• Tidak ada hasil yang ditemukan

ASUHAN KEPERAWATAN PADA An.Y (Usia 12 Tahun) DENGAN POD I KANTOTOMI DAN KANTOLISIS ODS a.i TRAUMA OKULI DI PMN RS MATA CICENDO BANDUNG

N/A
N/A
ilham

Academic year: 2023

Membagikan "ASUHAN KEPERAWATAN PADA An.Y (Usia 12 Tahun) DENGAN POD I KANTOTOMI DAN KANTOLISIS ODS a.i TRAUMA OKULI DI PMN RS MATA CICENDO BANDUNG"

Copied!
1
0
0

Teks penuh

(1)

Karya Tulis Ilmiah

Diajukan Sebagai Syarat Memperoleh Gelar Ners

DAMERIA ZEGA NPM 4121197

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS FAKULTAS KEPERAWATAN

INSTITUT KESEHATAN RAJAWALI BANDUNG

2022

(2)

Judul : Asuhan keperawatan pada an.Y (usia 12 tahun) dengan POD 1 Kantotomi dan kantolisis ODS a.i trauma okuli di PMN RS Mata Cicendo Bandung Nama mahasiswa : Dameria Zega

NPM : 4121197

Program Studi : Pendidikan Profesi Ners

Menyetujui, Pembimbing

Lucia Ariyanthi, S.Kep.,Ners,MH.Kes

(3)

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan Kasih dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan laporan karya tulis ilmiah ini dengan judul Asuhan keperawatan pada an.Y (usia 12 tahun) dengan POD 1 Kantotomi dan kantolisis ODS a.i trauma okuli di PMN RS Mata Cicendo Bandung. Laporan karya tulis ilmiah ini disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan studi dan untuk mendapatkan gelar Ners pada Program Profesi Ners di Institut Kesehatan Rajawali Bandung.

Laporan Karya tulis ilmiah ini terwujud atas dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh sebab itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih yang tulus kepada:

1. Ibu Tonika Tohri, S.Kp., M.Kes. selaku Rektor Institut Kesehatan Rajawali Bandung.

2. Ibu Istianah, S.Kep., Ners, M.Kep. selaku Dekan Fakultas Keperawatan Institut Kesehatan Rajawali Bandung.

3. Irayanti, dr., Sp.M.(K)., MARS. selaku Direktur Utama PMN Rumah Sakit Mata Cicendo Bandung

4. Ibu Teti Sugiarti, S.Kep,Ners,. M.Kep selaku Kasie Keperawatan serta Ibu Neni Rostieni, S.Kep.Ners selaku Kepala instalasi Rawat Inap PMN RS Mata Cicendo Bandung Kepala Ruangan beserta RS. di PMN RS Mata Cicendo yang telah memberikan izin dan memfasilitasi selama proses pendidikan.

5. Bapak Budi Rustandi, S. Kep., Ners, M. Kep. selaku ketua Koordinator Profesi Ners Institut Kesehatan Rajawali Bandung

6. Ibu Lucia Ariyanthi, S.Kep.,Ners,MH.Kes. Selaku pembimbing dalam penyusunan laporan karya tulis ilmiah, yang telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, pengarahan dan bantuan selama penyusunan laporan karya tulis ilmiah ini.

7. Ibu Kepala Ruangan Lantai 1, Ibu Perawat primer dan teman-teman seperjuangan perawat serta staf Ruangan Lantai 1 Rumah sakit mata Cicendo

iii

(4)

9. Pasangan yang luar biasa,orang tuaku tercinta, Bapak Talizenda Zega (+) dan Ibu Tiurlan Simanjutak yang selalu memberikan dukungan doa dan motivasi baik moril maupun materil kepada penulis agar terselesaikan penyusunan karya tulis ilmiah ini

10. Keluarga kecilku: Suamiku Robert Kennedy Manalu dan ketiga anak-anakku:

Hana Christina Magdalena Manalu, Thaddeus Raphael Saputra, Louis Nathan Abednego Manalu yang telah memberikan dukungan dalam penyusunan laporan karya tulis ilmiah ini.

11. Rekan-rekan mahasiswa program Studi Ners Kelas Bandung angkatan 2022 yang telah memberikan motivasi dan bantuan moral maupun moril dalam penyusunan karya tulis ilmiah ini

Penulis menyadari bahwa laporan karya tulis ilmiah ini masih memiliki banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis menerima berbagai kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan dalam yang akan dilakukan selanjutnya. Penulis berharap Tuhan Yang Maha Kuasa membalas semua kebaikan yang telah diberikan oleh semua pihak.

Bandung, Januari 2023 Penulis

iv

(5)

LEMBAR PENGESAHAN

KATA PENGANTAR... iii

DAFTAR ISI... v

BAB I PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan... 5

1.3 Metoda Pengumpulan Data... 5

1.4 Sistematika Penulisan... 6

1.5 Manfaat... 6

BAB II TINJAUAN TEORITIS... 8

2.1 Konsep Dasar Penyakit Trauma Okuli... 8

2.2 Konsep Kekritisan/ Kegawataduratan Mata... 30

2.3 Konsep Tumbuh Kembang Anak Usia 12 Tahun (Remaja)... 34

2.4 Konsep Dasar Asuhan Keperawatan ... 39

BAB III TINJAUAN KASUS... 61

3.1 Pengkajian Keperawatan... 61

3.2 Diagnosa Keperawatan... 69

3.3 Perencanaan Keperawatan... 72

3.4 Implementasi Keperawatan... 86

3.5 Evaluasi Keperawatan... 89

BAB IV PEMBAHASAN... 94

BAB V SIMPULAN DAN SARAN... 104

DAFTAR PUSTAKA... 106

v

(6)

Perdarahan retrobulbar merupakan suatu kondisi darurat mata yang terjadi akibat adanya perdarahan di daerah belakang bola mata. Kejadian perdarahan retrobulbar sangat jarang dan dapat terjadi baik secara spontan, akibat trauma orbita, anomali pembuluh darah orbita, komplikasi pembedahan mata dan sinus termasuk saat penyuntikan anestesi peribulbar atau retrobulbar. Perdarahan retrobulbar bersifat progresif dan mengancam penglihatan yang ditandai dengan proptosis, ophthalmoplegia, peningkatan TIO yang mendadak serta nervus optikus atau retina yang pucat. Penurunan penglihatan yang terjadi bervariasi bahkan dapat menjadi permanen jika tidak mendapatkan penanganan yang tepat sejak awal. Penanganan berupa pemberian medikamentosa dan pembedahan harus segera diberikan setelah diagnosa ditegakkan. Deteksi dini dan penanganan yang tepat sangat penting untuk mencegah hilangnya penglihatan.

Kondisi kegawatdaruratan pada mata merupakan suatu tindakan emergensi. Secara definisi gawat artinya mengancam nyawa, sedangkan darurat adalah perlu mendapatkan penanganan atau tindakan segera untuk menghilangkan ancaman nyawa korban. Gawat darurat adalah keadaan yang mengancam nyawa yang harus dilakukan tindakan segera untuk menghindari kecacatan bahkan kematian korban (Hutabarat & Putra, 2016).

Pada bidang mata, kondisi gawat darurat adalah kondisi yang mengancam penglihatan sehingga penglihatan dapat menurun baik sementara ataupun permanen. Masalah kedaruratan pada mata meliputi penurunan tajam penglihatan, kebutaan dan estetika. Berdasarkan terminologi Brimingham Eye Trauma Terminology (BETT) membagi trauma mata menjadi dua, yaitu trauma mata terbuka atau open globe injury dan trauma mata tertutup atau clossed gloge injury (CGI). Open globe injury adalah tipe trauma okuli dimana luka yang terjadi mengenai keseluruhan tebal dinding bola mata (Kuhn dkk, 2010).

(7)

Prevalensi trauma okuli di Amerika Serikat sebesar 2,4 juta pertahun dan sedikitnya setengah juta diantaranya menyebabkan kebutaan. Di dunia, kira-kira terdapat 1,6 juta orang yang mengalami kebutaan, 2,3 juta mengalami penurunan/fungsi penglihatan bilateral, dan 19 juta mengalami penurunan fungsi penglihatan unilateral akibat trauma okuli . Di Indonesia angka kejadian cedera atau trauma pada mata adalah sebesar 0,6% (INFODATIN, 2014). Sedangkan Angka kejadian perdarahan retrobulbar sangat kecil, dengan penyebab paling

sering yaitu

kasus trauma tumpul atau penetrasi orbita memiliki insiden 0.45-12%, 0.44%-3%

pada injeksi anestesi retrobulbar, 0.0052% pada kasus post operasi blepharoplasty, 0.3% pada penanganan fraktur facial dan 0.006% pada pembedahan sinus endoskopik.

Trauma okuli mempunyai manifestasi klinis yang beragam dan bisa terjadi pada semua kalangan usia. Penatalaksanaan yang dilakukan juga berbeda sesuai dengan manifestasi klinis, penyebab dan potensi perbaikan setelah dilakukan tindakan. Sebagian besar kasus trauma mata tidak bisa selesai di daerah saja dan harus dirujuk ke pusat pelayanan yang lebih lengkap seperti ke tingkat pelayanan tersier. Komplikasi yang ditimbulkan trauma mata bisa dari yang paling ringan seperti akibat dari ruptur kornea, ruptur sklera, prolaps cairan bola mata sampai yang menimbulkan kebutaan dan kecacatan seumur hidup. Kegawatdaruratan mata akibat trauma harus ditangani dengan cepat karena dapat menyebabkan gangguan penglihatan. Kecepatan diagnosis dan terapi sementara pada awal triase dapat menentukan prognosis pasien. Manajemen trauma dapat berupa non bedah dan bedah yang penanganannya bergantung dari jenis trauma.

