• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Polutan Udara (CO, NO2, SO2, PM10, PM2,5 dan TSP) di Industri Galangan Kapal serta Pengaruhnya terhadap Lingkungan Kerja

N/A
N/A
Arananda Dwi Putri

Academic year: 2023

Membagikan "Analisis Polutan Udara (CO, NO2, SO2, PM10, PM2,5 dan TSP) di Industri Galangan Kapal serta Pengaruhnya terhadap Lingkungan Kerja "

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Analisis Polutan Udara (CO, NO

2

, SO

2

, PM

10

, PM

2,5

dan TSP) di Industri Galangan Kapal serta Pengaruhnya terhadap

Lingkungan Kerja

Erly Esaputri Saragih1, Dian Rahayu Jati1, dan Suci Pramadita1

1.Jurusan Teknik Lingkungan Universitas Tanjungpura E-mail : [email protected]

Abstract

A shipyard is an industry that fulfills repairs for ships carrying out loading and unloading at ports. The impact of shipyard activities on the environment and health is particulate dust and oxide gases from the welding process. The research was conducted to analyze the concentration of air pollutants CO, NO2, SO2, PM10, PM2,5 and TSP and its effect on the work environment. There were 3 sampling points, while the effect of pollutant concentration on the work environment was obtained from interviews with workers at PT. Kapuas Cahaya Bahari (KACABA). Based on the result, it was found that the concentration of air pollutants in PT. Kapuas Cahaya Bahari (KACABA) still meets the ambient air quality standards of Government Regulation of the Republic of Indonesia Number 22 of 2021. Pollutants with the highest concentration are carbon monoxide (CO) and total suspended particulate (TSP) at sampling points 2 of 2.66 g/m3 and 36.9 g/m3. The highest pollutant at sampling point 1 and sampling point 3 was Total Suspended Particulate (TSP), at 50.40 g/m3 and 53.88 g/m3. The concentration of pollutants is still below the quality standard so there is no significant effect felt by the workers while working.

Keywords: shipyard, air pollutans, health effect.

Abstrak

Galangan kapal merupakan salah satu industri yang memenuhi reparasi bagi kapal-kapal yang melakukan bongkar muat di pelabuhan. Dampak dari aktivitas industri galangan kapal terhadap lingkungan dan kesehatan, ialah partikulat debu dan gas oksida dari proses pengelasan. Penelitian dilakukan untuk menganalisis konsentrasi polutan udara karbon monoksida (CO), nitrogen dioksida (NO2), sulfur dioksida (SO2), dan partikel material < 10 µm (PM10), partikel material < 2,5 µm (PM2,5) dan total suspended particulate (TSP) serta pengaruhnya terhadap lingkungan kerja. Pengambilan sampel udara dilakukan pada 3 titik sampling, sedangkan pengaruh konsentrasi polutan terhadap lingkungan kerja diperoleh dari wawancara terhadap para pekerja di PT. Kapuas Cahaya Bahari (KACABA). Berdasarkan hasil yang diperoleh, diperoleh bahwa konsentrasi polutan udara di PT. Kapuas Cahaya Bahari (KACABA) masih memenuhi baku mutu udara ambien Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2021.

Polutan dengan konsentrasi tertinggi adalah karbon monoksida (CO) dan total suspended particulate (TSP) pada titik sampling 2 sebesar 2,66 µg/m3 dan 36,9 µg/m3. Polutan yang paling tinggi pada titik sampling 1 dan titik sampling 3 adalah Total Suspended Particulate (TSP), sebesar 50,40 µg/m3 dan 53,88 µg/m3. Konsentrasi polutan masih di bawah baku mutu sehingga tidak ada pengaruh siginifikan yang dirasakan oleh para pekerja selama bekerja.

Kata kunci: galangan kapal, polutan udara, pengaruh kesehatan.

(2)

130 PENDAHULUAN

Galangan kapal merupakan salah satu industri yang memenuhi reparasi bagi kapal-kapal yang melakukan bongkar muat di pelabuhan. Galangan kapal termasuk industri fabrikasi yang melibatkan penggunaan material yang dapat memberikan dampak pada lingkungan serta berkontribusi pada perubahan iklim. Kapal merupakan sarana transportasi yang penting bagi perhubungan dan pembangunan ekonomi bagi masyarakat antara daerah satu dengan lainnya, juga menjadi bagian dari sistem pertahanan negara. Keberadaan suatu kapal ataupun proses perbaikan atau reparasi selalu berkaitan dengan industri galangan kapal sebagai bagian utama dari industri kemaritiman dan perairan sungai. Kapal yang berlayar rentan terhadap korosi yang disebabkan oleh air. Korosi di badan kapal dapat menyebabkan daya rekat cat menipis dan ketebalan baja pelindung kapal berkurang.

