• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI, IPM, DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP KETIMPANGAN

N/A
N/A
Nguyễn Gia Hào

Academic year: 2023

Membagikan "ANALISIS PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI, IPM, DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP KETIMPANGAN "

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI, IPM, DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP KETIMPANGAN

PENDAPATAN (STUDI KASUS DI KABUPATEN/KOTA PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN 2014-2017)

JURNAL ILMIAH

Disusun oleh :

Mochamad Thofan 125020100111025

JURUSAN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG

2019

(2)
(3)

ANALISIS PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI, IPM, DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP KETIMPANGAN PENDAPATAN (STUDI KASUS DI

KABUPATEN/KOTA PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN 2014-2017) Mochamad Thofan

Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya Email: thofanmochamad1993@gmail.com

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pertumbuhan ekonomi, IPM, dan desentralisasi fiskal terhadap ketimpangan pendapatan di seluruh Kbaupaten/Kota Provinsi Jawa Timur tahun 2014 – 2017. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi, IPM, dan desentralisasi fiskal memiliki pengaruh yang signifikan terhadap ketimpangan pendapatan Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur tahun 2014 – 2017. Pertumbuhan ekonomi dan desentralisasi fiskal memiliki pengaruh positif signifikan terhadap ketimpangan pendapatan, sedangkan IPM memiliki pengaruh negatif signifikan terhadap ketimpangan pendapatan Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Timur tahun 2014 – 2017.

Kata Kunci: pertumbuhan ekonomi, IPM, Desentralisasi Fiskal, ketimpangan pendapatan

A. PENDAHULUAN

Ketimpangan pendapatan merupakan salah satu masalah yang paling sering terjadi dalam pembangunan ekonomi. Ketimpangan pendapatan adalah suatu kondisi dimana pendapatan yang diterima masyarakat tidak merata. Ketimpangan ini pada dasarnya disebabkan oleh adanya perbedaan kondisi geografis yang terdapat pada masing masing wilayah. Selain itu, perbedaan kondisi demografi yang meliputi perbedaan tingkat pertumbuhan dan struktur kependudukan, perbedaan tingkat pendidikan dan kesehatan, perbedaan kondisi ketenagakerjaan dan perbedaan dalam tingkah laku dan kebiasaan serta etos kerja yang dimiliki masyarakat daerah juga berpengaruh terhadap ketimpangan pendapatan antar daerah. Kondisi demografi yang baik cenderung meningkatkan produktifitas kerja, sehingga dapat meningkatkan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi suatu daerah (Syafrizal, 2012).

Secara teoritis ketimpangan antar wilayah mula – mula dimunculkan oleh Douglas C North dalam analisisnya stentang Teori Pertumbuhan Neo Klasik. Dalam teori tersebut dimunculkan sebuah prediski tentang hubungan antara tingkat pembangunan ekonomi suatu Negara dengan ketimpangan pembangunan antar wilayah. Hipotesa ini kemudian lazim dikenal sebagai hipotesa Neo-Klasik. Menurut Hipotesa Neo-Klasik pada permulaan proses pembangunan suatu negara, ketimpangan pembangunan antar wilayah cenderung meningkat. Proses ini akan terjadi sampai ketimpangan tersebut mencapai titik puncak. Setelah itu , bila proses pembangunan terus berlanjut, maka secara berangsur – angsur ketimpangan pembangunan antar wilayah tersebut akan menurun. Berdasarkan hipotesa ini dapat ditarik suatu kesimpulan sementara bahwa pada negara – negara berkembang umumnya ketimpangan pembangunan antar wilayah cenderung lebih tinggi, sedangkan pada negara maju ketimpngan tersebut akan menjadi lebih rendah.

Pertumbuhan ekonomi 6 Provinsi yang ada di Pulau Jawa mengalami fluktuasi kecil dalam beberapa tahun terakhir ini. Provinsi Jawa Timur memiliki rata rata laju pertumbuhan ekonomi dalam tahun 2014 - 2017 sebesar 5.58%. Laju pertumbuhan di Provinsi Jawa Timur tergolong yang tertinggi dibandingkan Provinsi – provinsi lainnya di Pulau Jawa. Provinsi Jawa Timur berada pada peringkat ke-2 dari 6 provinsi yang ada di Pulau Jawa. DKI Jakarta memiliki rata rata pertumbuhan tertinggi dalam 4 tahun terakhir yaitu sebesar 5.98% kemudian diikuti Provinsi Banten 5.49% diposisi ke-3, dan di tiga terbawah yaitu Provinsi Jawa Barat dengan pertumbuhan 5.27%, disusul oleh Jawa Tengah dan DI Yogyakarta dengan pertumbuhan masing masing 5,32% dan 5,10%.

