• Tidak ada hasil yang ditemukan

ARTIKEL SEJARAH KERAJAAN SRIWIJAYA

N/A
N/A
Shuura

Academic year: 2023

Membagikan "ARTIKEL SEJARAH KERAJAAN SRIWIJAYA"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

ARTIKEL SEJARAH KERAJAAN SRIWIJAYA

Disusun oleh :

1. Adrian Rulanza Pradana / 02 2. Ariel Sharon Numberi / 06

3. Pinkky Regita Olivia / 23 4. Pramayoga Wara Mugraha / 24

5. Raissa Zafirah / 26

SMA NEGERI 4 MALANG JANUARI 2023

(2)

K

erajaan Sriwijaya (atau juga dikata Srivijaya; Thai: ศรีวิชัย atau "Ṣ̄rī wichạy") merupakan salah satu kemaharajaan bahari yang pernah berdiri di pulau Sumatera dan banyak memberi pengaruh di Nusantara dengan daerah kekuasaan membentang dari Kamboja, Thailand Selatan, Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa, dan pesisir Kalimantan. Dalam bahasa Sansekerta, sri faedahnya "bercahaya" atau "gemilang", dan wijaya faedahnya

"kemenangan" atau "kejayaan", karenanya nama Sriwijaya bermakna

"kemenangan yang gilang-gemilang". Bukti awal mengenai keberadaan kerajaan ini bersumber dari zaman ke-7; seorang pendeta Tiongkok, I Tsing, di dalam bukunya yang berjudul The Buddhist Religion as Practised In India And The Malay Archipelago menulis bahwa ia mengunjungi Sriwijaya tahun 671 dan tinggal selama 6 bulan dan pada saat itu Kerajaan Sriwijaya menjadi pusat pembelajaran agama Buddha Mahayana di seluruh wilayah Asia Tenggara dan telah membangun jaringan pembelajaran agama Buddha hingga India.

Sejarah Berdirinya Sriwijaya

Tahun 1892. Sebuah prasasti ditemukan di Kampung Kota Kapur, Desa Penagan, Kecamatan Mendo Barat, Kabupaten Bangka. Prasasti itu ditulis dalam huruf Pallawa dan bahasa Melayu Kuno. Bertanggal 28 Februari, tahun 686 Masehi. Di antara baris-baris tulisannya terdapat beberapa kata yang dibaca sebagai

"Sriwijaya". Entah kenapa, 20 tahun lebih kata tersebut tidak mendapat perhatian, hingga kemudian tahun 1913, ahli purbakala Belanda, Hendrik Kern, memunculkannya kembali. Ia menafsirkan "Sriwijaya" sebagai nama seorang raja:

Raja Wijaya. Alasannya, "Sri" dalam sejarah kuno Indonesia lazim dipakai untuk menyebut nama seorang raja. Benarkah? Masih misteri. Semakin menarik, kata

"Sriwijaya" temyata terdapat pula pada Prasasti Kedukan Bukit (682 Masehi), yang ditemukan pada tanggal 29 November 1920. Jauh setelah penemuan Prasasti Kota Kapur.

Lima tahun setelah penafsiran Kern, barulah diperoleh titik terang soal kata

"Sriwijaya". Peneliti berkebangsaan Perancis, George Coedes, secara gemilang berhasil mengidentifikasikan "Sriwijaya" sebagai sebuah kerajaan -dalam bentuk kadatuan (kumpulan para datu). Kerajaan tersebut pernah disebut-sebut dalam kronik-kronik Tiongkok, atau catatan perjalanan musafir Tiongkok dan Arab. Di sini Coedes, membantah Kern. Menurut Coedes, di depan kata "Sriwijaya", pada

(3)

Prasasti Kota Kapur, terdapat beberapa kata seperti kadatuan (kerajaan), datu (raja), atau walla (tentara). Prasasti Ligor atau Vat Semamuang, yang ditemukan di Nakhon Si Thammarat, di selatan Thailand, pun jelas menyebutkan "Sriwijaya"

sebagai kerajaan. Di situ tertulis kata "Sriwijayendraja" yang berarti raja Sriwijaya. Sementara dalam sebuah prasasti yang dikeluarkan raja India, Raja I, pada tahun 1006 Masehi--yang dikenal dengan sebutan Piagam Leiden-tertulis nama "Marawijayatunggawarman" sebagai raja Sriwijaya dan Kataha (Kedah).

Diketahui, Prasasti Kedukan Bukit merupakan prasasti tertua yang ditulis dalam bahasa Melayu. Para pakar berpendapat bahwa prasasti ini mengadaptasi ortografi India untuk menulis prasasti ini. Telah diketahui pasti, pendiri Kadatuan Sriwijaya adalah Dapunta Hyang. Namanya disebut dalam Prasasti Kedukan Bukit. Nama lengkapnya, seperti yang tertulis pada Prasasti Talang Tuo, Dapunta Hyang Sri Jayanasa. Beliau inilah yang memimpin rombongannya dalam ekspedisi menaklukan beberapa wilayah dan kemudian membangun sebuah wanua baru di Desa Kedukan Bukit. Beliau pula yang memerintahkan rakyatnya untuk membangun Taman Sriksetra di Desa Talang Tuo, Kecamatan Talang Kelapa, di sebelah barat laut Palembang, dengan penanaman berbagai jenis tanaman tertentu yang buahnya dapat dimakan, demi kebahagiaan semua makhluk hidup. Dapat diketahui pula, Dapunta Hyang adalah seorang Melayu yang beragama Buddha.

Prasasti-prasasti yang dikeluarkannya, semuanya berbahasa Melayu Kuno. Dalam Prasasti Kedukan Bukit, sebagaimana penafsiran ahli epigrafi Boechari, diceritakan, beliau merayakan Waisak di sebuah kuil Buddhis sebelum melakukan ekspedisinya.

Pada pertengahan abad ke-7 Masehi, ditemukan Prasasti Telaga Batu. Tertulis dalam huruf Pallawa dan bahasa Melayu Kuno. Inilah satu-satunya prasasti yang memberikan informasi cukup lengkap tentang struktur pemerintahan, termasuk nama-nama jabatan di Kerajaan Sriwijaya. Berdasarkan Prasasti Telaga Batu, pemerintahan Sriwijaya ternyata berbentuk kadatuan, "kumpulan para datu".

Artinya, Sriwijaya adalah kadatuan yang terdiri dari sejumlah mandala atau provinsi.

Mandala-mandala tadi membentuk semacam federasi yang diketuai oleh seorang datu. Ia bisa dipilih dari yuwaraja (putera mahkota), pratiyuwaraja (putera tingkat kedua), atau rajakumara (putera tingkat ketiga). Datu ini selanjutnya membawahi beberapa jabatan yang berasal dari kalangan awam. Misalnya, parvvanda (pemimpin para hulubalang), senapati (panglima), nayaka (bendahara), pratiaya (tumenggung) atau dandanayaka (hakim). Di bawah mereka ada lagi jabatan- jabatan yang lebih rendah, seperti murdhaka (penghulu), adhyaksa nicayarna (jaksa), tuhan watak wurah (kepala perdagangan atau pertukangan) dan beberapa jabatan profesional. Mereka semua inilah yang disumpah oleh datu Sriwijaya, pemimpin para datu, agar tetap setia pada kadatuan.