Proses reparasi kapal di galangan kapal akan memperbaiki kualitas badan kapal yang sudah berkarat sehingga sesuai dengan ketentuan yang berlaku bagi industri kapal.

Semakin berkembangnya dunia maritim di Indonesia maka semakin berkembang pula bidang industri pembuatan dan reparasi kapal yang membutuhkan waktu dan proses panjang. Beberapa aktivitas yang dilakukan dalam proses reparasi di galangan kapal, yaitu sandblasting, pengelasan, pengecatan, dan pemotongan pelat baja. Menurut Sisworo dalam (Hendrawan et al., 2020) proses sandblasting merupakan proses pembersihan atau persiapan permukaan logam dengan menembakkan material abrasif berupa pasir silika atau secara paksa ke permukaan material. Penyemprotan pasir ini digunakan dalam berbagai tujuan seperti untuk menghilangkan karat, debu, kotoran dan membentuk kekasaran permukaan material suatu kapal sehingga rata dan dalam proses pengecatan serta pelapisan cat lebih melekat dan produk warna akan bertahan lebih lama.

Selain sandblasting, proses pengelasan dan pemotongan pelat baja juga menghasilkan gas-gas oksida yang berbahaya bagi lingkungan.

Jumlah industri galangan kapal di Kalimantan Barat cukup banyak dengan total 25% dari jumlah galangan kapal di seluruh Indonesia (Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kalimantan Barat, 2018). Keberadaan industri galangan kapal di Kalimantan Barat dapat menyumbang pencemaran udara melalui aktivitas pembuatan dan reparasi kapal. Dampak dari aktivitas industri galangan kapal terhadap lingkungan dan kesehatan, ialah debu akibat pembersihan pelat badan kapal atau proses sandblasting, sisa skrap dari tumbuhan dan binatang air yang menempel di badan kapal, sisa-sisa oli dari badan kapal (oil water separator), sisa oli dan lumpur di bilga kapal, serta polutan udara akibat asap dari proses pengelasan, partikulat debu yang digunakan dalam sandblasting dan operasional peralatan handling yang juga berpotensi menghasilkan partikel dengan kandungan logam.

Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis konsentrasi polutan udara di sekitar salah satu industri galangan kapal Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat serta dampaknya terhadap lingkungan kerja. Penelitian ini bertujuan untuk Menganalisis kualitas udara di industri galangan kapal PT. Kapuas Cahaya Bahari (KACABA) pada titik kontrol dan titik sampel yang berdekatan dengan aktivitas reparasi dan membandingkannya dengan baku mutu udara ambien berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2021 dan Menganalisis pengaruh kualitas udara terhadap lingkungan kerja dan para pekerja di industri galangan kapal PT. Kapuas Cahaya Bahari (KACABA).

METODE PENELITIAN

Penelitian dilakukan dari bulan Juni hingga Juli 2021. Pengambilan sampel udara dilakukan secara grab sampling pada 3 titik sampling sebagai berikut.

(3)

Gambar 1. Lokasi Titik Sampling Udara

1. Titik sampling 1, di ruang terbuka berada depan ruang kantor PT. Kapuas Cahaya Bahari (KACABA). Titik ini dipilih sebagai titik kontrol.

2. Titik sampling 2, di dekat area graving dock pengerjaan reparasi kapal baja yang menjadi fokus aktivitas berpotensi menghasilkan polutan udara.

3. Titik sampling 3, di jalur lalu lintas para pekerja dekat area graving dock menuju Sungai Kapuas.Pengambilan sampel udara dilakukan dengan alat-alat portable, yaitu Environment Multimeter (Mastech MS6300), Global Positioning System (GPS), SO2

Gas Detector, NO2 Gas Detector dan Air Quality Monitor (DH106A). Setelah diperoleh hasil uji sampel udara dengan pengukuran 1 jam, maka dengan menggunakan konversi Canter hasil uji tersebut dikonversi dengan waktu 24 jam agar dapat dibandingkan dengan baku mutu pada Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 Lampiran VII tentang Baku Mutu Udara Ambien. Persamaan konversi Canter sebagai berikut (Duppa et al., 2020).

