• Tidak ada hasil yang ditemukan

ARAHAN KESESUAIAN PENGGUNAAN LAHAN PASCA BENCANA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "ARAHAN KESESUAIAN PENGGUNAAN LAHAN PASCA BENCANA "

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Tadulako 20

ARAHAN KESESUAIAN PENGGUNAAN LAHAN PASCA BENCANA

DI KELURAHAN LERE KOTA PALU

Sri Rahma L.M. Said1, Sarifuddin2, Supriadi Takwim3

Jurusan Teknik Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Universitas Tadulako

ABSTRAK

Bencana Tsunami dan Gempa Bumi pada tanggal 28 September 2018 sulit diprediksi dan mengakibatkan turunnya permukaan di kawasan pesisir, korban jiwa, rumah lenyap karena hempasan gelombang tsunami. Tujuan dari penelitian ini yaitu merumuskan arahan peruntukkan penggunaan lahan pasca bencana di Kelurahan Lere. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif deskriptif. Penelitian kuantitatif berdasarkan pada teknik tumpang tindih (overlay) dengan bantuan aplikasi GIS (Geography Information System) dan skoring. Penelitian deskriptif menjelaskan tentang kondisi yang terdapat pada lokasi penelitian dan arahan/aturan dari kesesuaian penggunaan lahan. Hasil analisis diperoleh tiga tingkat kesesuaian penggunaan lahan diperoleh yaitu lahan tidak sesuai 54,88 Ha, kurang sesuai 101 Ha dan sesuai 120,12 Ha. Berdasarkan arahan Zona Ruang Rawan Bencana Kota Palu dan Sekitarnya, lahan yang tidak sesuai dilarang membangun kembali atau membangun baru, disarankan relokasi untuk masyarakat yang masih tinggal di zona merah tersebut, maka lahan yang tidak sesuai dapat difungsikan sebagai kawasan lindung, monumen dan ruang terbuka hijau (RTH). Lahan kurang sesuai diarahkan untuk tidak membangun bangunan baru, mengikuti standar yang berlaku jika ingin membangun kembali pada lahan tersebut dan disarankan untuk difungsikan sebagai kawasan lindung atau budidaya non-terbangun seperti pertanian, perkebunan dan kehutanan. Lahan sesuai cocok untuk kawasan permukiman.

Kata Kunci : Bencana Tsunami, Gempa Bumi, Kesesuaian Penggunaan Lahan, Arahan Penggunaan Lahan

(2)

21 Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Tadulako LATAR BELAKANG

Kota Palu merupakan daerah yang mengalami peningkatan sangat pesat dari jumlah penduduk.

Pertumbuhan penduduk akan mengakibatkan kebutuhan terhadap lahan, sementara itu ketersediaan akan lahan kosong semakin sedikit.

Kondisi ini dapat dilihat dari perubahan tata guna lahan yang terus mengalami perubahan seiring adanya pertumbuhan jumlah penduduk.

Kecamatan Palu Barat merupakan salah satu kecamatan di Kota Palu yang mempunyai jumlah kepadatan penduduk yang cukup besar.

Pertambahan penduduk tersebut mengakibatkan permintaan akan tempat tinggal sangat tinggi.

Jumlah penduduk Kecamatan Palu Barat tahun 2010 adalah 92.996 jiwa karena ditahun tersebut belum adanya pemekaran, pada tahun 2019 jumlah penduduk bertambah menjadi 63.251 jiwa.

Kecamatan Palu Barat memiliki 6 kelurahan yaitu, Kelurahan Ujuna, Kelurahan Baru, Kelurahan Siranindi, Kelurahan Kamonji, Kelurahan Balaroa dan Kelurahan Lere, dengan luas wilayah kecamatan yaitu 8,28 km2. Dalam rencana pemanfaatan ruang RTRW Kota Palu tahun 2010- 2030 Kelurahan Lere diperuntukkan menjadi kawasan kegiatan sektor informal di bagian Pantai Teluk Palu.

Semakin besar dan berkembang disuatu kawasan, maka semakin berkembang pula permasalahan yang ada. Salah satu masalah yang perlu diperhatikan adalah kesesuaian lahan terhadap jenis penggunaannya. Penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan rencana (RTRW) yang ditetapkan atau dirumuskan sebelumnya merupakan permasalahan umum yang terjadi di kota-kota yang memiliki laju pertumbuhan pesat.

