1 ASPEK ETIKA PERSETUJUAN DONOR KADAVER
Henky
Bagian/SMF Ilmu Kedokteran Forensik FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar
PENDAHULUAN
Tulisan ini menggunakan ilustrasi kasus yang menggambarkan seorang pria paruh baya berbudi luhur yang telah menyetujui untuk menyumbangkan organ dan tubuhnya setelah ia meninggal. Lima tahun setelah mendaftar sebagai donor kadaver, ia mengalami kecelakaan sepeda motor dan menderita luka-luka parah, yang akhirnya menyebabkan kematian batang otak. Ketika anggota keluarganya tiba, mereka menolak proses pengambilan organ almarhum. Kondisi ini menimbulkan isu etika terkait persetujuan donor kadaver, yakni konflik antara otonomi individu di satu sisi dan otonomi keluarga di sisi lain. Dalam hal ini, penulis mendukung otonomi individu, dimana dokter harus menghormati persetujuan almarhum sebelum meninggal untuk mendonasikan tubuhnya. Pertama, elemen persetujuan yang valid akan dibahas.
Kemudian, konsep filosofis tentang keinginan setelah meninggal dan perusakan jenazah akan dibicarakan. Akhirnya, beberapa pendapat yang mendukung otonomi keluarga, seperti menghormati kepentingan keluarga yang berduka, memprovokasi ketidakpercayaan publik, dan mencegah tuntutan hukum akan didebat pada tulisan ini.
DESKRIPSI KASUS (Dikutip dari Johnston dan Bradbury1 dengan sedikit modifikasi) Tuan A adalah seorang pedagang berusia 40 tahun. Suatu malam, ia pulang ke rumah mengendarai sepeda motor dengan kecepatan 100 km/jam, lalu tergelincir akibat tumpahan minyak di jalan. Kepalanya terbentur trotoar dan helmnya terbelah. Dalam beberapa menit, ambulans tiba di tempat kejadian. Ia diintubasi dan dibawa ke rumah sakit. Ia mengalami luka-luka parah dan patah tulang tengkorak, rusuk dan panggul.
Selanjutnya, ia dirawat secara intensif. Dokter berusaha untuk menyelamatkannya, namun tidak berhasil. Ia tidak menunjukkan upaya napas spontan ketika ventilator dimatikan. Lalu, dua dokter spesialis yang berbeda keahlian melakukan pemeriksaan dan mengonfirmasi bahwa pasien telah mengalami cedera batang otak. Selanjutnya, diagnosis kematian batang otak mati ditegakkan dengan ventilator yang masih terpasang agar jantung dan paru-paru tetap berfungsi untuk mempertahankan perfusi darah ke organ yang lain. Seorang dokter mendapati bahwa Tuan A telah mendaftarkan diri secara sukarela sebagai donor kadaver lima tahun yang lalu. Dengan demikian, para staf medis memutuskan untuk mempertahankan dukungan ventilator untuk mempertahankan
2 hidupnya hingga keluarga terdekat datang ke rumah sakit. Ketika keluarganya tiba, mereka tidak memberikan izin untuk mendonorkan organ dan tubuh Tuan A.
ISU ETIKA
Pada kasus di atas terdapat beberapa isu etika seperti mempertahankan ventilator pada pasien yang telah mengalamni kematian batang otak, alokasi sumber daya, dan persetujuan donor kadaver. Namun, karena karena keterbatasan halaman, isu yang difokuskan pada tulisan ini adalah konflik antara otonomi individu dan otonomi keluarga untuk memberikan persetujuan donor kadaver.
DISKUSI
Secara umum, ada dua pendekatan persetujuan donor kadaver.2 Pertama, persetujuan tersirat (presumed consent), yang juga dikenal sebagai kebijakan 'opt-out', yaitu seseorang diasumsikan memberikan persetujuan untuk mendonorkan tubuh mereka setelah meninggal apabila mereka tidak membuat penyataan penolakan untuk menjadi donor. Kedua, persetujuan tegas (explisit consent), biasanya mengacu pada kebijakan 'opt-in', yakni seseorang diperkenankan untuk memilih serta mengekspresikan keinginan dan persetujuannya untuk mendonorkan tubuh setelah kematian dengan menandatangani dokumen yang sah. Pada kasus ini, Tuan A mengikuti kebijakan 'opt- in' karena ia secara sukarela telah aktif mendaftarkan diri sebagai donor.
Pada kasus di atas, penulis menganggap bahwa Tuan A telah memenuhi unsur- unsur persetujuan setelah penjelasan saat memutuskan untuk menjadi donor ketika ia masih hidup. Unsur-unsur tersebut antara lain: (1) sahih, (2) informasi, dan (3) penetapan.3 Tuan A dianggap memiliki kapasitas untuk memberikan persetujuan dan persetujuan tersebut diberikan secara sukarela, yang menunjukkan bahwa persetujuan tersebut sahih. Selain itu, Tuan A dianggap memberikan persetujuan setelah memperoleh informasi yang memadai dan memahami informasi tersebut. Akhirnya, Tuan A membuat keputusan untuk menyumbangkan tubuhnya setelah meninggal dan mengotorisasi kehendaknya pada formulir persetujuan setelah penjelasan. Oleh karena itu, wasiat Tuan A harus dihormati walaupun ia tidak dapat berpartisipasi dalam proses pengambilan keputuasan karena ia sudah meninggal.4 Akan tetapi, pertanyaan terbesar yang harus didiskusikan selanjutnya adalah apakah keinginan seseorang dapat diwariskan setelah ia meninggal?