Intervensi dini pada kasus perdarahan retrobulbar penting untuk mempertahankan penglihatan. Penanganan bertujuan untuk menurunkan tekanan intraorbita dan melindungi nervus optikus. Pengobatan dengan medikamentosa biasanya dipertimbangkan pada kasus dengan perdarahan retrobulbar yang ringan.

Setelah diagnosa perdarahan retrobulbar ditegakkan, harus segera dilakukan tindakan evakuasi hematoma. Tindakan dekompresi harus dilakukan dalam 2 jam setelah onset gejala untuk mencegah kerusakan permanen, dan untuk memperoleh

(8)

setelah onset terjadinya perdarahan. Tindakan dekompresi darurat dapat dilakukan dengan cara melakukan kantotomi dan kantolisis. Kantotomi lateral, adalah perawatan darurat untuk sindrom kompartemen orbita. Kantolisis adalah kantotomi ditambah sayatan cabang inferior (crus) dari tendon

Pusat Mata Nasional (PMN) Rumah Sakit Mata Cicendo Bandung sebagai satu-satunya Rumah sakit mata rujukan secara nasional dalam periode 3 bulan terakhir didapatkan angka 50 besar penyakit di ruang rawat inap, yaitu sebagai berikut:

Tabel 1.1: Laporan Rangking 50 Penyakit Terbanyak Berdasarkan Diagnosa Kode Icd Periode 01-08-2022 S/D 30-10-2022 Di Unit Rawat Inap Rs. Mata Cicendo Bandung

No. Kode

Deskripsi Jumlah

Keseluruhan Icd

1 H25.0 Senile Incipient Cataract 293

2 H35.9 Retinal Disorder, Unsp 212

3 Z96.1 Presence Of Intraocular Lens, Pseudophakia 187 4 H40.5 Glaucoma Secondary To Other Eye Disorders 174

5 I10 Essential ( Primary ) Hypertension 157

6 H33.0 Retina Detachment With Retinal Break 144

7 H40.2 Primary Angle-Closure Glaucoma 133

8 H59.8 Other Postprocedural Disorders Of Eye And Adnexa 131 9 E11.3 Non - Insulin - Dependent Diabetes Mellitus, With Opthalmic

Complications [Cataract, Retinopathy] 119

10 H36.0 Diabetic Retinopathy 119

11 H26.2 Complicated Cataract 89

12 H33.4 Traction Detachment Of Retina 86

13 H27.0 Aphakia 84

14 H16.0 Corneal Ulcer 81

15 H43.1 Vitreous Haemorrhage 79

16 C69.2 Retina 76

17 H40.1 Primary Open-Angle Glaucoma 65

18 H35.2 Other Proliferative Retinopathy 57

19 H05.2 Exophtalmos 52

20 H44.1 Other Endophthalmitis 51

21 H52.1 Myopia 50

22 H46 Optic Neuritis 46

23 Z51.1 Chemotherapy Session For Neoplasm 46

(9)

24 H25.1 Senile Nulcrear Cataract 42

25 H27.1 Dislocation Of Lens 40

26 E05.0 Thyrotoxicosis With Diffuse Goite, Exophthalmic Or Toxic

Goitre Nos 39

27 E11.9 Non - Insulin - Dependent Diabetes Mellitus Without

Complications 39

28 H06.2 Dysthyroid Exophthalmos ( E05- ) 39

29 H35.3 Degeration Of Macula And Poster Or Pole 38

30 H44.8 Other Disorders Of Globe 34

31 S05.3 Ocular Laceration Without Prolapse Or Loss Of Intraocular

Tissue 34

32 H04.5 Stenosis And Insufficiency Of Lacrimal Passages 31

33 H35.8 Other Spedified Retinal Disorders 29

34 H26.1 Traumatic Cataract 29

35 H21.8 Other Specified Disorders Of Iris And Ciliary Body 25 36 H26.0 Infantile, Juvenile And Presenile Catatact 24

37 D23.1 Skin Of Eyelid Including Canthus 24

38 H11.0 Pterygium 23

39 H33.2 Serous Retinal Detachment/ Ablatio Retina 23

40 Q12.0 Congenital Cataract 23

41 H40.0 Glaucoma Suspect 21

42 H59.9 Postpocedural Disorders Of Eye And Adnexa, Unspecified 19

43 H43.3 Other Vitreous Opacities 18

44 H35.4 Peripheral Retinal Degeneration 18

45 S05.8 Other Injuries Of Eye And Orbit 17

46 H18.9 Disordres Of Cornea, Unspecified 16

47 H44.5 Degenerated Conditions Of Globe 16

48 D31.6 Orbit, Unspecified 15

49 H53.0 Amblyopia Ex Anopsia 14

50 Z53.0 Procedure Not Carried Out Becouse Of Contraindication 13

- - Diagnosa Lainnya 438

- - Total 3672

Sumber: IT RS. Mata Cicendo

Berdasarkan table 1.1 didaptakan data bahwa kejadian dari 50 besar penyakit yang terdapat di rawat inap periode Agustus-Oktober 2022, kejadian trauma pada mata berada pada urutan ke 31 yaitu sebesar 34 kejadian.

Berdasarkan data diatas maka penulis tertarik untuk membuat laporan karya tulis ilmiah dengan judul Asuhan keperawatan pada an.Y (usia 12 tahun) dengan POD 1 Kantotomi dan kantolisis ODS a.i trauma okuli di PMN RS Mata Cicendo Bandung.

(10)

1.2.1. Tujuan Umum

Mampu memberikan asuhan keperawatan pada an.Y (usia 12 tahun) dengan POD 1 Kantotomi dan kantolisis ODS a.i trauma okuli di PMN RS Mata Cicendo Bandung.

1.2.2. Tujuan Khusus

1. Dapat melakukan pengkajian pada An. Y (12 tahun) dengan POD 1 Kantotomi dan kantolisis ODS a.i trauma okuli

2. Dapat menentukan masalah dan diagnosa keperawatan pada An. Y (12 tahun) dengan POD 1 Kantotomi dan kantolisis ODS a.i trauma okuli

3. Dapat menentukan intervensi keperawatan pada An. Y (12 tahun) dengan POD 1 Kantotomi dan kantolisis ODS a.i trauma okuli

4. Dapat melaksanakan tindakan keperawatan yang telah disusun

5. Melakukan evaluasi tindakan keperawatan pada An. Y (12 tahun) dengan POD 1 Kantotomi dan kantolisis ODS a.i trauma okuli

6. Mendokumentasikan asuhan keperawatan pada Y (12 tahun) dengan POD 1 Kantotomi dan kantolisis ODS a.i trauma okuli.

1.3. METODE PENGUMPULAN DATA

Metode yang digunakan dalam penulisan laporan ini adalah metode analitik deskriptif dengan menggunakn studi kasus, pengumpulan data yang dipergunakan adalah:

1. Observasi yaitu pengumpulan data dengan melihat secara langsung keadaan klien, mengenai masalah kesehatan dan keperawatan klien.

2. Partisipasi aktif yaitu dengan melakukan pemeriksaan fisik pada klien guna menentukan masalah kesehatan klien.

3. Wawancara dengan menanyakan pada klien, keluarga, perawat dan dokter yang menangani klien guna mendapatkan data mengenai kondisi klien.

4. Studi dokumenter yaitu pengumpulan data dengan melihat dari status laporan klien untuk dijadikan salah satu dasar dalam melakukan asuhan keperawatan.

(11)

5. Studi kepustakaan yaitu pengumpulan data yang berhubungan dengan penyakit sistem penglihatan khususnya trauma okuli melalui membaca beberapa lieratur.

1.4. SISTEMATIKA PENULISAN

Sistematika penulisan dalam laporan karya tulis ilmiah ini adalah sebagai berikut:

Bab I : Pendahuluan berisi tentang latar belakang tujuan penulisan, metode pengumpulan data dan sistematika penulisan

Bab II : Tinajauan teoritis berisi tentang konsep dasar trauma okuli yang meliputi: definisi, anatomi fisiologi sistem penglihatan, etiologi, klasifikasi, patofisiologi, dampak trauma okuli terhadap sistem tubuh lain , dan manajemen medik secara umum, teori kegawatdaruratan mata, teori Tumbuh kembang anak usia remaja, serta teori proses asuhan keperawatan pada klien dengan trauma okuli

Bab III : Tinjauan kasus berisi asuhan keperawatan pada klien dengan trauma okuli meliputi, pengkajian, diagnosa, perencanaan, implementasi dan evaluasi

Bab IV : Pembahasan berisi tentang konsep dan teori perawatan klien dengan trauma okuli membandingkan dengan kenyataan dilapangan

Bab V : Simpulan dan saran berisi tentang asuhan keperawatan pada klien dengan trauma okuli.

1.5. MANFAAT 1.5.1 Manfaat Teoritis

Laporan karya tulis ilmiah ini diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan dan sebagai referensi laporan selanjutnya, khususnya pada kasus Asuhan keperawatan pada an.Y (usia 12 tahun) dengan POD 1 Kantotomi dan kantolisis ODS a.i trauma okuli di PMN RS Mata Cicendo Bandung.

1.5.2 Manfaat Praktik

(12)

Penyusunan laporan karya tulis ilmiah ini diharapkan menjadi salah satu pilihan dalam perencanaan keperawatan pada pasien dengan trauma okuli.