Perubahan penggunaan lahan biasanya disebabkan oleh ketimpangan antara pertimbangan dari rencana dalam dokumen RTRW dengan pertimbangan kebutuhan penggunaan lahan.

Rencana penggunaan lahan merupakan acuan utama dalam pengelolaan sebaran lokasi kegiatan dan pengendalian lahan kota. Rencana penggunaan lahan biasanya dijabarkan dari rencana struktur kota yang mempengaruhinya. Meskipun demikian, mengingat banyaknya faktor yang mempengaruhi pembentukan penggunaan lahan, sehingga

penggunaan lahan setiap kali terbentur dengan sistem peruntukan yang telah direncanakan.

Bencana alam adalah sesuatu yang sulit diprediksi kapan terjadinya dan dapat menyebabkan kerugian korban jiwa yang besar.

Hingga saat ini manusia hanya memprediksi dan mengurangi dampak dari bencana. Salah satu upaya dalam mitigasi bencana adalah dengan mempertimbangkan risiko bencana yang mungkin terjadi. Pada tanggal 28 September 2018 terjadi bencana alam di Kota Palu yang merupakan salah satu daerah rawan bencana karena dilalui oleh sesar aktif palu koro.

Kecamatan Palu Barat mengalami beberapa bencana alam diantaranya bencana gempa bumi dan tsunami yang terjadi di Kelurahan Lere serta terdapat beberapa titik yang mengalami kerusakan akibat gempa bumi. Gempa tersebut mengakibatkan 93 korban jiwa, 267 unit rumah lenyap karena hempasan gelombang tsunami, 69 unit rumah rusak berat, 62 unit rumah rusak sedang dan 83 unit rumah rusak ringan serta kerugian harta benda.

Kelurahan Lere bagian utara atau yang dekat dengan bagian pantai dan juga jembatan fenomenal Kota Palu dikenal dengan nama jembatan Ponulele yang rata akibat bencana tsunami. Dari perencanaan yang diperuntukkan menjadi kawasan sektor informal pada bagian pantai telah hancur dan tidak dapat digunakan kembali, maka untuk melihat sesuai dan tidak sesuainya lahan yang ada di Kelurahan Lere harus memperhatikan kriteria dari lahan.

Oleh karena itu dibutuhkan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui penggunaan lahan yang sesuai di Kelurahan Lere. Dalam menentukan pengembangan kawasan dengan mempertimbangkan kriteria kesesuaian lahan terhadap kerawanan bencana. Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis mengambil penelitian dengan judul “Arahan Kesesuaian Penggunaan Lahan Pasca bencana di Kelurahan Lere Kota Palu”.

TINJAUAN PUSTAKA

Pengertian Lahan dan Tata Guna Lahan Lahan adalah areal atau kawasan yang diperuntukkan untuk penggunaan tertentu yang

(3)

Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Tadulako 22 biasanya dinyatakan dalam satuan hektar (Ha) atau

Km. Sedangkan pola penggunaan lahan adalah areal model atau bentuk penggunaan lahan diterapkan, seperti perdagangan, tegalan, hutan, penghijauan, perkampungan, dan lain-lain (Laka &

Sideng, 2017). Sedangkan Menurut (Jayadinata, 1999) bahwa pengertian lahan berarti tanah yang sudah ada peruntukannya dan umumnya ada pemiliknya (perorangan atau lembaga).

Menurut Hoover (1985) dalam Irwan (200) dalam Ikhwan (2007) Lahan juga dapat diartikan sebagai ruang (space) yang dapat digunakan untuk berbagai kegiatan, pengertian memandang lahan dari sudut ekonomi regional atau dari sudut pembangunan wilayah, lahan dan manusia merupakan sumberdaya yang paling besar, karena dari campur tangan manusialah lahan yang ada dapat berubah/dirubah fungsinya misalnya dari lahan pertanian menjadi kawasan pemukiman atau kawasan industri.

