• Tidak ada hasil yang ditemukan

Arsitektur Kontemporer yang Berdialog dengan Alam Melalui Semiotika dan Strukturalisme

N/A
N/A
Fesyafa Yeari

Academic year: 2025

Membagikan " Arsitektur Kontemporer yang Berdialog dengan Alam Melalui Semiotika dan Strukturalisme"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

ARSITEKTUR KONTEMPORER – CA234506

ESAI VISUAL

DANCING MOUNTAIN HOUSE MEREPRESENTASIKAN ARSITEKTUR YANG BERDIALOG DENGAN ALAM

MELALUI SEMIOTIKA DAN STRUKTURALISME

FESYAFA YEARIALYA RATTANAPORN/5013221017

Pembimbing

Ir. Andy Mappa Jaya, M.T.

Drs. R. Bambang Gatot Soebroto, M.T.

Khusnul Hanifati, S.T., M.Ars.

Program Sarjana

Departemen Arsitektur

Fakultas Teknik Sipil, Perencanaan dan Kebumian Institut Teknologi Sepuluh Nopember

Surabaya

Gasal 2024/2025

(2)

(halaman belakang cover)

(3)

DANCING MOUNTAIN HOUSE MEREPRESENTASIKAN ARSITEKTUR YANG BERDIALOG DENGAN ALAM MELALUI SEMIOTIKA DAN STRUKTURALISME

Fesyafa Yearialya Rattanaporn – 5013221017

Departemen Arsitektur, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Indonesia [email protected]

ABSTRAK

Dancing Mountain House karya Budi Pradono merupakan contoh arsitektur kontemporer di Indonesia yang merepresentasikan dialog antara manusia dan alam melalui pendekatan semiotika dan strukturalisme. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh kebutuhan akan desain berkelanjutan yang mampu mengintegrasikan modernitas dengan kearifan lokal, sekaligus menjawab tantangan global.

Permasalahan yang diangkat adalah bagaimana arsitektur dapat mencerminkan dialog harmonis antara manusia dan lingkungan dalam konteks lokal dan global.

Elemen-elemen desain yang simbolik dan hubungan antarstruktur menjadi fokus utama dalam mengungkap keterhubungan tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis elemen-elemen simbolik dan strukturalisme dalam Dancing Mountain House yang mencerminkan dialog antara manusia dan alam, serta bagaimana elemen-elemen tersebut menciptakan harmoni antara modernitas, lokalitas, dan keberlanjutan. Metode penelitian meliputi kajian literatur dan analisis desain menggunakan pendekatan semiotika dan strukturalisme. Data diperoleh melalui buku, sumber jurnal ilmiah, makalah arsitektur, dan pengamatan visual terhadap desain bangunan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Dancing Mountain House berdialog dengan alam melalui bentuk atap menyerupai puncak gunung, penggunaan material bambu lokal, dan konsep ruang tanpa sekat (borderless home). Temuan ini menunjukkan bahwa arsitektur dapat menjadi medium untuk mengintegrasikan tradisi, modernitas, dan keberlanjutan secara semiotika dan strukturalisme.

Kata Kunci: Arsitektur Kontemporer, Dancing Mountain House, Semiotika, Strukturalisme, Keberlanjutan.

(4)

1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Arsitektur kontemporer di Indonesia berkembang pesat dengan upaya menggabungkan modernitas dan kearifan lokal, menciptakan desain yang responsif terhadap lingkungan dan budaya1. Salah satu karya signifikan adalah Dancing Mountain House karya Budi Pradono, yang berhasil meraih penghargaan sebagai proyek residensial terbaik dalam Arcasia Architecture Awards 20162. Bangunan ini menunjukkan integrasi antara modernisasi dan nilai-nilai tradisional, terutama melalui penggunaan material bambu lokal sebagai struktur utama, yang sekaligus memperkuat keberlanjutan ekologis3.

Kenneth Frampton dalam A Critical History of Modern Architecture menekankan pentingnya pendekatan semiotika dan strukturalisme dalam memahami arsitektur4. Semiotika membantu membaca makna simbolik dari elemen desain, sedangkan strukturalisme menekankan relasi antar elemen yang membentuk kesatuan makna dalam konteks tertentu5.