Baik tidaknya kinerja perekonomian tidak hanya di lihat dari pertumbuhan ekonomi saja namun juga dapat dilihat dari taraf hidup masyarakatnya atau yang lebih dikenal dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik tahun 2014 – 2017 menunjukkan bahwa pemerataan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau

(4)

dikenal dengan Human Develpment Index (HDI) di Pulau Jawa terdapat perbedaan IPM antar Provinsi. Provinsi DKI Jakarta menempati urutan pertama dengan rata – rata IPM sebesar 79,3 diikuti DI Yogyakarta sebesar 77,9, kemudian Banten sebesar 70,6. Provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah berada di posisi ke 4 dan ke 5 dengan nilai Indeks sebesar 69,8 untuk Jawa Barat dan 69,7 untuk Jawa tengah. Jawa Timur sendiri memiliki nilai rata – rata IPM terendah dalam 4 tahun terakhir dengan nilai rata – rata sebesar 69,3.

Upaya untuk mengurangi ketimpangan juga direalisasikan melaui perubahan sistem pemerintahan dari sentralisasi pada masa Orde Baru menjadi Desentralisasi di era Reformasi. Hal ini diwujudkan dengan dikeluarkannya UU nomor 22 tahun 1999 yang kemudian diganti dengan UU nomor 32 tahun 2004 dan UU nomor 23 tahun 2014 tentang pemerintahan daerah, serta UU nomor 25 tahun 1999 yang diganti dengan UU nomor 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Undang Undang nomor 22 tahun 1999 dan Undang Undang nomor 32 tahun 2004 tersebut menjadi dasar diterapkannya kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal di Indonesia.

Kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal menjadi peluang bagi suatu daerah untuk meningkatkan kondisi perekonomian daerah melalui peningkatan potensi daerah secara efisien baik dari sumberdaya alam maupun sumberdaya manusia yang dimiliki. Hakekat otonomi dan desentralisasi fiskal diterapkan tidak hanya menjalankan tugas dari pemerintah pusat, melainkan daerah benar – benar dituntut untuk meningkatkan kreatifitas dalam mengembangkan potensi daerah. Desentralisasi sendiri dipandang sebagai langkah atau cara untuk meningkatkan efisiensi sektor publik, mengurangi defisit anggaran, dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi (Oates, 1993).

Kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal kerap dikaitkan dengan besaran pendapatan asli daerah (PAD) dan dana transfer yang diterima masing - masing daerah. Besaran dana transfer yang diterima oleh masing-masing daerah memiliki kapasitas yang berbeda.

Perbedaan dana transfer tersebut merupakan kebijakan pemerintah yang disesuaikan dengan kapasitas fiskal daerah. Suatu daerah dengan kapasitas fiskal yang tinggi tentunya akan mendapatkan pasokan dana transfer yang berupa dana alokasi umum (DAU) yang lebih kecil dibandingkan dengan daerah yang memiliki kapasitas fiskal yang rendah. Tujuan dari pemberian dana transfer daerah ini menurut Sidik (2009) yaitu menjamin tercapainya standar pelayanan publik dan mengurangi kesenjangan horizontal (antar daerah) dan kesenjangan vertikal (pusat ke daerah).

Pembangunan dalam lingkup spasial memang tidak selalu merata, ketimpangan pendapatan antar wilayah menjadi salah satu permasalahan yang sangat serius. Pertumbuhan ekonomi yang telah dicapai tidak mampu untuk mengatasi masalah yang timbul akibat belum meratanya pembangunan dikarenakan juga terdapat beberapa daerah yang mengalami pertumbuhan ekonomi yang cepat, tetapi beberapa daerah yang lain mengalami pertumbuhan ekonomi yang lambat. Daerah tersebut tidak mengalami perkembangan dan kemajuan yang sama, ini disebabkan oleh kurangnya sumberdaya yang dimiliki. Kemudian adanya pengaruh pelaksanaan desentralisasi fiskal yang menjadikan semakin berfariasinya perkembangan kabupaten/kota di Jawa Timur, Indeks Pembangunan Manusia yang berbeda antar daerah, alhasil akan menyebabkan ketimpangan dan perbedaan pendapatan antar daerah tersebut.

B. KAJIAN PUSTAKA Ketimpangan Pendapatan

Menurut Kuncoro (2006), ketimpangan mengacu pada standar hidup yang relatif pada seluruh masyarakat, karena kesenjangan antar wilayah yaitu adanya perbedaan faktor anugrah awal (endowment factor). Perbedaan ini yang membuat tingkat pembangunan di berbagai wilayah dan daerah berbeda-beda, sehingga menimbulkan gap atau jurang kesejahteraan di berbagai wilayah tersebut (Sukirno, 2010).

Ketimpangan pendapatan dapat diartikan sebagai perbedaan kemakmuran ekonomi antara yang kaya dengan yang miskin. Hal ini tercermin dari perbedaan pendapatan (Robert E Baldwin, 1986). Masalah kesenjangan pendapatan sering juga diikhtisarkan, bahwa pendapatan riil dari yang kaya terus bertambah sedangkan yang miskin terus berkurang. Ini berarti bahwa pendapatan riil dari yang kaya tumbuh lebih cepat dari pada yang miskin (Bruce Herrick/Charles P Kindleberger, 1988)

(5)

Ketimpangan dimunculkan oleh Douglas C. North dalam analisanya mengenai Teori Pertumbuhan Neo Klasik. Dalam teori tersebut dimunculkan sebuah prediksi hubungan antara tingkat pembangunan ekonomi nasional suatu negara dengan ketimpangan pembangunan antar wilayah. Hipotesa ini kemudian lebih dikenal sebagai Hipotesa Neo-Klasik (Sjafrizal, 2012).