C1 = C2 x [𝑡2

𝑡1]p ………(1) Keterangan:

C1 = konsentrasi udara dengan lama pencuplikan contoh t1 (µg/m3) C2 = konsentrasi udara dengan lama pencuplikan contoh t2 (µg/m3) t1 = lama pencuplikan contoh 1 (jam)

t2 = lama pencuplikan contoh 2 (jam) p = faktor konversi

Sedangkan untuk memperoleh pengaruh dari polutan udara dilakukan wawancara terstruktur kepada 22 pekerja di PT. Kapuas Cahaya Bahari (KACABA).

HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Kualitas Udara

Penelitian dilakukan untuk menganalisis konsentrasi polutan udara di PT. Kapuas Cahaya Bahari (KACABA) dengan parameter karbon monoksida (CO), sulfur dioksida (SO2), nitrogen dioksida (NO2), partikulat material < 10 µm (PM10), partikulat material < 2,5 µm (PM2,5) dan total suspended particulate (TSP). Hasil pengujian konsentrasi polutan udara adalah sebagai berikut.

(4)

132 Tabel 1. Hasil Pengujian Kualitas Udara

NO. Parameter Hasil Uji (µg/m3) Baku

Mutu*) Titik 1 Titik 2 Titik 3

1 Sulfur Dioksida (SO2) 1,64 2,08 1,80 150

2 Karbon Monoksida (CO) 2,18 2,66 2,41 200

3 Nitrogen Dioksida (NO2) 0,71 1,29 0,96 150 4 TSP (Total Suspended Particulate) 50,40 61,18 53,88 55 5 Partikel material < 10 µm (PM10) 26,74 17,64 28,56 75 6 Partikel material < 2,5 µm (PM2,5) 22,66 48,73 24,06 230 Sumber: Hasil Pemeriksaan Laboratorium, 2021

*) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaran Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

Berdasarkan hasil pengujian kualitas udara yang dibandingkan dengan baku mutu udara ambien pada Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 kualitas udara di PT. Kapuas Cahaya Bahari (KACABA) masih di bawah baku mutu udara ambien. Namun ada perbedaan konsentrasi pada titik sampling 1, 2 dan 3 untuk semua parameter. Perbedaan konsentrasi tersebut dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti keberadaan titik sampling, aspek meteorologis dan aktivitas pada titik sampling.

Konsentrasi Karbon Monoksida (CO)

Hasil pengukuran kualitas karbon monoksida (CO) pada ketiga titik sampling berada di bawah baku mutu. Baku mutu konsentrasi karbon monoksida (CO) berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2021 adalah 150 µg/m3.

Gambar 1. Konsentrasi Karbon Monoksida (CO)

Konsentrasi karbon monoksida terendah terdapat pada titik sampling 1, yaitu sebesar 2,18 µg/m3. Titik sampling 1 merupakan titik yang terletak di depan kantor PT. Kapuas Cahaya Bahari (KACABA) yang cukup jauh dari aktivitas atau zona kerja reparasi kapal.

Aktivitas yang terdapat pada titik sampling 1 adalah parkiran motor, bengkel, dan kantin serta asrama para pekerja. Jadi sumber karbon monoksida (CO) dapat berasal dari kendaraan bermotor yang akan parkir atau meninggalkan lokasi parkir serta asap rokok dari beberapa pekerja yang berada di kantin (Ramadhani et al., 2011). Konsentrasi CO pada titik sampling 2 paling tinggi sebesar 2,66 µg/m3. Titik sampling 2 merupakan titik yang menjadi fokus dari aktivitas reparasi kapal.

2,18 2,66 2,41

0 50 100 150 200

1 2 3

Konsentrasi CO (µg/m3)

Titik sampling

Hasil Uji µg/m3 Baku Mutu (µg/m3)

(5)

Konsentrasi Nitrogen Dioksida (NO2)

Gambar 2. Konsentrasi Nitrogen Dioksida (NO2)

Hasil pengukuran nitrogen dioksida (NO2) untuk titik sampling 1-3 masih di bawah baku mutu. Tetapi ada perbedaan dan peningkatan konsentrasi pada titik sampling 2.