Secara desain, Dancing Mountain House menerapkan konsep borderless home, di mana ruang-ruang seperti ruang makan, dapur, dan ruang keluarga dibuat tanpa sekat, menciptakan kesan keterhubungan antar ruang dan dialog visual dengan alam sekitarnya6. Bentuk atap yang menyerupai puncak gunung Merbabu, Merapi, Telomoyo, Tidar, dan Andong menjadi simbol kuat keterhubungan arsitektur dengan lanskap lokal, memberikan narasi tentang harmoni antara manusia, bangunan, dan alam7.

Dengan pendekatan ini, Dancing Mountain House tidak hanya menjadi ruang tinggal yang estetis, tetapi juga mencerminkan prinsip arsitektur berkelanjutan yang menghormati alam dan memaksimalkan potensi lingkungan tropis Indonesia8. Hal ini membuktikan bahwa arsitektur

1 Adityo Purnomo Aji dan Bachtiar Fauzy, "Akulturasi Arsitektur Lokal dan Modern pada Bangunan P-House," ARTEKS: Jurnal Teknik Arsitektur 5, no. 2 (2020): 153.

2 Anisa Sukma Asih dan Qomarun, "Penerapan Konstruksi Bambu dan Arsitektur Berkelanjutan pada Dancing Mountain House," Seminar Ilmiah Arsitektur (2020): 421.

3 Ibid., 423.

4 Kenneth Frampton, Modern Architecture: A Critical History 5th ed (London: Thames and Hudson, 2020), 327.

5 Ibid.

6 Mia Audina et al., "Analisis Dancing Mountain House," Makalah Arsitektur (2020): 2.

7 Ibid., 3.

8 Anisa Sukma Asih dan Qomarun, op. cit., 424.

(5)

kontemporer dapat merespons tantangan globalisasi tanpa meninggalkan identitas budaya dan keberlanjutan lingkungan9.

1.2. Rumusan Masalah

1. Bagaimana bentuk Dancing Mountain House dapat diinterpretasikan sebagai simbol dialog dengan alam melalui pendekatan semiotika?

2. Bagaimana relasi antar elemen desain membentuk kesatuan makna simbolik dalam perspektif strukturalisme?

3. Bagaimana Dancing Mountain House merepresentasikan harmoni antara modernitas dan konteks lokal?

1.3. Tujuan Penulisan

1. Menganalisis makna simbolik dari bentuk, material, dan ruang terbuka Dancing Mountain House.

2. Menjelaskan hubungan antar elemen desain dalam menciptakan kesatuan arsitektural yang harmonis.

3. Menggambarkan integrasi modernitas dan konteks lokal dalam arsitektur kontemporer Indonesia.

1.4. Manfaat Penulisan

1. Memberikan pemahaman tentang penerapan semiotika dan strukturalisme dalam arsitektur kontemporer.

2. Menjadi referensi untuk desain arsitektur yang berorientasi pada kontekstualitas dan keberlanjutan ekologis.

9 Adityo Purnomo Aji dan Bachtiar Fauzy, op. cit., 154.

(6)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Semiotika dalam Arsitektur

Semiotika adalah studi tentang tanda dan simbol serta bagaimana makna dikomunikasikan melalui elemen-elemen tersebut. Ferdinand de Saussure mendefinisikan tanda sebagai kombinasi antara signifier (penanda) dan signified (petanda), di mana penanda adalah elemen fisik yang dapat diamati, sementara petanda adalah konsep atau makna yang diwakili10. Roland Barthes mengembangkan teori ini dengan membedakan antara makna denotatif (makna literal) dan konotatif (makna simbolis atau kultural)11.

Dalam arsitektur, semiotika membantu memecahkan kode simbol-simbol yang ada dalam desain bangunan. Elemen-elemen seperti bentuk, material, dan tata ruang memiliki makna simbolik yang dapat mencerminkan budaya, ideologi, atau filosofi tertentu12. Misalnya, penggunaan material bambu dalam konteks arsitektur tradisional sering kali menyimbolkan keberlanjutan dan kedekatan dengan alam13. Melalui pendekatan semiotik, arsitek dapat merancang bangunan yang tidak hanya fungsional tetapi juga sarat dengan makna simbolis.

