• Tidak ada hasil yang ditemukan

ARSITEKTUR TROPIS DAN BANGUNAN HEMAT ENERGI

N/A
N/A
Ini Chuba

Academic year: 2024

Membagikan "ARSITEKTUR TROPIS DAN BANGUNAN HEMAT ENERGI"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.net/publication/305187085

ARSITEKTUR TROPIS DAN BANGUNAN HEMAT ENERGI

Article · September 1998

CITATIONS

9

READS

21,784

2 authors, including:

Tri Harso Karyono Tanri Abeng University 78PUBLICATIONS   565CITATIONS   

SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Tri Harso Karyono on 12 July 2016.

(2)

ARSITEKTUR TROPIS DAN BANGUNAN HEMAT ENERGI

Tri Harso Karyono

Jurnal KALANG, Jurusan Teknik Arsitektur, Universitas Tarumanagara, vol.1 No. 1, Jakarta.

S

ecara sederhana pengertian arsitektur tropis (lembab) adalah suatu rancangan arsitektur yang mengarah pada pemecahan problematik iklim tropis (lembab). Sementara iklim tropis lembab sendiri dicirikan oleh beberapa faktor iklim (climatic factors) sebagai berikut:

1. Curah hujan tinggi sekitar 2000-3000 mm/tahun (Jakarta + 2000 mm/th atau rata-rata + 160 mm/bulan). Ada bagian di Indonesia dengan curah hujan rendah seperti Nusa Tenggara Timur.

2. Radiasi matahari relatif tinggi sekitar 1500 hingga 2500 kWh/m2/tahun (Jakarta + 1800 kWh/m2/tahun)

3. Suhu udara relatif tinggi untuk kota dan kawasan panatai atau dataran rendah (Jakarta antara 23o hingga 33oC). Untuk kota dan kawasan di dataran tinggi (Bandung, Lembang, Malang, Bukit Tinggi, dan lainnya) suhu udara cukup rendah, sekitar 18o hingga 28oC atau lebih rendah.

4. Kelembaban tinggi (Jakarta antara 60 hingga 95%)

5. Kecepatan angin relatif rendah (dalam kota Jakarta rata-rata di bawah 5 m/s)

Kondisi iklim tropis lembab tersebut di atas ternyata tidak seluruhnya dapat mendukung keberlangsungan aktifitas manusia tropis secara nyaman. Dalam banyak hal justru sebagian besar tuntutan kenyamanan fisik manusia tidak sesuai dengan kondisi iklim yang ada. Dengan kelembaban yang tinggi, manusia tropis, yang melakukan aktifitas kantor, sekolah, dan lainnya, cenderung menghindari air hujan mengenai tubuhnya. Air hujan yang membasahi pakaian dirasakan sebagai faktor yang membuat manusia merasa tidak nyaman, di mana kulit terasa lengket. Sementara itu hal semacam ini tidak terlalu dirisaukan oleh mereka yang berdiam di iklim dengan kelembaban rendah, seperti di kawasan sub-tropis. Dengan kelembaban rendah di kawasan semacam ini, air hujan yang membasahi tubuh dan pakaian akan segera kering dengan sendirinya, sehingga manusia tidak perlu cemas tersiram air hujan atau salju.

Di lain pihak, dengan radiasi matahari yang cukup tinggi, ditambah suhu udara yang tinggi, manusia tropis cenderung menghindari sengatan matahari langsung karena dapat mengakibatkan ketidaknyamanan termal. Sedangkan mereka yang tinggal di daerah dengan iklim dingin cenderung tidak mengkhawatirkan hal ini, di mana radiasi langsung matahari justru dapat membantu menghangatkan tubuh mereka di luar musim panas.

