• Tidak ada hasil yang ditemukan

ARTIKEL SPNI Arsal Arjiaputra 2207674 AKSI DEPARTEMEN PROPAGANDA JEPANG SENDENBU DI INDONESIA (1942-1945)

N/A
N/A
ARSAL ARJIAPUTRA

Academic year: 2023

Membagikan "ARTIKEL SPNI Arsal Arjiaputra 2207674 AKSI DEPARTEMEN PROPAGANDA JEPANG SENDENBU DI INDONESIA (1942-1945)"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

AKSI DEPARTEMEN PROPAGANDA JEPANG SENDENBU DI INDONESIA (1942- 1945)

Arsal Arjiaputra

Mahasiswa S1 Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas Pendidikan Indonesia aarjiaputra @upi.edu

ABSTRAK

Pada usaha Jepang guna membangun sebuah imperium di Asia, Jepang telah meletuskan sebuah perang dipasifik. Dalam rencana gerakannya ke bagian selatan, Jepang menyerbu ke Indonesia.

Jepang melakukan sebuah propaganda di Indonesia dimana propaganda sendiri ini ialah suatu rangkaian sebuah pesan yang berupaya guna memengaruhi pendapat dan kelakuan masyarakat atau sekelompok orang. Mereka menguasai media massa seperti majalah, Koran, radio dan lain sebagainya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bentuk propaganda Jepang yang dijalankan oleh departemen Sendenbu dan latar belakang pembentukan Departemen Sendenbu.

Dimana departemen ini akan menjadi front terdepan untuk indoktrinisasi pribumi untuk keuntungan jepang.

Kata Kunci: Propaganda, Jepang, Sendenbu PENDAHULUAN

Kata propaganda mulai digunakan pada tahun 1622 ketika Paus Gregory XV mendirikan sebuah organisasi yang diberi nama Congregatio de Propaganda Fide. Organisasi itu bertugas menyebarkan agama Katolik di kalangan masyarakat non-Kristen. Dalam konteks ini, propaganda berarti organisasi yang mengirimkan pesan-pesan. Setelah tahun 1622, propaganda tidak hanya diartikan sebagai organisasi, tetapi juga sebagai pesan yang disebarkan oleh organisasi. Dalam perkembangannya, pengertian propaganda juga berkaitan dengan teknik yang digunakan untuk menyampaikan pesan, contohnya iklan, film, dan televisi (Combs, 1994:9). Berdasarkan tujuannya, propaganda berarti komunikasi untuk menyebarluaskan tujuan yang diinginkan (sering bersifat subversif dan jahat) terhadap para pemirsa, pembaca, dan pendengar serta dilakukan dengan caracara yang berpengaruh (Combs, 1994:23). Pada umumnya propaganda yang memberikan isu-isu kontroversial lebih mudah diterima oleh masyarakat (Merton, 1957:509). Berdasarkan pada pengertianpengertian ini, sistem propaganda dalam konteks kekuasaan Jepang di Indonesia mencakup organisasi, pesan, dan teknik penyampaian pesan yang ditujukan untuk mempengaruhi bangsa Indonesia guna mendukung pencapaian tujuannya.

Dalam sistem pemerintahan Jepang di Indonesia, propaganda merupakan bagian penting dan integral. Suatu indikasi bahwa propaganda tidak terpisahkan dari sistem pemerintahan Jepang di Indonesia adalah dibentuknya departemen propaganda (Sendenbu) di bawah pemerintah militer Jepang. Untuk menguasai Jawa, Jepang berpegang pada dua prinsip utama yaitu: bagaimana menarik hati rakyat (PLQVKLQ KD¶DNX) dan bagaimana mengindoktrinasi dan menjinakkan mereka (senbu kosaku). Prinsip ini perlu dilaksanakan untuk memobilisasi seluruh rakyat guna mendukung kepentingan perang dan untuk mengubah mentalitas mereka secara keseluruhan. Berdasarkan keyakinan bahwa bangsa Indonesia harus dibawa kepada pola tingkah laku dan berpikir Jepang, propaganda ditujukan untuk mengindoktrinasi rakyat agar dapat menjadi mitra yang dapat dipercaya dalam Lingkungan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya (Kurasawa, 1987:59). Betapa penting arti propaganda itu terlihat dari bagaimana Jepang mempersiapkan sistem propagandanya secara sistematis dan intensif sejak sebelum pelaksanaan invasi ke negeri ini.