(4)

Menyusul Prasasti Kota Kapur, Karang Berahi, dan Kedukan Bukit, sembilan prasasti lagi terkait Sriwijaya, juga ditemukan. Lima di antaranya ditemukan di wilayah Palembang, yaitu Prasasti Talang Tuo yang berangka tahun 684 Masehi, serta Prasasti Telaga Batu, Boom Baru, Kambang Unglen I dan Kambang Unglen II (dari sekitar akhir abad ke-7 Masehi). Sementara empat prasasti lainnya adalah:

Prasasti Pasemah (abad ke-7 Masehi) ditemukan di daerah Kalianda, Lampung Selatan; Prasasti Bungkuk, di daerah Jabung, Lampung Tengah; Prasasti Ligor atau Vat Semamuang (abad ke-8 Masehi), di selatan Thailand; serta Prasasti Nalanda (abad ke-9 Masehi), di Negara Bagian Bihar, India Timur. Kecuali Prasasti Ligor yang berhuruf Pallawa dan berbahasa Sansekerta, serta Prasasti Nalanda yang berhuruf Dewanagari dan berbahasa Sansekerta, semua prasasti Sriwijaya yang ditemukan di Sumatera menggunakan huruf Pallawa dan bahasa Melayu Kuno. Dan umumnya, berisi tentang persumpahan.

Ada beberapa teori yang dikemukakan. Yang satu mengatakan, lokasinya di Jambi. Yang lainnya menyebut di Palembang. Bahkan ada pula yang bersikukuh di Kedah, Malaysia, atau di Chaiya, Thailand. Dari berbagai pendapat itu, Palembang tampaknya lebih meyakinkan. Sebagian besar prasasti masa Sriwijaya ditemukan di daerah Palembang. Terlebih lagi prasasti tertua Sriwijaya, Prasasti Kedukan Bukit (682 Masehi), ditemukannya juga di Palembang, di tepi Sungai Kedukan yang bermuara di Sungai Musi. Prasasti Kedukan Bukit dikeluarkan pada tanggal 16 Juni 682 Masehi. Intinya menceritakan tentang pembangunan sebuah wanua (perkampungan) oleh Dapunta Hyang setelah meraih kemenangan, menaklukan beberapa wilayah dalam ekspedisinya yang disebut sebagai

“Perjalanan Suci” atau Mangalap Siddhayatra, dari sebuah tempat yang bernama Minanga Tamwan Wanua baru itu kemudian dianggap berkembang menjadi pusat Kadatuan Sriwijaya, di Palembang, sebagaimana lokasi penemuan Prasasti Kedukan Bukit. Penetapan hari lahir Kota Palembang, tanggal 16 Juni, mengacu pada teori “Datang ke Palembang” ini.

Bahwa pusat pemerintahan Kadatuan Sriwijaya itu berada di Palembang, ditepian Sungai Musi, tampaknya sudah menjadi pendapat yang cukup diterima. Daerah di sepanjang aliran Sungai Musi, disekitar Palembang, sesungguhnya bukanlah tempat yang nyaman untuk dihuni. Di utara SungaiMusi, titik tertingginya adalah Bukit Siguntang. Namun daerah di selatan bukit tersebut hinggatepian utara Sungai Musi--dibagian wilayah inilah ditemukan banyak jejak pemukiman-- adalahrawa-rawa. Bagian tepian selatan Sungai Musi lebih parah lagi. Sebagian besarnya merupakandaerah rawa-rawa yang lebih dalam. Wilayah Palembang umumnya merupakan dataran aluvialsebagai akibat pengendapan material pelapukan Bukit Barisan oleh Sungai Musi pada kalaHolosen.

Bila kita memahami karakter bahari-maritim orang Melayu, kondisi tanah berawa seperti itu tentu bukanlah sebuah masalah. Asalkan lokasinya, dekat sungai dan

(5)

berhubungan dengan laut. Mereka dapat beradaptasi. Menyiasatinya dengan pemukiman di atas rawa --dengan bangunan-bangunan kayu berkolong atau rumah panggung. Bagi mereka yang paling penting Palembang, dengan Sungai Musi-nya, adalah titik penghubung pedalaman-pesisir yang strategis bagi aktivitas perdagangan. Namun bisa jadi, Dapunta Hyang juga memiliki pertimbangan lain.

Daerah perbukitan di utara, dan daerah berawa di selatan, merupakan benteng alami yang ideal bagi maksud-maksud pertahanan.

Alasan strategis tampaknya juga harus menjadi pertimbangan. Dapunta Hyang harus diakui sebagai pemimpin yang taktis. Palembang adalah lokasi yang strategis bagi Sriwijaya untuk mengembangkan kekuasaannya. Dari Palembang, Melayu dan pelabuhan pentingnya saat itu akan mudah dicapai untuk dapat dikuasainya. Palembang pun akan menjadi pintu masuk bagi lalu lintas pelayaran niaga yang menuju kawasan timur Nusantara.

Sebagai kerajaan yang bercorak maritim, perekonomian Sriwijaya utamanya dititik-beratkan pada sektor perdagangan laut. Sriwijaya berkembang karena menguasai jalur Selat Malaka. Pada saat itu, aktivitas pelayaran niaga internasional yang melewati Selat Malaka, yang menghubungkan Tiongkok dan India, memang sedang menggeliat. Di sinilah kemudian terlihat peran penting Sungai Musi bagi Kerajaan Sriwijaya. Sungai Musi adalah jalur utama penghubung pedalaman-pusat-pesisir. Lewat Sungai Musi, kebutuhan komoditi dari wilayah pedalaman dapat diangkut dengan perahu, melalui pusat kerajaan, dan menuju pelabuhan laut. Begitu pula sebaliknya.

Sesuai prasasti Kota Kapur yang berangka tahun 686 ditemukan di pulau Bangka, kemaharajaan ini telah menguasai bidang selatan Sumatera, pulau Bangka dan Belitung, hingga Lampung. Prasasti ini juga menyebutkan bahwa Sri Jayanasa telah melancarkan ekspedisi militer untuk menghukum Bhumi Jawa yang tidak berbakti kepada Sriwijaya, peristiwa ini bersamaan dengan runtuhnya

Tarumanagara di Jawa Barat dan Holing (Kalingga) di Jawa Tengah yang probabilitas akbar dampak serangan Sriwijaya. Probabilitas yang dimaksud dengan Bhumi Jawa merupakan Tarumanegara. Sriwijaya tumbuh dan sukses mengendalikan jalur perdagangan maritim di Selat Malaka, Selat Sunda, Laut China Selatan, Laut Jawa, dan Selat Karimata.