Menurut Hipotesa Neo-Klasik, pada awal proses pembangunan suatu negara, ketimpangan pembangunan antar wilayah cenderung mengalami peningkatan. Proses ini akan terus terjadi hingga ketimpangan mencapai titik puncak. Kemudian, bila proses pembangunan berlanjut maka secara berangsur-angsur ketimpangan pembangunan antar wilayah tersebut akan mengalami penurunan. Berdasarkan hipotesa ini, ketimpangan pembangunan antar wilayah cenderung lebih tinggi umunya pada negara-negara sedang berkembang, dan akan terjadi sebaliknya pada negara- negara maju. Dengan kata lain, kurva ketimpangan pembangunan antar wilayah berbentuk huruf U terbalik.

Simon Kuznet (1955) mengatakan bahwa pada tahap awal pertumbuhan ekonomi, distribusi pendapatan akan memburuk, namun pada tahap selanjutnya, distribusi pendapatannya akan mengalami peningkatan. Observasi inilah yang kemudian, dikenal sebagai kurva Kuznet “U- Terbalik”, karena perubahan longitudinal (time-series) dalam distribusi pendapatan. Kurva Kuznet dapat dihasilkan oleh proses pertumbuhan berkesinambungan yang berasal dari perluasan sektor modern. Hipotesis tersebut berawal dari pertumbuhan ekonomi yang awalnya meningkat pada tingkat kesenjangan pendapatan rendah sampai pada suatu tingkat pertumbuhan tertentu kemudian mengalami penurunan. Kuznet menyebutkan bahwa diantara faktor-faktor sosial, ekonomi dan politik yang mempengaruhi pola U, terdapat faktor penting yaitu terpusatnya modal pada kelompok pendapatan tinggi dan adanya pergeseran penduduk dari sektor pertanian tradisional ke sektor industri modern. Williamson menganalisis hubungan antara distribusi pendapatan dan pertumbuhan ekonomi pada tingkat region di suatu negara.

Pertumbuhan Ekonomi

Menurut pandangan ahli-ahli ekonomi Klasik ada empat faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, yaitu: jumlah penduduk, jumlah stok barang-barang modal, luas tanah dan kekayaan alam, serta teknologi yang digunakan. Walaupun menyadari bahwa pertumbuhan ekonomi tergantung pada banyak faktor, ahli-ahli ekonomi Klasik terutama menitikberatkan perhatiannya kepada pengaruh pertambahan penduduk kepada pertumbuhan ekonomi (Sukirno, 2010).

Robert Malthus mengemukakan penduduk akan mempengaruhi tingkat pertumbuhan ekonomi dimana pertambahan penduduk meningkat secara deretukur sedangkan pertambahan bahan makanan meningkat secara deret hitung. Seperti halnya David Ricardo, Malthus berbeda pendapat dengan Smith mengenai peran penduduk dalam pembangunan ekonomi. Menurut pendapat Smith yang belum menyadari hukum hasil yang semakin berkurang, perkembangan penduduk akanmendorong pembangunan ekonomi karena dapat memperluas pasar. Sedangkan Ricardo dan Malthus, perkembangan penduduk yang berjalan dengan cepat akan memperbesar jumlah penduduk hingga menjadi dua kali lipat dalam satu generasi sehingga dapat menurunkan kembali tingkat pembangunan ekonomi ke taraf yang lebih rendah. Pada tingkat ini, pekerja akan menerima upah yang sangat minimal atau upah subsisten (Sukirno, 2004).

Model pertumbuhan ekonomi Neo-Klasik Solow merupakan pilar yang sangat memberi kontribusi terhadap teori pertumbuhan Neo-Klasik sehingga penggagasnya, Robert Solow, dianugrahi hadiah Nobel bidang ekonomi. Pada intinya, model ini merupakan pengembangan dari formulasi Harrod-Domar dengan menambah faktor kedua, yakni tenaga kerja serta memperkenalkan variabel independen ketiga, yakni teknologi, kedalam persamaan pertumbuhan.

Namun, berbeda dari model Harrod-Domar yang mengasumsikan skala hasil tetap dengan koefisien baku, model pertumbuhan Neo-Klasik Solow berpegang skala hasil yang terus berkurang (diminishing return) dari input tenaga kerja dan modal jika keduanya dianalisis secara terpisah;

jika keduanya dianalisis secara bersamaan atau sekaligus, Solow juga memakai asumsi skala hasil tetap tersebut (Todaro dan Smith, 2004).

