• Tidak ada hasil yang ditemukan

ASTESJ 050448.en.id

N/A
N/A
faiz kurniawan

Academic year: 2023

Membagikan "ASTESJ 050448.en.id"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Jurnal Kemajuan Sains, Teknologi dan Sistem Rekayasa Vol. 5, No.4, 412-418 (2020)

ASTESJ

www.astesj.com

ISSN: 2415-6698

Perambatan Pasang Surut Berdasarkan Co-Phase Chart dan Co-Range Chart di Selat Sunda, Indonesia Denny Nugroho Sugianto1,*, Harjo Susmoro2,Khoirol Imam Fatoni2, Virginia Stephanie Claudia1, Haris Djoko Nugroho2

1

Departemen Oseanografi, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Pusat Kajian Rehabilitasi Pesisir dan Mitigasi Bencana (CoREM), Universitas Diponegoro, Semarang, 50275, Indonesia

2

Pusat Hidrografi dan Oseanografi TNI Angkatan Laut, Dewan Hidrografi Indonesia (IHC), Jl. Pantai Kuta V No.1, Ancol Timur, Jakarta Utara, DKI Jakarta, 14430, Indonesia

INFO PASAL

Sejarah artikel:

Diterima: 22 Juni 2020 Diterima: 07 Juli 2020 Online: 09 Agustus 2020

ABSTRAK

Karakteristik pasang surut berbeda-beda pada setiap daerah. Co-tidal chart merupakan salah satu media untuk menyajikan informasi mengenai karakter pasang surut. Ada dua jenis grafik co-tidal, seperti grafik co-fase dan grafik co-range. Grafik co-phase akan menunjukkan sebaran pasang surut, sedangkan grafik co-range akan menunjukkan arah rambat pasang surut. Sunda

Selat dipilih untuk menganalisis pola perambatan pasang surut. Jumlah stasiun pasang surut yang diamati sebanyak 33 stasiun yang melintasi Selat Sunda. Penelitian ini menggunakan empat komponen harmonik pasang surut seperti M2, S2, K1 O1 dan peta Selat Sunda untuk membuat peta kotidal. Unsur harmonik pasang surut dianalisis dengan Metode Admiralty. Data ini diperoleh dari Pusat Hidrografi dan Oseanografi TNI Angkatan Laut (PUSHIDROSAL). Hasil penelitian menunjukkan arah rambat pasang surut penyusun pasang surut harmonik semidiurnal (M2, S2) yang mengalir di bagian selatan Selat Sunda (berasal dari Samudera Hindia melalui bagian barat Pulau Sumatera). Sedangkan di bagian utara Selat Sunda, rambat pasang surut yang berasal dari Samudera Hindia mengalir melalui Selat Karimata. Arah rambat pasang surut unsur harmonik diurnal pasang surut (K1,SO1) yang mengalir di Selat Sunda berasal dari Samudera Pasifik melalui Selat Karimata. Namun tipe pasang surut di Selat Sunda didominasi oleh pasang surut

campuran yang terjadi secara semidiurnal dan nilai Z0 tertinggi adalah 100 cm, sedangkan nilai Z0 terendah di Selat Sunda adalah 40 cm.

Kata kunci:

Grafik pasang surut bersama

Selat Sunda

Perambatan pasang surut

Indonesia

1. Perkenalan

[8] serta jalur penyeberangan dari Pulau Jawa ke Pulau Sumatera [9]. Kedalaman perairan Selat Sunda berkisar antara 0,5 m hingga 1.885 m [10]-[12]. Jumlah kapal yang melewati Selat Sunda dari tahun 2007 hingga 2015 mencapai 29.351 unit. Jumlah kapal yang melintasi Selat Sunda akan terus meningkat setiap tahunnya, oleh karena itu berbagai peraturan dikembangkan untuk meningkatkan keamanan lalu lintas di Selat Sunda [13]. Peraturan yang bertujuan untuk meningkatkan keamanan pelayaran di Selat Sunda harus didukung dengan data yang menggambarkan fenomena alam di perairan tersebut. Salah satu fenomena alam di laut yang perlu dipahami adalah perubahan ketinggian muka air laut atau biasa disebut pasang surut. Pasang surut dalam bidang hidrografi digunakan sebagai objek untuk mereduksi hasil pencatatan batimetri sehingga diperoleh nilai batimetri suatu perairan sebenarnya [14]-[17].