Tata guna lahan penting untuk melihat keseusaian lahan dalam perencanaan lahan, dalam perencanaan penggunaan lahan, karena lahan sangat penting untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Manusia adalah pengendali utama di bumi dimana aktivitas manusia sangat berkaitan dengan penggunaan lahan, maka dari itu perlu adanya dasar- dasar perencanaan tata guna lahan agar manusia dapat memanfaatkan lahan sesuai dengan potensi yang dimiliki lahan tersebut dengan baik Adapun perencanaan tata guna lahan meliputi:

1. Penilaian secara sistematis potensi tanah dan air;

2. Mencari alternatif-alternatif penggunaan lahan terbaik;

3. Menilai kondisi ekonomi, sosial dan lingkungan agar daoat memilih dan menetapkan tipe penggunaan lahan yang paling menguntungkan, memenuhi keinginan masyarakat dan dapat menjaga tanah agar tidak mengalami kerusakan dimasa yang akan datang. (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007).

Kesesuaian Lahan

Kesesuaian Lahan merupakan tingkat kecocokan sebidang lahan untuk suatu penggunaan tertentu (Sitorus, 1985). Kelas kesesuaian suatu areal dapat berbeda tergantung dari tipe

penggunaan lahan yang sedang dipertimbangkan.

Kesesuaian lahan juga dapat diartikan sesuai dan tidak sesuainya suatu lahan untuk pemanfaatan tertentu.

Karakteristik Lahan

Dalam penggunaan suatu lahan maka karakteristik fisik lahan merupakan faktor utama yang harus dipertimbangkan dalam perencanaan penggunaan suatu lahan. Karakteristik lahan yang dimaksud antara lain:

1. Topografi

Ketinggian dari suatu lahan juga sangat menentukan kondisi iklim lahan tersebut.

Hal ini disebabkan karena ketinggian dari suatu wilayah mempengaruhi temperatur rata-rata, curah hujan rata-rata, presipitasi, kelembaban, angin dan arah angin, kabut, awan dan sebagainya. Berdasarkan SNI 02- 1733-2004 kelas lereng meliputi :

a. Kelas lereng 0-15 % (lahan bertopografi datar);

b. Kelas lereng 15-30 % (lahan bertopografi gelombang);

c. Kelas lereng 30-40 % (lahan bertopografi sangat terjal).

2. Klasifikasi Lahan

Klasifikasi jenis penggunaan lahan berdasarkan Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 1 Tahun 1997 Pasal 6 adalah sebagai berikut :

a. Lahan perumahan;

b. Lahan perusahaan;

c. Lahan industri/pergudangan;

d. Lahan jasa;

e. Persawahan;

f. Pertyanian lahan kering semusim;

g. Lahan tidak ada bangunan.

3. Fungsi Lahan

Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian 837/Kpts/Um/11/1980 dan 683/Kpts/Um/8/1981) fungsi kawasan terbagi menjadi 3 yaitu: Kawasan Lindung, Kawasan Penyangga dan Kawasan Budidaya.

Undang-undang No 26 Tahun 2007 Pasal 1 menyebutkan bahwa “Kawasan Lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian

(4)

23 Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Tadulako lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya

alam dan sumberdaya buatan”.

Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Menurut Undang Undang Nomor 26 Tahun 2007 pembagian kawasan berdasarkan fungsi utamanya menjadi kawasan lindung dan kawasan budidaya. Kawasan Lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber alam, sumber daya buatan. Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan makhluk hidup termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta mahluk hidup lainnya. Sedangkan kawasan budidaya adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utamanya untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia dan sumber daya buatan.

Sesar Palu Koro dan Zona Rawan Bencana Sesar Palu Koro merupakan sesar utama yang berarah barat laut-tenggara yang merupakan sesar mendatar mengiri (sinistral strike slip fault) dan tergolong sebagai sesar aktif dicirikan terjadinya gempabumi dengan kedalaman dangkal sepanjang zona sesar ini (Pusat Studi Nasional (PuSGeN) Pusat Litbang Perumahan dan Permukiman, Balitbang PUPR). Wilayah Sulawesi Tengah paling tidak telah mengalami 22 kali kejadian gempa bumi merusak (destructive earthquake) sejak tahun 1910 hingga 2018.