2. Bagi Rumah Sakit

Penyusunan laporan karya tulis ilmiah ini diharapkan dapat menjadi acuan untuk meningkatkan pelayanan pada pasien dengan trauma okuli.

3. Bagi Pasien dan keluarga

Diharapkan pasien dan keluarga dengan perawatan dan pendidikan kesehatan yang diberikan dapat meningkatkan derajat kesehatan pasien untuk kedepannya dan mengetahui perawatan trauma okuli dengan benar.

(13)

2.1 KONSEP DASAR PENYAKIT TRAUMA OKULI 2.1.1 Definisi

Trauma okuli adalah trauma atau cedera yang terjadi pada mata yang dapat mengakibatkan kerusakan pada bola mata, kelopak mata, saraf mata dan rongga orbita, kerusakan ini akan memberikan penyulit sehingga mengganggu fungsi mata sebagai indra penglihatan(Ilyas, 2012).

2.1.2 Klasifikasi

Klasifikasi menurut Birminghamm Eye Trauma Terminology (BETT), Trauma mata terbagi dua yaitu trauma mata tertutup bila tidak menembus melewati struktur dinding bola mata (non-full thickness) dan trauma terbuka bila melewati seluruh struktur dinding bola mata (full thickness). Berdasarkan BETT, trauma okuli dibagi atas 2 yaitu:

1. Trauma bola mata tertutup (closed globe injury) a. Kontusio

Pada kontusio tidak terdapat luka pada permukaan bola mata. Trauma terjadi karena energi yang dibawa oleh objek, misalnya energi kinetik yang dibawa oleh benturan yang menyebabkan perubahan bentuk dari bola mata.

b. Laserasi lamellar

Terjadi apabila luka mengenai sebagian dinding bola mata namun tidak melewatinya.

2. Trauma bola mata terbuka (Open-globe Injury)

a. Ruptur Ruptur bola mata merupakan luka pada seluruh dinding bola mata karena sebuah objek dari luar yang tumpul (blunt) namun efek trauma dari objek tersebut bukan hanya pada area lokal yang bersentuhan tetapi juga di area lain pada bola mata. Energi yang timbul dari objek tersebut menyebabkan peningkatan tekanan intraokuler sesaat sehingga dinding

8

(14)

mechanism).

b. Laserasi 1. Penetrasi:

Dikatakan trauma penetrasi bila terjadi luka masuk dan prolaps dari isi bola mata.

2. Intraocular foreign body (IOFB)

Dikatakan IOFB apabila terdapat satu atau lebih bagian objek penyebab trauma tertinggal di dalam mata.

3. Perforasi

Dikategorikan sebagai perforasi apabila terdapat luka masuk dan luka keluar pada bola mata.

Bagan 2.1 Klasifikasi Trauma Okuli Berdasarkan BETT (Kuhn, 2010)

2.1.3 Anatomi dan Fisiologi 2.1.3.1 Kelopak mata (palpebra)

Palpebra mempunyai fungsi melindungi bola mata serta mengeluarkan sekresi kelenjar yang membentuk film air mata di depan kornea. Palpebra alat

(15)

menutup mata yang berguna untuk melindungi bola mata terhadap trauma, trauma sinar dan pengeringan bola mata.

Pada palpebra terdapat bagian-bagian:

1) Kelenjar

Beberapa kelenjar yang terdapat di pelpebra seperti: sebasea, kelenjar Moll, kelenjar Zeis pada pangkal rambut, dan kelenjar Meibom pada tarsus bermuara pada margo palpebra.

2) Otot

1. M. Orbikularis okuli yang berjalan melingkar di dalam kelopak atas dan bawah, dan terletak di bawah kulit kelopak. M. orbikularis berfungsi menutup mata untuk menutup bola mata yang dipersarafi Nervus Fasial (N VII).

2. M. levator palpebra terlihat sebagai sulkus (lipatan) palpebral. Otot ini dipersarafi N. III (Okulomotorius) yang berfungsi untuk mengangkat kelopak mata atau membuka mata. Pembuluh darah yang memperdarahi adalah arteri palpebra. Persarafan sensorik kelopak mata atas didapatkan dari ramus frontal N. V (Trigeminus), sedang kelopak mata bawah oleh cabang ke II saraf ke V (Ilyas, 2012).

(16)

Gambar 2.1 Palpebra Sobotta 2006 2.1.3.2 Konjungtiva

Konjungtiva merupakan membran yang menutupi sklera dan kelopak bagian belakang. Bermacam-macam obat dapat diserap melalui konjungtiva.

Konjungtiva mempunyai kelenjar musin yang dihasilkan oleh sel Goblet. Musin bersifat membasahi bola mata terutama kornea. Konjungtiva terdiri atas 3 bagian, yaitu: konjungtiva tarsal yang menutupi tarsus, konjungtiva bulbi yang menutupi sklera, dan konjungtiva forniks (Guyton, 2014).

2.1.3.3 Bola mata

Bola mata berbentuk bulat dengan panjang maksimal 24 mm. Bola mata di bagian depan (kornea) mempunyai kelengkungan yang lebih tajam sehingga 9 terdapat bentuk dengan kelengkungan yang berbeda. Bola mata dibungkus oleh 3 lapis jaringan, yaitu:

1. Sklera

Sklera merupakan jaringan ikat yang kenyal dan memberikan bentuk pada mata, merupakan bagian terluar yang melindungi bola mata. Bagian

(17)

terdepan sklera disebeut kornea yang bersifat transparan yang memudahkan sinar masuk ke dalam bola mata. Kelengkungan kornea lebih besar dibanding sklera. Sklera berjalan dari papil saraf sampai kornea.

Kornea (Latin cornum = seperti tanduk) adalah selaput bening mata, bagian selaput mata yang tembus cahaya, merupakan lapis jaringan yang menutup bola mata sebelah depan dan terdiri dari atas 5 lapis:

1) Epitel Tebalnya 50 μm, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang saling tumpang tindih; satu lapis sel basal, sel polygonal dan sel gepeng. Pada sel basal sering terlihat mitosis sel. Sel basal menghasilkan membran basal yang melekat erat kepadanya. Bila terjadi gangguan akan mengakibatkan erosi rekuren. Epitel berasal dari ektoderm permukaan.

2) Membran Bowman Terletak di bawah membran basal epitel kornea yang merupakan kolagen yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari bagian depan stroma. Lapis ini tidak mempunyai daya regenerasi.

3) Stroma Terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen yang sejajar satu dengan lainnya, pada permukaan terlihat anyaman yang teratur sedang di bagian perifer serat kolagen ini bercabang.

4) Membran descement Merupakan membran aseluler dan merupakan batas belakang stroma kornea dihasilkan sel endotel dan merupakan membran basalnya. Bersifat sangat elastik dan berkembang seumur hidup, mempunyai tebal 40 μm.

5) Endotel Berasal dari mesotelium, berlapis satu, bentuk heksagonal, besar 20-40 μm. Endotel melekat pada membran descement melalui hemidesmosom dan zonula okluden.

Kornea dipersarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal dari saraf siliar longus, saraf nasosiliar, saraf ke V saraf siliar longus berjalan suprakoroid, masuk kedalam stroma kornea, menembus membran Bowman melepaskan selubung Schwannya (Ilyas, 2017). Kornea merupakan bagian mata yang tembus cahaya dan menutup bola mata di sebelah depan.

(18)

dioptri pembiasan sinar masuk kornea dilakukan oleh kornea (Ilyas, 2017).

2. Jaringan uvea

Jaringan uvea merupakan jaringan vaskular. Jaringan sklera dan uvea dibatasi oleh ruang yang potensial mudah dimasuki darah bila terjadi perdarahan pada ruda paksa yang disebut perdarahan suprakoroid. Badan siliar yang terletak di belakang iris menghasilkan cairan bilik mata (akuous humor), yang dikeluarkan melalui trabekulum yang terletak pada pangkal iris di batas kornea dan sklera.

Sudut bilik mata yang dibentuk jaringan korneosklera dengan pangkal iris. Pada bagian ini terjadi pengaliran keluar cairan bilik mata. Bila terdapat hambatan pengaliran keluar cairan mata akan terjadi penimbunan cairan bilik mata di dalam bola mata sehingga tekanan bola mata meninggi atau glaukoma. Berdekatan dengan sudut ini di dapatkan jaringan trabekulum, kanal Schlemm, baji sklera, garis Schwalbe dan jonjot iris (Ilyas, 2017).

Pupil anak-anak berukuran kecil akibat belum berkembangnya saraf simpatis. Orang dewasa ukuran pupil adalah sedang, dan pada orang tua, pupil mengecil akibat rasa silau yang dibangkitkan oleh lensa yang sklerosis (Ilyas, 2017). Pupil waktu tidur 12 kecil, hal ini dipakai sebagai ukuran tidur, simulasi, koma dan tidur sesungguhnya. Fungsi mengecilnya pupil untuk mencegah aberasi kromatis pada akomodasi dan untuk memperdalam fokus seperti pada kamera foto yang diafragmanya di kecilkan (Ilyas, 2017).

Lensa terletak dibelakang pupil yang dipegang di daerah ekuatornya pada badan siliar melalui Zonula Zinn. Lensa mata mempunyai peran dan akomodasi atau melihat dekat sehingga sinar dapat difokuskan di daerah makula lutea (Ilyas, 2017).

