• Tidak ada hasil yang ditemukan

Asas Nemo Iudex in Causa Sua dalam prosedur hak ingkar terhadap arbiter

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "Asas Nemo Iudex in Causa Sua dalam prosedur hak ingkar terhadap arbiter"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

65 BAB V

PENUTUP

1. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan yang telah dimuat dalam penulisan hukum ini, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

a. Indonesia adalah negara hukum yang menganut asas hukum acara nemo iudex in causa sua yang mengandung makna bahwa tidak seorang pun dapat menjadi hakim bagi dirinya sendiri atau dimana ia memiliki kepentingan terhadap suatu kasus. Hal tersebut terlihat dalam HIR, UU Kekuasaan Kehakiman, UU MA dan Yurisprudensi. Begitu pula dengan UU Arbitrase juga telah menerapkan asas nemo iudex in causa sua, namun terdapat satu prosedur hak ingkar yang bertentangan dengan asas tersebut. Ketentuan yang dimaksud adalah Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 23 ayat (3) UU Arbitrase.

Pasal 23 ayat (2) UU Arbitrase memberikan kewenangan pada arbiter tunggal untuk menyelesaikan atau memutus tuntutan hak ingkar terhadap dirinya sendiri. Hal ini jelas bertentangan dengan asas nemo iudex in causa sua.

b. Sedangkan Pasal 23 ayat (3) UU Arbitrase memberikan kewenangan pada majelis arbitrase (termasuk arbiter yang diingkari) untuk menyelesaikan atau memutus tuntutan hak ingkar terhadap salah satu arbiter dalam majelis arbitrase. Ketentuan tersebut juga bertentangan dengan asas nemo iudex in causa sua karena ikut sertanya arbiter yang diingkari dalam proses pengambilan keputusan berarti arbiter yang diingkari akan mengadili dirinya sendiri.

Dengan perbandingan terhadap beberapa peraturan lembaga arbitrase baik nasional maupun internasional, Penulis menemukan terdapat persamaan antara UU Arbitrase dengan UNCITRAL Model Law khususnya dalam prosedur hak ingkar. Namun, praktek oleh negara-negara penganut UNCITRAL Model Law yang menyadari pentingnya asas nemo iudex in

(2)

66 causa sua, menunjukkan bahwa prosedur hak ingkar dalam UNCITRAL Model Law dapat dimodifikasi sesuai kebutuhan masing-masing negara.

Dengan demikian, prosedur hak ingkar tidak melanggar asas nemo iudex in causa sua.

2. Saran

Berdasarkan kesimpulan yang ada di atas, Penulis memberikan beberapa saran yaitu:

a. Berbagai peraturan lembaga arbitrase terkemuka baik nasional maupun internasional juga mengatur proses penyelesaian hak ingkar dengan cara yang tidak melanggar asas nemo iudex in causa sua. Ada 2 (dua) cara yang Penulis temukan yaitu Pertama, hak ingkar diselesaikan atau oleh pihak ketiga atau appointing authority. Pihak ketiga ini biasanya merupakan lembaga arbitrase institusional atau pengadilan negara setempat. Kedua, hak ingkar diselesaikan atau diputus oleh majelis arbitrase tanpa ikutsertanya (partisipasi) arbiter yang diingkari. Kedua cara tersebut dapat dipilih agar berlaku salah satu saja atau diberlakukan dengan 2 tahap yaitu apabila cara pertama tidak berhasil, maka akan dilanjutkan dengan cara kedua.

b. Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 23 ayat (3) UU Arbitrase seharusnya dirubah agar tidak melanggar asas nemo iudex in causa sua yaitu dengan 2 (dua) cara atau metode yang akan disebut kembali di bagian bawah ini.

c. Penyelesaian hak ingkar terhadap arbiter tunggal yang diatur dalam Pasal 23 ayat (2) UU Arbitrase seharusnya diberikan kepada pihak ketiga yang netral dan tidak memihak agar tercipta keadilan prosedural sehingga tumbuh kepercayaan di antara para pihak dan demi sistem arbitrase yang lebih terpercaya. Pihak ketiga tersebut alangkah baiknya untuk ditentukan langsung dalam UU Arbitrase yaitu dapat berupa lembaga arbitrase institusional seperti BANI atau Pengadilan Negeri. Oleh karena itu, Penulis mengusulkan bunyi Pasal 23 ayat (2) UU Arbitrase yang baru yaitu:

“Hak ingkar terhadap arbiter tunggal diajukan kepada Pihak Ketiga yang dapat disepakati oleh para pihak dalam Perjanjian Arbitrase, dan apabila

(3)

67 tidak disepakati maka Pengadilan Negeri setempat akan memutus tuntutan hak ingkar.”

d. Kemudian penyelesaian hak ingkar terhadap salah satu anggota majelis arbitrase yang diatur dalam Pasal 23 ayat (3) UU Arbitrase dapat diberikan kepada pihak ketiga maupun majelis arbitrase. Namun apabila hendak diberikan kepada majelis arbitrase, maka harus ditegaskan tanpa ikutsertanya arbiter yang diingkari. Keputusan mana diambil dengan suara terbanyak dan apabila imbang maka Ketua Majelis Arbitrase dapat memutusnya. Oleh karena itu, Penulis mengusulkan bunyi Pasal 23 ayat (3) UU Arbitrase yang baru yaitu:

(1) Hak ingkar terhadap anggota majelis arbitrase dapat diajukan kepada pihak ketiga maupun majelis arbitrase tanpa ikutsertanya arbiter yang diingkari.

(2) Apabila diajukan kepada majelis arbitrase, maka keputusan tersebut diambil dengan suara terbanyak dan apabila imbang, maka Ketua Majelis Arbitrase berwenang memutusnya.

e. Namun berdasarkan prinsip party autonomy, terlepas dari kedua kemungkinan tersebut, para pihak tetap diberikan ruang untuk menyepakati bersama mengenai penyelesaian tuntutan hak ingkar yang mengikat majelis arbitrase. Dengan kata lain, kedua alternatif di atas hanya akan berlaku apabila para pihak tidak menyepakati secara lain dalam perjanjian arbitrase.

f. Dengan demikian, penyelesaian hak ingkar tetap dapat berjalan dan tetap sejalan dengan asas nemo iudex in causa sua.

g. Dari saran yang Penulis sampaikan, Penulis merasa perlu untuk mengutarakan beberapa kelemahan khususnya yang berkaitan dengan penunjukan Pengadilan sebagai appointing authority. Kelemahan tersebut yakni masih terikatnya arbitrase sebagai salah satu lembaga penyelesaian sengketa di luar pengadilan (non-litigasi) dengan Pengadilan (litigasi) sehingga terlihat tidak mandiri atau tidak otonom. Hal tersebut memang masih menjadi permasalahan di Indonesia dimana Negara yang diwakili oleh Pengadilan masih dipercaya sebagai lembaga tertinggi dalam hal

(4)

68 penyelesaian sengketa. Sedangkan, apabila kita hendak memiliki lembaga penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang mandiri, maka ketergantungan terhadap Pengadilan harus dihilangkan. Gagasan atau ide tersebut masih harus diteliti secara seksama sehingga topik penulisan hukum ini masih menyisakan topik skripsi bahkan thesis baru yang sangat menarik untuk dibahas.

(5)

69 DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Aaron X, Fellmeth, et al. 2009. Guide to Latin International Law. New York.

Oxford University Press.

Alan Redfern, et al. 2015. Redfern and Hunter on International Arbitration Student Version (Edisi Keenam). New York. Oxford University Press.

Badriyah Harun. 2009. Tata Cara Menghadapi Gugatan. Jakarta. Pustaka Yustisia.

Bin Cheng. 2006. General Principle of Law as Applied by International Courts and Tribunals, Cambridge University Press.

Clyde Croft, et al. 2013. A Guide to the UNCITRAL Arbitration Rules.

Cambridge. Cambridge University Press.

David D. Caron, et al. 2013. The UNCITRAL Arbitration Rules: A Commentary (Edisi Kedua), Oxford University Press.

G. H. S. Lumbantobing. 1983. Peraturan Jabatan Notaris. Jakarta. Erlangga.

Gary B. Born. 2010. International Arbitration and Forum Selection Agreements:

Drafting and Enforcing. Kluwer Law International.

Gatot Soemartono dan John Lumbantobing. Indonesia Arbitration Law and Practice in Light of the UNCITRAL Model Law, dalam Gary F. Bell (ed.). 2018.

The UNCITRAL Model Law and Asia Arbitration Laws: Implementation and Comparisons. New York. Cambridge University Press.

Gerard Hogan, et al. 1998. Administrative Law in Ireland (Edisi Ketiga), Dublin, Thomson Round Hall.

Huala Adolf. 2016. Hukum Arbitrase Komersial Internasional. Bandung. Keni Media.