Konsentrasi NO2 terendah terdapat pada titik samping 1, pada titik sampling ini aktivitas yang menghasilkan gas NO2 adalah kendaraan bermotor dari parkiran. Hasil pengukuran nitrogen dioksida (NO2) tertinggi terdapat pada titik sampling 2, yaitu sebesar 1,29 µg/m3. Aktivitas pada titik sampling ini adalah proses pengelasan yang digunakan untuk memotong plat plat baja kapal dalam pergantian plat baja yang sudah tipis dengan plat baja yang baru. Selain aktivitas pada titik sampling, konsentrasi gas NO2 juga dipengaruhi oleh faktor meteorologi pada masing-masing titik sampling. Konsentrasi NO2 terendah pada titik sampling 1 dengan suhu 30oC, tertinggi pada titik sampling 3 dengan suhu 31,8oC dan pada titik sampling 3 dengan suhu 32oC. Konsentrasi NO2 tertinggi pada titik sampling 2 dengan kelembaban udara sebesar 63% dan konsentrasi terendah pada titik sampling 1, kelembaban udara 62%. Konsentrasi NO2 terendah terjadi pada kelembaban udara rendah dan konsentrasi tertinggi pada kelembaban yang tinggi. Kelembaban udara merupakan jumlah uap air di udara yang berarti, jika kelembaban udara rendah maka jumlah uap air yang dikandung udara rendah sehingga dispersi atau pergerakan udara akan lebih cepat dan konsentrasi NO2 akan lebih rendah (Istirokhatun et al., 2016).

Menurut (Istirokhatun et al., 2016), kecepatan angin memengaruhi konsentrasi pencemar pada lokasi tertentu karena kecepatan yang rendah dapat menyebabkan pergerakan udara menjadi lebih lambat dan terkumpul pada lokasi tersebut sehingga konsentrasi NO2

menjadi lebih rendah begittu pul sebaliknya. Konsentrasi tertinggi pada titik sampling 2 dengan kecepatan angin yang cukup rendah sebesar 0,2 m/s, sehingga gas NO2 yang dihasilkan pada titik tersebut terakumulasi, konsentrasi tersebut juga ditunjang aktivitas pada lokasi tersebut yang berpotensi menghasilkan gas NO2.

Konsentrasi Sulfur Dioksida (SO2)

Gambar 3. Konsentrasi Sulfur Dioksida (SO )

0,71 1,29 0,96

0 50 100 150 200 250

Titik Sampling 1 Titik Sampling 2 Titik Sampling 3 Baku Mutu NO2g/m3)

Hasil Sampling (µg/m3)

1,64 2,08 1,8

0 30 60 90 120 150 180

Titik Sampling 1Titik Sampling 2Titik Sampling 3 Baku Mutu SO2g/m3)

Hasil Sampling (µg/m3)

(6)

134 Hasil pengukuran parameter sulfur dioksida (SO2) pada titik sampling 1 hingga titik sampling 3 masih di bawah baku mutu. Hasil pengukuran sulfur dioksida (SO2) tertinggi terdapat pada titik sampling 2, yaitu sebesar 2,08 µg/m3 dan konsentrasi terendah terdapat pada titik sampling 1 sebesar 1,64 µg/m3. Titik sampling 2 menjadi titik dengan konsentrasi SO2 tertinggi karena pada titik ini terdapat aktivitas pengelasan yang menghasilkan gas SO2. Selain faktor aktivitas pada lokasi sampling, faktor fisik udara juga dapat memengaruhi konsentrasi SO2 di udara. Penelitian (Istantinova et al., 2012) menunjukkan bahwa faktor meteorologi suhu udara dan konsentrasi SO2 di udara berbanding lurus. Artinya jika semakin tinggi suhu udara maka akan semakin tinggi konsentrasi SO2 di udara dan selaras dengan hasil yang diperoleh peningkatan dan penurunan suhu diiringi dengan peningkatan dan penurunan konsentrasi SO2. Selain suhu, kelembaban udara juga dapat memengaruhi konsentrasi SO2 di udara, konsentrasi SO2

tertinggi dengan kelembaban tertinggi 63% pada titik sampling 2, konsentrasi terendah dengan kelembaban terendah sebesar 62%. Hal ini didukung dengan penelitian yang dilakukan oleh Maharini (2017), kelembaban udara dan konsentrasi SO2 berbanding lurus, semakin tinggi kelembaban maka konsentrasi SO2 akan meningkat karena kelembaban udara yang tinggi menyebabkan pergerakan udara terhambat oleh uap air dan aliran udara semakin lambat maka konsentrasi SO2 menjadi lebih tinggi.