Selat Sunda merupakan selat yang menghubungkan Pulau Jawa dan Pulau Sumatera di Indonesia. Sedangkan perairan Selat Sunda merupakan perairan yang menghubungkan Laut Jawa dengan Samudera Hindia [1]-[3]. Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 1985, Selat Sunda digolongkan ke dalam ALKI I (jalur laut kepulauan Indonesia) [4], dimana selat tersebut menghubungkan perairan Samudera Hindia melalui Selat Karimata hingga Laut Cina Selatan. atau sebaliknya. Jalur

pengangkutan migas untuk kebutuhan energi di Asia Timur selain melalui Selat Malaka berada di Selat Sunda. Selat Sunda merupakan jalur pelayaran alternatif ketika arus lalu lintas di Selat Malaka terhambat [5], [6]. Oleh karena itu, Selat Sunda merupakan jalur yang biasa digunakan untuk jalur pelayaran internasional [7],

Pasang surut mempunyai karakter yang dinamis dan karakternya berbeda-beda pada tiap daerah, terutama pasang surut mempengaruhi laju pencemar,

*Penulis Koresponden: Denny Nugroho Sugianto, Email:

dennysugianto.oceanography@gmail.com

www.astesj.com

412

(2)

transportasi sedimen dan erosi [18], [19]. Oleh karena itu, untuk memudahkan penyajian kondisi pasang surut di suatu daerah adalah dengan menggunakan grafik [20]. Peta pasang surut merupakan bagian dari peta laut [21], [22]. Peta laut berfungsi untuk menyediakan data yang akurat dengan sistem penyajian yang cepat dan mendekati keadaan sebenarnya untuk mendukung aktivitas maritim [23]. Grafik co-tidal dibagi menjadi grafik co-range dan grafik co-fase. Grafik co-range memberikan informasi mengenai amplitudo, sedangkan grafik co-phase memberikan informasi mengenai fase karakteristik pasang surut yang disajikan dalam garis kontur [24]. Semakin banyak lokasi pengukuran data di perairan akan memudahkan analisis karakter pasang surut perairan tersebut.

Kajian karakteristik pasang surut di Selat Sunda dalam bentuk peta co- tidal dapat dimanfaatkan oleh beberapa pihak untuk memperbaiki pengelolaan jalur pelayaran. Lokasi penelitian disajikan pada Gambar 1.

Letak titik pengambilan sampel disajikan pada Gambar 2.

Peralatan yang dipasang adalah alat pengukur pasang surut.

Perangkat ini tidak terendam pada ketinggian air tertinggi (HHWL) dan masih terendam pada ketinggian air terendah (LLWL). Alat pengukur pasang surut dipasang tegak lurus dan ditempatkan jauh dari aktivitas manusia atau arus perahu dan kapal. Tidal gauge sebaiknya tidak dipasang pada daerah aliran sungai atau pemecah gelombang agar tidak menimbulkan bias dan lain-lain.

2.2. Analisa Ketinggian Pasang Surut Menggunakan Metode Admiralty

Data pasang surut diperoleh dengan Metode Admiralty dengan cara tabel skema dan pengali pada panjang data 15 atau 29 piantan dalam interval pengamatan satu jam untuk memperoleh nilai penyusun harmonik pasut (S0, M2, S2, N2, K1, O1, M4, MS4, P1, K2), dimana beberapa konstituen harmonik (M2, S2, K1, O1) akan menjadi parameter masukan pada grafik co-tidal. Persamaan 1 mendefinisikan bilangan Z0, sedangkan persamaan 2 merupakan persamaan Formzahl yang digunakan untuk menentukan jenis pasang surut suatu perairan [27].

Z0= SEBUAH(M2) + SEBUAH(S2) + SEBUAH(N2) + SEBUAH(K2) + SEBUAH(K1) + SEBUAH(HAI1) + SEBUAH(Hal1) +

SAYA

4

) + A(MS

4

) (1)

Di mana:

Z

0

A

= datum grafik (m)

= amplitudo (m);

F =

  (  1)+  (  1)

(  2)+  (  2)

(2)

Di mana:

F (  

1

) (  

1

) (  

2

) (  

2

)

= formzahl

= amplitudo konstituen harmonik pasang surut K1

= amplitudo konstituen harmonik pasang surut O1

= amplitudo konstituen harmonik pasang surut M2

= amplitudo konstituen harmonik pasang surut S2 Gambar 1 :Selat Sunda di sebelah utara dibatasi oleh garis penghubung dari barat ke

timur yaitu dari 5° 50' LU sampai 105° 47' BT dan dari 5° 53' LU sampai 105° 02' BT.

Sedangkan di sebelah selatan, garis batasnya menghubungkan dari barat ke timur (dari 6° 50' Lintang Selatan sampai 105° 15' Bujur Timur dan dari 5° 56' Lintang Selatan sampai 105° 33' Bujur Timur) [25].

2. Studi Sastra

2.1. Metode penelitian

2.3. Konstruksi Peta Co-Tidal

Pembuatan peta pasang surut memerlukan setidaknya tiga stasiun pengamatan yang berbeda. Datum waktu yang digunakan untuk grafik co-tidal adalah GMT [28], yaitu +07.00, sedangkan datum acuan pasang surut adalah air surut perbani. Hasil pengamatan pasut dari masing- masing stasiun adalah tinggi amplitudo (cm), fasa (derajat) masing-masing penyusun harmonik pasang surut dan bilangan formzahl. Selain itu, periode ketinggian air pada setiap komponen harmonik pasang surut dapat dihitung dengan Persamaan 3.

Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kuantitatif. Metode ini bertujuan untuk menggambarkan sebaran amplitudo tinggi gelombang dan rambat pasang surut secara horizontal disertai dengan jarak dan luas wilayah perairan yang dipengaruhi oleh amplitudo dan fase pasang surut.

t =gx

1  

(3)

Di mana :

T G N

= waktu ketinggian air (jam)

= fase penyusun harmonik pasang surut (0)

= kecepatan sudut penyusun harmonik pasang surut (0/jam) Peta co-tidal di daerah lepas pantai dapat ditentukan berdasarkan pengamatan di tepi pantai [24]. Hasil pengamatan di sepanjang pantai diinterpolasi untuk mendapatkan luas lepas pantai secara empiris.

Penelitian ini menggunakan metode spline. Metode spline merupakan metode estimasi nilai dengan menggunakan fungsi matematika yang meminimalkan kelengkungan permukaan total [29], [30].

Gambar 2 : Tiga puluh dua stasiun titik pengambilan sampel untuk menghitung grafik co-tidal Selat Sunda

(3)

2.4. Analisis data

(ditunjukkan pada Gambar 3 dan Gambar 4) menyajikan ketinggian HHWL, LLWL, HWL, LWL dan MSL. Nilai HHWL, HWL, MSL, LWL dan LLWL pada perairan Panjang masing-masing sebesar 196 cm, 179 cm, 104 cm, 42 cm dan 13 cm. Sedangkan HHWL, HWL, MSL, LWL dan LLWL di Perairan Ciwandan masing-masing berukuran 163 cm, 150 cm, 120 cm, 89 cm, dan 77 cm.

Analisis pasang surut dalam penelitian ini mengacu pada metode Pariwono [24], yang terdiri dari 3 bagian sebagai berikut :

Tujuan dari analisis grafik kofasa adalah untuk memperoleh informasi perambatan pasang surut untuk setiap konstituen harmonik pasut, yaitu konstituen harmonik pasut diurnal (K1, O1) dan konstituen harmonik pasang surut semidiurnal (M2, S2). Data yang diamati adalah sumber dan arah rambat gelombang pasang yang ditunjukkan berdasarkan tinggi kontur waktu perairan, dimana rambat pasang surut bergerak dari amplitudo rendah ke amplitudo lebih tinggi.

Tujuan analisis grafik co-range adalah untuk memperoleh informasi mengenai sebaran amplitudo tinggi gelombang. Data yang diperoleh berupa amplitudo tinggi gelombang tertinggi dan terendah yang ditunjukkan oleh kontur garis.

Jenis peta pasut dan peta Z0 dianalisis untuk memperoleh informasi umum mengenai karakteristik pasut berdasarkan bilangan formzahl dan tinggi Z0.

Ketinggian pasang surut di Perairan Panjang Lampung dan Perairan Ciwandan Banten ditunjukkan pada Gambar 3 dan 4. Tinggi muka air yang diperoleh di Perairan Panjang sebesar 179 cm, sedangkan di Perairan Ciwandan sebesar 150 cm. Sedangkan nilai rendah air pada perairan Panjang dan Ciwandan masing-masing sebesar 42 cm dan 89 cm.

3.2. Analisis Komponen Harmonik Pasang Surut

Hasil yang diperoleh berupa nilai amplitudo (A) dan fasa (g) masing- masing penyusun harmonik pasang surut yaitu S0, M2, S2, N2, K1, O1, M4, MS4, K2 dan P1 (Tabel 1 dan Tabel 2). Nilai formzahl Perairan Ciwandan, Banten sebesar 0,436, sedangkan nilai formzahl Perairan Panjang, Lampung sebesar 0,482. Perbandingan elevasi pasang surut antara Perairan Panjang, Lampung dan Perairan Ciwandan, Banten (ditunjukkan pada Gambar 5) digunakan untuk mengetahui arah pergerakan massa air.

Gambar 6 menunjukkan nilai plot stick dari kedua stasiun pengamatan pasang surut untuk memverifikasi arah rambat gelombang pasang pada grafik co-tidal.