2.2. Strukturalisme dalam Arsitektur

Strukturalisme dalam arsitektur menekankan bagaimana elemen-elemen desain saling berhubungan untuk membentuk kesatuan makna yang koheren.

Claude Lévi-Strauss menjelaskan bahwa di balik setiap struktur fisik terdapat pola-pola pemikiran yang mendasarinya14. Pendekatan ini menyoroti pentingnya relasi antar elemen seperti atap, kolom, dan ruang yang bekerja bersama untuk menciptakan makna kolektif.

Kenneth Frampton melalui konsep Critical Regionalism menekankan pentingnya mempertimbangkan fungsi, material, dan konteks lingkungan dalam desain arsitektur15. Relasi antara bentuk, material, dan fungsi menjadi

10Jonathan Culler, Saussure: Sign, System, and Society (New York: Routledge, 2021), 28–30.

11Paolo Fabbri and Roland Barthes, "On Narrative: An Interview with Roland Barthes,"

Theory, Culture & Society 37, no. 6 (2020): 60.

12 Adityo Purnomo Aji dan Bachtiar Fauzy, "Akulturasi Arsitektur Lokal dan Modern pada Bangunan P-House," ARTEKS: Jurnal Teknik Arsitektur 5, no. 2 (2020): 153.

13Anisa Sukma Asih dan Qomarun, op. cit., 421.

14Doja, Albert. "Lévi-Strauss's Heroic Anthropology Facing Contemporary Problems of the Modern World." Reviews in Anthropology 49, no. 1–2 (2020): 5.

15 Kenneth Frampton, op. cit., 327.

(7)

inti dari pendekatan strukturalisme, di mana setiap elemen saling mendukung untuk menciptakan harmoni dan kesatuan16. Pendekatan ini memungkinkan arsitek untuk merancang bangunan yang tidak hanya estetis tetapi juga memiliki makna mendalam terkait konteks dan budaya setempat17.

2.3. Arsitektur Kontemporer Indonesia

Arsitektur kontemporer Indonesia berkembang melalui perpaduan antara modernitas dan nilai-nilai lokal. Fenomena ini merupakan respons terhadap tantangan globalisasi yang dapat mengancam kelestarian budaya lokal18. Dalam konteks ini, akulturasi menjadi strategi penting untuk menjaga keseimbangan antara inovasi desain modern dan kearifan lokal19.

Budi Pradono adalah salah satu arsitek yang dikenal karena berhasil memadukan elemen kontemporer dengan tradisional dalam karyanya20. Karya- karya seperti P-House dan Dancing Mountain House menunjukkan bagaimana material lokal seperti bambu dapat dikombinasikan dengan konsep modern seperti borderless home untuk menciptakan desain yang berkelanjutan21. Melalui pendekatan ini, arsitektur kontemporer Indonesia tidak hanya menjawab tuntutan zaman tetapi juga mempertahankan identitas budaya dan ekologisnya.

16 Adityo Purnomo Aji dan Bachtiar Fauzy, op. cit., 154.

17 Anisa Sukma Asih dan Qomarun, op. cit., 423.

18 Adityo Purnomo Aji dan Bachtiar Fauzy, op. cit., 154.

19 Anisa Sukma Asih dan Qomarun, op. cit., 421.

20 Mia Audina et al.,op. cit., 3.

21 Ibid.

Gambar 1. Diagram Semiotika dan Strukturalisme (Sumber: analisis dari buku referensi Culler, 2021, dll.)

(8)

2.4. Dancing Mountain House Karya Budi Pradono

Dancing Mountain House karya Budi Pradono adalah contoh konkret dari penerapan semiotika, strukturalisme, dan prinsip arsitektur kontemporer Indonesia. Bangunan ini memadukan bentuk atap yang terinspirasi dari puncak gunung di Salatiga—seperti Merbabu, Merapi, dan Telomoyo—dengan konsep borderless home yang menciptakan ruang tanpa sekat22. Struktur bambu yang digunakan tidak hanya mendukung secara fungsional tetapi juga menyampaikan makna keberlanjutan dan keterhubungan dengan kerajinan lokal23.