Karl-Heinz Bockstiegel, et al. 2014. Arbitration in Germany: The Model Law in Practice (Edisi Kedua). Wolters Kluwer International.

Ningrum Natasia Sirait. 2002. Bentuk ADR dan Prinsip-prinsip Mediasi. Medan.

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Peter Binder. 2000. International Commercial Arbitration in UNCITRAL Model Law Jurisdictions. London. Sweet & Maxwell.

Philippe Fouchard, et al. 1999. Fouchard Gaillard Goldman on International Commercial Arbitration. Kluwer Law International.

R. Subekti. 1981. Arbitrase Perdagangan. Bandung. Bina Cipta.

Retnowulan Sutantio. 2009. Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek.

Bandung. Mandar Maju.

(6)

70 Simon Greeenberg, et al. 2011. International Commercial Arbitration: An Asia- Pacific Perspective. Cambridge University Press.

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. 1995. Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta. Rajawali Pers.

Suratman dan Philips Dillah. 2013. Metode Penelitian Hukum. Bandung.

Alfabeta.

Susanti Adi Nugroho. 2015. Penyelesaian Sengketa Arbitrase dan Penerapan Hukumnya. Jakarta. Kencana.

Thomas H. Webster. 2010. Handbook of UNCITRAL Arbitration: Commentary, Precedents and Materials for UNCITRAL-Based Arbitration Rules. London.

Thomson Reuters Limited.

West's Encyclopedia of American Law (Edisi Kedua). 2008. The Gale Group, Inc.

Yahya Harahap. 2006. Arbitrase (Edisi Kedua). Jakarta. Sinar Grafika.

Yahya Harahap. 2016. Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan. Jakarta. Sinar Grafika.

Yves Derains, et al. 2005. A Guide to the ICC Rules of Arbitration (Edisi Kedua).

Kluwer Law International.

JURNAL/ARTIKEL

Christopher Koch. 2003. Standards and Procedures for Disqualifying Arbitrators.

Journal of International Arbitration. Vol. 20(4).

D. E. C. Yale. 1974. Iudex in Propria Causa: An Historical Excursus, The Cambridge Law Journal, Vol. 33(1).

E. Allan Lind, et al. 1993. Individual and Corporate Dispute Resolution: Using Procedural Fairness as a Decision Heuristic, Administrative Science Quarterly, Vol. 38(2).

Finín O’Brien. 2011. Nemo Iudex in Causa Sua: Aspects of the No-Bias Rule of Constitutional Justice in Courts and Administrative Bodies, Irish Journal of Legal Studies, Vol. 2(2)

Giorgetty Chiarra, Between Legitimacy and Control: Challenges and Recusals of Judges and Arbitrators in International Courts and Tribunals. 2016. The George Washington International Law Review.

Jamshed Ansari. 2014. Party Autonomy in Arbitration: Crytical Analysis.

(7)

71 Janice Payne, et al., Procedural Fairness in Ontario the Parameters of The Right to Be Heard: An Overview, Nelligan O’Brien Payne.

Lukas Pfister, Who Decides Arbitrator Challenges? – A Comparative Analysis of Institutional Approaches. 2017. Zeitschrift für Schiedsverfahren.

Mike Hough, et al. 2010. Procedural Justice, Trust and Institutional Legitimacy, Policing: a journal of policy and practice, Vol. 4 (3).

Moh. Mahfud MD. Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi. 2006.

Jakarta. Pustaka LP3ES.

Mohamed Oweis Taha. Tanpa tahun. Egypt: Legal Framework for Arbitration Legal Reports of The Law Library of Congress, Global Legal Research Center.

Mohamed Y. Mattar. Tanpa tahun. Harmonization of National Legislation through Model Laws: From the United Nations Commission on International Trade Law to the League of Arab States and the Gulf Cooperation Council.

Muhammad Zubair dan Sadia Khattak, The Fundamental Principles of Natural Justice in Administrative Law.

Ofer Raban. 2003. Modern Legal Theory and Judicial Impartiality.

Piotr J. Malysz, Nemo iudex in causa sua as the Basis of Law, Justice, and Justification in Luther's Thought, Harvard Theological Review, Vol. 100(3), 2007.

R.A. Macdonald. 1980. Judicial Review and Procedural Fairness in Administrative Law: I, McGill Law Journal, Vol. 25.

Rom K.L. Chung. 2011. The Rules of Natural Justice in Arbitration, Chartered Institute of Arbitrators, Vol. 77(2).

