5
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
Dalam pengerjaan tugas akhir ini terdapat beberapa teori yang menjadi referensi. Tinjauan pustaka pada tugas akhir ini adalah sebagai berikut:
Motor Induksi Tiga Fasa
Prinsip dasar motor induksi pertama kali didemonstasikan oleh eksperimen yang dikenal dengan nama Arago’s Disk pada 1824. Dari eksperimen ini, ditemukan bahwa ketika magnet berputar di sepanjang tepi cakram tembaga, cakram akan berputar ke arah magnet dengan kecepatan yang lebih kecil. Pada tahun 1832, Faraday mendemonstrasikan bahwa fenomena ini disebabkan oleh arus yang diinduksi dalam piringan tembaga. Penemuan ini kemudian menjadi konsep dasar motor induksi. Ketika magnet melewati tepi piringan tembaga, gaya gerak listrik (EMF) diinduksi pada bagian piringan yang mengalami perubahan medan magnet. Tegangan yang diinduksi menyebabkan arus eddy mengalir di piringan.
Akibatnya, karena bagian pembawa arus dibangun di bawah medan magnet dari magnet, sebuah gaya yang dikenal sebagai gaya Lorentz dibuat pada bagian pembawa arus. Arah gaya sama dengan arah gerakan magnet, dan ini yang membuat piringan tembaga berputar bersama magnet (Kim, 2017).
Gambar 2.1 Rangkaian Ekivalen Motor Induksi Satu Fasa (Bose, 2002)
Pada motor induksi yang didasarkan pada konsep dasar ini, magnet berputar tersebut diwujudkan dengan medan magnet berputar yang dihasilkan dari belitan stator tiga fasa yang dihubungkan ke sumber daya AC tiga fasa. Rotor kemudian mengikuti medan magnet yang berputar. Motor induksi paling banyak digunakan
6
di industri karena biaya yang murah dan konstruksi yang kokoh. Secara tradisional, motor induksi dihubungkan langsung ke tegangan dengan frekuensi 60 atau 50 Hz dan dioperasikan pada kecepatan yang hampir konstan. Namun, sekarang kecepatan motor induksi dapat dirubah dengan konverter elektronik daya seperti inverter. Oleh karena itu, motor induksi banyak digunakan pada aplikasi yang memerlukan kontrol kecepatan (Kim, 2017).
Gambar 2.2 Arago’s Disk dan Konsep Dasar Motor Induksi (Kim, 2017)
2.1.1. Konstruksi
Motor induksi memiliki konfigurasi rotor dan stator silinder yang dipisahkan oleh celah udara radial yang seragam. Stator dan rotor terdiri dari inti besi, yang memiliki belitan yang disisipkan di dalamnya.
Gambar 2.3 Konstruksi Motor Induksi (Kim, 2017)
7 Inti besi terdiri dari tumpukan laminasi berinsulasi dari baja silikon, biasanya dengan ketebalan sekitar 0,3-0,5 mm untuk mengurangi kehilangan arus eddy. Inti besi terbuat dari bahan feromagnetik seperti baja, besi lunak, atau berbagai paduan nikel untuk menghasilkan fluks magnet secara efisien dan mengurangi rugi-rugi histeria (Kim, 2017).
A. Stator
Dalam motor induksi, hanya belitan stator yang mendapat sumber tegangan AC tiga fasa. Belitan stator tiga fasa menjalankan peran belitan dinamo dan medan motor DC. Belitan tiga fasa ini ditempatkan di slot yang dipotong secara aksial di sepanjang pinggiran bagian dalam inti besi yang bergeser satu sama lain 120° di sepanjang pinggiran. Biasanya dihubungkan dalam delta untuk tegangan suplai rendah atau wye untuk tegangan suplai tinggi. Semua lilitan di setiap belitan didistribusikan secara kontinyu dalam banyak slot yang tersebar di sekitar pinggiran, sehingga kepadatan belitan dapat berbentuk sinusoidal. Tujuan dari pengaturan ini adalah untuk membangun sinusoidal distribusi fluks di celah udara ketika arus mengalir melaluinya. Belitan ini disebut belitan distribusi. Konfigurasi belitan distribusi meningkatkan pemanfaatan inti besi dan mengurangi gaya magnetomotive (mmf) harmonik, menghasilkan riak torsi yang lebih rendah dibandingkan dengan belitan yang terkonsentrasi, dimana semua gulungan dari fasa belitan ditempatkan dalam satu slot di bawah sebuah kutub (Kim, 2017).