Badan kaca merupakan suatu jaringan seperti kaca bening yang terletak antara lensa dan retina. Badan kaca mengisi rongga di dalam bola mata dan bersifat gelatin dan hanya menempel papil saraf optik, makula dan pars plana. Bila terdapat jaringan ikat didalam badan kaca disertai dengan tarikan pada retina, maka akan robek dan terjadi ablasi retina. Badan kaca bersifat

(19)

semi cair di dalam bola mata. Mengandung air sebanyak 90% sehingga tidak dapat lagi menyerap air (Ilyas, 2017).

3. Retina

Lapis ketiga bola mata adalah retina yang terletak paling dalam dan mempunyai susunan lapis sebanyak 10 lapis yang merupakan lapis membran neurosensoris yang akan merubah sinar menjadi rangsangan pada saraf optik dan diteruskan ke otak. Retina atau selaput jala, merupakan bagian mata yang mengandung reseptor yang menerima rangsangan cahaya (Ilyas, 2017).

Retina berbatas dengan koroid dengan sel pigmen epitel retina, dan terdiri atas lapisan :

1) Lapis fotoreseptor, merupakan lapis terluar retina terdiri atas sel batang yang mempunyai bentuk ramping dan sel kerucut.

2) Membran limitan eksterna yang merupakan membran ilusi.

3) Lapis nukleus luar, merupakan susunan lapisan nukleus sel kerucut dan batang. Ketiga lapis diatas avaskular dan mendapat metabolisme dari kapiler koroid.

4) Lapis fleksiform luar, merupakan lapis aselular dan merupakan tempat asinapsis sel fotoreseptor dengan sel bipolar dan sel horizontal.

5) Lapis nukleus dalam, merupakan tubuh sel bipolar, sel horizontal dan sel muller lapis ini mendapat metabolisme dari arteri retina sentral.

6) Lapis fleksiform dalam, merupakan lapis aselular merupakan tempat sinaps bipolar, sel amakrin dengan sel ganglion.

7) Lapis sel ganglion yang merupakan lapis badan sel daripada neuron kedua.

8) Lapis serabut saraf, merupakan lapis akson sel ganglion menuju saraf optik. Di dalam lapisan-lapisan ini terletak sebagian besar pembuluh darah retina.

9) Membran limitan interna, merupakan membran hialin antara retina dan badan kaca. Pembuluh darah di dalam retina merupakan cabang arteri oftalmika, arteri retina sentral masuk retina melalui papil saraf optik yang akan memberikan nutrisi pada retina dalam (Ilyas, 2017).

(20)

koroid. Untuk melihat fungsi retina maka dilakukan pemeriksaan subyektif retina seperti : tajam penglihatan, penglihatan warna, dan lapangan pandang. (Ilyas, 2017).

Saraf optik yang keluar dari polus posterior bola mata membawa 2 jenis serabut saraf, yaitu: saraf penglihat dan serabut pupilomotor. Kelainan saraf optik menggambarkan gangguan yang diakibatkan tekanan langsung atau tidak langsung terhadap saraf optik ataupun perbuatan toksik dan anoksik yang mempengaruhi penyaluran aliran listrik (Ilyas, 2017).

Gambar 2.3. Bola mata (Sobotta, 2006)

2.1.3.4 Orbita

Rongga orbita adalah rongga yang berisi bola mata dan terdapat 7 tulang yang membentuk dinding orbita yaitu : lakrimal, etmoid, sfenoid, frontal, dan 7

(21)

dasar orbita yang terutama terdiri atas tulang maksila, bersama-sama tulang palatinum dan zigomatikus (Ilyas, 2012).

Rongga orbita yang berbentuk pyramid ini terletak pada kedua sisi rongga hidung. Dinding lateral orbita membentuki sudut 45 derajat dengan dinding medialnya. Dinding orbita terdiri atas tulang:

1. Atap atau superior: os.frontal

2. Lateral: os.frontal, os. zigomatik, ala magna os sfenoid 3. Inferior: os. zigomatik, os. maksila, os. Palatin

4. Nasal: os. maksila, os. lakrimal, os. etmoid

Foramen optik terletak pada apeks rongga orbita, dilalui oleh saraf optik, arteri, vena, dan saraf simpatik yang berasal dari pleksus karotid. Fisura orbita superior di sudut orbita atas temporal dilalui oleh saraf lakrimal (V), saraf frontal (V), saraf troklear (IV), saraf okulomotor (III), saraf nasosiliar (V), abdusen (VI), dan arteri vena oftalmik (Ilyas, 2013) .

Gambar 2.4 Orbita (Vaughan, 2016) 2.1.3.5 Otot Penggerak Mata

(22)

mata tergantung pada letak dan sumbu penglihatan sewaktu aksi otot (Ilyas, 2017). Otot penggerak mata terdiri atas 6 otot yaitu :

a. Oblik inferior mempunyai origo pada fosa lakrimal tulang lakrimal, berinsersi pada sklera posterior 2 mm dari kedudukan makula, dipersarafi saraf okulomotor, bekerja untuk menggerakkan mata keatas, abduksi dan eksiklotorsi (Ilyas, 2017).

b. Otot oblik superior.

Oblik superior berorigo pada anulus Zinn dan ala parva tulang sfenoid di atas foramen optik, berjalan menuju troklea dan dikatrol balik dan kemudian berjalan di atas otot rektus superior, yang kemudian berinsersi pada sklera dibagian temporal belakang bola mata. Oblik superior dipersarafi saraf ke IV atau saraf troklear yang keluar dari bagian dorsal susunan saraf pusat (Ilyas, 2017).

c. Otot rektus inferior.

Rektus inferior mempunyai origo pada anulus Zinn, berjalan antara oblik inferior dan bola mata atau sklera dan insersi 6 mm di belakang limbus yang pada persilangan dengan oblik inferior diikat kuat oleh ligamen Lockwood.

Rektus inferior dipersarafi oleh n. III (Ilyas, 2017).

d. Otot Rektus Lateral.

Rektus lateral mempunyai origo pada anulus Zinn di atas dan di bawah foramen optik. Rektus lateral dipersarafi oleh N. VI. Dengan pekerjaan menggerakkan mata terutama abduksi (Ilyas, 2017).

e. Otot Rektus Medius. Rektus medius mempunyai origo pada anulus Zinn dan pembungkus dura saraf optik yang sering memberikan dan rasa sakit pada pergerakkan mata bila terdapat retrobulbar, dan berinsersi 5 mm di belakang limbus. Rektus medius merupakan otot mata yang paling tebal dengan tendon terpendek. Menggerakkan mata untuk aduksi (gerakan primer) (Ilyas, 2017).

f. Otot Rektus Superior. Rektus superior mempunyai origo pada anulus Zinn dekat fisura orbita superior beserta lapis dura saraf optik yang akan

(23)

memberikan rasa sakit pada pergerakkan bola mata bila terdapat neuritis retrobulbar. Otot ini 14 berinsersi 7 mm di belakang limbus dan dipersarafi cabang superior N.III (Ilyas, 2017).

Gambar 2.5. Otot penggerak bola mata (Dikutip dari Ansari MW)

2.1.4 Etiologi

Berdasarkan British Medical Journal (BMJ), trauma mata dapat di golongkan berdasarkan penyebabnya yaitu, trauma mekanik, trauma non mekanik yaitu trauma kimiawi, trauma termal, dan trauma radiasi.

1. Trauma Mekanik

Trauma mekanik dapat dibagi menjadi trauma tumpul dan trauma tajam.

Trauma tumpul merupakan trauma pada mata yang diakibatkan benda yang keras atau benda tidak keras dengan ujung tumpul, dimana benda tersebut dapat mengenai mata dengan kencang atau lambat sehingga terjadi kerusakan pada jaringan bola mata atau daerah sekitarnya (Augsburger &

Asbury, 2014). Trauma tumpul pada mata lebih sering disebabkan oleh trauma yang berasal dari benda tumpul seperti pukulan, terbentur bola.

Trauma tumpul dengan kekuatan yang besar akan menghasilkan tekanan anteroposterior, sehingga keadaan ini dapat juga menyebabkan peningkatan tekanan intraokuli, ruptur, dan robekan pada struktur intamata lainnya.

Keadaan ini juga dapat meluas sehingga dapat menyebabkan kerusakan segmen posterior.

(24)

nilai yang maksimum karena gelombang tekanan yang menyusuri cairan mata akan mencapai kamera mata anterior sehingga cairan mata ini akan terdorong ke 15 dapan bersama lensa, iris, dan kopus vitreus ke polus posterior. Gelombang tekanan ini juga dapat mencapai retina dan koroid sehingga dapat menimbulkan kerusakan. Setelah gelombang tekanan bagian luar tertutupi, maka gelombang ini akan di pantulkan ke arah posterior sehingga dapat merusak foveal. Setelah gelombang tekanan mencapai dinding posterior pada bola mata, gelombang tekanan ini dipantulkan kearah belakang secara anterior. Pada keadaan ini dapat merusak retina juga koroid. Kelainankelainan yang dapat ditimbulkan oleh trauma tumpul dapat berupa hipema, sbuluksasio lentis, luksasio lentis, katarak traumatika, pendarahan pada korpus vitreus, ruptur kornea, ruptur koroid dan lain sebagainya.

b. Trauma tajam adalah tindakan sengaja maupun tidak yang menimbulkan perlukaan mata, dimana mata ditembus oleh benda tajam atau benda berukuran kecil dengan kecepatan tinggi yang menembus kornea atau sklera, trauma tajam mata dapat diklasifikasikan atas luka tajam tanpa perforasi dan luka tajam dengan perforasi yang meliputi perforasi tanpa benda asing inta okuler dan perforasi benda asing intra okuler.