Berdasarkan Peta Zona Ruang Rawan Bencana Kota Palu dan Sekitarnya yang dirilis oleh Kementerian/ Lembaga Negara pada tahun 2019, zona rawan bencana dibagi menjadi 4 zona dan tipologi, meliputi :

1. ZRB 4 (Zona Terlarang) 2. ZRB 3 (Zona Terbatas) 3. ZRB 2 (Zona Bersyarat) 4. ZRB 1 (Zona Pengembangan)

Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pasca Bencana Berdasarkan Peraturan Gubernur Sulawesi Tengah Nomor 10 Tahun 2019, rencana rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana meliputi :

1. Memantapkan struktur dan polar uang wilayah Provinsi Sulawesi Tengah;

2. Menyusun arahan pemanfaatan ruang yang efektif biaya dan mudah diterima masyarakat;

3. Menyusun arahan pengendalian pemanfaatan ruang;

4. Rekomendasi tata ruang wilayah Provinsi Sulawesi tengah.

Teknik Overlay Sistem Informasi Geografis Teknik overlay merupakan pendekatan tata guna lahan/landscape. Analisis overlay ini juga dimaksudkan untuk melihat deskripsi kegiatan ekonomi yang potensial berdasarkan kriteria pertumbuhan dan kriteria kontribusi. Teknik overlay ini dibentuk melalui penggunaan secara tumpang tindih (seri) suatu peta yang masing- masing mewakili faktor penting lingkungan/

lahan (Hasyim, 2011).

Menurut Aronoff (1989), Overlay merupakan tumpang susun antara dua peta yang menghasilkan satu unit peta analisis baru.

Overlay peta sering dilakukan bersamaan dengan proses skoring. Namun tidak setiap proses tumpang-susun peta selalu menggunakan skoring. Dalam beberapa hal, overlay juga dilakukan antara suatu peta dengan citra satelit atau foto udara. Overlay digunakan sebagai pemadu berbagai indikator yang berasal dari peta tematik hingga menjadi satu peta analisis.

Peta analisis ini pada akhirnya digunakan sebagai dasar penarikan kesimpulan untuk suatu kasus.

Gambar 1. Proses Overlay Peta (Sumber : Aronoff, 1989)

METODE PENELITIAN Jenis Dan Sifat Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif deskriptif. Dalam penelitian kuantitatif merupakan penelitian ilmiah yang sistematis terhadap bagian-bagian dan fenomena serta hubungan-hubungannya. Bagian dan hubungan

(5)

Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Tadulako 24 yang dimaksud yaitu data-data yang diperlukan

dalam penelitian ini menggunakan data spasial yang saling berkaitan satu sama lain. Hasil dari analisis yang digunakan akan memiliki sistematis pengolahan data yang akan diolah secara bertahap sesuai dengan pedoman teknis yang digunakan serta menggunakan metode literatur yaitu dengan mengumpulkan, mengidentifikasi, serta mengolah data tertulis yang telah diperoleh sehingga dapat digunakan dalam proses analisa. Penelitian kuantitatif bersadarkan pada teknik tumpang tindih (overlay) dan penelitian deskriptif menjelaskan tentang kondisi yang terdapat pada lokasi penelitian dan arahan/aturan dari kesesuaian penggunaan lahan.

Sumber Data

Dalam pengumpulan sumber data, peneliti melakukan pengumpulan sumber data dalam wujud data primer dan data sekunder:

1. Data primer diperoleh berdasarkan hasil observasi dilapangan dan dokumentasi;

2. Data Sekunder diperoleh dari studi literatur yang dilakukan terhadap banyak buku, diperoleh berdasarkan catatan dan instansi terkait serta internet. Sedangkan kebutuhan data sekunder dan sumber data.

Tabel 1. Kebutuhan Data

(Sumber : Penulis, 2020)

Teknik Analisis Data

Untuk mencapai tujuan dan sasaran penelitian, data-data yang diperoleh kemudian dirumuskan dan dianalisis dengan teknik-teknik berikut : 1. Analisis Fungsi Kawasan

Teknik overlay peta yang meliputi peta kemiringan lereng, peta curah hujan dan peta

jenis tanah yang ada di Kelurahan Lere yang kemudian pada masing-masing variabel akan didapatkan menurut klasifikasi dan nilai skor berdasarkan kriteria SK Mentan No.