Indeks Pembangunan Manusia

Upaya untuk menganalisis perbandingan status pembangunan sosial ekonomi secara komprehensif dalam negara berkembang maupun negara maju telah dilakukan oleh United Nations Development Programme (UNDP) dalam Human Development Report (HDR). HDI mencoba untuk memberi peringkat semua Negara dari skala 0 (tingkat pembangunan manusia terendah)

(6)

hingga 1 (tingkat pembangunan manusia tertinggi) berdasarkan tiga tujuan atau produk akhir.

Produk akhir pembangunan tersebut yaitu:

1. Masa hidup (longevity) yang diukur dengan usia harapan hidup;

2. Pengetahuan (knowledge) yang diukur dengan kemampuan baca tulis orang dewasa secara tertimbang (dua pertiga) dan rata-rata tahun bersekolah (sepertiga);

3. Ketiga adalah standar kehidupan (standart of living) yang diukur dengan pendapatan riil per kapita disesuaikan dengan paritas daya beli.

Salah satu keuntungan terbesar dari HDI adalah sebuah negara dapat berbuat jauh lebih baik pada tingkat pendapatan rendah dan bahwa peningkatan pendapatan yang besar dapat berperan relatif kecil dalam pembangunan manusia. HDI mengingatkan bahwa pembangunan yang dimaksud adalah pembangunan dalam arti yang luas, bukan hanya dalam bentuk pendapatan yang lebih tinggi.

Menurut Todaro dan Smith (2004), IPM menunjukkan bahwa kesenjangan dalam pendapatan lebih besar daripada kesenjangan dalam indikator pembangunan yang lain, paling tidak dalam indikator kesehatan dan pendidikan. IPM juga menunjukkan bahwa pembangunan yang kita maksud adalah pembangunan manusia dalam arti luas bukan hanya dalam bentuk pendapatan yang lebih tinggi. Kesehatan dan pendidikan bukan hanya fungsi produksi namun juga merupakan tujuan pembangunan yang fundamental

Desentralisasi Fiskal

Konsep dasar pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal dalam Suparmoko (2001) adalah memberikan kewenangan kepada daerah untuk merencanakan dan melaksanakan pembangunan di daerahnya masing-masing sesuai dengan apa yang sedang dikehendaki, serta pemerintah pusat akan memberikan bantuan dan ikut membantu memelihara kegiatan yang daerah kurang mampu dalam melaksanakannya.

Menurut Oates, Wallace G. (2001) dalam Roy (2013) teori ekonomi tradisional mengenai desentralisasi fiskal didasarkan pada potensi keuntungan kesejahteraan yang akan diperoleh dari alokasi sumber daya yang lebih efisien pada sektor publik, khususnya pada kasus barang publik lokal (local public goods). Kelompok barang publik tersebut terdiri dari pelayanan publik dimana yang mengkonsumsinya dibatasi secara geografi hanya untuk penduduk daerah tersebut.

Tiebout (1956) menunjukkan bahwa suatu model pembiayaan lokal dimana setiap keluarga bebas berpindah untuk memilih daerah yang sesuai dengan preferensi mereka atas pelayanan publik yang disediakan oleh daerah. Pada model tersebut Tiebout membuat suatu analogi sektor publik lokal dengan pasar swasta yang mampu menghasilkan dengan pengalokasian sumber daya yang efisien. Karena individu dalam model tersebut tidak dihadapkan pada kendala tempat kerja dalam memilih tempat tinggal mereka, maka model Tiebout dapat dilihat sebagai model “pembiayaan metropolitan” (metropolitan finance).

Oates (1977) telah memformulasikan idenya dalam suatu teorema yang disebut Teorema Desentralisasi (The Decentralization Theorema). Poin yang mendasari adalah jika tidak terdapat keuntungan biaya (skala hasil) yang berhubungan dengan kondisi sentralisasi, maka pola desentralisasi terhadap barang publik yang menggambarkan adanya perbedaan selera diantara daerah - daerah yang ada akan meningkatkan kesejahteraan dibandingkan dengan hasil yang diperoleh dari sentralisasi yang menggambarkan tingkat output yang seragam untuk semua daerah.

C. METODE PENELITIAN Pendekatan Penelitian

Penelitian merupakan suatu cara sistematis untuk meneliti dan mengkaji suatu fenomena dengan menggunakan metode ilmiah dan aturan-aturan yang berlaku. Menurut Bambang (2006)

“metode penelitian adalah semua asas, peraturan dan teknik-teknik yang perlu diperhatikan dan diterapkan dalam usaha pengumpulan data dan analisa”. Dalam penelitian ini, menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan kuantitatif.