(2)

METODE PENELITIAN

Dalam penelitian ini, metode yang digunakan adalah library research atau riset pustaka, yang berarti penelitian dilakukan berdasarkan karya-karya tertulis seperti buku, ensiklopedia, jurnal, kamus, dan majalah (Harahap, 2014). Penelitian ini melibatkan rumusan masalah, landasan teori, analisis data, dan pengambilan kesimpulan seperti penelitian lainnya. Namun, dalam penelitian ini, data dikumpulkan melalui pustaka dengan melakukan pembacaan, pencatatan, dan pengolahan bahan penelitian. Oleh karena itu, tidak diperlukan pengumpulan data melalui penelitian lapangan atau pertemuan dengan responden.

PEMBAHASAN

A. Pembentukan Departemen Sendenbu

Salah satu usaha pemerintah pendudukan Jepang untuk dapat memenangkan perang adalah berupaya mencari dukungan massa sebanyak-banyaknya. Pemerintah militer mendirikan Departeman Propaganda atau Sendenbu pada bulan Agustus 1942. Tujuannya agar masyarakat mau bekerjasama dengan pemerintah pendudukan Jepang atau untuk memobilisasi seluruh rakyat dalam berperang melawan sekutu dan untuk dapat mengubah mentalitas rakyat (Goodman, 1991) Hal ini disertai keyakinan bahwa bangsa Indonesia harus dibentuk berdasarkan pola perilaku dan pemikiran Jepang. Mereka mengarahkan propaganda pada indoktrinasi terhadap rakyat Indonesia sehingga mereka dapat menjadi kawan-kawan yang setia dalam lingkungan kemakmuran bersama Asia Timur Raya.

Departemen Propaganda bertugas menyelenggarakan propaganda dan penerangan yang berkaitan dengan administrasi sipil, dan merupakan organ terpisah dari Seksi Penerangan Angkatan Darat ke-16 yang bertugas menyelenggarakan propaganda dan penerangan yang berkenaan dengan operasi-operasi militer. Aktifitas Sendenbu diarahkan kepada penduduk sipil Jawa, termasuk orang Indonesia, Eurasia, minoritas Asia dan Jepang.

(Kurosawa, 1993) Meskipun demikian, pihak pemerintah pendudukan Jepang tidak pernah mempercayakan kontrol dari Departemen penting ini kepada orang-orang sipil. Lembaga itu selalu dikepalai oleh seorang Perwira Angkatan Darat. Pejabat pertama adalah Kolonel Machida Keiji (Agustus 1942-Oktober 1943), ke-dua Mayor Adachi Hisayoshi (Oktober 1943-Maret 1945), ke-tiga Kolonel Takanashi Koryo (April-Agustus 1945).

Lembaga ini mempunyai tiga seksi yaitu: yaitu: (1). Seksi Administrasi dan (3). Seksi (2). Seksi Berita dan Pers; dan (3). Seksi Propaganda. Seksi yang pertama dan ke-dua masing-masing dikepalai oleh para Perwira Militer Jepang, lain halnya dengan seksi ke-tiga yang dipimpin oleh pejabat sipil Indonesia, yang terdiri dari para mantan guru. Sendenbu tidak hanya bertindak sebagai sebuah kantor administrasi, tetapi juga secara langsung melaksanakan operasi-operasi propaganda. Sampai bulan Agustus 1942 Jawa tetap berada di bawah struktur-struktur pemerintahan semantara, tetapi kemudian dilantik suatu pemerintahan yang dikepalai oleh seorang Gubernur militer Jepang atau Gunseikan. Kepala Sendenbu memutuskan rencana operasi dari propaganda, melalui rapat-rapat yang dihadiri oleh setiap kepala seksi yang ada dalam Departemen ini. Di samping itu, sebuah organisasi bernama Keimin Bunka Shidosho (Pusat kebudayaan) dibentuk pada bulan April 1943 sebagai organisasi bantuan dari Sendenbu.

Pada saat struktur administrasi militer menjadi semakin rumit, pemerintah membentuk beberapa biro khusus dengan tugas menyelenggarakan berbagai bidang propaganda sebagai badan-badan luar Departemen di bawah Sendenbu, dan pelaksanaan operasi propaganda

(3)

dipercayakan kepada mereka. Setelah pembentukan organisasi spesialisasi dan biro-biro, Sendenbu sendiri tidak lagi melaksanakan aktifitas secara langsung. Ia hanya menghasilkan rencana- rencana dan bahan-bahan propaganda dan menditribusikannya kepada unit-unit kerja terkait.