Dengan kelembaban yang tinggi, manusia tropis cenderung memerlukan angin yang lebih kencang agar uap air (keringat) yang berada pada permukaan kulit cepat menguap dan memberikan efek dingin terhadap tubuh, sehingga kenyamanan termal dapat dicapai. Untuk

(3)

itulah pergerakkan angin di sekitar dan di dalam bangunan menjadi sangat penting bagi penyelesaian problematik arsitektur tropis terutama dalam kaitannya dengan pencapaian kenyamanan termal bagi penghuni bangunan.

Bangunan sebagai Media Pengubah Iklim

Bangunan atau arsitektur merupakan media untuk memodifikasi iklim luar (external climate) yang tidak dikehendaki (tidak nyaman) menjadi iklim dalam (internal climate) yang nyaman (atau dikehendaki) oleh penghuni bangunan. Arsitektur tropis adalah arsitektur yang dirancang untuk memodifikasi iklim tropis luar yang tidak nyaman menjadikan iklim di dalam bangunan yang nyaman.

Vitruvius (100 BC) dalam bukunya [1] menguraikan mengenai tiga elemen dasar arsitektur:

utility (fungsi), firmness (kekokohan-kekakuan) dan beauty (keindahan, estetika). Saya berpendapat bahwa untuk masa sekarang dan mendatang, ketiga elemen tersebut masih belum cukup untuk menjadi prasyarat keberhasilan suatu karya arsitektur. Ada dua aspek yang harus dipenuhi oleh suatu karya arsitektur yang baik, yakni: kenyamanan dan hemat energi.

Kenyamanan dapat dibagi ke dalam dua kategori: kenyamanan psikis dan kenyamanan fisik. Kenyamanan psikis berkaitan dengan aspek kepercayaan, agama, adat, dsb. Bentuk kenyamanan ini lebih bersifat personal dan kualitatif. Sementara kenyamanan fisik cenderung bersifat universal serta dapat diukur secara kuantitatif, atau dapat di kuasi-kuantitatifkan.

Secara umum kenyamanan fisik dapat dibagi menjadi empat jenis, yakni kenyamanan spatial (ruang), kenyamanan visual (penglihatan), kenyamanan audial (pendengaran) dan kenyamanan thermal (termis/suhu). Dengan kenyamanan, karya arsitektur diharapkan mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan penghuni dalam aspek-aspek tersebut di atas.

Dalam membahas persoalan arsitektur tropis dan bangunan hemat energi, dasar pemikiran di atas akan digunakan. Keberhasilan suatu karya arsitektur akan diukur dari keberhasilan karya tersebut dalam memenuhi kebutuhan kenyamanan, baik psikis maupun fisik pengguna bangunan dengan mengkonsumsi energi serendah mungkin. Meskipun demikian aspek kenyamanan psikis tidak akan dibahas mengingat permasalahan arsitektur tropis lebih berkaitan pada persoalan iklim (tropis) yang bersifat fisik dan terukur.

Bangunan, Kenyamanan dan Energi

Seperti telah disebutkan bahwa salah satu sasaran dalam merancang bangunan adalah menghemat pemakaian energi tanpa harus mengorbankan kebutuhan kenyamanan bagi penghuninya.

Pengertian energi di sini lebih diarahkan kepada jenis energi yang diperdagangkan.

Pengertian energi primer sendiri juga akan menjadi relatif seirama dengan perjalanan waktu dan perkembangan teknologi. Untuk saat ini energi primer merupakan energi yang bersumber

(4)

dari minyak bumi (fossil fuels): batu bara, minyak, dan gas alam, serta sumber energi terbarukan seperti matahari (photovoltaic), tenaga air, panas bumi dan nuklir [2]. Energi yang dibangkitkan dalam tubuh manusia sebagai hasil oksidasi makanan tidak termasuk dalam pengertian energi yang dperbincangkan dalam pembahasan ini.