Konsentrasi Partikulat Material < 2,5 µm (PM2,5)

Gambar 4. Konsentrasi Partikulat Material < 2,5 µm (PM2,5)

Hasil pengukuran parameter partikulat material < 2,5 µm (PM2,5) pada titik sampling 1 hingga titik sampling 3 masih di bawah baku mutu. Konsentrasi terendah terdapat pada titik sampling 1 sebesar 22,5 µg/m3. Aktivitas pada titik sampling 1 yang dapat mengahasilkan PM2,5 adalah proses blasting dengan menggunakan gerinda dan pembersihan bagian badan kapal serta bagian badan kapal dari sisa-sisa organisme perairan yang menempel pada badan kapal. Sedangkan, konsentrasi tertinggi pada titik sampling 2 dengan kosentrasi 48,73 µg/m3. Aktivitas pada titik sampling ini yang menghasilkan PM2,5 adalah aktivitas pengelasan dan sandblasting. Aktivitas yang terdapat pada titik sampling 1 dan titik sampling 3 yang dapat menghasilkan PM2,5 adalah kendaraan bermotor. Selain itu, faktor meteorologis juga memengaruhi konsentrasi PM2,5

di udara. Faktor meteorologis yang berpengaruh besar terhadap konsentrasi partikel di udara adalah kecepatan dan arah angin. Kecepatan angin pada titik sampling 2 sebesar 0,2 m/s dan relatif rendah, sehingga pergerakan partikel di udara menjadi lambat dan terakumulasi di lokasi sampling.

22,66 48,73

24,07

0 15 30 45 60 75

Titik Sampling 1

Titik Sampling 2

Titik Sampling 3 Baku Mutu PM2,5 g/m3)

Hasil Sampling (µg/m3)

(7)

Konsentrasi Partikulat Material < 10 µm (PM10)

Gambar 5. Konsentrasi Partikulat Material < 10 µm (PM10)

Hasil pengukuran parameter partikulat material < 10 µm (PM10) pada titik sampling 1 hingga titik sampling 3 masih di bawah baku mutu. Konsentrasi partikulat material < 10 µm (PM10) tertinggi terdapat pada titik sampling 3 sebesar 28,56 µg/m3. Sedangkan, konsentrasi terendah pada titik sampling 2 dengan kosentrasi 17,64 µg/m3. Faktor meteorologis seperti kecepatan angin memengaruhi konsentrasi PM10 di udara, semakin tinggi kecepatan angin maka semakin rendah konsentrasi suatu polutan pada lokasi tertentu. Namun dalam hal ini kecepatan angin tidak berpengaruh cukup besar karena konsentrasi tertinggi berada pada titik sampling 3 dengan kecepatan 1,6 m/s. Hal tersebut dapat terjadi karena kecepatan angin yang tinggi menyebabkan debu yang terdapat di sekitar lokasi sampling bergerak di udara dan tertangkap oleh alat sampling serta ada beberapa kendaraan bermotor yang melintas ketika melakukan sampling. Kecepatan angin yang tinggi dapat mengakibatkan debu dan partikel semakin mudah terangkat dan terbawa, sehingga diasumsikan bahwa konsentrasi PM10 tinggi pada titik 3 karena debu- debu yang terangkat dan terdeteksi oleh alat sampling.

Konsentrasi Total Suspended Particulate (TSP)

Gambar 5. Konsentrasi Partikulat Material < 10 µm (PM10)

Berdasarkan grafik di atas, dapat dilihat bahwa terjadi perbedaan konsentrasi total suspended particulate (TSP) meskipun masih di bawah baku mutu. Konsentrasi total suspended particulate (TSP) tertinggi terdapat pada titik sampling 2 sebesar 61,18 µg/m3. Hal tersebut disebabkan oleh aktivitas reparasi kapal seperti pembersihan badan kapal dengan menggunakan gerinda yang dapat menghasilkan partikel dan debu. Kecepatan angin yang cukup rendah pada titik sampling 2 juga memengaruhi konsentrasi TSP pada titik sampling tersebut. Jika kecepatan angin rendah maka, pergerakan partikel di udara akan semakin lambat dan cenderung terakumulasi pada lokasi tertentu. Meskipun kecepatan angina cenderung tinggi pada titik sampling 2, konsentrasi TSP tertinggi pada

26,74

17,64 28,56

0 25 50 75 100

Titik Sampling 1Titik Sampling 2Titik Sampling 3

Baku Mutu PM10g/m3)

Hasil Sampling (µg/m3)

50,4 61,18 53,88

0 50 100 150 200 250

Titik Sampling 1

Titik Sampling 2

Titik Sampling Baku Mutu TSP (µg/m3) 3

Hasil Sampling (µg/m3)

(8)

136 titik ini dipengaruhi oleh aktivitas reparasi yang berpotensi besar menghasilkan TSP.

