Nasional. Lembaga Penelitian IPB. IPB Bogor

Lembaga Riset Perkebunan Indonesia. 2005. Menuju Penentuan Rendemen Tebu yang Lebih Individual. Bogor: LRPI.

LPP Sugar Knowledge Center. 2013. Penerapan Sistem Core Sampling Di Pabrik Gula, (https://sugar.lpp.ac.id/penerapan-sistem-core-sampling-di-pabrik-gula/), diakses pada 7 Juni 2019.

Malik, Mochammad Kamil. 2018. Sistem Bagi Hasil Petani Penyakap Di Desa Krai Kecamatan Yosowilangun Kabupaten Lumajang. Jurnal Pertanian. Volume 12, (No.1): 26-32.

Manzilati, Asfi. 2011. Kontrak yang Melemahk an: Relasi Petani dan Korporasi. Malang:

Universitas Brawijaya Press (UB Press).

Mardani. 2012. Fiqh Ek onomi Syariah: Fiqh Muamalah. Jakarta: Kencana.

Martoyo, T dan Santoso. 2003. Masalah Kritis Dalam Pengolahan Gula Kaitannya dengan Kualitas Bahan Baku. Jurnal Gula Indonesia XVV P3GI. Vol. 1: 10-15.

Moleong, Lexy J. 2011. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Mubyarto. 1995. Pengantar Ek onomi Pertanian. Jakarta: LP3ES.

Muclish, Ahmad Wardi. 2010. Fiqh Muamalat. Jakarta: Sinar Grafika Offest.

Muhammad. 2004. Tek nik Perhitungan Bagi Hasil dan Profit Margin Pada Bank Syariah.

Yogyakarta: UII Press Yogyakarta.

Muhibbuthabary. 2012. Fiqh Amal Islam Teori Dan Prak tis. Bandung: Ciptapustaka Media Perintis.

Mulyadi. 2006. Kajian tek nik penetapan rendemen tebu individual petani di Pabrik Gula Mojopanggung Tulung Agung, Jawa Timur. Tesis: Institut Pertanian Bogor.

Musbikin, Imam. 2001. Qawa‟id Al-Fiqiyah. Jakarta: Grafindo Persada.

Nafi’an. 2014. Pembiayaan Musyarak ah dan Mudharabah. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Nanda, A. 2013. Pola dan Kepercayaan yang Terbentuk Pada Kontrak Kemitraan Antara Pabrik Gula dengan Petani Tebu. Malang: Universitas Brawijaya.

(14)

Nasution, S. 2003. Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung: Tarsito.

Nawawi, Hadari. 2005. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Noor, Juliansyah. 2011. Metodologi Penelitian. Jakarta: Prenada Media Grup.

Nurhayati, Sri. Ak untansi Syariah Di Indonesia. Jakarta: Salemba Empat.

Partowinoto, S. 1996. Core Sampler Merupak an Salah Satu Sistem Alternatif Yang Mampu Menghargai Prestasi Individu Pembudidaya Tebu. Pasuruan: Berita P3GI No. 17 Tahun 1996.

PT. Perkebunan Nusantara X (Pers ero). 2011. Tabel Bagi Hasil Tahun 2011. Surabaya: PT Perkebunan Nusantara X.

PT. Perkebunan Nusantara X. 2017. Laporan Tahunan 2017: Mewujudk an Profitabilitas Berlandask an Kinerja Optimal. PT Perkebunan Nusantara X.

PT. Perkebunan Nusantara X. 2019. Sejarah Perusahaan, (http://ptpn10.co.id/page/profil), diakses pada 2 Februari 2019.

Purwono. 2003. Penentuan Rendemen Gula Tebu Secara Cepat. Science Philosophy Institut Pertanian Bogor.

Purwono. 2018. Pola Bagi Hasil Untuk Tebu Rak yat Dan Cara Perhitungan Rendemen Yang Ak untable Dan Sederhana. Makalah disajikan dalam Seminar Nasional oleh Pusat Studi Asia Pasifik di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 26 April.

Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Sekretariat Jenderal-Kementerian Pertanian. 2016.

Outlook Tebu Komoditas Pertanian Subsek tor Perk ebunan. Jakarta: Kementerian Pertanian.

Rahman, Aisyah Abdul dan Shifa Mohd Nor. 2016. Challenges of Profit-and-Loss Sharing Financing in Malaysian Islamic Banking. Malaysian Journal of Society and Space 12 issue 2:

39-46.

Sa’diyah, Mahmudatus. 2013. Mudharabah Dalam Fiqih Perbankan Syariah. Jurnal Perbank an Syariah. volume 1 (No. 2): 302-323.

Sajia R. Dan Iqbal Taufik. 2016. Dinamik a Huk um Islam. Yogyakarta: Deepublish.

Santoso, B. E dan Bahri, Subhaneul. 2004 Kajian Sistem Penetapan Rendemen Tebu Di Pabrik Gula. Laporan Tengah Tahunan 2004 Bagpro Litbang Tebu Pasuruan – PAATP Badan Litbangtan. Pasuruan: P3GI.

Sapuan, Noraina Mazuin. 2016. An Evolution Of Mudharabah Contract: A Viewpoint From Classic And Contemporary Islamic Sholars, 35 (2016) 349-358.

Sugiyono. 2016. Metode Penelitian Pendidik an Pendek atan Kuantitatif, Kualitatif, Dan R&D.

Bandung: Alfabeta.

Suhendi, Hendi. 2008. Fiqh Muamalah. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Susila, Nahdodin. 2005. Prospek dan Arah Pengembangan Industri Berbasis Tebu. Lembaga Penelitian Perkebunan Indonesia.

Suyanto, Bagong dan Sutinah. 2007. Metode Penelitian Sosial. Jakarta: Kencana.

Syarifuddin, Amir. 2010. Garis-Garis Besar Fiqh. Jakarta: Kencana.

Trisnobudi A, Hoei TL, Nugraha ER. 2001. Pengukuran Rendemen Tebu Menggunakan Gelombang Ultrasonik. Jurnal Tek nologi dan Industri Pangan. Volume 1 (No. 2): 77-82.

Utami, Sri. 2015. Evaluasi Pola Kemitraan Usaha Tani Tebu (Studi pada PTPN X (Persero) PG.

Pesantren Baru Kediri). Jurnal Administrasi. Volume 2, (No. 2): 1-10.

Wahyuni, Hilda. 2014. Hubungan Antara Brix Kebun dan Penguk uran Rendemen Individu Melalui Core Sampler di PTPN VII Unit Usaha Bungamayang, Lampung. Skripsi Institut Pertanian Bogor.

Widihastuti, Retno dan Lathifatul Rosyidah. 2018. Sistem Bagi Hasil Pada Udaha Perikanan Tangkap di Kepulauan Aru. Jurnal Perik anan. Volume 8, (No.1): 63-75.

Yulianti, Rahmani Timorita. 2008. Asas-Asas Perjanjian Akad Dalam Hukum Kontrak Syari’ah.

Jurnal Ek onomi Islam La_Riba. Volume 2, (No. 1): 91-107.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil pembahasan masalah dalam penulisan hukum yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: Tari

Berdasarkan uraian hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, maka dalam penulisan tesis ini dapat ditarik kesimpulan sebagai

Berdasarkan uraian dalam bab-bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut; 1) Hubungan hukum induk perusahaan terhadap anak perusahaan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan dimuka, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : terdapat hubungan positif yang nyata

Berdasarkan hasil pembahasan yang telah dibahas pada Bab sebelumnya, maka kesimpulan yang dapat ditarik sebagai berikut : Implementasi kebijakan layanan pengaduan

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: (1) Tidak terdapat abnormal return

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan dan saran sebagai berikut : kemampuan membaca

KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang dijelaskan pada bab sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut Penyebab jumlah dewan komisaris pada kinerja