3 Downie, dkk5 berpendapat bahwa kepentingan donor harus diakui dan dihormati karena kepentingan individu diwariskan setelah kematian. Meskipun beberapa ahli berpendapat bahwa jenazah bukanlah properti sehingga seseorang yang sudah meninggal tidak lagi memiliki hak, kewajiban, dan kepentingan; terjadinya post-mortem harm terhadap keinginan mereka semasa hidup masih dimungkinkan. Melalui pendekatan filosofis, Wilkinson6, mengutip George Pitcher dan Joel Feinberg, menyatakan bahwa setiap orang memiliki tujuan yang harus dipenuhi karena memiliki makna moral yang mempengaruhi kebahagiaan mereka. Logikanya, setiap orang memerlukan orang lain untuk memenuhi tujuan mereka, terutama ketika mereka meninggal dunia. Oleh karena itu, seseorang dirugikan ketika keinginan mereka tidak tercapai akibat intervensi pihak lain. Dalam hal ini, Tuan A memiliki wasiat untuk menyumbangkan organ dan tubuhnya setelah ia meninggal. Apabila keinginannya tidak dipenuhi, maka telah terjadi pelanggaran otonomi individu.
Namun, beberapa cendikiawan mengasumsikan bahwa kepentingan orang yang sudah meninggal kurang penting dibandingkan kepentingan orang yang masih hidup.7,8 Secara psikologis, keputusan almarhum dapat menyakiti perasaan keluarga terdekat sehingga otonomi keluarga juga harus dihormati. Pendukung otonomi keluarga menggunakan pendekatan feminis, yakni relational autonomy, suatu konsep otonomi berdasarkan fenomena sosial di masyarakat, untuk memperkuat pendapat mereka.
Menurut pendekatan ini, otonomi berkembang karena lingkungan sosial, dalam jaringan-jaringan yang luas antar hubungan bermasyarakat, yang sebagian besar dibentuk oleh anggota keluarga. Kirby10 menyebutkan bahwa Sherwin mengemukakan pendapat serupa, yakni keputusan seseorang dapat berimbas bagi orang lain secara signifikan. Dengan demikian, keinginan Tuan A untuk menyumbangkan tubuhnya dibatasi kepentingan masyarakat pada umumnya dan dalam kasus ini keinginan keluarga pada khususnya.
Akan tetapi, sangatlah penting untuk mempertimbangkan apakah keluarga korban memiliki kapasitas untuk membuat keputusan yang sahih. Anggota keluarga umumnya berada dalam keadaan emosional yang tidak stabil karena mereka baru saja kehilangan salah satu orang yang sangat dicintai. Keluarga yang sedang berduka cenderung menolak mendonorkan tubuh anggota keluarga yang mereka cintai karena tidak tega melihat tubuh almarhum dimutilasi. Bahkan, Sheehy, dkk11 meneliti bahwa 39% anggota keluarga menolak untuk mendonasikan tubuh kerabatnya yang telah meninggal, walaupun telah ada wasiat yang menyatakan bahwa almarhum bersedia
4 mendonorkan tubuhnya. Kondisi ini menyebabkan berkurangnya ketersediaan organ dan kadaver untuk kepentingan orang banyak, seperti transplantasi organ, pendidikan, serta penelitian. Mengesampingkan wasiat Tuan A, tentunya, tidak "memberikan kebaikan terbesar bagi jumlah terbanyak".12
Di samping itu, banyak orang menyesali keputusan mereka sendiri, yang dibuat dalam situasi tertekan, seperti yang dikemukakan oleh Shaw13, yakni dalam waktu dua hari, keluarga seringkali menyesali keputusan mereka karena tidak memenuhi keinginan terakhir almarhum dan penyesalan ini dapat berlangsung selama puluhan tahun.
Selanjutnya, meminta persetujuan dari keluarga almarhum yang sedang berduka bukanlah cara terbaik untuk menghormati mereka. Hal ini justru akan membebani mereka dengan sesuatu yang tidak semestinya karena persetujuan donor yang sahih sudah diperoleh saat almarhum masih hidup, seperti yang ditekankan oleh May, dkk.4 Dengan demikian, pada kasus di atas, dokter seharusnya tetap melanjutkan proses pengadaan organ. Praktisi kesehatan harus menghormati otonomi individu dan tidak boleh melanggar wasiat Tuan A untuk mendonasikan organ dan tubuhnya. Penolakan keluarga seyogyanya diabaikan dengan penjelasan yang penuh empati.