Dengan demikian pengertian bangunan hemat energi dalam konteks pembahasan ini adalah bangunan yang dalam operasionalnya dapat menekan (menghemat) penggunaan yang bersumber (terutama) dari minyak bumi. Sebuah bangunan kantor delapan lantai yang dibangun tanpa menggunakan lift dapat dianggap hemat energi karena menghemat pemakaian listrik untuk penggerak mesin lift, meskipun dari sisi lain sebetulnya sangat boros terhadap pemakaian energi yang dibangkitkan tubuh manusia sebagai hasil pembakaran bahan makanan ekstra yang perlu dimakan karyawan/wati - sebagai sumber energi untuk manapak anak-anak tangga bangunan tersebut.

Kaitan antara Bangunan, Kenyamanan dan Energi dapat dilihat pada tiga skenario.

Skenario pertama, bangunan mampu memodifikasi iklim luar yang tidak dikehendaki (tidak nyaman) menjadi iklim di dalam bangunan yang nyaman tanpa menggunakan energi (Gambar 20.1). Hal ini umumnya terjadi pada rumah-rumah tradisional yang mewadahi aktifitas tradisional. Pada siang hari penghuni dapat merasakan udara di dalam ruang yang sejuk (karena sistem ventilasi rumah demikian baiknya - salah satunya karena penggunaan bilik/anyaman bambu sebagai dinding, yang memungkinkan terjadinya aliran udara secara tersebar dan merata di dalam bangunan serta suhu udara sekitar bangunan yang cukup rendah.

Meskipun ruangan di dalam pada rumah tradisional pada umumnya gelap (dibanding dengan rumah modern), kondisi ini tidak akan menimbulkan permasalahan bagi penghuni karena pada siang hari masyarakat tradisional tidak akan melakukan aktifitas di dalam rumah yang membutuhkan penerangan dengan level penerangan tinggi seperti halnya pada masyarakat modern. Pada malam hari rumah tradisional diterangi dengan lampu, lentera atau pelita, dengan bahan bakar minyak nabati seperti minyak kelapa, minyak kemiri, atau minyak buah Jarak, yang kesemuanya tergolong terbarukan, tidak bersumber dari minyak bumi.

IKLIM LUAR yang Tidak Dikehendaki

(Tidak Nyaman)

IKLIM DALAM yang Dikehendaki

(Nyaman) BANGUNAN

Gambar 20.1. Skenario 1: Bangunan sebagai modifikator iklim berhasil merubah iklim luar yang tidak nyaman menjadi iklim dalam yang nyaman

(5)

Dengan demikian, secara keseluruhan, bangunan tradisional dapat digunakan sebagai contoh yang mewakili gambaran skenario pertama.

Pada skenario kedua bangunan yang diharapkan berfungsi sebagai alat modifikasi iklim seringkali tidak selalu berhasil. Di mana bangunan gagal merubah sebagian atau seluruhnya iklim luar yang tidak nyaman menjadi iklim di dalam bangunan yang nyaman (Gambar 20.2).

Kondisi ini yang justru seringkali dijumpai. Kegagalan ini dapat terjadi karena, pertama, ada kemungkinan besar iklim luar di sekitar bangunan terlalu ekstrim, jauh berbeda dengan tuntutan iklim nyaman di dalam bangunan, misalnya perbedaan suhu luar dengan kebutuhan suhu nyaman manusia setempat terlalu besar.

Dengan situasi semacam ini sulit bagi bangunan untuk mendekatkan perbedaan suhu luar dengan suhu nyaman tanpa bantuan energi (listrik) dengan bentuk rancangan arsitektur apapun. Faktor kedua, karena kekeliruan rancangan arsitektur yang kurang mempertimbangkan iklim, di mana arsitek masih terlalu terpaku pada target visual atau estetika, sehingga aspek kenyamanan termal terabaikan. dan bangunan tidak nyaman secara termal. Seringkali terjadi, karena lemahnya rancangan arsitektur, bangunan gagal mengantisipasi kondisi iklim luar yang sesungguhnya tidak ekstrim.

Skenario 3 (Gambar 21.3) memperlihatkan bahwa kenyamanan di dalam bangunan dapat dicapai dengan bantuan energi.