Gambar 2.4 (A) Inti Stator dan (B) Sinusoidal Belitan Distribusi dan MMF (Kim, 2017)
8 B. Rotor
Mirip dengan stator, rotor memiliki inti besi silinder yang dilaminasi oleh silikon baja. Harus dicatat bahwa sirkuit listrik (belitan atau konduktor) di dalam inti besi dari rotor tidak mendapat sumber tegangan eksternal tetapi rotor mendapat aliran arus dari induksi EMF. Terdapat dua tiper rotor yang digunakan di motor induksi, yaitu rotor sangkar tupai dan rotor wound.
Rotor sangkar tupai memiliki inti besi terlaminasi dengan slot untuk menempatkan konduktor miring, yang mungkin merupakan batang tembaga, alumunium, atau alloy bar. Bar rotor ini merupakan short circuit pada ujung keduanya melewati end rings (Kim, 2017).
Gambar 2.5 Rotor Sangkar Tupai (Kim, 2017)
Rotor tipe wound mirip dengan belitan stator, rotor wound memiliki pasangan belitan tiga fasa, dimana biasanya terkoneksi wye. Belitan rotor diikat ke slip ring pada shaft rotor dan dengan demikian dapat diakses melalui sikat. Selama konfigurasi ini, pada motor induksi tipe rotor wound, resistansi rotor dapat divariasikan dengan koneksi eksternal resistor ke belitan motor melalui sikat. Hal ini memungkinkan karakteristik torsi- kecepatan dari motor induksi untuk divariasikan (Kim, 2017).
Gambar 2.6 Rotor Wound (Kim, 2017)
9
2.1.2. Prinsip Dasar
Pada motor induksi, ketika sumber tegangan AC tiga fasa diberikan ke belitan stator, dimana perbedaan sudutnya 120° dalam ruang sehubungan satu sama lain, arus tiga fasa yang mengalir di belitan akan menghasilkan medan magnet berputar di celah udara. Kecepatan medan magnet adalah proporsional langsung ke frekuensi sumber tegangan AC. Ketika medan magnet berputar terhubung ke konduktor pada rotor, EMF berdasarkan hukum Faraday akan terinduksi di konduktor. Tegangan induksi menimbulkan arus di konduktor. Torsi diproduksi di arus konduktor pada medan magnet berputar. Melalui torsi yang dikembangkan ini, rotor kemudian akan mulai berputar ke arah yang sama dengan medan magnet berputar (Kim, 2017).
Gambar 2.7 Rotasi dari Motor Induksi (Kim, 2017)
Asumsikan medan magnet berputar bergerak berlawanan arah jarum jam, maka tegangan induksi membuat arus di konduktor untuk mengalir pada arah yang digambarkan pada Gambar 2.7. Hal ini karena arus induksi akan menentang sebuah fluks yang berlawanan dengan perubahan yang dikenakan oleh medan magnet berputar, seperti yang dijelaskan pada hukum Lenz. Ketika menerapkan aturan tangan kiri Fleming pada arus induksi dan medan magnet berputar, gaya pada konduktor dihasilkan dengan arah yang sama dengan arah medan magnet yang berputar (Kim, 2017).