3. Hasil

3.1. Pengamatan Pasang Surut

Penelitian ini menampilkan informasi karakteristik pasang surut pada 2 stasiun pengamatan pasang surut, yaitu di Perairan Panjang Lampung dan Perairan Ciwandan Banten. Akibat dari ketinggian pasang surut

Tabel 1 : Komponen Harmonisa Pasang Surut di Perairan Panjang, Lampung

104 S0 M2 198 36

S2 14 269

N2 8 169

K1 16 276

O1 8 250

M4 0,2 MS4 0,1 K2

4 P1

276 5

Sebuah (cm)

g (0) 85 240 269

(4)

Tabel 2 : Komponen Harmonisa Pasang Surut di Perairan Ciwandan Banten

120 S0 M2 214 11

S2 11 333

N2 4 216

K1 6 192

O1 3 76

M4 2 217

MS4 1 56

K2 3 333

P1 2

Sebuah (cm)

192 g (0)

Gambar 5 : Perbandingan Ketinggian Pasang Surut Perairan Panjang dan Perairan Ciwandan

Gambar 6 : Plot batang penyusun harmonik pasang surut

Gambar 5 menunjukkan perbedaan elevasi pasang surut kedua perairan, dimana terlihat fluktuasi panjang muka air laut Perairan Panjang lebih besar dibandingkan fluktuasi muka air laut Ciwandan. Kecuraman pasang surut di Perairan Panjang mencapai 137 cm pada saat pasang surut, sedangkan kecuraman pasang surut di Perairan Ciwandan hanya mencapai 61 cm pada saat pasang perbani. Menurut Pond dan Pickard (2011) kedalaman dan lebar perairan mempengaruhi fluktuasi tinggi muka air laut, oleh karena itu perbedaan nilai elevasi pasang surut antara Perairan Panjang dan Perairan Ciwandan disebabkan oleh letaknya yang dimana letak Perairan Panjang berada di Teluk Lampung. dan Perairan Ciwandan terletak di Selat Sunda bagian utara yang berhadapan langsung dengan Laut Jawa. Tipe pasang surut di Perairan Panjang dan Perairan Ciwandan adalah sama (mixed tide dominan semidiurnal). Berdasarkan Gambar 6, unsur harmonik semidiurnal (meliputi M2, S2, N2 dan K2), arah rambat gelombang pasangnya adalah dari Perairan Panjang hingga Perairan Ciwandan, sedangkan unsur harmonik diurnal (meliputi O1, K1, P1), arah gelombang pasangnya perambatannya dari Perairan Ciwandan hingga Perairan Panjang. Konstituen pasang surut M4 menunjukkan arah rambat gelombang dari Perairan Panjang ke Perairan Ciwandan, sedangkan konstanta pasang surut MS4 menunjukkan arah rambat gelombang dari Perairan Ciwandan ke Perairan Panjang.

dari setiap konstituen harmonik pasang surut. Garis kontur menentukan amplitudo tinggi gelombang atau periode rambat pasang surut.

Gambar 7a menunjukkan grafik co-range konstanta harmonik M2. Jarak kontur amplitudo M2 mempunyai interval 2 cm (sekitar Bakauheni-Merak atau kawasan utara Selat Sunda) terhadap perairan Anyer- Kalianda, dimana perubahan elevasi tinggi amplitudo M2 adalah dari 12 cm menjadi 30 cm. Kerapatan kontur menunjukkan adanya variabilitas nilai tinggi amplitudo M2 yang disebabkan oleh rambat gelombang pasang yang dipengaruhi oleh kedalaman di wilayah utara Selat Sunda. Nilai amplitudo gelombang M2 minimum di Selat Sunda adalah 12 cm dan tinggi maksimum 36 cm. Ketinggian gelombang dengan amplitudo M2 di wilayah selatan Selat Sunda lebih besar dibandingkan dengan tinggi gelombang dengan amplitudo M2 di wilayah utara Selat Sunda. Nilai amplitudo M2 di Perairan Selat Sunda lebih dominan dibandingkan dengan nilai amplitudo M2 di perairan Laut Jawa bagian barat laut, menunjukkan amplitudo amplitudo gelombang M2 di Selat Sunda tinggi. Berdasarkan grafik co-range S2 Perairan Selat Sunda yang ditunjukkan pada Gambar 7 b, amplitudo gelombang S2 di Perairan Selat Sunda cukup tinggi dibandingkan dengan amplitudo gelombang di Laut Jawa bagian barat. Kondisi ini berdasarkan kontur yang nilainya diperbesar ke arah Selat Sunda bagian utara dari Laut Jawa bagian barat, yaitu dari 7 cm menjadi 11 cm di kawasan Cilegon-Bakauheni. Selanjutnya semakin jauh ke dalam kawasan Selat Sunda, nilai amplitudo S2 semakin tinggi hingga mencapai ketinggian maksimum amplitudo gelombang S2 di Perairan Selat Sunda cukup tinggi dibandingkan amplitudo gelombang di Laut Jawa bagian barat. Kondisi ini berdasarkan kontur yang nilainya diperbesar ke arah Selat Sunda bagian utara dari Laut Jawa bagian barat, yaitu dari 7 cm menjadi 11 cm di kawasan Cilegon-Bakauheni. Selanjutnya semakin jauh ke dalam kawasan Selat Sunda, nilai amplitudo S2 semakin tinggi hingga mencapai ketinggian maksimum amplitudo gelombang S2 di Perairan Selat Sunda cukup tinggi dibandingkan amplitudo gelombang di Laut Jawa bagian barat. Kondisi ini berdasarkan kontur yang nilainya diperbesar ke arah Selat Sunda bagian utara dari Laut Jawa bagian barat, yaitu dari 7 cm menjadi 11 cm di kawasan Cilegon-Bakauheni. Selanjutnya semakin jauh ke dalam kawasan Selat Sunda, nilai amplitudo S2 semakin tinggi hingga mencapai ketinggian maksimum