Ekspansi kerajaan ini ke Jawa dan Semenanjung Malaya, menjadikan Sriwijaya mengendalikan dua pusat perdagangan utama di Asia Tenggara. Sesuai observasi, ditemukan reruntuhan candi-candi Sriwijaya di Thailand dan Kamboja. Di zaman ke-7, pelabuhan Champa di sebelah timur Indochina mulai mengalihkan banyak pedagang dari Sriwijaya. Untuk mencegah hal tersebut, Maharaja Dharmasetu melancarkan beberapa serangan ke kota-kota pantai di Indochina. Kota Indrapura di tepi sungai Mekong, di awal zaman ke-8 berada di bawah kemudi Sriwijaya.

(6)

Sriwijaya meneruskan dominasinya atas Kamboja, hingga raja Khmer

Jayawarman II, pendiri kemaharajaan Khmer, memutuskan hubungan dengan Sriwijaya pada zaman yang sama. Di kesudahan zaman ke-8 beberapa kerajaan di Jawa, diantaranya Tarumanegara dan Holing berada di bawah kekuasaan

Sriwijaya. Menurut catatan, pada masa ini pula wangsa Sailendra bermigrasi ke Jawa Tengah dan berkuasa disana. Di zaman ini pula, Langkasuka di

semenanjung Melayu dijadikan bidang kerajaan. Di masa berikutnya, Pan Pan dan Trambralinga, yang terletak di sebelah utara Langkasuka, juga berada di bawah pengaruh Sriwijaya.

Setelah Dharmasetu, Samaratungga dijadikan penerus kerajaan. Ia berkuasa pada periode 792 hingga 835. Tidak seperti Dharmasetu yang ekspansionis,

Samaratungga tidak melakukan ekspansi militer, tetapi lebih memilih untuk memperkuat penguasaan Sriwijaya di Jawa. Selama masa kepemimpinannya, ia membangun candi Borobudur di Jawa Tengah yang selesai pada tahun 825.

Beberapa prasasti Siddhayatra zaman ke-7 seperti Prasasti Talang Tuwo menggambarkan ritual Budha untuk memberkati peristiwa penuh berkah yaitu peresmian taman Sriksetra, anugerah Maharaja Sriwijaya untuk rakyatnya.

Prasasti Telaga Batu menggambarkan kerumitan dan tingkatan posisi pejabat kerajaan, sementara Prasasti Kota Kapur menyebutkan keperkasaan balatentara Sriwijaya atas Jawa. Semua prasasti ini memakai bahasa Melayu Kuno, leluhur bahasa Melayu dan bahasa Indonesia modern. Sejak zaman ke-7, bahasa Melayu kuno telah digunakan di Nusantara. Ditandai dengan ditemukannya berbagai prasasti Sriwijaya dan beberapa prasasti berbicara Melayu Kuno di tempat lain, seperti yang ditemukan di pulau Jawa. Hubungan dagang yang diterapkan berbagai suku bangsa Nusantara dijadikan wahana penyebaran bahasa Melayu, karena bahasa ini dijadikan peralatan komunikasi untuk kaum pedagang. Sejak masa itu, bahasa Melayu dijadikan lingua franca dan digunakan secara meluas oleh banyak penutur di Kepulauan Nusantara.

Meskipun dikata memiliki daya ekonomi dan keperkasaan militer, Sriwijaya hanya meninggalkan sedikit tinggalan purbakala di jantung negerinya di Sumatera. Sangat berlainan dengan episode Sriwijaya di Jawa Tengah masa kepemimpinan wangsa Syailendra yang banyak membangun monumen besar;

seperti Candi Kalasan, Candi Sewu, dan Borobudur. Candi-candi Budha yang bersumber dari masa Sriwijaya di Sumatera diantaranya Candi Muaro Jambi, Candi Muara Takus, dan Biaro Bahal. Akan tetapi tidak seperti candi periode Jawa Tengah yang terbuat dari batu andesit, candi di Sumatera terbuat dari bata merah.

(7)

Beberapa arca-arca bersifat Budhisme, seperti berbagai arca Budha yang ditemukan di Bukit Seguntang, Palembang, dan arca-arca Bodhisatwa Awalokiteswara dari Jambi, Bidor, Perak dan Chaiya, dan arca Maitreya dari Komering, Sumatera Selatan. Semua arca-arca ini menampilkan keanggunan dan langgam yang sama yang dikata "Seni Sriwijaya" atau "Langgam/Gaya Sriwijaya"

yang memperlihatkan kemiripan—mungkin diilhami— oleh langgam Amarawati India dan langgam Syailendra Jawa (sekitar zaman ke-8 hingga ke-9)

Raja-raja yang pernah memimpin

Setelah mengetahui bahwa Raja Sriwijaya yang pertama adalah Dapunta Hyang atau Sri Jayanasa (671-728 M) yang didasarkan pada sebuah catatan dari I Tsing dan catatan dari dua prasasti yakni prasasti Talang Tuo dan Kedukan Bukit.

Pada catatan I Tsing dan prasasti tersebut menyebutkan bahwa nama Dapunta Hyang Sri Jayanasa adalah seorang yang diangkat sebagai raja di kerajaan Sriwijaya setelah melakukan perjalanan suci atau biasa dikenal Siddhayatra memakai sebuah perahu.

Struktur genealogis raja-raja di Sriwijaya banyak yang terputus dan hanya didukung oleh beberapa bukti yang dianggap kurang kuat. Berikut adalah nama- nama raja yang diduga kuat pernah memerintah kerajaan Sriwijaya :

1. Indrawarman (702 M)

2. Rudra Wikrama (728-742 M) 3. Sangramadhananjaya (775 M)

4. Dharanindra/Rakai Panangkaran (778 M) 5. Samaragrawira/Rakai Warak (782 M) 6. Dharmasetu (790 M)

7. Samaratungga/Rakai Garung (792 M) 8. Balaputradewa (856 M)

9. Sri Udayadityawarman (960 M)

10. Sri Wuja atau Sri Udayadityan (961 M) 11. Hsiae-she (980 M)

12. Sri Cudamaniwarmadewa (988 M) 13. Malayagiri/Suwarnadwipa (990 M) 14. Sri Marawijayottunggawarman (1008 M) 15. Sumatrabhumi (1017 M)

16. Sri Sanggrama Wijayatunggawarman (1025 M) 17. Sri Dewa (1028 M)

18. Dharmawira (1064 M)

(8)

19. Sri Maharaja (1156 M)

20. Trailokyaraja Maulibhusana Warmadewa (1178 M)

Dari sumber-sumber temuan yang telah didapat baik sumber asing maupun sumber dalam, kemudian ternyata telah didapat nama-nama Raja terkenal dari Kerajaan Sriwijaya, kesemuanya berjumlah 11 Raja, adapun penjelasnya adalah sebagai berikut:

1. Dapunta Hyang Sri Jayanasa (Prasasti Kedukan Bukit 683 M, Prasasti Talangtuo 684 M)

Berita mengenai raja ini diketahui dari Prasasti Kedukan Bukit tahun 683 M dan Prasasti Talangtuo tahun 684 M. Pada masa pemerintahannya, Raja Dapunta Hyang Sri Jayanasa telah berhasil memperluas wilayah kekuasaannya sampai ke wilayah Minangatamwan, Jambi. Sejak awal pemerintahannya, Raja Dapunta Hyang telah mencita-citakan agar Kerajaan Sriwijaya menjadi kerajaan maritim.