Pemerintah pendudukan Jepang sangat berhati-hati dalam mengerahkan staf propaganda baik pusat maupun lokal. Mereka yang terlibat propaganda dalam pemerintahan militer mempunyai latar belakang yang sangat berbeda-beda. Mereka dapat dibagi atas dua kategori. Pertama, para ahli propaganda dan kebanyakan terlibat dalam perencanaan program.

Ke dua adalah para spesialis dalam bidang khusus, yakni reporter dan editor surat kabar yang sebagian besar dari Asahi Shinbun, penulis, novelis, penyair, penulis esai, pemusik, pelukis, penyiar radio, produser film, serta perancang yang biasanya disebut (para spesialisasi di bidang seni) dalam masyarakat Jepang (Kurosawa, 1993). Mereka dikenakan wajib militer untuk berpartisipasi dalam pemerintahan. Wajib militer bagi kaum intelektualitas sipil banyak dilakukan untuk memaksa mereka bekerjasama dengan militer, dan dalam hal ini golongan liberal dan para bekas golongan kiri lebih banyak dikenakan wajib militer dibanding dengan orang-orang yang menunjukan simpati mereka secara terbuka (Nagazumi, 1988).

Di samping memanfaatkan intelektualitas sipil yang terdiri dari golongan liberal dan para bekas golongan kiri. Untuk tujuan militer, praktek ini agaknya juga dimaksudkan untuk menguji kesetiaan, serta semacam indoktrinasi bagi orang-orang yang bersifat ragu-ragu (skeptis) terhadap pemerintah Jepang. Walaupun sebagian dari golongan liberal dan para bekas golongan kiri bekerja untuk mempengaruhi masyarakat Jepang di Indonesia, namun sebagian besar dari mereka melakukan hubungan langsung dengan rakyat Indonesia.

Sebagian dari mereka menguasai sedikit pengetahuan mengenai bahasa Indonesia, tetapi banyak yang mempelajari bahasa ini setibanya mereka di Indonesia."7 Mereka kebanyakan terlibat dalam pengaturan bahan-bahan propaganda dan menjalankan operasi propaganda yang sesungguhnya bersama rekan-rekan mereka dari Indonesia.

Banyak dari Bunkajin atau para spesialisasi di bidang seni ini bergabung dengan kelompok propaganda atas permintaan pribadi Kolone! Machida Keiji. Meskipun seorang militer profesional, Machida memiliki keterikatan yang mendalam terhadap kesusastraan dan tampaknya memiliki hubungan yang sangat luas dengan Bunkajin. Beberapa lainnya, meskipun tidak mengenal Machida secara pribadi, telah didorong oleh rekan-rekannya yang telah memenuhi permintaan Machida untuk turut bergabung. Bunkajin berpikir bahwa Bunkajin dapat bekerja lebih bebas di luar negeri (Indonesia) daripada di Jepang di mana pengawasan yang ketat diberlakukan kepada aktifis-aktifis kreatif (Kurosawa, 1993).

Banyaknya anggota kelompok tersebut menunjukan besarnya harapan militer terhadap mereka. Sendenhan (Kesatuan Propaganda) yang menyertai pendaratan Tentara ke-16 pada bulan Maret 1942, terdiri atas 11 orang perwira, 100 orang prajurit, dan 87 kaum intelektual wajib militer. Sebagian dari Bunkajin kembali ke Jepang, dibebastugaskan setelah bertugas setahun. Tetapi banyak di antara Bunklajin yang secara sukarela tinggal lebih lama, dan pendatang-pendatang baru bermunculan. Kegiatan Bunkajin dalam banyak hal termasuk unik dalam melakukan perang urat syaraf sehingga meninggalkan kesan yang dalam pada masyarakat Indonesia. Yang lebih banyak terpengaruh oleh hubungan dengan rakyat

(4)

Indonesia adalah kaum intelektual. Walaupun sebagian di antara mereka berasal dari pemerintahan militer Jepang, namun mereka tidak seluruhnya terikat di dalamnya, karena aspirasi dan cita-cita mereka sendiri. Mereka sering menjalankan peranan yang berbeda dari garis resmi pemerintahan militer. Banyak orang Jepang yang berasal dari kelompok ini kemudian ikut berjuang dalam mempertahankan Republik Indonesia terhadap serangan Belanda."