837/Kpts/UM/11/ 1980 dan No.

683/Kpts/UM/11/ 1981 dari ketiga variabel tersebut dan akan menghasilkan peta fungsi kawasan.

2. Analisis Kesesuaian Lahan

Analisis kesesuaian lahan dilakukan dengan cara memberikan skor pada peta yang digunakan, kemudian akan dilanjutkan dengan melakukan overlay maka akan menghasilkan peta kesesuaian lahan.

Variabel yang digunakan yaitu peta fungsi kawasan dan peta zona rawan bencana, skor yang diberikan pada variabel mengikuti dari jumlah kelas yang diinginkan yaitu 3 kelas.

Kelas tidak sesuai, kelas kurang sesuai dan kelas sesuai. Setelah mendapatkan peta kesesuaian lahan yang teridentifikasi, selanjutnya akan dilakukan overlay dengan peta penggunaan lahan. Hal ini bertujuan untuk mengidentifikasi lahan yang dapat dikembangkan dan tidak dapat dikembangkan di lokasi penelitian.

3. Analisis Kesesuaian Penggunaan Lahan Analisis kesesuaian penggunaan lahan menjelaskan terkait kebijakan dan arahan kesesuaian dalam penggunaan lahan. Dari hasil analisis ini, penjelasan terkait arahan kesesuaian penggunaan lahan di Kelurahan Lere digunakan sebagai acuan dalam menentukan penggunaan lahan yang cocok atau tidaknya membangun di daerah zona rawan gempabumi dan tsunami, karena terletak dekat dengan sumber gempabumi yaitu Sesar Palu Koro dan juga sumber pembangkit tsunami berupa deformasi dari Sesar Palu Koro yang memicu gerakan tanah bawah laut.

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Fisik Wilayah Studi

Kemiringan lereng yang ada di Kelurahan Lere terdapat dua pengklasifikasian dengan tingkat kemiringan lereng 0-8% datar dan landai dengan kemiringan lereng 8-15%. Secara keseluruhan

(6)

25 Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Tadulako kemiringan lereng 0-8% (Datar) mendominasi

Kelurahan Lere dengan luas 264,96 Ha dan kelas kemiringan lereng 8-15% (Landai) dengan luas 11,04 Ha.

Kelurahan Lere dengan rata-rata curah hujan 6,56-7,38 mm/hari. Dari data curah hujan bulanan yang tercatat pada Stasiun Meteorologi Mutiara Palu pada tahun 2019 curah hujan tertinggi terjadi pada bulan juli dengan curah hujan 94 mm/bulan, pada bulan agustus curah hujan mencapai angka 81 mm/bulan dan pada bulan juni curah hujan 74 mm/bulan.

Jenis tanah yang ada di Kelurahan Lere yaitu terdapat dua jenis tanah yaitu glei humus dan latosol. Berdasarkan Dudal-Soepraptohardjo (1957,1961) glei humus nama lain dari hidromorf kelabu, jenis tanah hidromorf kelabu memiliki tingkat kepekaan tidak peka terhadap erosi dengan luas 15,11 Ha sedangkan jenis tanah latosol memiliki tingkat kepekaan yang kurang peka dengan luas 260,89 Ha.

Penggunaan Lahan Sebelum dan Setelah Bencana

Pengertian penggunaan lahan biasanya digunakan untuk mengacu pemanfaatan masa kini (present or current land use). Oleh karena aktivitas manusia di bumi bersifat dinamis, maka perhatian sering ditujukan pada perubahan penggunaan lahan baik secara kualitatif maupun kuantitatif.

Pengunaan lahan di Kelurahan Lere terdapat beraneka ragam jenis penggunaan lahan seperti akomodasi wisata, jasa lainnya, kawasan bersejarah, kawasan kesehatan, kawasan pendidikan, kawasan perdagangan, kawasan peribadatan, kawasan perkantoran, lahan kosong/semak belukar/hutan, makam, permukiman, reklamasi, ruang kegiatan sektor informal, ruang terbuka hijau, sarana olahraga, sarana sosial dan sungai temporer.