Definisi Operasional

1. Definisi Operasional Variabel Penelitian

Menurut Singarimbun dan Effendi (2006: 46) definisi operasional variabel merupakan unsur penelitian yang dapat memberitahukan bagaimana cara mengukur suatu variabel. Definisi operasional dalam variabel penelitian ini adalah sebagai berikut:

(7)

a. Pertumbuhan ekonomi

Pertumbuhan ekonomi daerah dalam penenlitian ini menggunakan data PDRB atas dasar harga konstan 2000 kabupaten/kota. PDRB merupakan salah satu indikator penting untuk mengetahui kondisi ekonomi suatu daerah.

b. IPM

Indeks pembangunan manusia (IPM) merupakan indeks komposit yang digunakan untuk mengukur pencapaian rata-rata suatu negara dalam tiga hal yang mendasar pembangunan manusia, yaitu: (1) Indeks Harapan Hidup yang diukur dengan angka harapan ketika lahir, (2) Indeks Pendidikan yang diukur berdasarkan rata-rata lama sekolah dan melek huruf, (3) Indeks Pendapatan yang diukur dengan daya beli konsumsi per kapita. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dalam penelitian ini adalah Nilai IPM menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur Tahun 2014 – 2017.

c. Desentralisasi fiskal

Mengikuti Jin dan Zou (2002) dan Slinko (2002) pengukuran derajat desentralisasi fiscal dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan penerimaan, yaitu mengukur derajat desentralisasi fiskal dari share penerimaan daerah terhadap total penerimaan daerah.

d. Ketimpangan pendapatan

Dalam penelitian ini variabel ketimpangan diukur menggunakan Gini Rasio.

Gini rasio merupakan salah satu ukuran ketimpangan dengan nilai antara 0 dan 1.

Data yang digunakan adalah seluruh kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur tahun 2014 – 2017.

Metode Analisis

Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah Fixed Effect Model yang didapat dari hasil Uji Chow dan Uji Hausman. Model estimasi regresi yang digunakan dapat dituliskan sebagai berikut :

𝑌 = 𝛃𝟎 + 𝛃𝟏 𝑿𝟏𝒊𝒕 + 𝛃𝟐 𝑿𝟐𝒊𝒕 + 𝛃𝟑 𝑿𝟑𝒊𝒕 + 𝜇i Keterangan :

Y = Gini Rasio

𝛽0 = Intersep

𝛽1, 𝛽2, 𝛽3 = Koefisien Regresi

𝑋1 = Pertumbuhan Ekonomi

𝑋2 = Indeks Pembangunan Manusia

𝑋3 = Desentralisasi Fiskal

𝜇i = Error

Uji Koefisien Determinasi (R2)

Koefisisen determinasi R² yaitu untuk mengukur seberapa jauh kemampuan suatu model dalam menerangkan variabel-variabel dependen. Nilai koofisien dari R² antara nol dan satu.

Koefisien determinasi adalah suatu ukuran yang menjelaskan besar variasi regressan akibat perubahan varisasi regresor. Nilai R² yang kecil menunjukkan bahwa kemampuan variabel independen dalam mempengaruhi variabel dependennya juga kecil. Nilai determinasi R² yang mendekati satu menunjukkan bahwa variabel independen yang tercantum dalam model mampu memberikan pengaruh yang besar terhadap variabel dependennya. Semakin besar nilai R² (mendekati 1), semakin baik model regresi tersebut. semakin mendekati Nol maka variable independen secara keseluruhan tidak dapat menjelaskan variablitias dari variable dependen (Sumodiningrat, 1999).

Uji Hipotesis Statistik

Uji hipotesis statistik terdiri dari dua uji; uji statistik t dan uji statistik f. Uji statistik t pada dasarnya menunjukkan seberapa jauh pengaruh satu variabel penjelas/independen secara individual dalam menerangkan variasi variabel dependen (Ghozali, 2011:98). Menurut Ghozali (2013:98) uji statisktik F pada dasarnya menunjukkan apakah semua variabel independen yang

(8)

dimasukkan dalam model mempunyai pengaruh bersama-sama terhadap variabel dependen dengan tingkat keyakinan 95% (α = 0.05). Hasil uji statistik F dapat dilihat pada tabel anova.

D. HASIL DAN PEMBAHASAN Uji Normalitas

Gambar 1 : Hasil Uji Normalitas pada Fixed Effect Model

0 4 8 12 16 20 24

-0.06 -0.04 -0.02 0.00 0.02 0.04

Series: Standardized Residuals Sample 2014 2017

Observations 152 Mean 0.000000 Median -0.000561 Maximum 0.047282 Minimum -0.057792 Std. Dev. 0.020571 Skewness -0.179876 Kurtosis 2.614171 Jarque-Bera 1.762477 Probability 0.414269

Sumber: Output pengolahan data menggunakan E-Views 10

Berdasarkan uji normalitas di atas menunjukkan bahwa nilai probability J-B adalah sebesar 1.762477 Angka tersebut lebih besar dari 0.05 sehingga dapat disimpulkan bahwa data berdistribusi normal.

Uji Multikolinearitas

Tabel 1 : Hasil Uji Multikolinieritas

X1 X2 X3 Keterangan

X1 1 0.16 0.11 Tidak Terjadi Multikolinieritas X2 0.16 1 0.60 Tidak Terjadi Multikolinieritas X3 0.11 0.60 1 Tidak Terjadi Multikolinieritas Sumber: Output pengolahan data menggunakan E-Views 10

Berdasarkan hasil uji di atas menunjukkan bahwa nilai korelasi antar variabel independen lebih kecil dari 0.8 sehingga disimpulkan bahwa model terbebas dari masalah multikolinearitas.