Seperti yang sudah dijelaskan di atas, motor induksi tidak mempunyai sumber eksternal untuk belitan rotor, tetapi arus rotor timbul dari adanya induksi elektromagnetik. Hal inilah yang menjadi dasar disebutnya motor induksi. Ketika
10
(2.1) motor induksi beroperasi, kecepatan rotor selalu sedikit kurang dari kecepatan medan magnet berputar, contohnya kecepatan sinkron. Jika putaran rotor pada kecepatan yang sama dengan medan magnet berputar, maka tidak ada tegangan induksi dan arus short circuit belitan rotor dan juga tidak ada torsi. Pada motor induksi, kecepatan rotor cukup lambat untuk menyebabkan jumlah arus rotor yang tepat mengalir sehingga torsi yang dikembangkan mungkin cukup untuk menggerakkan beban. Oleh karena itu, peningkatan beban akan menyebabkan torsi melambat (Kim, 2017).
2.1.3. Kurva Karakteristik
Arus stator merupakan arus masukan pada induksi motor. Arus stator ሺୱሻ juga merupakan penjumlahan dari arus eksitasi ሺᢥሻ dengan arus rotor ሺ୰ሻ. Selain itu, arus stator juga dapat diperoleh dari hasil bagi antara tegangan stator ሺୱሻ dengan impedansi stator ሺୱሻ yang dituliskan dengan menggunakan rumus berikut.
ୱൌୱ
ୱൌ ᢥ ୰
Gambar 2.8 Kurva Karakteristik Arus-Kecepatan Motor Induksi (Kim, 2017)
Pada saat starting, impedansi minimum dan arus stator akan mencapai nilai maksimum, dimana 5-8 kali lebih besar dari arus rating. Ketika kecepatan meningkat, maka slip (s) berkurang. Ketika slip berkurang, maka arus rotor
11 berkurang. Oleh karena itu, arus stator juga berkurang. Pada kecepatan sinkron, dimana slip sama dengan nol, arus stator tidak ada. Oleh karena itu, arus stator sama dengan arus eksitasi.
Pemodelan Dinamik dq
Rangkaian ekivalen pada Gambar 2.1 hanya berlaku untuk kondisi steady- state. Oleh karena itu, perlu adanya pemodelan yang menggambarkan kondisi tiga fasa. Dinamik dq merupakan pemodelan yang dapat menggambarkan kondisi tiga fasa motor induksi tiga fasa. Selain cocok untuk pengendalian variabel kecepatan motor, juga cocok untuk respon transient. Pada pemodelan ini terdapat transformasi Clarke & Park yang menjadi dasar pemodelan (Bose, 2002).
2.2.1. Transformasi Clarke & Park
Mesin tiga fasa dapat digambarkan dengan mesin ekuivalen 2 fasa seperti Gambar 2.9, dimana ୱ – ୱ adalah stator direct - sumbu quadrature, dan ୰ – ୰ adalah rotor direct – sumbu quadrature. Pada tahun 1920, R.H. Park mengusulkan teori analisis mesin listrik dengan menggantikan variabel tegangan, arus, dan hubungan fluks antara belitan stator dari mesin sinkron dan belitan fiktif pada rotor yang berputar pada kecepatan sinkron.
Gambar 2.9 Mesin Ekuivalen 2 Fasa (Bose, 2002)
12
(2.2)
(2.3) Teori ini mengubah variabel stator ke dalam bentuk kerangka acuan berputar sinkron pada rotor. Jadi dapat dikatakan bahwa sumber tiga fasa ( as-bs- cs) dirubah menjadi 2 fasa stasioner (ୱ – ୱ) dan kemudian dirubah ke dalam bentuk rotor sinkron (ୣ – ୣ).