Untuk mengarahkan staf Sendenbu yang berkebangsaan Indonesia, pemerintah pendudukan mengadakan pembagian ke dalam dua kategori. Pertama, orang-orang Indonesia direkrut atas dasar atribut seperti karir mereka sebelum perang, orientasi politik, kedudukan dalam masyarakat tradisional, pribadi-pribadi yang kharismatik dan aktif, mempunyai kemampuan berpidato dan guru-guru sekolah lebih diutamakan. Ke-dua, mereka yang memiliki beberapa pengalaman dalam gerakan anti Belanda. Moh. Yamin, merupakan salah satu penasehat bagi Sendenbu. Ia telah aktif dalam gerakan nasionalis anti Belanda sebagai anggota Indonesia Muda dan Partindo dan pernah bekerja sebagai guru sekolah. Staf lainnya adalah Siti Nurjanah yang pernah mengajar pada sebuah sekolah Islam dan pernah aktif dalam gerakan Islam.

Sejak masa awal pendudukan, staf propaganda Jepang dikirim ke ibukota-ibukota Provinsi di Jawa (Jakarta, Bandung. Yogyakarta, Semarang, dan Surabaya) untuk melaksanakan aktifitas propaganda. Kemudian dibentuk sebuah badan lokal yang lebih luas dan terorganisasi rapih yang disebut Unit Operasi Distrik atau Chihokosakutai di kota-kota tersebut di atas dan di kota Malang. Unit-unit Operasi Distrik ini, berada di bawah kendali langsung Sendenbu. Setiap kantor karesidenan memiliki seksi propaganda dan penerangannya sendin." Sekurang-kurangnya satu anggota staf dalam seksi ini adalah orang Jepang yang dikirim dari Jakarta secara khusus. Pada tingkat-tingkat administratif bawah seperti terdapat pe Kabupaten dan Kecamatan, terdapat pejabat-pejabat Indonesia yang bertugas untuk propaganda. Pejabat-pejabat ini tidak bekerja secara khusus untuk propaganda saja, tetapi secara bersamaan melakukan pejabat fungsi lain sebagai pegawai pemerintah lokal. Salah satu contoh propaganda pada tingkat lokal, adalah Yogyakarta.

Komposisi personal dari unit operasi distrik kurang lebih sama dengan kantor pusat di Jakarta. la dikepalai oleh orang Jepang dan dibawahnya terdapat banyak propagandis, baik Jepang maupun Indonesia, staf Jepang biasanya bertanggung jawab untuk perencanaan dan pengawasan, sementara orang Indonesia sebagian besar bekerja penuh pada unit Yogyakarta yaitu dua operator Kamishibai (pertunjukan gambar kertas) empat pelakon Manzai (dialog panggung komik) dan tiga orang yang bertugas untuk penyensoran. Penerbit-penerbit atau pidato- pidato umum harus disensor oleh Sendenbu dan ada staf yang bekerja penuh untuk itu.

Sejumlah besar tenaga honorer dan paruh waktu juga dipekerjakan pada unit propaganda lokal yang akan membantu sewaktu-waktu dengan permintaan khusus. Seca umum pimpinan-pimpinan politik lokal, pemuka-pemuka agama, penyanyi, musisi, aktor,

(5)

dalang, penari, pelawak dan sebagainya sering dimobilisasi untuk operasi-operasi propaganda. Kemashuran dan bakat para penghibur itu dimanfaatkan untuk menarik perhatian rakyat Di Karesidenan Cirebon misalnya, terdapat 33 sukarelawan propagandis yang dipilih oleh residen atau Shuchokan. Masing-masing ditugaskan pada satu subdistrik atau Son, dan mereka ditugaskan untuk memberi penerangan dan tuntunan kepada penduduk lokal secara harian.