Sedangkan, konsentrasi terendah pada titik sampling 1 dengan konsentrasi 50,40 µg/m3. Berdasarkan hasil pengukuran konsentrasi polutan udara diperoleh bahwa pada titik sampling 2 terdapat beberapa parameter udara yang memiliki konsentrasi paling tinggi yaitu, karbon monoksida (CO), nitrogen dioksida (NO2), sulfur dioksida (SO2), partikulat material < 2,5 µm (PM2,5) dan total suspended particulate (TSP). Faktor yang menyebabkan tingginya konsentrasi polutan gas dan partikel pada titik sampling 2 adalah keberadaan titik sampling 2 yang sangat dekat dengan zona kerja reparasi kapal, sedangkan pada titik sampling 1 masih terdapat pepohonan yang dapat berperan untuk menyaring udara di sekitarnya. Aktivitas reparasi kapal berpusat pada zona kerja reparasi titik sampling 2 seperti pembersihan badan kapal, pengelasan, pengecatan, dan penggantian pelat baja kapal. Aktivitas yang berpotensi menghasilkan polutan adalah pengelasan serta pembersihan badan kapal. Kadar atau konsentrasi polutan di udara dapat dipengaruhi oleh kualitas fisik udara seperti suhu, kelembaban dan kecepatan angin (Khairina, 2019). Hasil pengukuran suhu udara pada titik sampling 2 sebesar 31,8oC dan suhu tertinggi ada pada titik sampling 3 sebesar 32oC sehingga polutan yang terdapat pada titik sampling 3 sudah mengalami pengenceran dan konsentrasinya rendah. Udara pada suhu atau temperatur yang lebih tinggi akan mengalami pemuaian, dan pemuaian udara ini akan menyebabkan pengenceran konsentrasi polutan pada udara (Winardi, 2014). Hal ini menyebabkan gas polutan akan lebih mudah memuai sehingga konsentrasi polutan menjadi lebih encer (dilusi). Selain suhu udara, kelembaban udara juga dapat memengaruhi konsentrasi polutan di udara. Kelembaban udara dipengaruhi oleh jumlah uap air yang terdapat dalam udara dan banyaknya uap air tidak sama di semua lokasi (Winardi, 2014). Kelembaban udara pada titik 2 lebih tinggi dibandingkan dua titik sampling lainnya, yaitu sebesar 63%. Perbedaan konsentrasi polutan di masing-masing titik sampling juga dapat dipengaruhi oleh kecepatan angin pada saat pengambilan sampel udara. Kecepatan angin dapat memengaruhi pergerakan udara dan berpengaruh pada kosentrasi polutan pada udara di satu lokasi tertentu (Mutia et al., 2018).

Analisis Pengaruh Konsentrasi Polutan Terhadap Lingkungan Kerja

Polutan yang dihasilkan dari aktivitas reparasi kapal sangat berbahaya bagi para pekerja di galangan kapal. Berdasarkan wawancara dengan beberapa responden yang disesuaikan dengan zona kerjanya, yaitu tukang las, bengkel dan aneka kerja serta satu orang dari pihak sandblasting. Ketiga responden untuk masing-masing bagian kerja menuturkan bahwa mereka tidak merasakan keluhan selama bekerja di PT. Kapuas Cahaya Bahari (KACABA). Namun, untuk pekerja bengkel mengalami keluhan badan merasa panas setelah melakukan proses pengelasan untuk perbaikan baling-baling kapal. Rasa panas ini dirasakan selama dua hari, hal ini dapat dipengaruhi oleh adanya radiasi yang dihasilkan dari proses pengelasan yang dapat memberikan efek panas pada tubuh.

Partikel yang paling berbahaya adalah partikel dengan ukuran kurang dari 2,5 µm.

Pajanan partikel dengan ukuran kurang dari 2,5 µm dapat menyebabkan timbulnya infeksi saluran pernapasan karena partikel bersifat mengendap pada saluran pernapasan.