ୟୱ
ୠୱ
ୡୱ൩ ൌ
Ʌ Ʌ ͳ
ሺɅ െ ͳʹͲιሻ ሺɅ െ ͳʹͲιሻ ͳ ሺɅ ͳʹͲιሻ ሺɅ ͳʹͲιሻ ͳ
൩
୯ୱୱ
ୢୱୱ
ୱୱ
Dimana, ୱୱ adalah komponen urutan nol. Hubungan invers-nya adalah:
୯ୱୱ
ୢୱୱ
ୱୱ
ൌʹ
͵
Ʌ ሺɅ െ ͳʹͲιሻ ሺɅ ͳʹͲιሻ
Ʌ ሺɅ െ ͳʹͲιሻ ሺɅ ͳʹͲιሻ
Ͳǡͷ Ͳǡͷ Ͳǡͷ
൩
ୟୱ
ୠୱ
ୡୱ൩
Gambar 2.10 Bingkai Stasioner abc Menjadi Sumbu dq (Bose, 2002)
13 (2.4) (2.5) (2.6)
(2.7) (2.8)
ୟୱ ൌ ୯ୱୱ
ୠୱൌ െͳ
ʹ୯ୱୱെξ͵
ʹ ୢୱୱ
ୡୱ ൌ െͳ
ʹ୯ୱୱξ͵
ʹ ୢୱୱ Hubungan invers-nya adalah:
୯ୱୱൌʹ
͵ୟୱെͳ
͵ୠୱെͳ
͵ୡୱ
ୢୱୱൌ െ ͳ
ξ͵ୠୱ ͳ ξ͵ୡୱ
Gambar 2.11 Bingkai Stasioner Menjadi Bingkai Sinkron Rotor (Bose, 2002)
14
(2.9) (2.10)
(2.11) (2.12)
(2.13) (2.14) Gambar 2.11 menggambarkan sumbu ୣ – ୣ berputar secara sinkron, dimana kecepatan sinkron ɘୣ sehubungan dengan sumbu ୱ – ୱ dan sudut Ʌୣ. Belitan 2 fasa ୱ – ୱ ditransformasikan menjadi belitan hipotetis yang terpasang pada sumbu
ୣ – ୣ (Bose, 2002).
୯ୱൌ ୯ୱୱ Ʌୣെ ୢୱୱ Ʌୣ
ୢୱൌ ୯ୱୱ Ʌୣ ୢୱୱ Ʌୣ
Hubungan invers-nya adalah:
୯ୱୱൌ ୯ୱ Ʌୣ ୢୱ Ʌୣ
ୢୱୱ ൌ െ୯ୱ Ʌୣ ୢୱ Ʌୣ
2.2.2. Bingkai Referensi Berputar Sinkron
Persamaan ini disebut juga dengan persamaan Kron, dimana persamaan dalam bentuk sinkron dan dalam keadaan rotor berputar. Sehingga didapatkan persamaan tegangan dq stator dan rotor pada persamaan (2.13) hingga persamaan (2.16) (Bose, 2002).
Gambar 2.12 Rangkaian Motor Induksi Tiga Fasa Sumbu q (Bose, 2002)
ୢୱ ൌ ୱୢୱ
Ȳୢୱെ ɘୣȲ୯ୱ ୯ୱ ൌ ୱ୯ୱ
Ȳ୯ୱ ɘୣȲୢୱ
15 (2.15) (2.16)
(2.17) (2.18) (2.19) (2.20)
(2.23) (2.21) (2.22) ୢ୰ ൌ ୰ୢ୰
Ȳୢ୰െ ሺɘୣെ ɘ୰ሻȲ୯୰
୯୰ ൌ ୰୯୰
Ȳ୯୰ ሺɘୣെ ɘ୰ሻȲୢ୰
Gambar 2.13 Rangkaian Motor Induksi Tiga Fasa Sumbu d (Bose, 2002)
Gambar 2.12 dan 2.13 menunjukkan rangkaian ekuivalen pemodelan dinamik dalam keadaan sinkron. Sehingga dapat ditentukan persamaan hubungan fluks sebagai berikut:
Ȳୢୱ ൌ ୪ୱୢୱ ୫ሺୢୱ ୢ୰ሻ Ȳ୯ୱ ൌ ୪ୱ୯ୱ ୫ሺ୯ୱ ୯୰ሻ Ȳୢ୰ ൌ ୪୰ୢ୰ ୫ሺୢୱ ୢ୰ሻ Ȳ୯୰ൌ ୪୰୯୰ ୫ሺ୯ୱ ୯୰ሻ
Dimana ୫ adalah induktansi magnet.