Uji Heteroskedastisitas

Tabel 2 : Hasil Uji Heteroskedastisitas

Variabel Prob Keterangan

X1 0,6688 Tidak Terjadi Heteroskedasitas X2 0.1579 Tidak Terjadi Heteroskedasitas X3 0.3470 Tidak Terjadi Heteroskedasitas Sumber: Output pengolahan data menggunakan E-Views 10

Berdasarkan uji heteroskesdasitas di atas menunjukkan bahwa probability semua variabel lebih dari 0.05 sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi masalah heterokesdasitas dalam model tersebut.

(9)

Uji Statistik

1. Koefisien Determinasi (R2)

Koefisien Determinasi atau Goodness of fit digunakan untuk mengukur seberapa jauh tingkat kemampuan model dalam menerangkan variabel dependen. Nilai koefisien Determinasi (R²) memiliki kelemahan mendasar yaitu adanya bias terhadap jumlah variabel independen yang dimaksukkan dalam model. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan koefisien determinasi yang disesuaikan (adjusted R²).

Tabel 3 : Uji Koefisien Determinasi

R-Squared 0.727878

Adjusted R – Squares 0.629816

Sumber: Output pengolahan data menggunakan E-Views 10

Berdasarkan hasil analisis, diperoleh nilai adjusted R-squared sebesar 0.629816 Hal ini berarti bahwa, 63 persen tingkat Ketimpangan pendapatan di Provinsi Jawa Timur tahun 2014- 2017 dapat dijelaskan oleh variabel PDRB, pengangguran terbuka, angka harapan hidup dan tingkat pendidikan. Sedangkan sisanya sebanyak 37 persen dijelakan oleh variabel lain di luar model atau faktor – faktor lain diluar penelitian ini.

2. Uji Statistik F

Uji F atau Uji simultan digunakan untuk mengetahui apakah semua variabel independen mempunyai pengaruh secara bersama-sama atau simultan terhadap variabel dependen. Dari hasil regresi Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Pengangguran, Kesehatan dan Pendidikan Terhadap Tingkat Kemiskinan Kota dan Kabupaten Provinsi Jawa Timur Tahun 2013-2017 diperoleh nilai F-hitung sebesar 7.422624 diperoleh nilai F-hitung sebesar 0,0000 < 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa semua variabel independen (Pertumbuhan Ekonomi, Indeks Pembangunan Manusia dan Desentralisasi Fiskal) secara bersama-sama (simultan) berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen (tingkat kemiskinan).

3. Uji Statistik t

Uji t atau uji parsial dilakukan untuk menguji apakah variabel independen (Pertumbuhan Ekonomi, IPM, dan Desentralisasi Fiskal) memiliki pengaruh terhadap variabel dependen (ketimpangan pendapatan)

Tabel 4 : Hasil Uji t Statistik Variabel Coefficient Prob.

X1 2,091097 0.0306

X2 -0,104414 0.0060

X3 0.066080 0.0275

Sumber: Output pengolahan data menggunakan E-Views 10

Berdasarkan hasil Uji t menunjukkan bahwa secara individu, keseluruhan variabel independen signifikan mempengaruhi variabel dependen

Hubungan Pertumbuhan Ekonomi dengan Ketimpangan Pendapatan

Berdasarkan hasil analisis regresi yang telah dilakukan dengan menggunakan model Fixed Effect, menunjukkan bahwa variabel pertumbuhan ekonomi (PDRB) secara individu berpengaruh positif dan signifikan terhadap Ketimpangan Pendapatan antar Daerah. Berdasarkan hasil analisis dapat diketahui bahwa variabel Pertumbuhan Ekonomi memiliki probabilitas 0.0306

< 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel PDRB berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat kemiskinan. Koefisien variabel Pertumbuhan Ekonomi sebesar 2,091097 dengan probabilitas sebesar 0.0306 menjelaskan bahwa setiap kenaikan 1% IPM akan diikuti penurunan ketimpangan pendapatan sebesar 2,091097%. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Yosi,

(10)

dkk (2012) bahwa laju pertumbuhan PDRB berpengaruh positif dan signifikan terhadap Tingkat Ketimpangan Pendapatan.

Hasil penelitian ini senada dengan teori yang dikemukakan oleh Kuznet menjelaskan bahwa pertumbuhan ekonomi memiliki korelasi yang sangat kuat terhadap ketimpangan pendapatan. Pertumbuhan ekonomi pada tahap awal menyebabkan tingkat ketimpangan cenderung meningkat namun pada saat mendekati tahap akhir pembangunan terjadi pengurangan tingkat ketimpangan secara berkesinambungan. Dalam hal ini pertumbuhan ekonomi suatu wilayah sebenarnya tidak semata – mata diukur berdasarkan pertumbuhan produk domestik regional bruto (PDRB) secara keseluruhan, tetapi harus memperhatikan sejauh mana distribusi pendapatan telah menyebar kelapisan masyarakat serta siapa yang telah menikmati hasil-hasilnya.