3.3. Bagan Pasang Surut

Gambar 7a menunjukkan grafik co-range yang disajikan berdasarkan amplitudo tinggi gelombang dan rambat pasang surut berdasarkan waktu

(5)

(A) (B) (C)

(D) (e) (F)

(G) (H)

Gambar 7 : (a)-(d) grafik co-range (e)-(h) grafik co-tidal 18 cm di Pulau Sebesi sampai Pulau Sertung. Beberapa wilayah di Selat

Sunda mempunyai derajat amplitudo S2 yang bervariasi berdasarkan kepadatan kontur, yaitu pada kontur 14 cm yang dimulai dari kawasan Labuhan Bangkai, Pulau Krakatau hingga Kalianda dan kontur 15 cm di Pulau Legundi, sebelah barat Pulau Sertung, sebelah selatan Sebesi. Pulau Sebuku dan Pulau Sebuku bagian Barat, hingga nilai amplitudo S2 maksimum berada di Pulau Sertung bagian Timur dan Pulau Sebesi bagian Utara. Tinggi amplitudo gelombang S2 minimum di perairan Selat Sunda adalah 10 cm dan tinggi amplitudo gelombang S2 maksimum adalah 18 cm. Berdasarkan perubahan tinggi amplitudo gelombang, pengaruh amplitudo gelombang S2 di Selat Sunda lebih tinggi

dibandingkan pengaruh amplitudo gelombang S2 di barat laut Laut Jawa.

gelombang pasang. Berdasarkan Gambar 7 d, jarak kontur tinggi amplitudo gelombang O1 di Selat Sunda jauh. Selain itu, perubahan tinggi amplitudo gelombang tidak terlalu signifikan. Tinggi amplitudo gelombang di Kawasan Ciwandan berkisar antara 1 cm hingga 2 cm dan tinggi amplitudo gelombang di Kawasan Merak berkisar antara 4 cm hingga 6 cm. Amplitudo dengan ketinggian 8 cm terdapat di Perairan Labuhan yang menghubungkan Pulau Krakatau Kecil, Pulau Sertung hingga Perairan Kiluan. Sedangkan di wilayah teluk seperti Teluk Lada dan Teluk Lampung nilai amplitudonya cukup tinggi yaitu sekitar 8 cm hingga 12 cm sedangkan di bagian selatan Selat Sunda nilai amplitudonya cenderung sama yaitu dari 8 cm hingga 10 cm.

Kondisi ini menunjukkan pengaruh gelombang pasang O1 kecil.

Konstanta harmonik pasang surut M2 (Gambar 7 e) merambat dari perairan tenggara Sumatera. Kemudian arah rambat gelombang pasang bergerak ke arah Bakauheni-Merak.

Perambatan gelombang pasang M2 di Selat Sunda juga dipengaruhi oleh gelombang pasang M2 yang berasal dari perairan barat Sumatera, terlihat pada kontur 7 wilayah perairan Kiluan (Sumatera Selatan) hingga Barat (Jawa Barat). Perambatan gelombang pasang M2 berasal dari perairan barat Sumatera dan perairan tenggara Sumatera yang bertepatan sebesar 7,5 di wilayah Cangirin, Labuhan, dan Merak.

Grafik co-range konstanta harmonik pasang surut K1 ditunjukkan pada Gambar 7 c bahwa nilai amplitudo minimum Sunda

Perairan selat berjarak 8 cm di sekitar Perairan Anyer dan amplitudo maksimum yaitu 18 cm di wilayah Teluk Paraja dan Kota Agung. Menurut Pariwono (2012), topografi dasar laut dan bentuk suatu perairan mempengaruhi variabilitas nilai amplitudo, oleh karena itu gelombang pasang K1 di perairan Selat Sunda cenderung sama yaitu dari 10 cm hingga 10 cm. 12 cm, sedangkan nilai amplitudo di beberapa teluk berkisar antara 14 cm hingga 18 cm, yaitu di Teluk Lampung, Teluk Semangka, dan Teluk Paraja. Bagian utara mempunyai tinggi amplitudo gelombang antara 8 cm hingga 14 cm yang dipengaruhi oleh sempitnya celah kedua pulau. Amplitudo panjang gelombang semakin membesar menuju Laut Jawa bagian barat. Hal ini menunjukkan bahwa Selat Sunda kurang dipengaruhi oleh K1

Gelombang pasang S2 merambat melalui perairan Sumatera bagian barat (Gambar 7 f). Gelombang pasang S2 yang berasal dari Sumatera bagian barat bergerak dari 8 ke Teluk Semangka pada 8,5 hingga 10 di Perairan Cilegon. Arah rambat gelombang pasang dari Pulau Sumatera bagian tenggara dan Selat Sunda bagian utara