2. Sri Indrawarman (Berita Arab Dan Cina, 724 M)

Sri Indrawarman Gaungnya menjadi terkenal karena Raja ini dikisahkan pernah berkirim Surat Kepada Kekhalifahan Muawiyah dalam surat tersebut Raja Sri Indrawarman meminta kepada penguasa Islam pada waktu itu agar sudi

mengirimkan pendakwah Islam ke Sriwijaya. Selain berkirim Surat ke Penguasa Islam. Raja ini juga tercatat pernah mengirimkan surat pada kekaisaran Cina adapun tujuanny adalah menjalin persahabatan.

3. Rudrawikrama (Berita Cina, 728 M)

Raja ini dikenal melalui Kabar dari Cina karena disebutkan pada tahun 728 mengirimkan utusan ke Cina dalam rangka menjalin persahabatan.

4. Wishnu (Prasasti Ligor, 775 M)

Raja Wisnu dipercaya sebagai Raja Jawa (Medang) dari Wangsa Sailendara yang menaklukan Sriwijaya, kemudian ia mengangkat dirinya sebagai Raja di

Sriwijaya. Nama Raja Winsu ditemukan pada prasasti ligor di Semenanjung Malaysia, hal tersebut menurut para ahli menandakan bahwa kekuasaan Sriwijaya pada masa Raja ini hingga ke Semenanjung Malaysia.

5. Maharaja (Berita Arab, 851 M)

Raja ini adalah Raja kedua dari Kerajaan Sriwijaya yang diduga mengirimkan surat ke Kekhalifahan Dinasti Abasiyah, tujuannya menjalin persahaban dan pengiriman pendakwah Islam ke Sriwijaya.

6. Balaputradewa (Prasasti Nalanda, 860 M)

Pada masa pemerintahan Balaputradewa, Kerajaan Sriwijaya mengalami masa kejayaannya. Pada awalnya, Raja Balaputradewa adalah raja dari kerajaan Syailendra (Jawa Tengah). Ketika terjadi perang saudara di Kerajaan Syailendra,

(9)

antara Balaputradewa dan Pramodhawarni (kakaknya) yang dibantu oleh Rakai Pikatan (Dinasti Sanjaya), Balaputradewa mengalami kekalahan. Akibat kekalahan itu, Raja Balaputradewa lari ke Sriwijaya. Di Kerajaan Sriwijaya berkuasa Raja Dharma Setru (kakak dari ibu Balaputradewa) yang tidak memiliki keturunan, sehingga kedatangan Raja Balaputradewa disambut baik. Kemudian ia diangkat menjadi raja.

7. Sri Udayaditya Warmadewa (Berita Cina, 960 M)

Raja ini muncul berdasarkan catatan kekaisaran Cina dinsati Song, dalam catatan tersebut Seorang Raja bernama Sri Udayaditya Warmadewa mengirimkan utusan ke Cina sebagai tanda persahabatan pada tahun 960 M.

8. Sri Udayaditya (Berita Cina, 962 M)

Raja ini muncul berdasarkan catatan kekaisaran Cina dinsati Song, dalam catatan tersebut Seorang Raja bernama Sri Udayaditya mengirimkan utusan ke Cina sebagai tanda persahabatan pada tahun 962 M. Sebagai Kelanjutan dari pengiriman utusan pada periode Raja sebelumnya.

9. Sri Cudamaniwarmadewa (Berita Cina, 1003. Prasasti Leiden, 1044 M) Raja Ini dikenal melalui berita Cina yang menyatakan pada masa Raja Ini,

mendirikan sebuah Candi yang didedikasikan untuk Maharaja Cina, selain itu juga Atiśa, seorang sarjana Buddha asal Benggala yang berperan dalam

mengembangkan Buddha Vajrayana di Tibet, dalam kertas kerjanya

Durbodhāloka menyebutkan bahwa karyanya tersebut dituliskan pada masa

pemerintahan Sri Cudamanivarmadeva penguasa Sriwijayanagara di Malayagiri di Suvarnadvipa. Raja ini juga dikenal dari Prasasti Leiden yang menyebut-nyebut nama Raja ini.

10. Maraviyatunggawarman (Prasasti Leiden, 1044 M)

Raja ini juga dikenal dari Prasasti Leiden yang menyebut-nyebut nama Raja ini.

Kedalam deretan Raja-Raja yang pernah memerintah Sriwijaya.

11. Sri Sanggrama Wijayatunggawarman (Prasasti Chola, 1004 M)

Pada masa pemerintahannya, Sriwijaya mengalami ancaman dari Kerajaan Chola.

Di bawah Raja Rajendra Chola, Kerajaan Chola melakukan serangan dan berhasil merebut Kerajaan Sriwijaya. Sanggrama Wijayatunggawarman berhasil ditawan.

Namun, pada masa pemerintahan Raja Kulottungga I di Kerajaan Chola, Raja Sanggrama Wijayatunggawarman dibebaskan kembali.

(10)

Masa Kejayaan Sriwijaya

Berdasarkan temuan dari Dinas Arkeologi bekerjasama dengan Angkatan Udara Republik Indonesia, Udara Republik Indonesia, merekonstruksikan pantai timur Sumatera secara fotogrametis dan pengecekan foto geologis di sekitar Palembang semuanya seperti Bukit Siguntang, Kedukan Bukit, Gede Ing Suro, Candi

Angsoka, Candi Welang dan Telaga Batu, ada endapan neogen dan tertier, artinya tidak ada yang terdapat di tanah aluvial. Sedangkan kota Jambi sekarang dulu terletak di suatu teluk pada muara Sungai Batanghari. Kita ketahui teluk merupakan suatu wilayah lautan yang menjorok ke daratan. Teluk Jambi pada masa itu jorokannya masuk jauh hampir sampai ke Pulau Tembesi. Di depan Teluk Jambi tersebut terdapat tiga buah pulau. Setelah pantai Jambi

direkonstruksi, ternyata wilayah seperti Solok Sipin didekat Jambi, Candi Tinggi, Gumpung dan Astano dekat Muaro Jambi kesemuanya ada di formasi tanah dari batuan neogen yang pernah mengalami pengangkatan.Jika dilihat bentuk

geomorfologi Sumatera pada abad ke 6-7 Masehi, ternyata Jambi menempati suatu teluk. Sedangkan Palembang menempati suatu ujung jazirah yang pangkalnya ada di sekitar daerah Sekayu sekarang. Jambi maupun Palembang sekarang jaraknya dari lautan rata-rata sekitar 75 KM, karena endapan Sungai Musi dan Sungai Batanghari telah membentuk dataran pantai yang baru

(Daldjoeni, 1982: 42).Sebutan Sriwijaya sebagai kerajaan maritim atau sebagai kerajaan laut memang sesuai dengan kondisi geomorfologi Sriwijaya pada masa itu. Sesuai dengan pendapat geologi Van Bemmelen, bahwa garis pantai di muara Sungai Batanghari majunya setahun rata-rata 75 meter, sedangkan majunya muara Sungai Musi 125 meter rata-rata per tahun, jadi lebih cepat karena Sungai Musi lebih besar sebagai akibat masuknya air dari Sungai Ogan dan Sungai Komering.