Penggunaan lahan sebelum terdampak bencana masih terdapat reklamasi dengan luas 1,82 Ha dan ruang kegiatan sektor informal dengan luas 5,12 Ha. Peristiwa 28 September 2018 menyebabkan berbagai dampak yang cukup besar, dalam hal ini berakibat pada perubahan guna lahan. Adapun penggunaan lahan yang berubah setelah terjadinya

bencana tsunami di Kelurahan Lere dapat dilihat pada tabel 2 dan table 3 di bawah ini.

Tabel 2. Penggunaan Lahan Sebelum Bencana di Kelurahan Lere

(Sumber : RTRW Kota Palu Tahun 2010-2030)

Tabel 3. Penggunaan Lahan Setelah Bencana di Kelurahan Lere

(Sumber : Hasil Analisis, 2020)

Analisis Fungsi Kawasan

. Klasifikasi suatu kawasan berdasarkan fungsi utama yang paling penting dilakukan untuk mengetahui karakteristik fisik yang menunjang aktifitas penggunaan lahan. Hasil overlay peta kemiringan lereng, curah hujan dan jenis tanah menunjukkan bahwa Kelurahan Lere memiliki dua fungsi utama kawasan yaitu fungsi kawasan budidaya dengan luas 251,2 Ha dan fungsi

(7)

Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Tadulako 26 kawasan lindung dengan luas 24,8 Ha. Untuk lebih

jelasnya dapat dilihat pada tabel 4 dan gambar 2.

Tabel 4. Fungsi Kawasan di Kelurahan Lere

(Sumber : Hasil Analisis, 2020)

Gambar 2. Peta Fungsi Kawasan di Kelurahan Lere (Sumber : Hasil Analisis, 2020)

Analisis Zona Rawan Bencana

Peta zona rawan bencana (ZRB) di Kelurahan Lere terbagi atas 4 zona yaitu ZRB 1, ZRB 2, ZRB 3 dan ZRB 4. Zona rawan bencana 1 dimana fungsi kawasan yang terdapat di zona tersebut adalah fungsi kawasan budidaya jadi cocok untuk kawasan pengembangan, dengan luas 120,12 Ha. Zona rawan bencana 2 merupakan zona bersyarat merupakan fungsi kawasan budidaya dengan luas 51,2 Ha. Zona rawan bencana 3 atau zona terbatas dan masih berada di kawasan budidaya dengan luas 49,8 Ha. Zona rawan bencana 4 merupakan zona terlarang atau zona merah dan masuk pada fungsi kawasan lindung dengan luas 54,88 Ha, termasuk hasil analisis berdasarkan RTRW Kota Palu tahun 2010-2030 menjelaskan tentang pengembangan daerah sempadan sungai besar berjarak 50 meter dari garis sempadan sungai tidak diperbolehkan membangun bangunan permanen untuk hunian atau tempat usaha. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 5 dan gambar 3.

Tabel 5. Zona Rawan Bencana di Kelurahan Lere

(Sumber : Hasil Analisis, 2020)

Gambar 3. Peta Zona Rawan Bencana di Kelurahan Lere

(Sumber : Hasil Analisis, 2020)

Analisis Kesesuaian Lahan

Hasil overlay kesesuaian lahan, dari tabel 6 telah didapatkan luas lahan Kelurahan Lere dengan tingkat kelas tidak sesuai 54,88 Ha, luas lahan dengan tingkat kelas kurang sesuai 101 Ha dan luas lahan dengan tingkat kelas sesuai 120,12 Ha.

Tabel 6. Kesesuaian Lahan Kelurahan Lere

(Sumber : Hasil Analisis, 2020)

Kemudian Berdasarkan zona rawan bencana lahan yang tidak sesuai masuk pada zona 4 atau terlarang maka penggunaan lahan di daerah pantai berjarak 100 meter dari bibir pantai dan daerah sungai dengan jarak 50 meter tidak dapat difungsikan kembali seperti Palu Grand Mall, sarana pendidikan, akomodasi wisata, kawasan perdagangan, ruang sektor informal dan permukiman dengan persentase 19,88% dari total luas lahan. Hanya saja dari kondisi eksisting penggunaan lahan tersebut masih difungsikan

(8)

27 Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Tadulako sebagai permukiman masyarakat yang tidak ingin

tinggal jauh dari tempat mata pencahariannya.