(6)

bertemu atau bertepatan di kawasan Sumur, Pulau Sebesi, Pulau Sebuku hingga kawasan Labuhan pada pukul 9,5, gelombang S2 terus mencapai Teluk Lada-Labuhan pada pukul 10,5. Menurut Fatoni (2011), gelombang pasang ganda yang merambat di perairan barat Sumatera merupakan rambat dari Samudera Hindia dan gelombang pasang di tenggara Sumatera merupakan rambat gelombang pasang dari Samudera Hindia yang masuk melalui Selat Malaka. ke perairan Batam hingga Selat Karimata.

Perambatan gelombang pasang K1 berasal dari Laut Jawa (Gambar 7 g), dimana perambatan gelombang pasang sebagian akan merambat ke Selat Karimata dan sebagian lagi merambat ke perairan Selat Sunda.

Gelombang pasang K1, di wilayah perairan Selat Sunda dimulai pukul 12 di Mer

ke barat wa Semangka, yang mana

Teluk Lampung adalah sh

(A)

16 ke Puhawa

dari Karimata

seperti yang ditunjukkan pada Gambar akan terus pr Propagasi

terus menyebar

waktu yang sama, pada jam 18

ke perairan Sumatera Barat yang serupa dengan gelombang pasang K1. Arah rambat gelombang pasang O1 berasal dari Samudera Pasifik yang melewati Selat Makassar menuju Laut Jawa dan menjalar dari Laut Natuna menuju Selat Sunda. Menurut Fatoni (2013), gelombang pasang K1 yang berasal dari Laut Jawa merupakan penjalaran dari Samudera Pasifik melewati Laut Sulawesi melalui Selat Makassar.

(B)

Gambar 8: (a) Grafik Z0 (b) Jenis grafik pasang surut

4. Hasil

Grafik co-range yang menunjukkan amplitudo gelombang di Selat Sunda dipengaruhi oleh unsur harmonik semidiurnal (M2, S2) secara dominan. Tinggi amplitudo gelombang maksimum di Selat Sunda diwakili oleh amplitudo gelombang M2 dengan nilai tinggi 36 cm dan tinggi gelombang minimum diwakili oleh amplitudo gelombang O1 dengan tinggi 2 cm. Grafik co-fase menunjukkan perambatan pasang surut K1 dan O1 tersebar dari 10 sampai akhir 20, sedangkan perambatan pasang surut penyusun harmonik semidiurnal M2 dan S2 tersebar dari 4 sampai 10. Tipe pasang surut di Selat Sunda didominasi oleh campuran pasang surut semidiurnal dan ketinggian Z0 berkisar antara 40 cm hingga 100 cm. Perambatan pasang surut penyusun harmonik semidiurnal (M2, S2) di Selat Sunda bersumber dari Samudera Hindia. Gelombang pasang tersebut mengalir melalui Perairan Sumatera bagian barat dan Selat Malaka (mengalir melalui Perairan Batam hingga Selat Karimata, terus menerus). Perambatan pasang surut penyusun harmonik diurnal (O1, K1) di Selat Sunda bersumber dari Samudera Pasifik. Gelombang pasang tersebut mengalir melalui Laut Jawa dan Laut Cina Selatan (mengalir melalui Selat Karimata).

3.4. Peta Sebaran Z0 dan Jenis Grafik Pasang Surut

Distribusi Z0 dan jenis grafik pasang surut ditunjukkan pada Gambar 8

A. Grafik tersebut ditunjukkan dengan pertimbangan ketinggian formzahl dan Z0 di Selat Sunda. Gambar 8 a merupakan grafik sebaran Z0 di Selat Sunda, dimana ketinggian Z0 mempunyai jumlah yang seragam berdasarkan garis countor. Selat Sunda bagian utara tinggi Z0 mempunyai kecenderungan tinggi yang lebih rendah, misalnya di daerah Merak tinggi Z0 50 cm, sedangkan di daerah Bakauheni sampai Cilegon nilai konturnya 60 cm. Ketinggian Z0 di sekitar perairan Selat Sunda berkisar antara 50 cm hingga 100 cm. Tipe pasang surut di perairan Selat Sunda didasarkan pada bilangan formzahl (Gambar 8 b), yang menunjukkan tipe pasang surut di perairan Selat Sunda dipengaruhi oleh ketinggian amplitudo O1, K1, M2 dan S2. Jika tinggi amplitudo O1 dan K1 lebih besar dibandingkan tinggi M2 dan S2, maka tipe pasang surut di perairan tersebut cenderung diurnal atau tipe campuran diurnal.

Konflik kepentingan

Penulis menyatakan tidak ada konflik kepentingan terkait penerbitan makalah ini.