Latar belakang budaya dan bahasa dari masyarakat adalah sangat penting dalam menentukan sarana-sarana propaganda. Di Jawa karena tingkat melek hurufnya masih sangat rendah, maka tekanan diberikan kepada media audio-visual (pendengaran dan penglihatan) seperti film, seni pertunjukan, kamishibai, musik, radio, dan poster. Bahasa Indonesia merupakan bahasa standar untuk semua bahan propaganda yang diciptakan di Jawa. Hal ini dikarenakan pihak pendudukan Jepang telah menghapus bahasa Belanda dan "bahasa musuh lainnya di Indonesia, di samping keinginan untuk menjadikan bahasa Jepang sebagai bahasa komunikasi masih sangat jauh dari harapan. Karena penguasaan bahasa Indonesia sebagian masyarakat pedesaan Indonesia sangat terbatas, maka alternatif berikutnya adalah menggunakan bahasa daerah yakni bahasa Jawa dan Sunda. Orang-orang Jepang harus menerjemahkan kembali dari bahasa Indonesia ke bahasa-bahasa lokal agar kegiatan propaganda menjadi efektif. Barangkali di sinilah peran penting dari para seniman dan sastrawan daerah yang direkrut dalam Sendenbu. Sedangkan isi dari tema-tema propaganda yang tak yang dikeluarkan bagi masing- masing anggaran berbeda dari tahun ke tahun.

Hasil-hasil dari kegiatan propaganda sukar sekali diukur. Keberhasilan mencapai suatu tujuan agaknya bisa diukur dari banyaknya orang yang dapat digerakkan di bawah suatu slogan tersebut, tetapi tidak ada cara untuk mengukur intensitas dukungan rakyat Tugas ini membutuhkan lebih banyak emosi daripada rasio, dan lebih banyak imajinasi daripada perencanaan. Para pegawainya pun harus meyakinkan diri mereka sendiri lebih dahulu bahwa suatu tema propaganda tertentu adalah benar dan perlu sebelum mereka dapat membujuk orang lain.

Namun demikian dalam mempertimbangkan dampak propaganda Jepang harus dibedakan antara reaksi kaum intelektual perkotaan dan dari masyarakat yang tidak berpendidikan. Orang-orang yang terdidik umumnya memperoleh informasi dengan baik tentang masalah dunia dan menambah pengetahuan yang akan memberi dasar kepada mereka untuk penilaian yang lebih rasional dari pesan-pesan propaganda. Sedangkan dari masyarakat yang tidak terdidik dan kurang memperoleh informasi, cenderung menerima propaganda sebagai nilai utama. Jadi sasaran propaganda yang ditujukan kepada generasi muda nampaknya lebih efektif dan mengena kepada masyarakat yang tidak berpendidikan, terutama yang hidup di daerah pedesaan dan terisolasi dari sumber- sumber informasi lainnya.

B. Slogan-Slogan dalam Propaganda Jepang

Namun demikian dalam mempertimbangkan dampak propaganda Jepang harus dibedakan antara reaksi kaum intelektual perkotaan dan dari masyarakat yang tidak berpendidikan. Orang-orang yang terdidik umumnya memperoleh informasi dengan baik tentang masalah dunia dan menambah pengetahuan yang akan memberi dasar kepada mereka untuk penilaian yang lebih rasional dari pesan-pesan propaganda. Sedangkan dari masyarakat

(6)

yang tidak terdidik dan kurang memperoleh informasi, cenderung menerima propaganda sebagai nilai utama. Jadi sasaran propaganda yang ditujukan kepada generasi muda nampaknya lebih efektif dan mengena kepada masyarakat yang tidak berpendidikan, terutama yang hidup di daerah pedesaan dan terisolasi dari sumber- sumber informasi lainnya.

Sebagai tuntunan pelaksanaan propaganda di Jawa, pemerintah militer Jepang menggunakan ideologi. Pemerintah Jepang harus menumbuhkan image rakyat, bahwa bangsa Amerika, Inggris, dan Belanda datang ke Asia hanya untuk menindas dan mengeksploitasi rakyat di wilayah itu guna memperoleh keuntungan bagi mereka sendiri. Sebagai akibatnya, sebagian besar Asia Timur, termasuk Indonesia, menjadi daerah perluasan kekuasaan Eropa dan selama berabad-abad bangsa Asia mengalami pemerasan ekonomi. Jepang adalah satu- satunya bangsa yang berhasil mengusir imperialisme Barat dan menjanjikan kemerdekaan .