Lahan dari kelas kurang sesuai masuk pada zona rawan 3 dan 2 dimana terdapat penggunaan lahan sarana sosial, kawasan perdagangan, sarana pendidikan, kawasan perkantoran dan permukiman dengan persentase 36,59% dari total luas lahan.

Lahan yang sesuai terdapat permukiman, kawasan perkantoran, ruang terbuka hijau, kawasan perdagangan, sarana olahraga, sarana peribadatan dengan persentase 43,52% dari total luas lahan.

Tabel 7. Perubahan Penggunaan Lahan di Kelurahan Lere

(Sumber : Hasil Analisis, 2020)

Gambar 4. Peta Kesesuaian Lahan Kelurahan Lere (Sumber : Hasil Analisis, 2020)

Arahan Kesesuaian Lahan Pasca Bencana di Kelurahan Lere

Berdasarkan kondisi yang ada di Kelurahan Lere, kawasan permukiman yang berada di sempadan pantai akan direlokasi. Wilayah tersebut menjadi salah satu yang mengalami dampak kerusakan yang sangat parah. Keputusan Pemerintah yang menetapkan wilayah permukiman Kelurahan Lere sebagai zona merah dengan jarak 100 meter dari bibir pantai, akibat peristiwa bencana gempa bumi dan tsunami pada tanggal 28 September 2018 menjadi acuan rencana relokasi bagi masyarakat Kelurahan Lere khususnya yang berada dalam zona merah.

Dari hasil analisis kesesuaian lahan dengan menggunakan teknik overlay, Kelurahan Lere diperoleh dalam tiga kategori lahan yaitu lahan tidak sesuai, kurang sesuai dan sesuai.

Penggunaan lahan yang berada di kelas tidak sesuai yaitu kawasan perdagangan Palu Grand Mall, sarana pendidikan, akomodasi wisata, kawasan perdagangan, ruang sektor informal dan permukiman dengan luas 54,88 Ha. Penggunaan lahan pada kelas kurang sesuai yaitu sarana sosial, kawasan perdagangan, sarana pendidikan, kawasan perkantoran dan permukiman dengan luas 101 Ha. Kelas sesuai terdapat permukiman, kawasan perkantoran, ruang terbuka hijau, kawasan perdagangan, sarana olahraga, sarana peribadatan dengan luas 120,12 Ha. Adapun arahan kesesuaian lahan dikategorikan per blok nya dimana terdapat 19 blok dalam wilayah kajian.

Gambar 5. Peta Blok di Kelurahan Lere (Sumber : Hasil Analisis, 2020)

(9)

Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Tadulako 28 Tabel 8. Arahan Penggunaan Lahan Per Blok

(Sumber : Hasil Analisis, 2020)

KESIMPULAN DAN SARAN

Hasil analisis fungsi kawasan dari tiga variabel yaitu kemiringan lereng, jenis tanah dan curah hujan. Terdapat dua fungsi kawasan di Kelurahan Lere yaitu fungsi kawasan budidaya dengan luas 251,2 Ha dan fungsi kawasan lindung dengan luas 24,8 Ha. Selanjutnya penulis menemukan terdapat tiga kelas kesesuaian penggunaan lahan di Kelurahan Lere, yaitu tingkat lahan tidak sesuai dengan luas 54,88 Ha, tingkat lahan kurang sesuai dengan luas 101 Ha dan tingkat lahan sesuai dengan luas 120,12 Ha.

Arahan untuk kesesuaian penggunaan lahan berdasarkan arahan Zona Ruang Rawan Bencana Kota Palu dan Sekitarnya, lahan yang tidak sesuai masuk dalam zona rawan bencana 4 (zona terlarang) dengan arahan permukiman yang berada pada zona merah dilarang membangun kembali atau membangun baru dan disarankan untuk relokasi, dalam pemanfaatannya difungsikan sebagai ruang terbuka hijau. Lahan kurang sesuai masuk pada zona rawan bencana 3 (zona terbatas) dan zona rawan bencana 2 (zona bersyarat) dengan arahan dilarang membangun hunian dan fasilitas baru, jika membangun kembali hunian harus sesuai dengan standar yang berlaku, untuk kawasan rawan tinggi difungsikan untuk kawasan budidaya non- terbangun seperti pertanian, perkebunan dan kehutanan. Lahan yang sesuai masuk pada zona rawan bencana 1 (zona pengembangan) dengan arahan lahan tersebut cocok untuk kawasan permukiman dan jika ingin membangun baru harus mengikuti standar yang berlaku (SNI 1726- 2012 tentang Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Struktur Bangunan Gedung dan Non Gedung).