Pengakuan

Penulis mengucapkan terima kasih kepada PUSHIDROSAL

(Pusat Hidrografi dan Oseanografi TNI Angkatan Laut), dan

(7)

Departemen Oseanografi dan Kajian Rehabilitasi Pesisir dan Mitigasi Bencana (CoREM) Universitas Diponegoro yang telah mendukung penelitian kami.

[17] F. Ye, YJ Zhang, HV Wang, MAM Friedrichs, ID Irby, E. Alteljevich, A. Valle- Levinson, Z. Wang, H. Huang, J. Shen, dan J. Du, “Sebuah 3D tidak terstruktur -model jaringan untuk Teluk Chesapeake: Pentingnya batimetri,” Pemodelan Laut,127, 16-39, 2018. https://doi.org/10.1016/

j.ocemod.2018.05.002

[18] JU Kitheka, BO Ohowa, BM Mwashote, WS Shimbira, JM Mwaluma dan JM Kazungu, “Dinamika sirkulasi air, nutrisi kolom air dan produktivitas plankton di teluk tropis yang disiram dengan baik di Kenya,” Journal of Penelitian Laut,35(4), 257-268, 1996. https://

doi.org/10.1016/S1385-1101(96)90753-4

[19] S. Canhanga dan JM Dias, “Karakteristik pasang surut Teluk Maputo, Mozambik,” Jurnal Sistem Kelautan,58, 83-97, 2005. https://doi.org/

10.1016/j.jmarsys.2005.08.001

[20] N. Carpman, dan K. Thomas, “Karakterisasi sumber daya pasang surut di Folda Fjord, Norwegia,” Jurnal Internasional Energi Kelautan,13, 27 – 44, 2016.

https://doi.org/10.1016/j.ijome.2016.01.001

[21] L. Rose, dan PK Bhaskaran, “Perambatan pasang surut dan karakteristik non-liniernya di Teluk Kepala Benggala,” Estuarine, Coastal and Shelf Science,188, 181-198, 2017. https://doi.org/10.1016/j.ecss.2017.02.024 [22] WJ Pringle, D. Wirasaet, A. Suhardjo, J. Meixner, JJ Westerink, AB Kennedy, dan S.

Nong, “Model barotropik Elemen Hingga untuk Samudera Hindia dan Pasifik Barat: perbandingan dan sensitivitas data model pasang surut ,”

Pemodelan Laut,129, 13-38, 2018. https://

doi.org/10.1016/j.ocemod.2018.07.003

[23] KI Fatoni, Pemetaan Pasang Surut dan Pola Perambatannya di Perairan Indonesia (Grafik Pasang Surut dan Pola Perambatan Pasang Surut di Laut Indonesia).

Tesis. Bogor : Institut Pertanian Bogor, 2011.

[24] JI Pariwono, Kondisi Pasang Surut di Indonesia Dalam Pasang Surut. Redaksi : OSR Ongkosongo dan Suyarso. Jakarta : Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 1989.

[25] IHO, Batas Oceanos dan Lautan Edisi ke-4. Monako. S Publikasi IHO 23.2002.

[26] I. Mahmudin, Suyatna, Adnan, “Prediksi pasang surut menggunakan proses neural nets (backpropagation) di Pantai Indah Muara Badak Kabupaten Kutai Kartanegara Kalimantan Timur,” Jurnal Ilmu Perikanan Tropis,22

(1), 010-019, 2016.

[27] Fadilah, Suripin dan DP Sasongko, “Menentukan Tipe Pasang Surut dan Muka Air Rencana Perairan Laut Kabupaten Bengkulu Tengah Menggunakan Metode Admiralty,” Jurnal Maspari,6(1), 1-12, 2013.

[28] X. Wang, Y. Chao, C. Dong, J. Farrara, L. Zhijin L, JC Mc Williams, JD Paduan, dan LK Rosenfield, “Pemodelan pasang surut di Monterey Bay, California,” Deep-Sea Research II ,56, 219-231, 2009. https://doi.org/

10.1016/j.dsr2.2008.08.012

[29] JM Pasaribu dan SH Nanik, “Perbandingan teknik interpolasi DEM SRTM menggunakan metode inverse distance Weighted (IDW), natural neighbour dan spline,” Jurnal Penginderaan Jauh,9(2), 126-139, 2012.

[30] K. Segeth, “Beberapa spline yang dihasilkan oleh interpolasi halus,” Matematika dan Komputasi Terapan,319, 387-394, 2017. https://doi.org/10.1016/

j.amc.2017.04.022

[31] S. Pond dan GL Pickard, Pengantar Oseanografi Dinamis. Edisi ke-2.