Dalam mengukur penutupan Teluk Jambi dan Palembang olemerekonstruksikan pantai timur Sumatera secara fotogrametis dan pengecekan foto geologis di sekitar Palembang semuanya seperti Bukit Siguntang, Kedukan Bukit, Gede Ing Suro, Candi Angsoka, Candi Welang dan Telaga Batu, ada endapan neogen dan tertier, artinya tidak ada yang terdapat di tanah aluvial. Sedangkan kota Jambi sekarang dulu terletak di suatu teluk pada muara Sungai Batanghari. Kita ketahui teluk merupakan suatu wilayah lautan yang menjorok ke daratan. Teluk Jambi pada masa itu jorokannya masuk jauh hampir sampai ke Pulau Tembesi. Di depan Teluk Jambi tersebut terdapat tiga buah pulau. Setelah pantai Jambi

direkonstruksi, ternyata wilayah seperti Solok Sipin didekat Jambi, Candi Tinggi, Gumpung dan Astano dekat Muaro Jambi kesemuanya ada di formasi tanah dari batuan neogen yang pernah mengalami pengangkatan.Jika dilihat bentuk

geomorfologi Sumatera pada abad ke 6-7 Masehi, ternyata Jambi menempati suatu teluk. Sedangkan Palembang menempati suatu ujung jazirah yang pangkalnya ada di sekitar daerah Sekayu sekarang. Jambi maupun Palembang

(11)

sekarang jaraknya dari lautan rata-rata sekitar 75 KM, karena endapan Sungai Musi dan Sungai Batanghari telah membentuk dataran pantai yang baru (Daldjoeni, 1982: 42).

Sebutan Sriwijaya sebagai kerajaan maritim atau sebagai kerajaan laut memang sesuai dengan kondisi geomorfologi Sriwijaya pada masa itu. Sesuai dengan pendapat geologi Van Bemmelen, bahwa garis pantai di muara Sungai Batanghari majunya setahun rata-rata 75 meter, sedangkan majunya muara Sungai Musi 125 meter rata-rata per tahun, jadi lebih cepat karena Sungai Musi lebih besar sebagai akibat masuknya air dari Sungai Ogan dan Sungai Komering. Dalam mengukur penutupan Teluk Jambi dan Palembang oleh Lumpur sungai dipakai sebagai pangkalnya Kota Sekayu (letaknya 100 KM sebelah barat Palembang) dan kota Muara Tembesi (60KM Sebelah barat Jambi), sehingga dapat disimpulkan bahwa pada awalnya Kerajaan Sriwijaya terletak di pantai dalam arti bahwa lokasi Jambi di tepi Teluk dan Palembang di ujung jazirah.

Kemaharajaan Sriwijaya bercirikan kerajaan maritim. Mengandalkan hegemoni pada daya armada lautnya dalam menguasai alur pelayaran, jalur perdagangan, menguasai dan membangun beberapa daerah strategis sbg pangkalan armadanya dalam mengawasi, melindungi kapal-kapal dagang, memungut cukai, serta untuk menjaga wilayah kedaulatan dan kekuasaanya.

Dari catatan sejarah dan bukti arkeologi, pada zaman ke-9 Sriwijaya telah

melakukan kolonisasi di hampir seluruh kerajaan-kerajaan Asia Tenggara, selang lain: Sumatera, Jawa, Semenanjung Malaya, Thailand, Kamboja, Vietnam, dan Filipina. Dominasi atas Selat Malaka dan Selat Sunda, menjadikan Sriwijaya sebagai pengendali rute perdagangan rempah dan perdagangan lokal yang

mengenakan bea dan cukai atas setiap kapal yang lewat. Sriwijaya mengumpulkan kekayaannya dari tingkah laku yang berguna pelabuhan dan gudang perdagangan yang melayani pasar Tiongkok, dan India.

Sesuai sumber catatan sejarah dari Arab, Sriwijaya dikata dengan nama Sribuza.

Pada tahun 955 M, Al Masudi, seorang musafir (pengelana) sekaligus sejarawan Arab klasik menulis catatan tentang Sriwijaya. Dalam catatan itu, digambarkan Sriwijaya merupakan sebuah kerajaan akbar yang kaya raya, dengan tentara yang sangat banyak. Diceritakan kapal yang tercepat dalam waktu dua tahun pun tidak cukup untuk mengelilingi seluruh pulau wilayahnya. Hasil bumi Sriwijaya merupakan kapur barus, kayu gaharu, cengkeh, kayu cendana, pala, kapulaga, gambir dan beberapa hasil bumi lainya.

Catatan lain menuliskan bahwa Sriwijaya maju dalam bidang agraris. Ini disimpulkan dari seorang pakar dari Bangsa Persia yang bernama Sisa dari pembakaran Zaid Hasan yang memperoleh keterangan dari Sujaimana, seorang pedagang Arab. Sisa dari pembakaran Zaid menulis bahwasanya Kerajaan Zabaj

(12)

(sebutan Sriwijaya oleh bangsa Arab pada masa itu) memiliki tanah yang subur dan kekuasaaan yang lapang hingga ke seberang samudra.

Sriwijaya menguasai jalur perdagangan maritim di Asia Tenggara sepanjang zaman ke-10, selama paruh pertama abad ke-10, ketika kebangkitan Dinasti Song dan penurunan Dinasti Tang, perdagangan di luar negeri cukup intens. Beberapa negara dan kerajaan kaya seperti Fujian, Kerajaan Nan Han, Kerajaan Min, dan Negara Bagian Guangdong memiliki pengaruh yang cukup besar. Karena keadaan tersebut, Kerajaan Sriwijaya bisa meraup untung besar dari perdagangan tersebut, akan tetapi pada kesudahan zaman ini Kerajaan Medang di Jawa Timur tumbuh dijadikan daya bahari baru dan mulai menantang dominasi Sriwijaya. Berita Tiongkok dari Dinasti Song menyebut Kerajaan Sriwijaya di Sumatra dengan nama San-fo-tsi, sedangkan Kerajaan Medang di Jawa dengan nama Cho-po.