22 Mia Audina et al., op. cit., 2.

23 Anisa Sukma Asih dan Qomarun, op. cit., 423.

Gambar 2. Tampak Depan Dancing Mountain House (Sumber: dezeen.com)

Gambar 3. Visualisasi Gunung Di Sekitar Salatiga (Sumber: earth.google.com)

(9)

Material lokal seperti bambu, bata ekspos, dan batu alam memperkuat simbol keterhubungan dengan alam dan identitas lokal24. Dengan pendekatan semiotika dan strukturalisme, Dancing Mountain House berhasil menciptakan kesatuan makna antara desain modern dan tradisional, menjadikannya contoh ideal dari arsitektur kontemporer Indonesia25.

24 Adityo Purnomo Aji dan Bachtiar Fauzy, op. cit., 154.

25 Ibid.

(10)

3. METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif untuk memahami fenomena yang diteliti secara mendalam. Pendekatan semiotika digunakan untuk menganalisis tanda dan makna yang terkandung dalam objek penelitian, sedangkan pendekatan strukturalisme membantu memahami relasi antar elemen dalam struktur arsitektural.

3.2. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan melalui dua metode utama:

1. Studi Literatur: Data diperoleh dari berbagai sumber tertulis seperti jurnal ilmiah, artikel, buku, dan sumber terpercaya lainnya yang relevan dengan tema penelitian. Literatur ini mencakup teori-teori semiotika, strukturalisme, serta studi kasus terkait Dancing Mountain House.

2. Analisis Visual: Melibatkan pengamatan langsung terhadap gambar, diagram, dan representasi visual dari Dancing Mountain House. Data visual ini digunakan untuk mengidentifikasi elemen-elemen desain dan struktur yang akan dianalisis lebih lanjut.

3.3. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data mencakup langkah-langkah berikut:

1. Pendekatan Semiotika:

a. Identifikasi signifier dengan mengidentifikasi elemen-elemen fisik atau bentuk yang terlihat pada Dancing Mountain House, seperti warna, tekstur, material, dan elemen arsitektural lainnya.

b. Identifikasi signified dengan memahami makna yang terkandung di balik elemen-elemen tersebut dengan mempertimbangkan konteks budaya, simbolisme, dan fungsi.

c. Interpretasi makna menghubungkan signifier dan signified untuk mendapatkan pemahaman holistik tentang pesan atau makna yang disampaikan oleh elemen arsitektural tersebut.

2. Pendekatan Strukturalisme:

a. Analisis relasi antar elemen mengidentifikasi hubungan antar elemen dalam desain arsitektural, seperti hubungan antara struktur, ruang, material, dan estetika.

(11)

b. Pemetaan struktur membuat diagram atau model untuk memvisualisasikan hubungan antar elemen yang membentuk keseluruhan desain.

c. Evaluasi kontribusi tiap elemen menganalisis peran dan kontribusi masing-masing elemen terhadap kesatuan struktur Dancing Mountain House.

Langkah-langkah tersebut dilakukan secara iteratif untuk memastikan validitas dan konsistensi hasil analisis, dengan mengintegrasikan kedua pendekatan untuk menghasilkan pemahaman yang mendalam tentang objek penelitian.

(12)

4. PEMBAHASAN

4.1. Bentuk Arsitektural Dancing Mountain House sebagai Simbol Dialog dengan Alam Melalui Pendekatan Semiotika

4.1.1. Bentuk Atap yang Menyerupai Gunung

Bentuk atap Dancing Mountain House karya Budi Pradono terinspirasi dari puncak-puncak gunung di Salatiga—Merbabu, Merapi, Telomoyo, Tidar, dan Andong—yang dalam pendekatan semiotika merepresentasikan dialog simbolik antara arsitektur dan alam. Atap menyerupai gunung ini menjadi simbol stabilitas, spiritualitas, dan keterhubungan dengan lanskap lokal, sekaligus menghargai identitas budaya Jawa (Anisa Sukma Asih dan Qomarun, 2020)26.

26 Anisa Sukma Asih dan Qomarun, op. cit., 421.

Gambar 5. Diagram Analisis Semiotika Atap Dancing Mountain House Gambar dari artikel Penerapan konstruksi bambu dan arsitektur berkelanjutan pada Dancing Mountain House oleh Asih, A. S., &

Qomarun, dalam Seminar Ilmiah Arsitektur (2020), pp. 421–423.