“Misi Suci Nippon” adalah untuk membebaskan bangsa-bangsa lain di Asia Timur dari penjajahan Barat. Tujuannya adalah untuk menghapuskan pengaruh Barat di Asia Timur, dan membangun suasana kesejahteraan yang baru untuk seluruh rakyat Asia Timur sebagai satu kesatuan keluarga besar. Citacita ini hanya dapat dicapai, jika rakyat Asia Timur mengakui kepemimpinan Jepang dan memusatkan seluruh sumber daya untuk bekerjasama dengan Jepang guna memperoleh kemenangan dalam peperangan melawan kekuasaan sekutu. Tanpa kemenangan dalam perang Asia Timur Raya itu, keberhasilan usaha-usaha rakyat tidak akan tercapai. Kerjasama untuk pembangunan Asia Timur Raya tidak hanya dilakukan dalam bidang politik, militer, dan ekonomi, tetapi juga kebudayaan (Zorab, 1954: 98, lihat juga KAN PO No. 14, bulan 3-2603).

Untuk kepentingan propagandanya, Jepang menciptakan slogan-slogan bagi bangsa- bangsa di Asia yang ketika itu masih dalam belenggu penjajahan bangsa Barat. Slogan yang sangat terkenal “Asia untuk bangsa Asia” merupakan spirit propaganda Jepang yang sangat berpengaruh, sementara propaganda “Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya” menjanjikan masa depan yang lebih baik. Slogan yang lebih menarik lagi yaitu Hakko Itjiu yang diartikan sebagai “satu untuk semua dan semua untuk satu” (Graaf, 1960: 194), meskipun di balik itu sesungguhnya Jepang ingin menyatukan seluruh dunia di bawah satu atap kekuasaannya.

C. Metode Penyebarluasan Propaganda Jepang

Sesuai dengan tujuannya untuk memobilisasi tenaga kerja guna memperkuat pertahanan Jepang dalam perang Asia Timur Raya, metode propaganda Jepang di Jawa dapat diperinci sebagai berikut. (1) Di setiap ibukota dan di kota-kota keresidenan diadakan rapat- rapat umum untuk menyiarkan propaganda. (2) Di perusahaan-perusahaan atau di pabrik- pabrik diadakan pertemuanpertemuan dengan mengundang semua karyawan. (3) Dalam setiap pemerintahan daerah harus dibentuk korps propaganda untuk perekrutan romusha (pekerja). Korps ini harus dapat mengobarkan semangat kerja bagi penduduk melalui pidato, penayangan film dan pergelaran sandiwara, pertunjukan wayang dan gamelan. Korps propaganda ini harus juga melakukan perjalanan ke daerah-daerah paling sedikit tiga kali dalam sebulan. Biaya perjalanan untuk propaganda ditanggung oleh Dinas Tenaga Kerja dan Seksi Komite Bantuan untuk perekrutan tenaga kerja. (4) Setiap pemerintah daerah diwajibkan untuk memberi izin penyelenggaraan rapat-rapat tentang peningkatan keinginan kerja penduduk dan perekrutan romusha. (5). Surat kabar dan majalah diwajibkan untuk memuat tulisan atau artikel yang dapat meningkatkan keinginan kerja penduduk dan

(7)

memperlancar perekrutan romusha. (6) Pada tanggal 1, 10, dan 20 setiap bulan radio harus menyiarkan berita bahwa seluruh penduduk harus bekerja. Pada tanggal-tanggal tersebut penduduk diminta untuk berkumpul di tempat-tempat propaganda. Dalam rapat-rapat propaganda itu, penduduk diwajibkan untuk mendengarkan pidato, pengumuman, dan nasihat tentang pentingnya peningkatan keinginan kerja. (7) Di tempat-tempat propaganda itu harus diputar film tentang kerja. Selama istirahat harus ditayangkan contoh-contoh dan ilustrasi. (8) Dinas Tenaga Kerja diwajibkan untuk mengadakan perlombaan pembuatan ceritera film. Para pemenang akan mendapat hadiah dan lembaga perfilman Jepang harus membuat filmnya, yang kemudian harus dipertontonkan untuk penduduk di Jawa. Juga nyanyiannyanyian yang menang akan diiringi musik dan dinyanyikan di sekolah-sekolah, pabrik-pabrik, dan perusahaan-perusahaan lainnya. Semua pelaksanaan ini harus disiarkan melalui radio, surat kabar, majalah, dan juga melalui plakat-plakat dengan semboyan-semboyan yang menarik.