Dikisahkan bahwa, San-fo-tsi dan Cho-po terlibat persaingan untuk menguasai Asia Tenggara. Kedua negeri itu saling mengirim duta akbar ke Tiongkok. Utusan San-fo-tsi yang beranjak tahun 988 tertahan di pelabuhan Kanton ketika akan pulang, karena negerinya diserang oleh balatentara Jawa. Serangan dari Jawa ini diduga berlanjut sekitar tahun 990-an, yaitu selang tahun 988 dan 992 pada masa pemerintahan Sri Cudamani Warmadewa.

Pada musim semi tahun 992 duta Sriwijaya tersebut mencoba pulang namun kembali tertahan di Champa karena negerinya belum terjamin. Ia berharap kaisar Song supaya Tiongkok memberi perlindungan kepada San-fo-tsi. Utusan Jawa juga tiba di Tiongkok tahun 992. Ia dikirim oleh rajanya yang naik takhta tahun 991. Raja baru Jawa tersebut merupakan Dharmawangsa Teguh.

Kerajaan Medang sukses merebut Palembang pada tahun 992 untuk sementara waktu, namun kesudahan pasukan Medang sukses dipukul mundur oleh pasukan Sriwijaya. Prasasti Hujung Langit tahun 997 kembali menyebutkan keadaan serangan Jawa terhadap Sumatera. Rangkaian serangan dari Jawa ini pada akhir- akhirnya gagal karena Jawa tidak sukses membangun pijakan di Sumatera.

Menguasai ibu kota di Palembang tidak cukup karena pada hakikatnya kekuasaan dan daya mandala Sriwijaya tersebar di beberapa bandar pelabuhan di daerah Selat Malaka. Maharaja Sriwijaya, Sri Cudamani Warmadewa, sukses lolos keluar dari ibu kota dan berkeliling menghimpun daya dan bala pertolongan dari sekutu dan raja-raja bawahannya untuk memukul mundur tentara Jawa. Sriwijaya memperlihatkan kegigihan persekutuan mandalanya, bertahan dan berjaya memukul mundur tingkatan laut Jawa.

Sri Cudamani Warmadewa kembali memperlihatkan kecakapan diplomasinya, memenangi dukungan Tiongkok dengan cara merebut hati Kaisarnya. Pada tahun 1003, ia mengirimkan utusan ke Tiongkok dan mengabarkan bahwa di negerinya

(13)

telah selesai dibangun sebuah candi Buddha yang didedikasikan untuk mendoakan supaya Kaisar Tiongkok panjang usia. Kaisar Tiongkok yang berbesar hati dengan persembahan itu menamai candi itu cheng tien wan shou dan menganugerahkan genta yang akan dipasang di candi itu (Candi Bungsu, salah satu bidang dari candi yang terletak di Muara Takus).

Serangan dari Medang ini membuka mata Sriwijaya betapa berbahayanya ancaman Jawa, karenanya Maharaja Sriwijaya pun menyusun siasat balasan dan berusaha menghancurkan Kerajaan Medang. Sriwijaya disebut-sebut mempunyai peran dalam menghancurkan Kerajaan Medang di Jawa. Dalam prasasti Pucangan diceritakan sebuah peristiwa Mahapralaya, yaitu peristiwa hancurnya istana Medang di Jawa Timur, di mana Haji Wurawari dari Lwaram yang probabilitas merupakan raja bawahan Sriwijaya, pada tahun 1006 atau 1016 menyerang dan menyebabkan terbunuhnya raja Medang terakhir Dharmawangsa Teguh.

Masa Kemunduran

Pada masa kepemimpinan Balaputradewa sebagai raja kesepuluh, Sriwijaya mencapai titik kejayaannya. Akan tetapi, saat periode itu juga Sriwijaya

kehilangan kekuasannya di Jawa, tercatat di Prasasti Nalanda yang ditemukan di India. Setelah itu, Kerajaan Medang dari Jawa menyerang Sriwijaya pada 990-an.

Munoz (2006) menerangkan, serangan ini terjadi pada 988 hingga 992, tepat ketika Sri Cudamani Warmadewa memimpin. Akan tetapi, Sriwijaya berhasil memukul mundur musuhnya saat itu.

Memasuki abad ke-11, Tahun 1017 dan 1025, Rajendra Chola I, raja dari dinasti Chola di Koromandel, India selatan, mengirim ekspedisi laut untuk menyerang Sriwijaya. Berdasarkan prasasti Tanjore bertarikh 1030, Kerajaan Chola telah menaklukan daerah-daerah koloni Sriwijaya, seperti wilayah Nikobar dan sekaligus sukses menawan raja Sriwijaya yang berkuasa ketika itu Sangrama- Vijayottunggawarman. Selama beberapa dekade berikutnya, seluruh imperium Sriwijaya telah ada dalam pengaruh dinasti Chola. Meskipun demikian Rajendra Chola I tetap memberikan peluang untuk raja-raja yang ditaklukannya untuk tetap berkuasa selama tetap tunduk untuknya. Hal ini mampu dikaitkan dengan hal ada berita utusan San-fo-ts'i ke Cina tahun 1028.

Faktor lain kemunduran Sriwijaya adalah faktor dunia. Karena hal ada

pengendapan lumpur di Sungai Musi dan beberapa anak sungai lainnya, sehingga kapal-kapal dagang yang tiba di Palembang makin menjadi kurang. Akibatnya, Kota Palembang makin menjauh dari laut dan dibuat menjadi tidak strategis.

(14)

Dampak kapal dagang yang datang makin menjadi kurang, pajak menjadi kurang dan memperlemah ekonomi dan posisi Sriwijaya.

Penyerangan ini terjadi ketika Sangrama-Vijayottunggawarman memimpin Sriwijaya. Secara perlahan, Chola berhasil mempengaruhi kekuasaan raja baru.

Menurut Sastri K. A. N dalam The Cholas (1935), beberapa kerajaan bawahan Sriwijaya yang telah ditaklukan boleh memerintah, namun tetap harus tunduk pada pihak Chola. Akibatnya, kekuatan Sriwijaya berkurang.

Namun demikian pada masa ini Sriwijaya dianggap telah dibuat menjadi anggota dari dinasti Chola. Kronik Tiongkok menyebutkan bahwa pada tahun 1079, Kulothunga Chola I (Ti-hua-ka-lo) raja dinasti Chola dinamakan juga sebagai raja San-fo-ts'i, yang kemudian mengirimkan utusan untuk membantu perbaikan candi dekat Kanton. Selanjutnya dalam berita Cina yang berjudul Sung Hui Yao

diceritakan bahwa kerajaan San-fo-tsi pada tahun 1082 sedang mengirimkan utusan pada masa Cina di bawah pemerintahan Kaisar Yuan Fong. Duta agung tersebut menyampaikan surat dari raja Kien-pi bawahan San-fo-tsi, yang merupakan surat dari putri raja yang diserahi urusan negara San-fo-tsi, serta menyerahkan pula 227 tahil perhiasan, rumbia, dan 13 potong pakaian. Kemudian juga mengirimkan utusan berikutnya pada tahun 1088.Pengaruh invasi Rajendra Chola I, terhadap hegemoni Sriwijaya atas raja-raja bawahannya melemah.