Gambar 4. Analisis semiotika bentuk atap dancing mountain house (Sumber: dezeen.com)

(13)

4.1.2. Material Lokal

Penggunaan bambu, bata ekspos, dan batu alam menunjukkan keterhubungan manusia dengan alam sebagai simbol keberlanjutan ekologis. Material tersebut merepresentasikan kesederhanaan dan kedekatan arsitektur kontemporer dengan konteks lokal (Mia Audina et al., 2020)27.

27 Mia Audina et al., op. cit , 3.

Gambar 6. Analisis Material Dancing Mountain House (Sumber: dezeen.com)

Gambar 7. Diagram Analisis Semiotika Material Dancing Mountain House dari makalah Analisis Dancing Mountain House oleh Audina, M., et al., dalam Makalah Arsitektur, pp. 2–3.

(14)

4.1.3. Konsep Ruang Terbuka (Borderless Home)

Konsep ruang terbuka pada siteplan ini ditunjukkan melalui desain tanpa sekat yang menghubungkan ruang dalam dan luar secara visual serta fungsional. Area publik seperti taman, hutan tropis, dan ruang keluarga saling menyatu, menciptakan keterhubungan langsung dengan alam.

Secara semiotik, ruang terbuka ini menjadi penanda kebebasan dan keterbukaan, sedangkan petandanya adalah simbol harmoni antara manusia dan alam. Transparansi material, seperti kaca pada dinding kamar mandi utama, memperkuat dialog visual antar-ruang dan menciptakan keterhubungan tanpa batas (Kenneth Frampton, 1980)28.

Dalam konteks dialog dengan alam, ruang terbuka yang menghadap langsung ke taman dan hutan tropis mencerminkan prinsip arsitektur tropis.

Desain ini memaksimalkan sirkulasi udara, pencahayaan alami, dan pandangan lanskap sekitar, menciptakan suasana alami yang berkelanjutan. Secara keseluruhan, konsep Borderless Home merepresentasikan keterhubungan arsitektur dengan alam, melambangkan harmoni, kebersamaan, dan adaptasi arsitektur terhadap konteks

28 Kenneth Frampton, op. cit., 327.

Gambar 8. Site Plan Dancing Mountain House Menunjukkan Keterbukaan (Sumber: dezeen.com)

(15)

lingkungan tropis Salatiga.Secara keseluruhan, konsep Borderless Home merepresentasikan keterhubungan arsitektur dengan alam, melambangkan harmoni, kebersamaan, dan adaptasi arsitektur terhadap konteks lingkungan tropis Salatiga.

4.2. Relasi Antar Elemen Desain Dancing Mountain House dalam Membentuk Kesatuan Makna Simbolik (Strukturalisme)

Dancing Mountain House, dengan desainnya yang unik, memanfaatkan hubungan antara elemen desain untuk membentuk kesatuan makna simbolik yang kuat melalui paradigma strukturalisme. Atap yang menyerupai bentuk gunung bukan hanya sebuah elemen estetika, tetapi juga memiliki fungsi struktural yang mendukung keseluruhan bangunan. Desain atap ini menciptakan kesan dinamis yang mengarah pada konsep keterhubungan bangunan dengan alam, seakan bangunan tersebut "menari" dengan lanskap di sekitarnya (Claude Lévi-Strauss, 1963)29.

Elemen kolom bambu yang menopang struktur memiliki makna ganda:

secara fungsional memberikan dukungan yang fleksibel dan kuat, sedangkan secara simbolik, bambu merepresentasikan hubungan antara manusia dengan

29 Doja Albert, op. cit., 7.

Gambar 9. Diagram Analisis Semiotika Ruang Terbuka Dancing Mountain House dari Frampton, K. (2020) dan Aji, A. P., & Fauzy, B. (2020).

(16)

alam tropis—ringan, adaptif, dan alami (Adityo Purnomo Aji dan Bachtiar Fauzy, 2020)30.

Integrasi ruang dalam dan luar menjadi salah satu konsep utama dalam desain Dancing Mountain House. Bukaan besar serta penggunaan material transparan seperti kaca memperlihatkan hubungan langsung antara ruang dalam dan taman luar, membentuk kesatuan ruang yang seolah tidak terpisahkan. Ini menciptakan narasi simbolik tentang keterhubungan manusia, ruang, dan alam, menciptakan harmoni yang menyatukan elemen-elemen tersebut tanpa batas yang jelas (Anisa Sukma Asih dan Qomarun, 2020)31.