Konsentrasi PM2,5 di udara sangat berpengaruh terhadap keluhan pernapasan seperti batuk, pilek dan nyeri tenggorokan (Hidayat et al., 2020). Selain gangguan pernapasan, PM2,5 juga dapat menyebabkan gangguan fungsi paru dengan risiko penyakit kardiovaskular. Pengelasan juga menghasilkan debu yang mengandung logam berat dan dapat menyebabkan gangguan fungsi paru bagi yang terpajan. Selain konsentrasi debu pada tempat kerja, lama bekerja juga berpengaruh terhadap kadar debu terhirup pada pekerja (Deviandhoko et al., 2017). Partikel dapat dihasilkan dari aktivitas pembersihan badan kapal atau sandblasting. Beberapa pekerja menuturkan bahwa, ketika dilakukan

(9)

sandblasting akan ada banyak debu di udara dan bahkan menempel pada dedaunan di dekat lokasi sandblasting. Namun, ketika dilakukan sampling udara pihak perusahaan sedang tidak melakukan proses sandblasting hanya membersihkan badan kapal saja dengan menggunakan gerinda sehingga debu yang dihasilkan tidak sebanyak sandblasting. Meskipun tidak dilakukan sandblasting, tetapi tetap dilakukan pembersihan badan kapal dengan menggunakan gerinda. Sandblasting yang biasa dilakukan oleh PT.

Kapuas Cahaya Bahari (KACABA) menggunakan pasir biasa yang telah dicuci dan dikeringkan, sehingga dampak terhadap pekerja tidak begitu dirasakan jika dibandingkan dengan sandblasting dengan menggunakan pasir silika yang berpotensi menyebabkan silikosis yang dipengaruhi dengan konsentrasi silika dan lama paparan terhadap para pekerja (Jannah, 2018). Menurut penuturan beberapa pekerja, ketika dilakukan sandblasting banyak debu yang menyebar di udara dan dapat menempel pada pepohonan.

Sandblasting tidak selalu dilakukan di PT. Kapuas Cahaya Bahari (KACABA), pembersihan juga dapat dilakukan dengan menggunakan gerinda. Pembersihan dengan menggunakan gerinda ini juga dapat menghasilkan debu dan partikel yang berbahaya bagi para pekerja. Debu dan partikel dapat menyebabkan gangguan pernapasan dan risiko pneumoconiosis jika terpapar pada pekerja (Salami, 2015).

Berdasarkan wawancara dengan seluruh pekerja bagian pengelasan dan aneka kerja di PT. Kapuas Cahaya Bahari (KACABA), terdapat keluhan mengenai debu, pancaran cahaya, panas dan bau dari proses pengelasan. Selain proses pengelasan, pembersihan badan kapal juga menimbulkan keluhan paparan debu terhadap mata para pekerja. Pihak perusahaan menyediakan satu blower untuk mencegah panas dan debu ketika melakukan pengelasan. Namun, jumlah ini masih tidak memadai karena bagian pengelasan dapat dikerjakan dalam beberapa titik dalam waktu yang sama sehingga akan ada bagian pengelasan yang tidak menggunakan blower.

Penggunaan alat pelindung diri (APD) adalam proses pengelasan menjadi aspek yang harus diperhatikan, khususnya masker agar dapat mencegah pekerja dari paparan partikel dan gas yang dihasilkan dari aktivitas reparasi terhadap saluran pernapasan. Masker merupakan alat pelindung organ pernapasan dengan menyaring udara yang akan masuk ke dalam saluran pernapasan (Azizah, 2019). Bagi para pekerja pengelasan dan pembersihan badan kapal juga sangat disarankan untuk menggunakan pelindung mata dengan kacamata maupun topeng khusus yang digunakan untuk pengelasan agar terhindar dari paparan debu dan cahaya yang dapat menyebabkan gangguan penglihatan.

Pembagian divisi kerja dan waktu untuk melakukan sandblasting yang diterapkan oleh pihak PT. Kapuas Cahaya Bahari (KACABA) sudah baik. Ketika melakukan sandblasting, maka pekerja yang tidak terlibat dalam bagian pekerjaan ini tidak berada di sekitar lokasi reparasi untuk menghindari paparan debu yang dihasilkan dari proses sandblasting karena debu yang dihasilkan dari proses ini cukup banyak. Pekerja sandblasting diperlengkapi dengan baju khusus untuk menghindari risiko kerja seperti paparan debu yang berbahaya bagi mata, pernapasan serta kulit.

PENUTUP

Hasil uji konsentrasi polutan udara pada 3 titik sampling di PT. Kapuas Cahaya Bahasri (KACABA), diperoleh bahwa polutan yang paling tinggi konsentrasinya adalah karbon monoksida (CO) dan Total Suspended Particulate (TSP) pada titik sampling 2 dengan konsentrasi 2,66 µg/m3 dan 61,18 µg/m3. Polutan yang paling tinggi pada titik sampling 1 dan titik sampling 3 adalah Total Suspended Particulate (TSP), sebesar 50,40 µg/m3 dan 53,88 µg/m3. Konsentrasi polutan udara yang diuji masih di bawah baku mutu udara ambien berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2021.