Diharapkan penelitian ini dapat memberikan informasi kepada Dinas Penataan Ruang dan Pertanahan Kota Palu serta instansi lain terkait sebagai bahan pertimbangan dalam bidang perencanaan wilayah dan kota di Sulawesi Tengah khususnya kota Palu mengingat provinsi Sulawesi Tengah memiliki potensi kebencanaan yang cukup tinggi. Dan lebih mendorong para perencana untuk mendalami aspek kebencanaan dalam penataan ruang wilayah dan kota. Dan juga penelitian ini dapat memberikan kontribusi

(10)

29 Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Tadulako bagi perkembangan pengetahuan, khususnya di

bidang perencanaan wilayah dan kota yang dapat berguna bagi penelitian yang sejenis pada masa yang akan datang.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Aronoff. 1989. Geographic Information systems:

A Management Perspective. WDL Publication Ottawa.

[2] Badan Pusat Statistik. 2019. Kecamatan Palu Barat dalam angka tahun 2019.

[3] Badan Pusat Statistik. 2019. Kota Palu dalam angka tahun 2019.

[4] Fauzi Iskandar, M. Awaluddin, Bambang Darmo Yuwono. 2016. Analisis Kesesuaian Penggunaan Lahan Terhadap Rencana Tata Ruang/Wilayah di Kecamatan Kutoarjo menggunakan Sistem Informasi Geografis.

[5] Hardjowigeno dan Widiatmaka. 2007. Evaluasi Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Tataguna Lahan.

[6] Jayadinata. 1999. Tata Guna Tanah dalam Perencanaan Pedesaan Perkotaan dan Wilayah.

[7] Laka & Sideng. 2017. Perubahan Penggunaan Lahan.

[8] Peraturan Gubernur Sulawesi Tengah No 10 Tahun 2019 tentang Rencana Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pascabencana.

[9] Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 1 Tahun 1997 tentang Pemetaan Penggunaan Tanah Perdesaan, Penggunaan Tanah Perkotaan, Kemampuan Tanah Dan Penggunaan Simbol/Warna Untuk Penyajian Dalam Peta.

[10] Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 41 /PRT/M/2007 tentang Pedoman Kriteria Teknis Kawasan Budi Daya.

[11] Peta Zona Ruang Rawan Bencana Kota Palu dan Sekitarnya Tahun 2019.

[12] Pusat Studi Nasional (PuSGeN) Pusat Litbang Perumahan dan Permukiman, Balitbang PUPR.

[13] Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Palu Tahun 2010-2030.

[14] Sandy. 1975. dalam Wicaksono & Sugiyanto.

2011. Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perubahan Pemanfaatan Perumahan Untuk Tujuan Komersial Di Kawasan Tlogosari Kulon, Semarang. Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro.

[15] Sitorus. 1985. Evaluasi Sumber daya Lahan.

Bandung.

[14] SK Mentan No. 837/Kpts/UM/11/ 1980 Kriteria Dan Tata Cara Penetapan Hutan Lindung.

[15] SK Mentan No. 683/Kpts/UM/11/ 1981 tentang Kriteria Dan Tata Cara Penetapan Hutan Produksi.

[16] SNI 02-1733-2004 tentang Tata cara perencanaan lingkungan perumahan di perkotaan.

[17] Undang-undang RI Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

Referensi

Dokumen terkait

PENUTUP Dalam kajian tentang identifikasi zona kerentanan penggunaan lahan terhadap bencana tsunami di Kabupaten Banyuwangi didapatkan kesimpulan bahwa berdasarkan hasil analisis maka

Endry Martius, MSc IV/a 4 Prof.Dr.Ir... Hasmiandy Hamid, SP, MSi III/d 8