Beberapa kawasan taklukan melepaskan diri, sampai muncul Dharmasraya dan Pagaruyung sebagai kekuatan baru yang kemudian menguasai kembali wilayah jajahan Sriwijaya mulai dari kawasan Semenanjung Malaya, Sumatera, sampai Jawa anggota barat.

Pada tahun 1079 dan 1088, catatan Cina menunjukkan bahwa Sriwijaya

mengirimkan duta agung pada Cina. Khususnya pada tahun 1079, masing-masing duta agung tersebut mengunjungi Cina. Ini menunjukkan bahwa ibu kota

Sriwijaya selalu bergeser dari satu kota maupun kota lainnya selama periode tersebut. Ekspedisi Chola mengubah jalur perdagangan dan melemahkan Palembang, yang memungkinkan Jambi untuk mengambil kepemimpinan Sriwijaya pada abad ke-11.

Berdasarkan sumber Tiongkok pada buku Chu-fan-chi yang ditulis pada tahun 1178, Chou-Ju-Kua menerangkan bahwa di kepulauan Asia Tenggara ada dua kerajaan yang sangat kuat dan kaya, yakni San-fo-ts'i dan Cho-po (Jawa). Di Jawa dia menemukan bahwa rakyatnya memeluk agama Budha dan Hindu, sedangkan rakyat San-fo-ts'i memeluk Budha, dan memiliki 15 kawasan bawahan yang meliputi; Si-lan (Kamboja), Tan-ma-ling (Tambralingga, Ligor, selatan Thailand), Kia-lo-hi (Grahi, Chaiya sekarang, selatan Thailand), Ling-ya-si-kia

(Langkasuka), Kilantan (Kelantan), Pong-fong (Pahang), Tong-ya-nong

(Terengganu), Fo-lo-an (muara sungai Dungun kawasan Terengganu sekarang),

(15)

Ji-lo-t'ing (Cherating, pantai timur semenanjung malaya), Ts'ien-mai (Semawe, pantai timur semenanjung malaya), Pa-t'a (Sungai Paka, pantai timur

Semenanjung Malaya), Lan-wu-li (Lamuri di Aceh), Pa-lin-fong (Palembang), Kien-pi (Jambi), dan Sin-t'o (Sunda).

Namun demikian, istilah San-fo-tsi terutama pada tahun 1178 tidak lagi identik dengan Sriwijaya, melainkan telah identik dengan Dharmasraya. Dari daftar 15 negeri bawahan San-fo-tsi tersebut, ternyata adalah wilayah jajahan Kerajaan Dharmasraya. Walaupun sumber Tiongkok tetap menyebut San-fo-tsi sebagai kerajaan yang ada di kawasan Laut Cina Selatan. Hal ini karena dalam Pararaton telah diceritakan Malayu. Kitab ini mengisahkan bahwa Kertanagara raja

Singhasari, mengirim suatu ekspedisi Pamalayu atau Pamalayu, dan kemudian menghadiahkan Arca Amoghapasa untuk raja Melayu, Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa di Dharmasraya sebagaimana yang tertulis pada prasasti Padang Roco. Peristiwa ini kemudian dikaitkan dengan manuskrip yang ada pada prasasti Grahi. Begitu juga dalam Nagarakretagama yang menguraikan tentang kawasan jajahan Majapahit, juga sudah tidak menyebutkan lagi nama Sriwijaya untuk kawasan yang sebelumnya merupakan kawasan Sriwijaya.

Dalam tulisan Pengaruh Geohistori pada Kerajaan Sriwijaya, I Nyoman Bayu Pramartha menerangkan, Sriwijaya telah berusaha mendapatkan kembali pamornya sebagai penguasa Sumatera, namun tidak bisa seperti sebelumnya.

Peninggalan dan Warisan

Berikut adalah peninggalan-peninggalan oleh Kerajaan Sriwijaya :

PRASASTI

PRASASTI KOTA KAPUR

Prasasti Kota Kapur ditemukan di situs Kota Kapur, Kecamatin Mendo Bacati Kabupaten Bangka, Provinsi Kepulauan Bangkabelting.

Prasasti berbentuk tugu yang ditemukan pada tahun 1892 ini kadatuan (kerajaan) bernama Snwijaya. Prasasti Kota Kapur bens tentang kutukan bagi orang-orang yang hendak memberontak atau tidak takluk kepada Sejaya. Pada bagian akhir prasasti disebutkan bahwa prasasti tersebut ditulis pada tahun

(16)

Saka 608 hari pertama paruh terang bulan Waisakha 128 Februari 686 Masehi ketika akan menyerang Jawa yang tidak takluk kepada Sriwijaya

Pada situs tersebut juga ditemukan arca Wisnu yang diduga berasal dari sekitar abad ke-6-7 Masehi. Gaya seninya dipengaruhi oleh gaya seni arca pre-Angkor (Kamboja yang berkembang pada sekitar abad ke-6 Masehi)

PRASASTI KEDUKAN BUKIT

Prasasti ini ditemukan di tepi sungai Batang, Kedukan Bukit, Palembang dengan angka tahun 683 M dengan huruf Pallawa dan Bahasa Sansekerta. Isinya

mengungkapkan mengenai Daputan Hyang yang menaiki perahu 'mengambil siddhayatra' dan cerita tentang kemenangan Sriwijaya.

PRASASTI TALANG TUO

Prasasti Talang Tuo adalah prasasti peninggalan kerajaan Sriwijaya yang ditemukan pada tahun 1920 oleh pejabat Inggris yaitu L.C. Westenegh, di daerah Talang Tuo (Talang Kelapo sekarang), prasasti ini dibuat pada masa raja Dapunta Hiyang Sri Jayanasa. Prasasti ini bertanggal 2 bulan Shaitra tahun 606 Saka (684 M). Secara garis besar, prasasti ini menerangkan bahwa pemerintahan baru mengeluarkan undang-undang pertama yaitu berupa pembangunan taman yang disebut Sriksetra.

PRASASTI TELAGA BATU

Prasasti ini ditemukan di kolam Telaga Biru, Kecamatan Ilir Timur II, Kota Palembang. Dalam prasasti ini disebutkan berbagai macam kutukan apabila melakukan perbuatan jahat serta pujian untuk orang yang melakukan perbuatan baik terhadap Sriwijaya.

PRASASTI KARANG BERAHI

Prasasti Karang Berahi terletak di Dusun Batu Bersurat, Desa Karang Berahi, Kecamatan

Pamenang, Kabupaten Merangin, Provinsi Jambi.

Prasasti ini bertuliskan aksara Pallawa dan

(17)

berbahasa Melayu Kuno, pertama kali ditemukan pada tahun 1904 oleh L.