Sunday Fagbemi. 2015. The Doctrine of Party Autonomy in International Commercial Arbitration: Myth or Reality.

Tom R. Tyler. 1990. Why People Obey the Law. New Haven. Yale University Press.

Vikram Raghavan. 1998. Heightened Judicial Review of Arbitral Awards – Perspectives from the UNCITRAL Model Law and the English Arbitration Act of 1996 on some US Developments, Journal of International Arbitration. Vol. 15.

Winnie Jo-Mei Ma. 2012. Procedures for Challenging Arbitrators: Lessons for and from Taiwan, Contemporary Asia Arbitration Journal, Vol. 5(2).

(8)

72 Yanis Maladi. 2010. Benturan Asas Nemo Judex Idoneous In Propria Causa dan Asas Ius Curia Novit (Telaah Yuridis putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006), Jurnal Konstitusi. Vol.7(2).

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Republik Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3316, mulai berlaku pada tanggal 30 Desember 1985.

Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrse dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3872, mulai berlaku pada tanggal 12 Agustus 1999.

Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Kekuasaan Kehakiman, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4358, mulai berlaku pada tanggal 15 Januari 2004.

PERATURAN LAINNYA

Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI). Peraturan dan Prosedur Arbitrase BANI. 1 Januari 2018.

Hong Kong International Arbitration Centre. 2013 Administered Arbitration Rules. 1 November 2013.

IBA Guidelines on Conflict of Interest in International Arbitration. 23 Oktober 2014.

International Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID). ICSID Convention, Regulations and Rules. 15 November 2006.

International Chamber of Commerce (ICC). 2017 Arbitration Rules & 2014 Mediation Rules. 1 Maret 2017.

Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. 2017. Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Mahkamah Konstitusi.

Mahkamah Agung RI, Cetak Biru Pembaruan Peradilan 2010-2035, Jakarta, 2010.

Mahkamah Agung RI. 2004. Buku Pedoman Pelaksaan Tugas dan Administrasi Pengadilan Buku II Edisi Revisi (Cetakan ke-5).

(9)

73 Singapore International Arbitration Centre (SIAC). Arbitration Rules of the Singapore International Arbitration Centre (Edisi Ke-6). 1 Agustus 2016.

The United Nations Commission on International Trade Law (UNCITRAL).

UNCITRAL Model Law on International Commercial Arbitration 1985 (dengan amandemen yang diadopsi pada tahun 2006), diadopsi pada tanggal 4 December 2006.

PUTUSAN PENGADILAN

Mahkamah Agung Republik Indonesia, Putusan Nomor 36 P/HUM/2011.

Mahkamah Agung Mesir, Putusan Nomor 84 Tahun 2009 tanggal 9 November 2009.

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Putusan Nomor 005/PUU-IV/2006.

WEBSITE DAN DOKUMEN LAINNYA

313th Meeting on the UNCITRAL Model Law on International Commercial

Arbitration, 7 Juni 1985, diunduh dari

http://www.uncitral.org/pdf/english/travaux/arbitration/ml-arb/313meeting-e.pdf, tanggal 13 Oktober 2018, pukul 22.00 WIB.

https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4f23ccb39e887/belum-semua-

negara-mengadopsi-ibangalore-principlesi--, diunduh tanggal 24 Oktober 2018, pukul 21.55 WIB.

https://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt5276fa477e385/siapa-yang-

berwenang mengawasi-hakim-konstitusi, diunduh tanggal 27 Oktober 2018, pukul 1.10 WIB.

https://www.lawteacher.net/free-law-essays/constitutional-law/refinement-of- doctrine-of-natural-justice-constitutional-law-essay.php, diunduh tanggal 22 September 2018, pukul 20:25 WIB.

http://Questioning%20Model%20Law’s%20Challenge%20Procedure.html, diunduh tanggal 19 Oktober 2018, pukul 15.00 WIB.

http://www.uncitral.org/uncitral/en/uncitral_texts/arbitration/1985Model_arbitrati on_status.html, diunduh tanggal 13 Oktober 2018, pukul 23.10 WIB.

http://internationalarbitrationlaw.com/74-jurisdictions-have-adopted-the-uncitral- model-law-to-date/, diunduh tanggal 13 Oktober 2018, pukul 23.00 WIB.

http://criminaljusticealliance.org/wp-content/uploads/2015/02/TobeFair.pdf, diunduh tanggal 22 September 2018, pukul 19.00 WIB.

Referensi

Dokumen terkait