2. Trauma non mekanik

a) Trauma Kimia Trauma kimia pada mata merupakan trauma yang mengenai bola mata akibat terpapar bahan kimia baik yang bersifat asam atau basa yang dapat merusak struktur bola mata tersebut.

Kerusakan yang terjadi tergantung pada beberapa faktor yaitu: kekuatan agen kimiawi, konsentrasi, volume larutan dan lamanya paparan.

Kebanyakan trauma terjadi secara tidak disengaja pada tempat kerja terutama di area industri.

b) Trauma bakar termal Trauma bakar termal dapat dibagi menjadi dua kategori yaitu: flame dan contact burns. Pada flame terjadi paparan

(25)

secara sekunder antara mata dengan api, dan 16 pada contact burn terjadi paparan secara langsung misalnya dengan air panas, atau benda- benda panas.

c) Trauma Radiasi Trauma radiasi yang sering terjadi akibat paparan sinar UV sehingga menyebabkan keratitis pada permukaan kornea, yang akan tampak dengan pewarnaan fluorescein. Rasa sakit yang sangat parah, fotofobia, dan berntuk kornea yang tidak teratur akan timbul 6- 10 jam setelah paparan diikuti dengan penurunan ketajaman penglihatan. Nyeri dapat dihilangkan dengan pemberian obat anastesi topikal untuk jangka pendek. Selain itu juga diberikan obat antibiotik secara topikal dan pengukuran tekanan mata tempel selama 24 jam.

Pada umumnya, prognosis baik dan kornea akan kembali normal dalam waktu 24 jam. Namun, sisi mata yang terkena paparan sebelumnya akan lebih sensitif terhadap cahaya untuk beberapa bulan (Vaughan &

Asbury, 2016).

2.1.5 Manifestasi klinis

Gejala klinis yang terjadi pada trauma mata antara lain:

1. Perdarahan atau keluar cairan dari mata atau sekitarnya Pada trauma mata perdarahan dapat terjadi akibat luka atau robeknya kelopak mata atau perdarahan yang berasal dari bola mata. Pada trauma tembus caian humor akuous dapat keluar dari mata.

2. Memar pada sekitar mata Memar pada sekitar mata dapat terjadi akibat hematoma pada palpebra. Hematoma pada palpebra juga dapat terjadi pada pasien yang mengalami fraktur basis kranii.

3. Penurunan visus dalam waktu yang mendadak Penurunan visus pada trauma mata dapat disebabkan oleh dua hal, yang pertama terhalangnya jalur refraksi akibat komplikasi trauma baik di segmen anterior maupun segmen posterior bola mata, yang kedua akibat terlepasnya lensa atau retina dan avulsinervus optikus.

(26)

robeknya pangkal iris. Karena iris robek maka bentuk pupil menjadi tidak bulat. Hal ini dapat menyebabkan penglihatan ganda pada pasien.

5. Mata bewarna merah Pada trauma mata yang disertai dengan erosi kornea dapat ditemukan pericorneal injection (PCI) sehingga mata terlihat merah pada daerah sentral. Hal ini dapat pula ditemui pada trauma mata dengan perdarahan subkonjungtiva.

6. Nyeri dan rasa menyengat pada mata.

Pada trauma mata dapat terjadi nyeri yang disebabkan edema pada palpebra.

Peningkatan tekanan bola mata juga dapat menyebabkan nyeri pada mata.

7. Sakit kepala Pada trauma mata sering disertai dengan trauma kepala.

Sehingga menimbulkan nyeri kepala. Pandangan yang kabur dan ganda pun dapat menyebabkan sakit kepala.

8. Mata terasa gatal, terasa ada yang mengganjal pada mata Pada trauma mata dengan benda asing baik pada konjungtiva ataupun segmen anterior mata dapat menyebabkan mata terasa gatal dan mengganjal. Jika terdapat benda asing hal ini dapat menyebabkan peningkatan produksi air mata sebagai salah satu mekanisme perlindungan pada mata.

9. Fotofobia

Fotofobia pada trauma mata dapat terjadi karena dua penyebab. Pertama adanya benda asing pada jalur refraksi, contohnya hifema, erosi kornea, benda asing padasegmen anterior bola mata menyebabkan jalur sinar yang masuk ke dalam mata menjaditidak teratur, hal ini menimbulkan silau pada pasien. Penyebab lain fotofobia pada pasien trauma mata adalah lumpuhnya iris.

Lumpuhnya iris menyebabkan pupil tidak dapat mengecil dan cenderung melebar sehingga banyak sinar yang masuk ke dalam mata. Bila trauma disebabkan benda tajam atau benda asing masuk ke dalam bola mata, maka akan terlihat tanda-tanda bola mata tembus, seperti :

10. Mata merah, nyeri, fotofobia, blepharospasme dan lakrimasi.

(27)

11. Tajam penglihatan yang menurun akibat tedapatnya kekeruhan media refraktasecaralangsung atau tidak langsung akibat ruma tembus tersebut 12. Tekanan bola mata rendah akibat keluarnya cairan bola mata.

13. Bilik mata dangkal akibat perforasi kornea.

14. Bentuk dan letak pupil berubah.

15. Terlihatnya ruptur pada kornea atau sclera.

16. Adanya hifema pada bilik mata depan

17. Terdapat jaringan yang prolaps seperti cairan mata, iris lensa, badan kaca atau retina.

Pada perdarahan retrobulbar akan menampilkan gejala rasa nyeri tiba-tiba, mual dan muntah, dan diplopia. Pada pemeriksaan fisik biasanya didapatkan:

 Tajam penglihatan dan lapang pandangan menurun dengan adanya diskromatopsia (tanda-tanda terjadinya neuropati optic)

 Pemeriksaan eksternal akan tampak proptosis, kemosis, perdarahan subkonjungtiva difus, edema periorbital, kelopak mata tegang

 Pergerakan otot ekstraokular mengalami hambatan (ophthalmoplegia)

 Pupil dapat terjadi RAPD hingga hilangnya reflex pupil

 Pemeriksaan tonometry didapatkan peningkatan tekanan intraocular yang mendadak

 Funduskopi tampak papilledema akibat neuropati optic kompresif, nervus optikus atau retina yang pucat akibat oklusi dari arteri atau vena retina

Gambar 2.5: Gambaran Klinis pasien dengan perdarahan retrobulbar

(28)

2.1.6 Patofisiologi

Kerusakan akibat trauma tumpul dapat mengenai kelopak mata dan struktur mata bagian luar sehingga mengakibatkan hematoma kelopak. Jika trauma menembus ke bagian konjugtiva, maka kemungkinannya akan terjadi hematoma subkonjugtiva akibat pecahnya pembuluh darah sebagai akibat terkena hantaman benda tumpul dan keras. Kerusakan yang diakibatkan trauma tajam/tembus akan lebih parah lagi karena melibatkan kerusakan hingga bagian dalam struktur dan jaringan mata. Kondisi ini biasanya sampai merusak fungsi mata dan kerusakannya permanen (dapat disembuhkan hanya melalui operasi).

Gangguan mata akibat trauma tajam juga beragam, tergantung pada organ mata yang terkena dan seberapa besar kerusakannya. Sedangkan pada trauma khemis/ kimia, jika traumanya akibat asam biasanya hanya akan menyebabkan kerusakan pada bagian permukaan/superfisial saja karena terjadi pengendapan dan penggumpalan bahan protein permukaan. Namun pada trauma akibat basa/alkali, kerusakan yang diakibatkan bisa gawat karena alkali akan menembus kornea dengan cepat lalu ke bilik mata depan sampai pada jaringan retina. Bahan alkali dapat merusak kornea dan retina karena bahan alkali bersifat mengkoagulasi sel sehingga akan menghancurkan jaringan kolagen kornea sehingga memperparah kerusakan kornea hingga ke retina.

Pada trauma fisik, kerusakan yang ditimbulkan hanya pada permukaan karena bahan yang merusak hanya mengenai permukaan dan tidak sampai tembus dan juga adanya mekanisme proteksi pada mata. Namun, walaupun hanya mengenai bagian permukaan, trauma fisis akan tetap menyebabkan kerusakan pada jaringan walaupun tidak bersifat permanen.

Perdarahan retrobulbar spontan jarang terjadi, biasanya di sebabkan antara lain karena Trauma okuli, anomaly vascular orbita (varix orbita, limfangioma atau AVM), adanya abnormalitas sistemik (koagulopati, sickle cell, hipertensi tidak terkontrol atau septicemia), angkat barang berat, menyelam, bersin atau maneuver lainnya yang menyebabkan peningkatan tekanan vena orbita. Rongga orbita berisi bola mata dan jaringan orbita yang dibatasi oleh struktur tulang yang terfiksasi

(29)

sehingga hanya memungkinkan sedikit fleksiblitas ke anterior. Ketika terjadi perdarahan di dalam rongga orbita akibat perdarahan spontan, trauma ataupun komplikasi post operasi, menyebabkan terjadinya pembengkakan jaringan orbita.

Keterbatasan ruangan menyebabkan terjadi kondisi peningkatan tekanan intraocular. Tekanan intraocular yang meningkat diatas tekanan sistolik menyebabkan penurunan perfusi ke bola mata, menekan nervus optikus dan pembuluh darah siliaris longus dan brevis (akibat compartment syndrome) sehingga terjadi iskemia retina, nervus optikus dan pada akhirnya menyebabkan kebutaan.