(10)

138 sampel yang tidak bersamaan dengan proses sandblasting dan hanya dilaksanakan proses pembersihan badan kapal dengan menggunakan gerinda serta kapasitas pekerjaan dengan muatan satu kapal yang tergolong kecil.

DAFTAR PUSTAKA

Azizah, I. T. N. (2019). Analysis The Level Of PM2,5 And Lung Function Of Organic Fertilizer Industry Workers In Nganjuk. Jurnal Kesehatan Lingkungan, 11(2), 141.

https://doi.org/10.20473/jkl.v11i2.2019.141-149

Deviandhoko, Endah, N., & Nurja. (2017). Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Gangguan Fungsi Paru pada Pekerja Pengelasan Di Kota Pontianak. Jurnal Laboratorium Khatulistiwa, 1(1), 72. https://doi.org/10.30602/jlk.v1i1.100

Duppa, A., Daud, A., & Bahar, B. (2020). Kualitas Udara Ambien Di Sekitar Industri Semen Bosowa Kabupaten Maros. Jurnal Kesehatan Masyarakat Maritim, 3(1), 86–

92. https://doi.org/10.30597/jkmm.v3i1.10296

Hendrawan, A., Lusiani, L., & Aprilian, R. (2020). Sandblasting pada kapal mv. berlian indah. Jurnal Saintara, 4(2), 26–33.

Hidayat, A., Inaku, R., & Novianus, C. (2020). Pengaruh Pencemaran Udara PM 2 , 5 dan PM 10 Terhadap Keluhan Pernapasan Anak di Ruang Terbuka Anak di DKI Jakarta The Effect of PM 2 . 5 and PM 10 Air pollution on Complaints of Children ’ s Respiration in Children ’ s Open Space in DKI Jakarta. Arkesmas, 5(2), 9–16.

Istantinova, D. B., Hadiwidodo, M., & Handayani, D. S. (2012). Pengaruh Kecepatan Angin, Kelambaban dan Suhu Udara Terhadap Konsentrasi Gas Pencemar Sulfur Dioksida (SO2) dalam Udara Ambien di Sekitar PT. Inti General Yaja Seteel Semarang. 1–10.

Istirokhatun, T., Ratnasari, E. N., & Utomo, S. (2016). Kontribusi Parameter Meteorologi Dan Kondisi Lalu Lintas Terhadap Konsentrasi Pencemar No2 Di Kota Semarang.

Jurnal Presipitasi : Media Komunikasi Dan Pengembangan Teknik Lingkungan, 13(2), 48. https://doi.org/10.14710/presipitasi.v13i2.48-56

Khairina, M. (2019). The Description of CO Levels, COHb Levels, And Blood Pressure of Basement Workers X Shopping Centre, Malang. Jurnal Kesehatan Lingkungan, 11(2), 150. https://doi.org/10.20473/jkl.v11i2.2019.150-157

Maharini, G. A. K. S. (2017). Studi Reduksi Sulfur Dioksida (SO2) Udara Ambien oleh Ruang Terbuka Hijau (RTH) untuk Wilayah Permukiman dan Transportasi di Kota Surabaya.

Mutia, H., Nurjazuli, & Hanang, L. D. (2018). Hubungan Konsentrasi Karbon Monoksida (Co) Dan Faktor-Faktor Resiko Dengan Konsentrasi Cohb Dalam Darah Pada Masyarakat Beresiko Di Sepanjang Jalan Setiabudi Semarang. Jurnal Kesehatan Masyarakat (e-Journal), 6(6), 241–250.

Ramadhani, D. F., Huboyo, H. S., & Muhlisin, Z. (2011). Studi Penyisihan Emisi Karbon Monoksida (CO) pada Asap Rokok Filter dan Cerutu dengan Variasi Tegangan Listrik Menggunakan Teknologi Plasma.

Winardi. (2014). Pengaruh Suhu Dan Kelembaban Terhadap Konsentrasi Pb di Udara Kota Pontianak The Effect of Temperature And Humidity Factor Against Lead ( Pb ) Concentration In The Air Of Pontianak City. Jurnal Penelitian Dan Pengembangan Borneo Akcaya, 01(1), 16–25.

Referensi

Dokumen terkait