IKLIM LUAR yang Tidak Dikehendaki

(Tidak Nyaman)

IKLIM DALAM yang Tidak Dikehendaki

(Tidak Nyaman) BANGUNAN

Gambar 21.2. Skenario 2: Bangunan gagal merubah iklim luar yang tidak nyaman menjadi iklim di dalam bangunan yang nyaman

IKLIM LUAR yang Tidak Dikehendaki

(Tidak Nyaman)

IKLIM DALAM yang Dikehendaki

(Nyaman) BANGUNAN

ENERGI

Gambar 21.3. Skenario 3: Dengan bantuan Energi bangunan akhirnya berhasil merubah iklim luar yang tidak nyaman menjadi iklim di dalam bangunan yang nyaman

(6)

Pada skenario 3 ini tidak berarti bahwa rancangan bangunan lalu dianggap buruk karena perlu menggunakan energi bagi pencapaian kenyamanan ruang dalamnya. Kondisi semacam ini yang saat ini sering terjadi pada hampir seluruh bangunan yang berada di kota, baik besar maupun kecil, di mana energi listrik digunakan bagi pemenuhan kebutuhan kenyamanan meskipun seandainya hanya terbatas pada batas kenyamanan visual (penerangan) malam hari.

Kenyamanan akan sangat mungkin dicapai melalui penyelesaian rancangan arsitektur apapun. Yang menjadi pertanyaan adalah berapa besar energi yang diperlukan per-satuan luas tertentu (misalnya meter persegi lantai) untuk membuat bangunan tersebut nyaman. Penilaian apakah suatu rancangan bangunan dianggap baik atau buruk dari sudut energi terletak pada seberapa besar energi tersebut diperlukan (persatuan luas) oleh bangunan guna mencapai angka kenyamanan yang disyaratkan atau distandarkan. Semakin kecil energi yang diperlukan (guna pencapaian tingkat kenyamanan yang sama) akan menunjukkan semakin baik rancangan bangunan tersebut dipandang dari sisi energi.

Arsitektur Tropis Hemat Energi

Arsitektur yang dirancang dengan memberi penekanan pada pemecahan problematik iklim setempat, apapun jenis iklimnya - termasuk iklim tropis, dengan sendirinya akan hemat energi.

Meskipun demikian, sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, penghematan energi dalam bangunan yang telah beradaptasi dengan iklim setempat (climate sensitive building) ternyata masih dapat ditingkatkan lagi.

Pada umumnya arsitektur tropis hanya dijelaskan sebatas bagaimana bangunan tersebut mampu melindungi pemakainya dari hujan dan terik matahari. Dua faktor iklim ini yang pada umumnya paling dikenal sebagai ciri iklim tropis, meskipun sesungguhnya belum cukup.

Dengan sasaran di atas, suatu karya arsitektur yang menggunakan atap dan overstek (overhang) lebar - seperti yang dapat dijumpai pada atap-atap arsitektur tradisional (vernakular) Indonesia, sudah dianggap cukup memenuhi syarat sebagai arsitektur tropis.

Dalam menelaah esensi arsitektur tropis dengan rujukan arsitektur tradisional, kita tidak dapat melepaskan peran tempat atau lokasi di mana bangunan tersebut berdiri. Arsitektur tradisional yang berfungsi mewadahi aktifitas tradisonal umumnya dibangun di kawasan yang masih hijau atau terbuka, di mana suhu udara sekitarnya cenderung relatif masih rendah.

Banyaknya vegetasi serta tiupan angin yang optimal mampu menghasilkan kenyamanan pengguna bangunan.

Dalam konteks arsitektur tropis masa kini, di mana yang dibicarakan adalah bangunan modern, yang digunakan mewadahi aktifitas modern, serta lokasi bangunan pada umumnya berada di kawasan kota-kota besar yang sudah tidak dapat diharapkan lagi memiliki suhu lingkungan rendah, maka pengertian arsitektur tropis pun akan cenderung bergeser.