Bagan 2.3: Mekanisme terjadinya kebutaan pada perdarahan retrobulbar

2.1.7 Dampak terhadap sistem tubuh

Beberapa komplikasi yang dapat terjadi akibat trauma okuli apabila tidak segera dilakukan penanganan yang tepat adalah erosi kornea, iridoplegia, hifema, iridosiklitis, subluksasi lensa, luksasi lensa anterior, luksasi lensa posterior, edema retina dan koroid, glaukoma sekunder, ablasi retina, ruptur koroid, serta avulsi papil saraf optik (John, 2001).

(30)

2.1.8 Penatalaksanaan Medik

Penatalaksanaan pada trauma mata bergantung pada berat ringannya trauma ataupun jenis trauma itu sendiri. Namun demikian ada empat tujuan utama dalam mengatasi kasus trauma okular adalah memperbaiki penglihatan, mencegah terjadinya infeksi, mempertahankan struktur mata, mencegah sekuele jangka panjang. Untuk mengurangi rangsangan cahaya dan membuat rasa nyaman serta lebih tertutup pada pasien, maka bisa diberikan patch pada pasien selama 24 jam.

Erosi yang kecil biasanya akan tertutup kembali dalam 48 jam (Vaughan, 2007).

Intervensi dini pada kasus perdarahan retrobulbar penting untuk mempertahankan penglihatan. Penanganan bertujuan menurunkan tekanan intraorbita dan melindungi nervus optikus. Pengobatan dengan medikamentosa biasanya dipertimbangkan pada kasus dengan perdarahan retrobulbar yang ringan.

Setelah diagnosa perdarahan retrobulbar ditegakkan, harus segera dilakukan tindakan evakuasi hematoma. Tindakan dekompresi harus dilakukan dalam 2 jam setelah onset gejala untuk mencegah kerusakan permanen, dan untuk memperoleh penyembuhan total dari retina maka tindakan harus dilakukan dalam 90 menit setelah onset terjadinya perdarahan.

Observasi ketat harus dilakukan sejak awal mendapatkan pasien dengan kecurigaan terjadi perdarahan retrobulbar, yaitu setiap 15 menit selama 2 jam pertama, setiap 30 menit selama 2 jam kedua dan selanjutnya setiap 1 jam.

Penatalaksanaan secara farmakologis dapat sebagai tindakan alternative terhadap pembedahan namun dapat juga diberikan bersama-sama dengan tindakan pembedahan dekompresi. Untuk medikamentosa dapat diberikan injeksi acetazolamide 500 mg intravena atau intramuscular dan hydrocortisone 100 mg intravena, atau sebagai alternative dapat diberikan infus cepat mannitol 20%.

Pemberian acetazolamide akan menurunkan tekanan intraocular dengan cara menghambat carbonic anhydrase yang akan menurunkan produksi humor akuos.

Agen hiperosmotik seperti mannitol akan menyebabkan penyusutan vitreus sehingga akan mengurangi volume jaringan di orbita.

(31)

Pemberian kortikosteroid akan mengurangi inflamasi dan menstabilkan membrane sel terhadap kerusakan iskemik. Pemberian tetes mata timolol maleate 1 hingga 2 tetes sehari juga dapat diberikan untuk mengurangi produksi humor akuos. Penanganan konservatif sederhana lainnya yang dapat dilakukan antara lain: posisikan kepala lebih tinggi, kompres dingin, dan hindari penggunaan bebat yang justru dapat menekan dan meningkatkan tekanan intraocular. Jika terdapat perbaikan pada penglihatan dan gejala local yang dialami, maka terapi konservatif dilanjutkan hingga 5-7 hari.

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka cara penatalaksanaan penderita prinsipnya dibagi dalam 2 golongan besar yaitu ;

1. Terapi operatif

Tujuan pertama dari perbaikan awal yang berhubungan dengan pembedahan suatu laserasi corneo scleral adalah memugarkan kembali integritas bola mata. Tujuan kedua yang mungkin terpenuhi adalah memugarkan kembali perbaikan visus. Jika prognosis visus mata yang terluka adalah sia-sia dan pasien beresiko menderita sympathetic ophthalmic, enukleasi harus dipertimbangkan. Enukleasi primer hanya dapat dilakukan pada luka yang tidak dapat dilakukan perbaikan dari segi anatomi, maka dari itu pasien dianjurkan untuk memilih prosedur lain.

Tindakan dekompresi darurat harus dilakukan segera tanpa menunggu hasil radiologi jika pasien datang dengan proptosis berat, perdarahan subkonjungtiva difus, penurunan penglihatan, peningkatan TIO (>40 mmHg) dan RAPD (+), atau jika dengan penanganan konservatif tidak terdapat perbaikan penglihatan dalam 30 hingga 45 menit.

1. Kantotomi Kantolisis

Tindakan dekompresi darurat dapat dilakukan dengan cara melakukan kantotomi dan kantolisis. Kantotomi lateral, adalah perawatan darurat untuk sindrom kompartemen orbita. Kantolisis adalah kantotomi ditambah sayatan cabang inferior (crus) dari tendon.

(32)

Indikasi dilakukan tindakan kantotomi dan kantolisis adalah:

1. Sindrom kompartemen orbita/ (OCS), keadaan darurat oftalmologis, yang bermanifestasi dengan kehilangan penglihatan yang cepat dan progresif, peningkatan tekanan intraokular, penurunan motilitas ekstraokular, dan nyeri pada pasien dengan trauma atau pembedahan mata/orbital

2. Trauma wajah tumpul dapat menyebabkan hematoma retrobulbar atau edema parah di sekitar bola mata, salah satunya dapat meningkatkan tekanan intraorbital.

3. Karena mata dibatasi oleh palpebra dan orbita, peningkatan tekanan intraorbital dapat menyebabkan tekanan intraokular meningkat dengan cepat dan menekan saraf optik dan suplai vaskularnya.

4. Tidak diobati, tekanan yang meningkat ini menyebabkan kehilangan penglihatan permanen (OCS).

5. Kantotomi lateral dan kantolisis segera dilakukan untuk menghilangkan tekanan intraorbital dan mempertahankan penglihatan jika tanda-tanda mengindikasikan OCS.

(33)

Prosedur kantotomi dan kantolisis adalah sebagai berikut:

lakukan desinfeksi kelopak mata dan kantus lateral, injeksi anestes lidocaine dan epinephrine di kantus lateral, jepit kulit di kantus lateral dengan hemostat atau klem Kelly selama 1-2 menit untuk meminimalkan perdarahan dan menandai lokasi kantotomi, kantus lateral diinsisi menggunakan gunting 1-2 cm kearah rima orbita sepanjang garis yang dibentuk oleh klem, kelopak bawah diretraksi hingga terlihat tendon kantus lateral lalu potong tendon dan lepaskan dari rima orbita.

(34)

bisa keluar. Tekanan bola mata diharapkan akan turun hingga <40 mmHg.

Penanganan pembedahan definitif dilakukan jika tidak terdapat perbaikan Setelah tindakan kantotomi-kantolisis, yaitu dengan melakukan dekompresi orbita dalam bius umum. Perdarahan atau hematoma didrainase melalui orbita atau ruang intrakonal. Prosedur ini selain memperbaiki drainase darah dan infiltrasi radang, juga kita dapat melakukan pemasangan selang drainase sehingga dapat menghambat pembentukan hematoma baru.

Gambar 2.6 Prosedur kantotomi dan kantolisis 2. Non operatif

a. Tirah baring sempurna (bed rest total).

Penderita ditidurkan dalam keadaan telentang dengan posisi kepala diangkat (berialas bantal). Hal ini akan mengurangi tekanan darah pada pembuluh darah iris serta memudahkan kita mengevaluasi perdarahannya.

b. Bebat mata Hal ini mengurangi pergerakan bola mata yang sakit, serta menghindari bola matadari paparan benda asing yang dapat memperparah serta menyebabkan infeksiluka/perforasi bola mata.

(35)

c. Pemakaian obat-obatan koagulansia Golongan obat ini dapat diberi peroral maupun parenteral, berguna untuk menghentikan atau menekan perdarahan.

d. Okular hipotensif drug Acetazolamide secara oral sebanyak 3x sehari bila mana ditemukan kenaikan TIO.

e. Kortikosteroid dan antibiotika.

f. Obat-obatan lain. Sedatif dapat diberikan bilamana penderita gelisah.

Diberikan analgerik bilamana timbul nyeri.

2.1.9 Pemeriksaan Penunjang

1) USG B-Scan Dengan menggunakan alat ini, dapat mendeteksi sekiranya terdapat objek asing yang masih tersisa pada bola mata. Selain itu, pemeriksaan ini juga dapat menilai kondisi posterior bola mata apa ada terjadi ablasi retina atau tidak.

2) Laboratorium

3) Radiologi (schedel, waters, rontgen, CT Scan)

2.2 KONSEP KEKRITISAN/ KEGAWATADURATAN MATA 2.2.1. Definisi

Keadaan gawatdarurat (emergency) adalah suatu keadaan dimana seseorang membutuhkan pertolongan medis yang cepat, karena apabila tidak mendapatkan pertolongan dengan segera maka dapat mengancam jiwanya atau menimbulkan kecacatan

Kegawatdaruratan Mata ialah keadaan yang mengancam tajam penglihatan seseorang berupa turunnya ketajaman penglihatan sampai terjadinya kebutaan

Dari pengertian di atas dapat di simpulkan bahwa kekritisan/

kegawatdudaran mata adalah: Suatu keadaan yang mengancam tajam penglihatan sesorang yang membutuhkan pertolongan medis segera untuk mencegah terjadi kecacatan sampai terjadinya kebutaan.