30 Adityo Purnomo Aji dan Bachtiar Fauzy, op. cit., 153.

31 Anisa Sukma Asih dan Qomarun, op. cit., 421.

Gambar 10. Visualisasi Strukturalisme Dancing Mountain House (Sumber: dezeen.com)

Gambar 11. Sirkulasi terbuka pada Dancing Mountain House (Sumber: dezeen.com)

(17)

Keseluruhan desain ini menciptakan hubungan dinamis antara manusia, ruang, dan alam, di mana setiap elemen saling menguatkan untuk membangun harmoni fungsional dan simbolik. Pendekatan strukturalisme ini mengangkat Dancing Mountain House menjadi lebih dari sekadar tempat tinggal—menjadi ekspresi arsitektural yang merepresentasikan konsep keberlanjutan dan keterhubungan.

Gambar 13. Diagram Konteks Strukturalisme Dancing Mountain House dari Doja, A.

(2020), Aji, A. P., & Fauzy, B. (2020), dan Asih, A. S., & Qomarun (2020).

Gambar 12. Diagram Analisis Strukturalisme pada Dancing Mountain House dari Doja, A. (2020), Aji, A. P., & Fauzy, B. (2020), dan Asih, A. S., & Qomarun (2020).

(18)

4.3. Dancing Mountain House dan Dialog dengan Konteks Lokal serta Lingkungan Alam di Salatiga

Desain Dancing Mountain House menunjukkan penghormatan terhadap topografi alami Salatiga. Bentuk bangunan yang mengikuti kontur tanah mengurangi kebutuhan pengerjaan tanah yang ekstensif dan menciptakan hubungan organik antara arsitektur dan lanskap. Pendekatan ini tidak hanya ramah lingkungan tetapi juga memastikan bahwa bangunan tampak menyatu dengan alam, mencerminkan harmoni dengan lingkungan sekitar.

Penggunaan material seperti bambu dan batu alam yang tersedia di daerah setempat tidak hanya mendukung keberlanjutan tetapi juga memperkuat koneksi budaya dengan masyarakat Salatiga. Material ini diolah oleh pengrajin lokal, memberikan kontribusi ekonomi kepada masyarakat sekaligus menjaga elemen tradisional dalam desain. Ini menjadi contoh nyata bagaimana arsitektur modern dapat menghormati tradisi lokal (Anisa Sukma Asih dan Qomarun, 2020)32.

Bukaan besar pada bangunan yang menghadap ke pegunungan menciptakan pengalaman visual yang mendalam, memungkinkan penghuni untuk merasakan lanskap secara langsung. Ruang-ruang terbuka seperti taman dan gundukan tanah di sekitar bangunan menjadi media untuk memperkuat ekologi lokal, meningkatkan aliran air tanah, dan menambah vegetasi, menciptakan interaksi fungsional yang mendukung keseimbangan ekosistem (Adityo Purnomo Aji dan Bachtiar Fauzy, 2020)33.

32 Anisa Sukma Asih dan Qomarun, op. cit., 424.

33 Adityo Purnomo Aji dan Bachtiar Fauzy, op. cit., 155.

Gambar 14. Kontur lanskap yang terlihat pada potongan Dancing Mountain House (Sumber: dezeen.com)

(19)

4.4. Representasi Harmoni antara Modernitas dan Konteks Lokal dalam Arsitektur Kontemporer Indonesia

Dancing Mountain House mencerminkan bagaimana desain kontemporer dapat memadukan modernitas dengan elemen lokal. Misalnya, bentuk atap menyerupai gunungan merupakan interpretasi modern dari elemen tradisional Jawa. Penggunaan bambu, dipadukan dengan teknik konstruksi modern, menggambarkan dialog antara masa lalu dan masa kini, mengangkat budaya lokal tanpa meninggalkan inovasi (Kenneth Frampton, 1980)34.

Pendekatan keberlanjutan diterapkan melalui ventilasi alami, pencahayaan maksimal, dan material ramah lingkungan, yang tidak hanya mengurangi dampak ekologis tetapi juga mengadaptasi arsitektur pada iklim tropis.