Dengan arti kata bahwa pertumbuhan ekonomi yang meningkat di suatu daerah akan tetapi tidak diikuti oleh peningkatan pertumbuhan ekonomi di daerah lain maka akan menyebabkan ketimpangan pembangunan menjadi semakin tinggi, hal ini terjadi karena pada awal-awal pembangunan pelaku ekonomi lebih tertarik berinvestasi pada daerah–daerah yang relatif maju sebab infrastruktur lengkap, banyak tenaga kerja yang terlatih, peluang bisnis tersedia sehingga daerah yang tadinya juga sudah maju akan semakin maju dan keadaan ini akan mendorong naiknya pertumbuhan ekonomi daerah maju. Daerah - daerah yang relatif tertinggal akan semakin ketinggalan sebab daerah tersebut memiliki banyak keterbatasan seperti tenaga kerja terdidik dan terlatif tidak tersedia, infrastruktur biasanya tidak memadai sehingga daerah ini akan semakin tertinggal. Oleh sebab itu, ketimpangan pembangunan akan semakin lebar. Jika tidak dibangun berbagai fasilitas dan faktor pendukung perekonomian di daerah tertinggal maka ketimpangan pembangunan akan tidak terhindarkan dan bahkan bisa menjadi semakin melebar.

Hubungan IPM dengan Ketimpangan Pendapatan

Berdasarkan hasil analisis regresi yang telah dilakukan dengan menggunakan model Fixed Effect, hasil menunjukkan bahwa secara parsial Indeks Pembangunan Manusia (IPM) berpengaruh negatif dan signifikan terhadap ketimpangan pendapatan antar daerah. Koefisien variabel IPM sebesar -0,104414 dengan probabilitas sebesar 0,0060 menjelaskan bahwa setiap kenaikan 1% IPM akan diikuti penurunan ketimpangan pendapatan sebesar 0,104414%.. Hal tersebut sesuai dengan Teori Human Capital yaitu bahwa pendidikan memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi dan akan mengurangi disparitas pendapatan. Hasil ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Hartini, (2017) bahwa IPM berpengaruh signifikan terhadap ketimpangan pendapatan.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Mopangga (2011) juga menyatakan bahwa variabel indeks pembangunan manusia memiliki pengaruh yang sangat besar sebagai sumber ketimpangan sama seperti yang telah dijelaskan oleh Dumairy (2010) bahwa IPM memiliki pengaruh terhadap ketimpangan wilayah karena kualitas pembangunan manusia besar pengaruhnya terhadap pembangunan daerah. Teori ekonomi tentang teori modal manusia yang dipelopori oleh para pemenang nobel ilmu ekonomi, yaitu Gary Becker, Edwar Dension dan Theodore Schultz, menjelaskan bahwa manusia yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi yang diukur juga dengan lamanya waktu sekolah,akan memiliki pekerjaan dan upah yang lebih besar dibanding yang pendidikannya rendah. Apabila upah mencerminkan produktivitas, semakin banyak orang yang memiliki pendidikan tinggi, semakin tinggi produktivitas dan hasilnya ekonomi akan bertambah lebih tinggi (Jhingan, 2010).

Pada hakekatnya pembangunan ditujukan untuk mensejahterakan masyarakat.

Pembangunan yang hakiki tidak hanya dinikmati oleh segelintirkelompok tetapi secara holistik dapat dinikmati seluruh lapisan masyarakat. Pembangunan dimaksud tidak hanya terfokus pada pembangunan gedung saranadan prasarana, tetapi berimplikasi pada perubahan kualitas manusia.

Bisa dianalogkan, pembangunan yang pro kepada kualitas manusia itu bercirikan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Dalam mewujudkan pembangunan yang hakiki, baik Pemerintah Pusat maupun Daerah telah melakukan berbagai kebijakan dan program untuk meningkatkan kualitas manusia.

Hubungan Desentralisasi Fiskal dengan Ketimpangan Pendapatan

Berdasarkan hasil analisis regresi yang telah dilakukan dengan menggunakan model Fixed Effect, hasil menunjukkan bahwa secara parsial Desentralisasi Fiskal berpengaruh positif

(11)

dan signifikan terhadap ketimpangan pendapatan antar daerah. Koefisien variabel Desentralisasi Fiskal sebesar -0,066080 dengan probabilitas sebesar 0,0275 menjelaskan bahwa setiap kenaikan 1% IPM akan diikuti penurunan ketimpangan pendapatan sebesar 0,0275%.