Namun, beberapa dokter berpendapat bahwa mengabaikan keinginan keluarga dapat mengakibatkan penurunan kepercayaan publik terhadap profesi dokter.2,10 Kasus Sim Tee Hua di Singapura dapat digunakan sebagai contoh.14 Pada kasus ini, kornea mata dan ginjal almarhum diambil tanpa persetujuan keluarganya. Pengambilan organ secara paksa ini memicu reaksi masyarakat, yang secara signifikan menurunkan jumlah pendonor organ. Selain itu, sebagian besar praktisi kesehatan berusaha untuk menghindari tanggung jawab hukum karena mereka takut dituntut oleh keluarga almarhum.10
Meskipun demikian, penyedia layanan kesehatan bisa saja dituntut oleh masyarakat karena tidak menyediakan organ yang dijanjikan karena mengesampingkan keinginan individu untuk menyumbangkan tubuh mereka, spereti yang didalilkan Peters.15
Tetapi, sampai saat ini, tidak ada data empiris yang mendukung kedua perspektif yang telah dibahas sebelumnya. Bahkan, survei nasional yang dilakukan di Kanada pada 2005 menunjukkan bahwa 89% masyarakat setuju untuk memenuhi wasiat almarhum yang sah.16 Oleh karena itu, para praktisi kesehatan tidak perlu khawatir mengenai opini publik saat mengabaikan keinginan keluarga. Daripada meminta persetujuan keluarga, memberikan informasi mengenai wasiat almarhum kepada pihak keluarga
5 serta memberikan edukasi bagi pihak keluarga mengenai manfaat donor kadaver, pada kasus ini, merupakan tindakan yang tepat secara moral.
SIMPULAN
Pada kasus donor kadaver dimana semasa hidup mendiang telah memberikan persetujuan yang sah untuk mendonorkan organ dan tubuhnya, otonomi individu seharusnya lebih dihormati daripada otonomi keluarga yang sedang berduka karena kemampuan anggota keluarga untuk membuat keputusan yang valid sangat diragukan sebagai konsekuensi dari tekanan emosional yang dialaminya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Johnston C, Bradbury P. 100 Cases in Clinical Ethics and Law. Rees PJ, editor.
Great Britain: Hodder Arnold; 2008.
2. De Wispelaere J, Stirton L. Advance commitment: an alternative approach to the family veto problem in organ procurement. Journal of Medical Ethics.
2010;36(3):180-3.
3. Kerridge I, Lowe M, Stewart C. Consent. Ethics and Law for the Health Professions. 4th edition ed. Sydney: The Federation Press; 2013. p. 328-68.
4. May T, Aulisio MP, DeVita MA. Patients, Families, and Organ Donation: Who Should Decide? Milbank Quarterly. 2000;78(2):323-36.
5. Downie J, Shea A, Rajotte C. Family Override of Valid Donor Consent to Postmortem Donation: Issues in Law and Practice. Transplantation proceedings.
2008;40(5):1255-63.
6. Wilkinson TM. The Possibility of Posthumous Harm. In: Wilkinson TM, editor.
Ethics and the Acquisition of Organs. Oxford: Oxford University Press; 2011. p.
29-42.
7. Wilkinson TM. Individual and Family Decisions About Organ Donation. Journal of Applied Philosophy. 2007;24(1):26-40.
8. Michael GE, Jesus J. Treatment of potential organ donors. In: Rosen P, Grossman SA, editors. Ethical Problems in Emergency Medicine: a discussion-based review.
UK: John Wiley & Sons, Ltd.; 2012. p. 261-9.
9. Ells C, Hunt MR, Chambers-Evans J. Relational autonomy as an essential component of patient-centered care. International Journal of Feminist Approaches to Bioethics. 2011;4(2):79-101.
6 10. Kirby J. Organ Donation: Who Should Decide?—A Canadian Perspective. Journal
of Bioethical Inquiry. 2009;6(1):123-8.
11. Sheehy E, Conrad SL, Brigham LE, Luskin R, Weber P, Eakin M, et al. Estimating the Number of Potential Organ Donors in the United States. New England Journal of Medicine. 2003;349(7):667-74.
12. Bentham J. An Introduction to the Principles of Morals and Legislation. Canada:
Batoche Books; 1781. 248 p.
13. Shaw D. We should not let families stop organ donation from their dead relatives.
BMJ. 2012;345.
14. Xin L. Forced Organ Removal in Singapore Raises Concerns. The Epoch Times.3 April 2007.
15. Peters TG. Life or death: The issue of payment in cadaveric organ donation. JAMA.
1991;265(10):1302-5.
16. Canadian Council for Donation and Transplantation. Public Awareness and Attitudes on Organ and Tissue Donation and Transplantation Including Donation After Cardiac Death 2005 [cited 2014 31 March]. Available from:
http://www.organsandtissues.ca/s/wp-
content/uploads/2011/11/Public_Survey_Final_Report.pdf.