(7)

Bahwa atap dan overstek lebar mampu menciptakan suhu nyaman di dalam rumah-rumah tradisional masa lalu atau rumah-rumah di pedesaan, untuk konteks bangunan tropis modern masa kini penyelesaian semacam itu tampaknya belum cukup. Kondisi iklim di pusat kota berbeda dengan kondisi iklim di tepi kota atau di kawasan pedesaan. Diperlukan strategi rancangan tambahan untuk menciptakan arsitektur tropis yang mampu memberikan kenyamanan pengguna bangunan dengan energi rendah.

Tngginya suhu udara rata-rata di daerah tropis, terutama di dataran rendah, strategi penghematan energi dalam bangunan harus diarahkan untuk menjaga agar suhu udara di dalam bangunan tidak meningkat saat siang hari ketika matahari bersinar terik. Dengan kata lain, bangunan harus mampu meminimalkan 'perolehan panas' (heat gain) matahari.

Strategi Penghematan Energi dalam Bangunan [3]

Beberapa strategi umum dalam menekan penggunaan energi dalam bangunan (tanpa harus mengorbankan kenyamanan) adalah sebagai berikut:

1. Mencegah terjadinya efek rumah kaca

Efek rumah kaca adalah akumulasi panas di dalam bangunan/ruang akibat radiasi matahari.

Dinding-dinding trasparan (kaca) yang ditembus oleh cahaya matahari langsung akan menimbulkan efek rumah kaca. Jika hal ini terjadi dalam bangunan dengan skala pemanasan yang besar, suhu dalam bangunan akan meningkat. Untuk menurunkannya diperlukan mesin pengkondisian udara dengan kapasitas yang lebih besar dibanding jika bangunan tidak/atau sedikit mengalami efek rumah kaca. Energi untuk pendinginan akan menjadi besar akibat efek rumah kaca ini. Untuk mencegah efek rumah kaca, dinding- dinding transparan harus dihindari dari jatuhnya sinar matahari langsung.

2. Mencegah terjadinya akumulasi panas pada ruang antara atap dan langit-langit

Untuk bangunan dengan atap miring perlu dipikirkan untuk menghindari terjadinya akumulasi panas pada ruang antara penutup atap dengan langit-langit. Untuk itu ruang ini perlu diberi bukaan, sehingga memungkinkan aliran udara silang menyingkirkan panas yang terakumulasi ini. Jika hal ini tidak dilakukan ruang di bawah langit-langit akan panas, sehingga bangunan memerlukan energi ekstra (misalnya mesin pendingin) untuk menurunkan suhu ruang tersebut.

3. Meletakkan ruang-ruang penahan panas pada sisi timur- barat

Pada sisi-sisi timur dan barat bangunan yang langsung berhadapan dengan jatuhnya sinar matahari sebaiknya diletakkan ruang-ruang yang berfungsi sebagai ruang antara guna mencegah aliran panas menuju ruang utama misalnya ruang kantor. Ruang-ruang antara ini dapat berupa ruang tangga, gudang, toilet, pantry, dan sebagainya.

4. Melindungi pemanasan dinding yang menghadap timur atau barat

(8)

Seandainya pada sisi timur dan barat bangunan tanpa dapat dihindari harus diletakkan ruang-ruang utama, maka untuk menghindari pemanasan pada ruang tersebut dinding- dinding ruang perlu diberi penghalang terhadap sinar matahari langsung. Atau dinding dibuat rangkap di mana di antara kedua dinding tersebut diberi ruang antara yang diberi lubang- lubang ventilasi. Hal ini akan sangat berpengaruh terhadap perilaku termis ruang utama di dalamnya, di mana suhu udara ruang akan lebih rendah secara mencolok dibanding hanya menggunakan dinding tunggal.