Bangunan ini menjadi model arsitektur yang menciptakan fungsi modern sekaligus mendukung identitas dan nilai-nilai lokal.

34 Kenneth Frampton, op. cit., 327.

Gambar 15. Konsep open space dan material alami (Sumber: dezeen.com)

(20)

Tabel Representasi Harmoni antara Modernitas dan Konteks Lokal dalam Arsitektur Kontemporer Indonesia

(21)

5. KESIMPULAN

Dancing Mountain House karya Budi Pradono menjadi representasi nyata arsitektur kontemporer Indonesia yang memadukan modernitas dengan kearifan lokal melalui pendekatan semiotika dan strukturalisme. Secara semiotik, bentuk atap yang menyerupai puncak-puncak gunung di Salatiga, seperti Merbabu, Merapi, dan Telomoyo, melambangkan keterhubungan manusia dengan alam sekaligus penghormatan terhadap identitas budaya Jawa.

Penggunaan material lokal, seperti bambu dan batu alam, tidak hanya mendukung fungsi konstruktif tetapi juga menyampaikan makna keberlanjutan ekologis.

Dari perspektif strukturalisme, relasi antar elemen desain seperti atap dinamis, kolom bambu, dan ruang tanpa sekat menciptakan kesatuan makna yang menyatu dengan alam. Konsep borderless home memperkuat keterhubungan visual dan fungsional antara ruang dalam dengan lanskap alam sekitar, menggambarkan dialog yang harmonis antara penghuni, bangunan, dan alam.

Dengan memanfaatkan topografi alami Salatiga, Dancing Mountain House tidak hanya berhasil menyelaraskan desain dengan lanskap, tetapi juga menawarkan solusi berkelanjutan melalui ventilasi alami, pencahayaan maksimal, dan material ramah lingkungan. Bangunan ini menunjukkan bagaimana arsitektur kontemporer dapat menghadirkan inovasi modern tanpa mengorbankan nilai lokal dan keberlanjutan.

Secara keseluruhan, Dancing Mountain House memberikan narasi simbolik yang mengintegrasikan tradisi dan modernitas, menciptakan arsitektur tropis yang menghormati lokalitas sekaligus merespons tantangan globalisasi. Bangunan ini menjadi model ideal arsitektur yang berfungsi sebagai ruang tinggal bermakna, harmonis, dan berkelanjutan.

(22)

DAFTAR PUSTAKA

Frampton, K. (2020). Modern Architecture: A Critical History (5th ed.). New York: Thames and Hudson.

Aji, A. P., & Fauzy, B. (2020). Akulturasi arsitektur lokal dan modern pada bangunan P-House. ARTEKS: Jurnal Teknik Arsitektur, 5(2), 153.–

161. https://doi.org/10.30822/arteks.v5i2.112.

Asih, A. S., & Qomarun. (2020). Penerapan konstruksi bambu dan arsitektur berkelanjutan pada Dancing Mountain House. In Seminar Ilmiah Arsitektur (pp. 421–423).

Audina, M., et al. (2020). Analisis Dancing Mountain House. Makalah Arsitektur, 2–3.

Culler, J. (2021). Saussure: Sign, System, and Society. New York: Routledge.

Fabbri, P., & Barthes, R. (2020). On Narrative: An Interview with Roland Barthes. Theory, Culture & Society, 37(6), 55–66.

Doja, A. (2020). Lévi-Strauss's heroic anthropology facing contemporary problems of the modern world. Reviews in Anthropology, 49(1-2), 4–

38.

Hanifianto, R., & Hantono, D. (2024). Kajian konsep arsitektur kontemporer pada bangunan fasilitas transportasi (Studi Kasus: Stasiun MRT Blok A, Jakarta). Jurnal Arsitektur PURWARUPA, 8(2), 161–165.

Gambar

Gambar 1. Diagram Semiotika dan Strukturalisme  (Sumber: analisis dari buku referensi Culler, 2021, dll.)
Gambar 3. Visualisasi Gunung Di Sekitar Salatiga  (Sumber: earth.google.com)
Gambar 2. Tampak Depan Dancing Mountain House  (Sumber: dezeen.com)
Gambar 4. Analisis semiotika bentuk atap dancing mountain house  (Sumber: dezeen.com)
+7

Referensi

Dokumen terkait