(36)

Tingkatan Kekritisan/ Kegawatdaruratan Mata berdasarkan Pemeriksaan Medis:

1. SANGAT GAWAT: mata akan mengalami kebutaan atau cacat yang menetap dengan penurunan penglihatan yang berat dalam waktu beberapa detik sampai beberapa menit bila tidak segera mendapatkan pertolongan yang tepat.

2. GAWAT: pertolongan harus diberikan tetapi dengan batasan waktu yang lebih longgar, dapat beberapa jam sampai beberapa hari. Apabila tidak segera ditolong, akan berakibat buta atau cacat permanen

3. SEMI GAWAT adalah: pengobatan yang harus sudah diberikan dalam waktu beberapa hari atau minggu. apabila terabaikan pasien mungkin dapat masuk kedalam keadaan buta atau cacat permanen.

2.2.3. Etiologi Kekritisan/ Kegawatdaruratan Mata a. Trauma

Truma dibedakan menjadi:

a. Trauma mekanik, disebabkan oleh :

1. Benda tajam

Bagian mata yang biasanya cedera antara lain kelopak mata, selaput bening mata, kornea. Mata yang mendapatkan trauma mekanik dari benda tajam, dikenali dengan tanda sebagai berikut :

i. Terbentuk luka tajam / sayatan

ii. Kelopak mata bengkak, kemerahan, merah keunguan sampai kebiruan/kehitaman

iii. Kelopak mata sulit dibuka iv. Kelopak mata keluar darah

v. Keluar cairan bening mata atau darah dari dalam bola mata vi. Terjadi penurunan ketajaman penglihatan

vii. Pada trauma yang hebat mengakibatkan bola mata masuk kedalam 2. Benda tumpul, dibedakan menjadi :

(37)

1) Perforasi (perlubangan) yaitu keadaan terjadinya pecah bola mata sampai keluar isi bola mata

2) Non perforasi (non perlubangan), antara lain a. Palpebra: Hematom/ bengkak mata

b. Konjugtiva: khemosis / bengkak pada selaput mata c. Kornea: erosi kornea / lapisan kornea terkikis

d. Bilik mata depan: Hifema / darah terkumpul di bilik mata depan

e. Iris: lepasnya selaput pelangi

f. Lensa: lepas atau goyang sampai jatuh

g. Badan kaca: perdarahan badan kaca / hemoftalmus

h. Saraf mata (retina): lepas saraf mata / ablasio. Gejala yang dirasakan terjadi selang beberapa jam sampai beberapa hari dari trauma, antara lain : tidak adanya rasa nyeri, penglihatan kabur, ketajaman penglihatan masih baik-buruk, merasa melihat kilat-kilatan cahaya, titik – titik hitam beterbangan, tirai menutupi mata/tirai melambai-lambai

i. Bola mata (bulbi): menonjol atau masuk ke dalam

j. Kerusakan dinding orbita/patah tulang penyokong dinding bola mata

b. Non Truma

Non trauma antara lain:

a) Ulkus kornea, gejala yang timbul antara lain : mata merah, kemeng, mengganjal, silau, berair, muncul putih – putih di teleng mata, keluar kotoran mata, kaburnya penglihatan Faktor resiko penyebabnya yaitu kelilipan, pemakaian lensa kontak, kesalahan pemberian tetes obat, merimbang mata dengan air mentah/ sumur, air sirih, menetes obat tanpa resep.

b) Glaucoma akut, gejala yang timbul mata merah, cekot-cekot, nyeri kepala, migrain, penglihatan turun mendadak, mual sampai muntah, tekanan bola mata tinggi

(38)

dirasakan yaitu tajam penglihatan turun mendadak (tiba – tiba gelap), tidak ada rasa nyeri, mata tidak merah. Faktor resiko penyebab : hipertensi, diabetes melitus, jantung, penyakit pembekuan darah. Keterlambatan penanganan pertolongan (ke dokter beberapa jam / hari setelah kejadian) mengakibatkan kebutaan permanen

2.2.4. Pertolongan pertama pada kekritisan / kegawatdaruratan mata Hindari manipulasi area luka (mengompres, membalut, menekan luka) o Hindari merimbang atau mencuci luka mata dengan air sumur/air

mentah/air sirih/ cairan apapun

o Segera bawa ke dokter spesialis mata atau rs yang mempunyai fasilitas dokter spesialis mata

 Trauma kimia, disebabkan larutan Basa / alkali

Trauma kimia basa pada mata bersifat lebih merusak dari pada trauma kimia asam. Pada keadaan sangat gawat bisa menyebabkan kebutaan.

Tingkat kerusakan mata tergantung pada paparan volume dan konsentrasi cairan. Cairan alkali menembus struktur mata dengan cepat dari lapisan mata depan sampai ke saraf mata. Kemudian terjadi reaksi saponifikasi/ reaksi penyabunan saat cairan alkali kontak dengan lemak (struktur mata). Sumber cairan basa : Amonia (pemutih dan pupuk), Natrium bikarbonat (soda kue), NaOH/ natrium hidroksida (sabun, deterjen), NH4OH /Amonium hidroksida (pupuk), Kalium oksida (semen), pembersih lantai

 Trauma kimia disebabkan Larutan asam

Kerusakan mata karena terkena larutan asam hanya terbatas pada permukaan luar saja (kecuali asam hidroflorida). Larutan asam cenderung akan berikatan dengan protein (terjadi koagulasi / penggumpalan protein) sehingga mencegah kerusakan yang lebih dalam. Sumber cairan asam : asam cuka, asam sulfat (accu mobil),

(39)

asam hidroflorida (cairan penghilang karat, pengkilap aluminium), cairan penyamakan kulit, electro polishing

2.3 KONSEP TUMBUH KEMBANG ANAK USIA 12 TAHUN (Remaja) 2.3.1. Definisi

Perkembangan manusia merupakan suatu proses sepanjang kehidupan dari pertumbuhan dan perubahan fisik, perilaku, kognitif, dan emosional.

Sepanjang proses ini, tiap individu mengembangkan sikap dan nilai yang mengarahkan pilihan, hubungan, dan pengertian (understanding). (Huberman, 2002)

Salah satu periode dalam perkembangan adalah masa remaja. Kata remaja (adolescence) berasal dari kata adolescere (Latin) yang berarti tumbuh ke arah kematangan (Muss, 1968 dalam Sarwono,2011: h.11). Istilah kematangan di sini meliputi kematangan fisik maupun sosial-psikologis. Pada tahun 1974, WHO memberikan definisi konseptual tentang remaja, yang meliputi kriteria biologis, psikologis, dan sosial ekonomi. Menurut WHO (Sarwono, 2011), remaja adalah suatu masa di mana:

 Individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda seksual sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan seksual.

(kriteria biologis

 Individu mengalami perkembangan psikologis dan pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa. (kriteria sosial-psikologis)

 Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial-ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif lebih mandiri. (kriteria sosial-ekonomi)

2.3.2. Karakteristik Masa Remaja

Hurlock (1990) membagi masa remaja menjadi dua, yaitu masa remaja awal (11/12-16/17 tahun) dan remaja akhir (16/17-18 tahun). Pada masa remaja akhir, individu sudah mencapai transisi perkembangan yang

(40)

remaja dapat digolongkan menjadi 7 kategori, yaitu: (Krori, 2011) 1) Minat rekreasi

2) Minat pribadi 3) Minat sosial 4) Minat pendidikan 5) Minat vokasional 6) Minat religius

7) Minat dalam simbol status

2.3.3. Tugas Perkembangan Masa Remaja (11/12 - 18 tahun)

Menurut Havighurst (Hurlock, 1990), tugas perkembagan remaja meliputi:

Mencapai pola hubungan baru yang lebih matang dengan teman sebaya yang berbeda jenis kelamin sesuai dengan keyakinan dan etika moral yang berlaku di masyarakat.

Mencapai peranan sosial sesuai dengan jenis kelamin, selaras dengan tuntutan sosial dan kultural masyarakatnya.

Menerima kesatuan organ-organ tubuh/ keadaan fisiknya sebagai pria/wanita dan menggunakannya secara efektif sesuai dengan kodratnya masing-masing.

Menerima dan mencapai tingkah laku sosial tertentu yang bertanggung jawab di tengah-tengah masyarakatnya.

Mencapai kebebasan emosional dari orang tua dan orang-orang dewasa lainnya dan mulai menjadi “diri sendiri”.

Mempersiapkan diri untuk mencapai karir (jabatan dan profesi) tertentu dalam bidang kehidupan ekonomi.

Mempersiapkan diri untuk memasuki dunia perkawinan dan kehidupan berkeluarga.

Memperoleh seperangkat nilai dan sistem etika sebagai pedoman bertingkah laku dan mengembangkan ideologi untuk keperluan kehidupan kewarganegaraannya

(41)

1. Perkembangan Fisik

Yang dimaksud dengan perkembangan fisik adalah perubahan- perubahan pada tubuh, otak, kapasitas sensoris dan ketrampilan motorik

(Papalia & Olds,2001).

Perubahan pada tubuh ditandai dengan :

 Perubahan Tinggi dan Berat Badan

Tinggi rata-rata anak laki-laki dan perempuan pada usia 12 tahun adalah sekitar 59 atau 60 inci, sedangkan tinggi rata-rata remaja perempuan hanya 64 inci.