(9) Sebagai penghargaan bagi keluarga-keluarga yang ditinggalkan oleh para pekerja yang dikirim ke luar Jawa, pemerintah daerah harus menandai rumahrumah mereka dengan tanda pengenal. Penduduk harus diberitahu bahwa rumahrumah yang diberi tanda pengenal tersebut harus dijaga secara baik. (10) Pemberangkatan romusha (pekerja) harus dirayakan. Bupati, pejabat lainnya, dan organisasi wanita harus hadir dalam perayaan tersebut untuk melepas para pekerja yang akan diberangkatkan. Perayaan tersebut dimeriahkan dengan musik dan disemangati dengan lambaian bendera (Graaf, dkk., 1960:196-197).

KESIMPULAN

Ada beberapa faktor pendorong kehadiran kekuasaan militer Jepang di negeri ini.

Pertama, ideologi fasis Jepang, yang mencakup Hakko Itjiu dan The Imperial Way. Ideologi ini menguatkan semangat Jepang untuk menguasai seluruh penjuru dunia di bawah kekuasaan Jepang. Bagi Jepang, Indonesia memiliki posisi geografis, ekonomis, dan politis yang strategis untuk mendukung kepentingan perangnya melawan kolonialisme Barat yang ketika itu masih meluas di Asia. Kedua, kondisi rakyat Indonesia yang masih dalam belenggu penjajahan Belanda, sebagai faktor akselerasi pembentukan kekuasaan militer Jepang di Indonesia. Ketiga, propaganda Jepang yang sangat sistematis dan intensif untuk mempengaruhi rakyat Jawa agar dapat membantu Jepang untuk memenangkan perang melawan Sekutu. Sistem propaganda dipersiapkan secara solid dari tingkat pemerintahan pusat sampai ke daerah. Lembaga-lembaga, metode, materi, spirit, dan kemasan materi propaganda merupakan jaringan integral yang dikontrol secara ketat dengan pemberlakuan undang-undang yang sangat mengikat kebebasan arus komunikasi. Banyak materi propaganda dikemas dalam bentuk kesenian, seperti puisi, prosa, nyanyian, film, dan sandiwara. Pengemasan propaganda dalam bentuk kesenian sangat diutamakan oleh Jepang, karena kesenian dengan nilai entertaining-nya dapat mengurangi kesadaran khalayak bahwa mereka telah diindoktrinasi.

DAFTAR PUSTAKA

Graaf, H.J. (dkk.) (1960). Nederlandsch-Indië onder Japanse Bezetting Gegevens en Documenten over de Jaren 1942-1945. Franeker: Uitgave T. Wever.

Kurasawa, Aiko. (1987). "Propaganda Media On Java Under the Japanese 1942-1945"

dalam Indonesia No. 44, Oktober 1997. ___. 1993. Mobilisasi dan Kontrol, Studi tentang Perubahan Sosial di Pedesaan Jawa 1942-1945. Jakarta: Gramedia.

(8)

Notosusanto, Nugroho. (1979). Tentara Peta Pada Jaman Pendudukan Jepang di Indonesia.

PT Gramedia, Jakarta.

Nagazumi, Akira. (1988). Pemberontakan Indonesia pada Masa Pendudukan Jepang.

Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, hal. 9-8.

Benda, H. J. (1956). The Beginnings of the Japanese Occupation of Java. The Far Eastern Quarterly, 15(4), 541-560.

Anderson, Ben. (1988). Revolusi Pemuda Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944-1946. Diterjemahkan oleh Jiman Rumbo. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Soetanto, Soetopo. (1992) Sistem Propaganda Jepang Melalui Penerbitan. Makalah disajikan untuk symposium sejarah Indonesia modern di LIPI pada tanggal 9-11 Maret 1992.

Inawati. 1991. Sejarah Pariwisata di Indonesia (1910-Pelita I). Skripsi Fakultas Sastra Universitas Indonesia.

Kodhyat, H. 1996. Sejarah Pariwisata dan Perkembangannya di Indonesia. (Jakarta:

Grasindo).

Lohanda, Mona. 1998. Sumber Sejarah dan Penelitian Sejarah. (Depok: Pusat Penelitian dan Kemasyarakatan dan Budaya Lembaga Penelitian Universitas Indonesia).

Referensi

Dokumen terkait

The TF of cadmium and zinc in high-level treatment exhibited 40-50% decreasing ratio compared to low-level treatment, suggesting that increasing metal supply