5. Mencegah jatuhnya radiasi matahari pada permukaan keras

Karena permukaan keras (aspal, beton, dsb) cenderung merupakan material yang menyerap panas (kemudian dipancarkan kembali ke udara), maka suhu udara di atas permukaan keras yang terkena radiasi matahari cenderung lebih tinggi di banding dengan di atas rumput atau perdu misalnya [4]. Penggunaan material keras sebagai penutup halaman, jalan, tempat parkir, dsb. akan menaikan suhu udara di sekitar bangunan seandainya permukaan tersebut dibiarkan terbuka terhadap radiasi langsung matahari. Untuk itu permukaan dengan material padat/keras sebaiknya dilindungi (dipayungi) dari jatuhnya radiasi langsung matahari agar suhu udara sekitar bangunan tetap rendah.

6. Memanfaatkan aliran udara malam hari yang bersuhu rendah

Suhu udara minimum rata-rata Jakarta adalah 23oC, dan ini terjadi pada malam menjelang pagi hari. Dalam rangka penghematan energi dalam bangunan potensi ini dapat dimanfaatkan dengan cara mengalirkan angin yang bersuhu rendah tersebut melalui dinding (yang dibuat rangkap-berongga) serta lantai (berongga, dengan raised floor). Tujuan dari pengaliran udara ini adalah menurunkan suhu massa bangunan (building fabric) serendah mungkin mendekati atau sama dengan suhu udara minimum tersebut. Suatu ruang yang memiliki lantai, dinding dan langit-langit dengan suhu rendah akan lebih mudah mencapai kenyamanan meskipun suhu udara luar relatif tinggi, karena pada kenyataan sensasi suhu (termis) tidak saja ditentukan oleh suhu udara, namun juga oleh suhu radisi permukaan ruang (lantai, dinding dan langit-langit). Beberapa percobaan model dengan simulasi komputer serta uji coba pada bangunan-bangunan baru telah membuktikan keampuhan teknik pendinginan malam hari ini dalam usaha menekan pengunaan energi dalam bangunan.

Analisis Pencapaian Suhu Nyaman melalui Rancangan Hemat Energi

Suhu nyaman untuk daerah beriklim tropis lembab diperkirakan berkisar antara 22o s/d 27oC [4], sementara itu beberapa penelitian suhu nyaman di daerah Asia Tenggara memperlihatkan suatu 'range' antara 24o s/d 30oC [5]. Hasil penelitian kenyaman suhu yang pernah dilakukan oleh Mom [6,7] di Bandung pada tahun 1930-an memperlihatkan suhu nyaman pada sekitar 26o-27oC. Penelitian suhu nyaman paling akhir yang dilakukan di Indonesia (Jakarta) oleh

(9)

Karyono [8,9] dan untuk sementara dibakukan oleh Tim Peneliti Kenyamanan termal dari Maquarie University - Australia, University of California Berkley - Amerika serta Institusi Standard Pengkondisian Udara Amerika, ASHRAE [10] memperlihatkan suhu nyaman karyawan/wati di Jakarta berada pada 26,4oC dengan deviasi + 2oC, atau antara 24,4 hingga 28,4oC.

Yang menjadi pertanyaan sekarang, apakah mungkin suhu di dalam ruang (internal climate) dapat mencapai angka 28,4oC (batas atas suhu nyaman penelitian Karyono) sementara suhu udara luar siang hari berada pada 32oC. Dari simulasi komputer terhadap efek pendinginan malam hari (night passive cooling) yang dilakukan oleh Cambridge Architectural Research Limited [11] diperoleh suatu hasil bahwa penurunan suhu hingga 3oC dapat dicapai pada bangunan yang menggunakan massa berat (beton, bata) meskipun seandainya perbedaan suhu siang dan malam hanya berkisar 8oC (perbedaan suhu siang dan malam di Jakarta dapat mencapai 10oC). Sementara itu penelitian Parker [12] dan Akbari [13] di Amerika Serikat memperlihatkan bahwa dengan penanaman pohon lindung di sekitar rumah tinggal, penggunaan energi (listrik) untuk AC dapat berkurang dari 30 hingga 50%.