Penambahan berat badan yakni sekitar 13kg bagi anak laki – laki dan 10 kg bagi anak-anak perempuan

 Perubahan dalam Proporsi Tubuh

Perubahan-perubahan dalam proporsi tubuh selama masa remaja, terlihat pada perubahan ciri-ciri wajah, dimana wajah anak-anak mulai menghilang, seperti dahi yang semula sempit sekarang menjadi lebih luas, mulut melebar,dan bibir menjadi lebih penuh.

 Perubahan Pubertas

Pada saat seorang anak memasuki masa pubertas yang ditandai dengan menstruasi pertama pada remaja perempuan dan perubahan suara pada remaja laki-laki. Saat itu, secara biologis remaja mengalami perubahan yang sangat besar. Pubertas menjadikan seorang anak tiba-tiba memiliki kemampuan untuk ber-reproduksi

 Ciri-ciri Seks Primer

Pada remaja wanita, kematangan organ-organ seksnya ditandai dengan tumbuhnya rahim, vagina, dan ovarium (indung telur) secara cepat

Pada masa remaja pria ditandai dengan sangat cepatnya pertumbuhan testis, yaitu pada tahun pertama dan

(42)

ukuran matangnya pada usia 20 atau 21 tahun.

 Ciri-ciri Seks Sekunder

Wanita: Tumbuh rambut pubik atau bulu kapok di sekitar kemaluan dan ketiak, Bertambah besar buah dada, Bertambah besarnya pinggul

Laki-laki: Tumbuh rambut pubik atau bulu kapok disekitar kemaluan atau ketiak, Terjadi perubahan suara, Tumbuh Kumis, Tumbuh Gondok Laki (jakun)

2. Perkembangan Kognitif dan Bahasa

Menurut Jean Piaget, pada masa remaja perkembangan kognitif sudah mencapai tahap puncak, yaitu tahap operasi formal (11 tahun - dewasa)

a) Perkembangan Pengambilan Keputusan b) Perkembangan Orientasi Masa Depan c) Perkembangan Kognisi Sosial

d) Perkembangan Penalaran Moral e) Perkembangan Pemahaman Agama 3. Perkembangan Emosional

Beberapa ciri perkembangan emosional pada masa remaja adalah:

(Zeman, 2001)

1. Memiliki kapasitas untuk mengembangkan hubungan jangka panjang, sehat, dan berbalasan. Kemampuan ini akan diperoleh jika individu memiliki dasar yang telah diperoleh dari perkembagan sebelumnya, yaitu trust, pengalaman positif di masa lalu, dan pemahaman akan cinta.

2. Memahami perasaan sendiri dan memiliki kemampuan untuk menganalisis mengapa mereka merasakan perasaan dengan cara tertentu.

(43)

3. Mulai mengurangi nilai tentang penampilan dan lebih menekankan pada nilai kepribadian.

4. Setelah memasuki masa remaja, individu memiliki kemampuan untuk mengelola emosinya. Ia telah mengembangkan kosa kata yang banyak sehingga dapat mendiskusikan, dan kemudian mempengaruhi keadaan emosional dirinya maupun orang lain 5. Gender berperan secara signifikan dalam penampilan emosi remaja.

Laki-laki kurang menunjukkan emosi takut selama distres dibandingkan dengan perempuan

4. Perkembangan Psikososial

Perkembangan sosial dan emosional berkaitan sangat erat. Baik pengaturan emosi (berada dalam kendali emosi) maupun ekspresi emosi (komunikasi efektif tentang emosi) dierlukan bagi keberhasilan hubungan interpersonal.

Perkembangan Psikososial meliputi:

 Perkembangan Individu dan Identitas

 Perkembangan Hubungan dengan Orang Tua

 Perkembangan Hubungan dengan Teman Sebaya

 Perkembangan Seksualitas

Pada masa ini, remaja menunjukkan beberapa ciri: (Oswalt, 2010) a. Keterlibatan dalam hubungan sosial pada masa remaja lebih

mendalam dan secara emosional lebih intim dibandingkan dengan pada masa kanak-kanak.

b. Jaringan sosial sangat luas, meliputi jumlah orang yang semakin banyak dan jenis hubungan yang berbeda (misalnya dalam hubungan dengan teman sekolah untuk menyelesaikan tugas kelompok, berinteraksi dengan pimpinan dalam cara yang penuh penghormatan)

c. Menurut Erikson, dalam perkembangan psikososial, remaja harus menyelesaikan krisis yang terjadi pada masa remaja. Istilah krisis digunakan oleh Erikson untuk menggambarkan suatu rangkaian

(44)

seseorang mengatasi krisis akan menentukan identitas pribadinya maupun perkembangannya di masa datang.

2.4 KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN

Pengkajian a. Biodata

1) Identitas pasien meliputi nama, usia (dapat terjadi pada semua usia), pekerjaan ,jenis kelamin (kejadian lebih banyak pada laki-laki daripada wanita).

2) Identitas Penanggung jawab meliputi nama, usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, hubungan dengan klien, alamat

b. Riwayat Kesehatan 1) Keluhan utama

Klien biasanya mengeluh adanya penurunan ketajaman penglihatan, nyeri hebat pada mata, dan keterbatasan gerak mata.

2) Riwayat penyakit sekarang

Keluhan nyeri yang dirasakan bertambah nyeri bila mata di gerakkan atau dibuka, dan berkuang jika mata dipejamkan, nyeri menjalar sampai ke kepala, skala nyeri dirasakan 4-5 (0-10) Nyeri dirasakan hilang timbul 3) Riwayat Penyakit Dahulu

Yang perlu dikaji adalah jenis trauma, bahan yang menyebabkan trauma, lama terkena trauma, dan tindakan apa yang sudah dilakukan pada saat trauma terjadi dan sebelum dibawa ke RS. Riwayat penyakit yang mungkin diderita klien seperti DM yang dapat menyebabkan infeksi yang pada mata sulit sembuh.

4) Riwayat kesehatan keluarga (menggali atau mengkaji Riwayat Kesehatan keluarga terutama yang berhubungan dengan peyakitnya

(45)

saat ini di tularkan atau diturunkan. Jika ditemukan adanya penyakit yang diturunkan maka harus di lengkapi dengan genogram)

c. Pemeriksaan fisik 1) Sistem pernafasan

Meliputi bentuk dada, retraksi dinding dada saat bernafas, frekuensi pernafasan, pernafasan yang cepat menandakan asidosi metabolic, bentuk dada, pergerakan dada, saturasi Oksigen dan disertai gangguan pernapasan jika trauma menyebar ke mukosa hidung.

2) Sistem kardiovaskuler

Meliputi irama dan suara jantung, Tekanan darah, Denyut Nadi Reguler/

tidak. Apakah terdapat trauma di bagian dada, adanya perdarahan jika trauma melibatkan organ tubuh lain selain struktur mata

3) Sistem pencernaan

Pada klien dengan truma mata perlu dikaji trauma pada abdomen, apakah terdapat luka pada abdomen disertai dengan mual muntah, nyeri pada abdomen, bising usus., frekuensi BAB, Warna Faeces, pola makan dan porsi makan yang bisa dihabiskan. Berat badan dan Tinggi Badan untuk mengetahui status gizi klien

4) Sistem persyarafan

Pada umumnya motorik dan sensori terjadi gangguan karena terbatasnya lapang pandang. Adanya keluhan nyeri kepala atau merasa pusing karena adanya peningkatan TIO (tekanan intraokular)

5) Sistem endokrin

Tidak ada yang mempengaruhi terjadinya 6) Sistem genitourinaria

Kebutuhan eliminasi, Frekuensi BAK, warna urine, Tidak ada disuria, retesi urin, dan inkontinesia urine.

7) Sistem muskuloskeletal

Meliputi pergerakan ekstermitas, kekuatan otot, kemampuan kelopak mata menutup dan membuka

(46)

Meliputi warna kulit, turgor kulit biasanya menurun dan keringat dingin akibat dehidrasi/ perdarahan

9) Pemeriksaan khusus pada mata

Pemeriksaan dilakukan dengan minimal manipulasi pada mata untuk Mengurangi risiko prolaps dari isi intraokuler. Slit Lamp akan memungkinkan pemeriksaan yang lebih detail, yang dapat menunjukkan:

a. Bilik mata anterior yang lebih dangkal dibandingkan dengan mata kontralateral dapat mengimplikasikan trauma tembus anterior.

b. Hifema mikroskopik dimana terdapat sel darah merah di dalam bilik mata anterior namun tidak cukup untuk membentuk hifema.

c. Visus (menurun atau tidak ada)

d. Gerakan bola mata (terjadi pembatasan atau hilangnya sebagian pergerakan bola mata)

e. Adanya perdarahan, perubahan struktur konjugtiva, warna, dan memar. Kerusakan tulang orbita, krepitasi tulang orbita.

f. Pelebaran pembuluh darah perikornea.

g. Hifema.

h. Robek kornea

i. Perdarahan dari orbita.

j. Blefarospasme.

k. Pupil tidak beraksi terhadap cahaya, struktur pupil robek Tes fluoresens positif.

l. Edema kornea.

m. Nekrosis konjugtiva/sklera n. Katarak.

10) Data Penunjang Lain

 Kartu snellen: pemeriksaan penglihatan dan penglihatan sentral mungkin mengalami penurunan akibat dari kerusakan kornea, vitreous atau kerusakan pada sistem suplai untuk retina.

Referensi

Dokumen terkait