Penelitian Apriesta dan Miyasto (2013) menunjukkan hasil yang sama, bahwa terdapat hubungan positif desentralisasi fiskal dengan ketimpangan pendapatan, artinya desentralisasi fiskal meningkatkan ketimpangan pendapatan. Pada tahap awal pembangunan ekonomi belum sepenuhnya merata namun pada tahap tertentu ketimpangan pendapatan akan menurun. Akai dan Sakata (dalam Apriesta dan Miyasto, 2013) menjelaskan pada sistem sentralistik pelaksanaan untuk mendistribusikan sumber daya daerah yang kaya ke daerah yang miskin dapat mengurangi kesenjangan, tetapi pada sistem otonomi daerah bukan berarti dampak kesenjangan sosial lebih besar dibanding sistem sentralistik, dalam sistem otonomi diharapkan daerah akan lebih intensif untuk memajukan daerahnya dengan melakukan kebijakan-kebijakan pembangunan ekonomi.

Meningkatnya ketimpangan pendapatan pada saat diberlakukannya desentralisasi fiskal bisa disebabkan alokasi anggaran yang kurang tepat. Jika dilihat pada data APBD Jawa timur tahun 2017 hampir 50% dari total anggaran digunakan untuk belanja pegawai, yang mana dari belanja pegawai tersebut tidak memberikan return kepada daerah yang bersangkutan. Jika saja proporsi dari belanja modal ditambah, mungkin daerah – daerah bisa lebih memiliki ruang untuk mengembangkan daerahnya sehingga bisa mengejar daerah – daerah lain yang lebih maju sehingga dapat memperkecil ketimpangan pendapatan antar daerah.

E. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis penelitian yang telah dilakukan dapat diperoleh beberapa kesimpulan :

1. Hubungan antara ketimpangan pendapatan dan pertumbuhan ekonomi dalam penelitian ini memiliki keterkaitan yang kuat dan positf. Hal ini tidak terlepas dari Negara Indonesia yang sampai saat ini masih berada pada proses awal pembangunan, sehingga dalam fase tersebut pembangunan akan dipusatkan pada daerah – daerah yang telah memiliki infrastuktur maupun endowment factor yang lebih unggul. Selain itu perbedaan pendapatan dari sektor ekonomi juga merupakan penyebab terjadinya.

2. Indeks pembangunan manusia, yang mana memiliki hubungan kuat dan langsung dengan ketimpangan pendapatan. Dimana variabel IPM secara tidak langusng akan mempengaruhi produktifitas seseorang. Ketika produktifitas semakin tinggi maka pendapatan yang diperoleh juga akan semakin tinggi.

3. Desentralisasi fiskal juga memiliki pengaruh yang kuat dan langsung terhadap bertambahnya ketimpangan pendatan. Kurang tepatnya pengalokasiaan anggaran masih menjadi masalah utama selain masih buruknya mental para pegawai pemerintahan dalam pelaksanaan desentraliasasi fiskal. Sistem desentralisasi memungkinkan kabupaten/kota mengolah dan mengekplorasi potensi dari masing – masing daerahnya. Sehingga daerah yang mampu memanfaatkan adanya hal tersebut akan memperoleh manfaat daeri adanya kebijakan desentralisasi fiskal ini, sedangkan daerah lain yang masih belum bisa mengembangkan potensi daerahnya akan semakin tertinggal.

Saran

Berdasarkan kesimpulan yang sudah diuraikan diatas, saran dan masukan yang dapat disampaikan antara lain :

1. Pertumbuhan eknomi yang dilihat menggunakan PDRB menunjukkan masih kecilnya peran sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan. Pemerintah diharapkan bisa lebih mendorong perkembangan dan memberikan perhatian lebih kepada sektor – sektor tersebut. Pada sektor pertanian pemerintah bisa memberikan bantuan berupa pengairan yang lebih baik dengan menyediakan bendungan – bendungan disetiap daerahnya. Selain itu, pemerintah juga diharapkan bisa membuka pusat – pusat pertumbuhan baru di daerah lain. Sampai saat ini pusat perekonomian Jawa Timur masih terpusat di Surabaya dan sekitarnya saja.

2. Perbaikan kualitas sumberdaya manusia wajib dilakukan. Dari segi pendidikan, dan kesehatan pemerintah diharapkan memberikan pelayan yang semakin baik tiap tahunnya.

Pendidikan gratis hingga jenjang SMA mungkin sudah saatnya diberlakukan. Selain itu pendirian balai pelatihan kerja di daerah – daerah juga sangat dibutuhkan. Dari segi

(12)

kesehatan diberlakukannya BPJS sudah cukup berhasil dalam meningkatkan angka harapan hidup masyarakat.

3. Perbaikan kinerja pemerintah daerah. Pembenahan dari segi mental para pegawai aparatur negara sehingga dapat mengurangi tingakt korepsi di daerah yang sampai saat ini jumlahnya masih cukup tinggi. Pengembangan potensi daerah yang lebih intensif sehingga daerah – daerah bisa mendapatkan pendaptan yang lebih tinggi dan tidak tergantung dengan dana perimbangan.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil dari penelitian ini bisa dipakai sebagai bahan referensi pemerintah Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Timur dalam mengambil kebijakan untuk menurunkan kemiskinan dengan

As for the observation sheet using 10 core competence on pedagogical competence, namely mastering the characteristics of students, mastering learning theories and educational principles