Berkhout, seorang kontrolir Belanda untuk daerah Bangko. Penemuan prasasti ini kemudian diteliti N.J. Krom, yang menyatakan Prasasti Karang Berahi

merupakan salah satu prasasti yang dikeluarkan Kedatuan Sriwijaya. Krom juga membandingkan baik isi dan karakter huruf Prasasti Karang Berahi mirip dengan Prasasti Kota Kapur (686 M) yang ditemukan di Pulau Bangka.

PRASASTI PALAS PASEMAH

Prasasti ini ditemukan di pinggir rawa Desa Palas Pasemah, Lampung Selatan dan berhuruf Pallawa dengan Bahasa Melayu Kuno yang berisi kutukan bagi orang-orang yang tidak setia dengan raja Sriwijaya

PRASASTI LIGOR

Prasasti ini ditemukan di Thailand bagian Selatan oleh Nakhon Si Thammarat dan berkisah tentang Raja Sriwijaya yang mendirikan Trisamaya Caitya untuk Karaja.'

PRASASTI LEIDEN

Prasasti Leiden ini ditulis pada lempengan tembaga dalam Bahasa Sansekerta dan Tamil yang

menceritakan hubungan Dinasti Chola dengan Dinasti Syailendra dan Sriwijaya.

SITUS

SITUS KARANGANYAR

Di sebelah selatan Bukit Siguntang, di wilayah Kelurahan Karanganyar dan Kelurahan 36 Ilir, Kecamatan Ilir Barat terdapat sebuah dataran rendah yang berupa rawa. Berdasarkan penelitian arkeologi, pada wilayah tersebut ditemukan sisa-sisa bangunan air, yaitu kanal-kanal, kolam buatan, dan parit-parit kuno.

(18)

PERCANDIAN BUMIAYU

Sebagian besar tinggalan Sriwijaya bersifat agama Buddha, namun juga terdapat situs yang memiliki latar keagamaan Hindu. Situs Percandian Bumiayu memilk luas sekitar 15 hektar dan ditemukan 11 gundukan yang di bawahnya terdapat struktur bangunan bata yang bersifat sakral maupun profan. Empat buah bangunan di antaranya sudah selesai dipugar

Ketika dilakukan pemugaran, di antara runtuhan bangunan Candi 1 ditemukan arca-arca Agasta, Siwa Mahaguru, dewa, dan arca stambha yang diduga merupakan angka tahun dalam bentuk sangkala memet (angka tahun yang digambarkan seperti arca) Sementara itu di antara runtuhan Candi 3 ditemukan arce-ance dan bahan tanah liat yang menggambarkan raksasa dan bhairawi.

CANDI MUARA TAKUS

Candi yang terletak di Desa Muara Takus, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau ini bercorak Budha yang khas dengan susunan stupa-stupa. Dalam kompleks candi ini juga terdapat Candi Sulung, Candi Bungsu, Stupa Mahligai, dan Palangka.

CANDI BIARO BAHAL

Candi Bahal yang berlokasi di Desa Bahal, Kecamatan Padang Bolak, Kabupaten Tapanuli Selatan ini konon merupakan satu-satunya peninggalan Kerajaan

Sriwijaya di Sumut. Kompleks Candi Bahal ini terdiri dari tiga buah candi yang masing-masing terpisah dengan jarak sekitar 500 meter. Candi ini sering kali disebut juga sebagai Candi Portibi, yang diambil dari sebutan untuk daerah tempat candi itu berada. Sampai saat ini, belum diketahui secara pasti apakah Candi Bahal merupakan candi Hindu atau Buddha. Jika dilihat dari atap Candi Bahal I yang mirip dengan bentuk atap Candi Mahligai di Muara Takus, Riau, diduga Candi Bahal merupakan Candi Buddha.

CANDI MUARO JAMBI

Candi Muaro Jambi adalah sebuah kompleks percandian agama Hindu-Buddha terluas di Asia Tenggara, dengan luas 3981 hektar. yang kemungkinan besar merupakan peninggalan Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Melayu. Kompleks percandian ini terletak di Kecamatan Maro Sebo, Kabupaten Muaro Jambi, Jambi, Indonesia, tepatnya di tepi Batang Hari, sekitar 26 kilometer arah timur Kota Jambi. Candi tersebut diperkirakan berasal dari abad ke- 7 - 12 M. Candi Muara Jambi merupakan kompleks candi yang terbesar dan yang paling terawat di Pulau Sumatra.

Meskipun Sriwijaya hanya menyisakan sedikit peninggalan arkeologi dan keberadaannya sempat terlupakan dari cara melakukan sesuatu warga

(19)

pendukungnya, penemuan kembali kemaharajaan bahari ini oleh Coedes pada tahun 1920-an telah membangkitkan kesadaran bahwa suatu bangun persatuan politik raya, berupa kemaharajaan yang terdiri dari persatuan kerajaan-kerajaan bahari, pernah bangun, tumbuh, dan berjaya pada masa lalu.

KEPUSTAKAAN :

• H. Budisantoso, April 2006, Jurnal Ketahanan Nasional, XI (1)

• I Made Geria, 2014, Kedatuan Sriwijaya, Perjalanan Suci, Pekanbaru;

Epustaka

• Laeli Nur Azizah, Februari 2022, Sejarah Pendiri Kerajaan Sriwijaya beserta Silsilahnya¸ diakses pada 12 Januari 2023, dari

gramedia.com/literasi/pendiri-kerajaan-sriwijaya/amp/

• SEO Management, 21 Juni 2022, Kerajaan Sriwijaya, Awal Berdiri, Para Raja dan Peninggalan, diakses pada 12 Januari 2023, dari

sampoernaacademy.sch.id/id/kerajaan-sriwijaya/

The Kings Who Bring Fame to The Kingdom of Sriwijaya, 2019, diakses pada 12 Januari 2023, dari indephedia.com/2019/10/the-kings-who-bring- fame-to-kingdom-of.html?m=1

• Kabib Soleh, 2017, Prasasti Talang Tuo Peninggalan Kerajaan Sriwijaya Sebagai Materi Ajar Sejarah Indonesia di Sekolah Menengah Atas, dari Jurnal HISTORIA volume 5, ISSN 2337-4713 (e-ISSN 2442-8728), Nomor 2

Srivijaya, 19 Oktober 2015, diakses pada 12 Januari 2023, dari newworldencyclopedia.org/entry/Srivijaya

Sejarah Kerajaan Sriwijay, 9 November 2022, diakses pada 12 Januari 2023 dari guruahli.id/2022/11/09/sejarah-kerajaan-sriwijaya/

Sriwijaya, diakses pada 12 Januari 2023, dari p2k.utn.ac.id/ind/2-3077- 2966/Kerajaan-Sriwijaya_29784-balidwipa_p2k-utn.html

• Yuda Prinada, 15 Desember 2021, diakses pada 12 Januari 2023, dari amp.tirto.id/sejarah-runtuhnya-kerajaan-sriwijaya-silsilah-raja-raja-f9Nv

(20)

Referensi

Dokumen terkait