Dengan meng-ekuivalen-kan 10% pengurangan energi setara dengan penurunan suhu sekitar 0,7 hingga 1oC [14], dapat disimpulkan bahwa penurunan suhu sekitar hingga 3oC merupakan suatu hal yang sangat mungkin apabila ruang terbuka sekitar bangunan di penuhi dengan pohon pelindung atau bahkan dihutankan, dengan pengertian halaman, jalan access dan halaman parkir terlindung dari sengatan langsung radiasi matahari.

Dari kedua teknik di atas, yakni pendinginan malam hari serta penghijauan sekitar bangunan, suhu udara dalam bangunan, secara teoritis, dapat turun hingga 6oC. Seandainya suhu udara kota Jakarta pada siang hari berkisar pada 32oC, maka bukanlah sesuatu hal yang mustahil untuk mencapai suhu nyaman di dalam bangunan yang berada di bawah angka 28,4oC.

Sumber Bacaan

Akbari, H. et al (1990), Summer Heat Island, Urban Trees and White Surfaces, ASHRAE Transactions, pp. 1381-1388.

Baker, N.V. (1994), Energy and Environment in Non-Domestic Buildings A Technical Design Guide, Cambridge Architectural Research Ltd. and The Martin Centre for Architectural and Urban Studies, University of Cambridge, UK.

de Dear, R.J., Brager, G., Cooper, D. (1997), Developing an Adaptive Model of Thermal Comfort and Practice, Macquarie Research Ltd.- Macquarie Univ., Australia and Center for Env. Design Research, Univ. of California Berkley, USA.

Humphreys, M.A. (1992), Thermal Comfort Require-ments, Climate and Energy, The Second World Renewable Energy Congress, Reading, UK.

Karyono, T.H. (1995), Thermal Comfort for the Indonesian workers in Jakarta, Building Research and Information, Vol. 23 No. 6, pp. 317-323, UK.

(10)

9 Karyono, T.H. (1996), Antisipasi arsitek dalam memo-difikasi iklim melalui karya arsitektur, Dies

USAKTI.

Karyono, T.H. (1996), Discrepancy between actual and predicted thermal votes of the Indonesian workers in Jakarta, Indonesia, International Journal of Ambient Energy, Vol.

17, No. 2, UK.

Karyono, T.H. (1996), Pengaruh kaca terhadap kenya-manan suhu dan konsumsi energi pada bangunan di Indonesia, Seminar Kaca - Arsitektur, UNTAR, 12 Nov.

Karyono, T.H. (1996), Penghijauan kota sebagai usaha menurunkan suhu kota, Majalah Konstruksi, Mei.

Karyono, T.H. (1996), Thermal Comfort in the Tropical South East Asia Region, Architectural Science Review, Vol. 39, pp. 135-139, Australia.

Karyono, T.H. (1997), Pathologi bangunan dan kenyamanan suhu, Majalah Konstruksi, April.

Lippsmeier, G., et al (1980), Tropenbau Building in the Tropics, Germany Callwey Verlag, Muenchen.

Mardliah, S.A. (1997), Liputan Khusus: Realisasi Perancangan Kota Memprihatinkan?, Majalah Konstruksi, September.

Mom, C.P. et al (1947), The Application of the Effective Temperature Scheme to the Comfort Zone in the Netherlands Indies (Indonesia), Chronica Naturae, vol. 103, pp. 19-31

Parker, J. (1981), Uses of landscaping for energy conservation, Florida International University and the Florida Energy Office.

Radsma, W. (1936), Feestbundel 1936 v/h Geneesk. Tijdschr. voor Ned. Indie.

Ramage, J. (1983), Energy A Guide Book, Oxford Univ. Press, UK.

Vitruvius, The Ten Book on Architecture (translated by Morris H. Morgan), Dover Publications, Inc, NY. 1960.

Referensi

Dokumen terkait