Pergamon pers, 329 hal, 1983.

https://doi.org/10.1016/B978-0-08-057054-9.50007-9

Referensi

[1] AS Rahmawitri, Herwi, Atmadipoera, SS Sukoraharjo, “Pola sirkulasi dan variabilitas arus di Perairan Selat Sunda,” Jurnal Kelautan Nasional,11(3), 141-157, 2017.

https://doi.org/10.15578/jkn.v11i3.6115

[2] Y. Xu, L. Wang, X. Yin, X. Ye, D. Li, S. Liu, X. Shi, RA Troa, R. Zuraida, dan E. Triarso, “Pengaruh Selat Sunda pembukaan perubahan

paleoenviromental di Samudera Hindia Timur,” Journal of Asian Earth Science,146, 402-411, 2017. https://doi.org/10.1016/

j.jseaes.2017.06.014

[3] JE Simanjorang, WS Pranowo, LP Sari, NP Purba dan ML Syamsuddin,

“Membangun database Ekoregion Laut Jawa Level-2 berdasarkan parameter fisik oseanografi,” IOP Conf. Seri: Ilmu Bumi dan Lingkungan,176(2018) 012009, 2018. https://doi.org/

10.1088/1755-1315/176/1/012009

[4] PD Anggara, TM Alam, D. Adrianto, dan WS Pranowo, “Karakteristik gelombang di Laut Natuna dan sekitarnya untuk keperluan pangkalan operasi angkatan laut,” Seri Konferensi IOP: Ilmu Bumi dan Lingkungan 176 (1), 1 – 12 , 2018.

https://doi.org/10.1088/1755-1315/176/1/012009

[5] X. Qu dan Q. Meng, “Pengembangan dan penerapan model simulasi untuk kapal di Selat Singapura,” Sistem Pakar dengan Jurnal Aplikasi, 39, 8430-8438, 2012. https://doi.org/10.1016/j.eswa.2012.01.176 [6] S. Febrica, Keamanan Maritim dan Indonesia: Kerja Sama, Kepentingan dan

Strategi. Keamanan Maritim dan Indonesia: Kerjasama, Kepentingan dan Strategi. 2017.

https://doi.org/10.4324/9781315541815

[7] F. Azmi, CL Hewitt, dan ML Campbell, “Model jaringan hub and spoke untuk menganalisis penyebaran sekunder spesies laut introduksi di Indonesia,”

ICES Journal of Marine Science,72(3), 1069-1077, 2015. https://doi.org/

10.1093/icesjms/fsu150

[8] M. Wahab, DP Kurniadi, TT Estu, D. Mahmudin, YY Maulana, dan Sulistyaningsih, “Pengembangan jaringan radar pantai di Selat Sunda,”

Telkomnika (Telecommunication Computing Electronics and Control),14 (2), 507-514, 2016.

https://doi.org/10.12928/telkomnika.v14i2.2497

[9] FJ Sluiman, “Penjadwalan kapal transit,” Naval Research Logistics,64(3), 225-248, 2017.

https://doi.org/10.1002/nav.21742

[10] H. Lelgemann, MA Gutscher, J. Bialas, E. Flueh, W. Weinrebe, dan C.

Reichert, “Cekungan transisi di Selat Sunda bagian barat,” Geophys. Res.

Biarkan.27, 3545 – 3548, 2000. https://

doi.org/10.1029/2000GL011635

[11] C. Susilohadi, Gaedicke dan Y. Djajadihardja, “Struktur dan pengendapan sedimen di Selat Sunda, Indonesia,” Jurnal Tectonophysics,467, 56-71, 2009.

https://doi.org/10.1016/j.tecto.2008.12.015

[12] Dishidros, Kepanduan Bahari Indonesia Wilayah I Edisi Tahun 2014.

Jakarta : Pusat Hidrografi dan Oseanografi TNI Angkatan Laut, 2008.

[13] DP Sobaruddin, A. Armawi, dan E. Martono, “Model Traffic Separation Scheme (TSS) di alur laut kepulauan Indonesia (ALKI) I di Selat Sunda dalam mewujudkan ketahanan wilayah,” Jurnal Ketahanan Nasional,23(

1), 104-122, 2017.

https://doi.org/10.22146/jkn.22070

[14] AK Jolly, “Pengurangan pasang surut dalam survei hidrografi digital,”

International Hydrographic Review,4(1), 82-86, 2003.

[15] W. Zhang, Y. Cao, Y. Zhu, J. Zheng, X. Ji, Y. Xu, Y. Wu, dan AJF Hoitink,

“Mengungkap penyebab asimetri pasang surut di delta,” Jurnal Hidrologi, 564, 588-604, 2018. https://doi.org/10.1016/j.jhydrol.2018.07.023 [16] van Maanen, B., G. Coco, dan KR Bryan, “Pemodelan efek rentang pasang

surut dan batimetri awal pada evolusi morfologi tanggul pasang surut,”

Geomorfologi,191, 23-34, 2013. https://doi.org/10.1016/

j.geomorph.2013.02.023

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil simulasi hidrodinamika tersebut, akan didapat hasil nilai-nilai perhitungan hidrodinamika seperti waktu, pasang surut, kecepatan arus, arah arus, kedalaman, dan daerah

[r]