୪ୱൌ ୱെ ୫ ୪୰ ൌ ୰െ ୫
Pemodelan transien elektrikal dalam persamaan tegangan dan arus pada persamaan (2.13) hingga (2.16) dapat diubah menjadi bentuk matriks pada persamaan (2.21).
୯ୱ
ୢୱ
୯୰
ୢ୰
ൌ ൦
ୱ ୱ ɘୣୱ ୫ ɘୣ୫
െɘୣୱ ୱ ୱ െɘୣ୫ ୫ ୫ ሺɘୣെ ɘ୰ሻ୫ ୰ ୰ ሺɘୣെ ɘ୰ሻ୰
െሺɘୣെ ɘ୰ሻ୫ ୫ െሺɘୣെ ɘ୰ሻ୰ ୰ ୰ ൪
ۏ ێ ێ ۍ୯ୱ
ୢୱ
୯୰
ୢ୰ے ۑ ۑ ې
16
(2.27)
(2.28) (2.24)
(2.25)
(2.26) Dengan persamaan torsi adalah:
ୣൌ ɘ
ൌ ʹ
ɘ
Torsi dalam pemodelan dq adalah:
ୣൌ͵
Ͷ ൫Ȳୢ୰Ǥ ୯୰െ Ȳ୯୰Ǥ ୢ୰൯ Dan kecepatan dalam rpm (radian per minute) adalah:
ൌ ൬ʹ ൰ ൬Ͳ
ʹɎ൰ ɘ୰
Respon Transien Sistem
Respon waktu dari sistem kontrol ada dua bagian, yaitu respon transien dan respon steady-state. Respon transien yang dimaksud mulai dari awal hingga akhir sistem. Sedangkan respon steady-state yang dimaksud adalah suatu cara dimana keluaran pada saat waktu t mendekati tak hingga. Oleh karena itu, persamaan respon sistem dapat ditulis pada persamaan berikut.
ሺሻ ൌ ୲୰ሺሻ ୱୱሺሻ
Dimana ሺሻ adalah respon sistem, ୲୰ሺሻ adalah respon transien, dan ୱୱሺሻ adalah respon steady-state (Ogata, 2010).
2.3.1. Respon Transien Unit-Step Orde 1
Respon transien unit-step orde 1 dapat dilihat pada Gambar 2.14. Secara fisik, sistem merepresentasikan rangkaian RC maupun sistem termal. Berdasarkan Gambar 2.14, hubungan keluaran-masukan dapat dibuat persamaan sebagai berikut.
ሺሻ ሺሻൌ ͳ
ͳ
Dengan menggunakan transformasi Laplace, maka persamaan (2.28) dapat diubah menjadi persamaan berikut.
17 (2.29)
(2.30)
(2.31)
(2.32)
(2.33) ሺሻ ൌ ͳ
ͳͳ
Gambar 2.14 (a) Diagram Blok Sistem Orde 1 dan (b) Penyederhanaan Diagram Blok (Ogata, 2010)
Dengan partial fraksi,
ሺሻ ൌͳ
െ
ͳൌͳ
െ ͳ
ሺͳȀሻ
Maka, inverse transformasi Laplace persamaan (2.30) adalah sebagai berikut.
ሺሻ ൌ ͳ െ ି୲Ȁǡ Ͳ
Persamaan (2.31) pada awalnya memiliki keluaran c(t) sama dengan nol dan akhirnya menjadi satu. Satu karakteristik penting seperti kurva respon eksponensial c(t) adalah pada saat t = T, nilai c(t) adalah 0,632 atau respon c(t) mencapai 63,2%
dari total perubahannya.
ሺሻ ൌ ͳ െ ିଵൌ Ͳǡ͵ʹ
Semakin kecil waktu konstan T, maka semakin cepat respon sistem. Karakteristik penting lainnya dari kurva respon eksponensial adalah kemiringan garis singgung pada saat t=0 adalah 1/T.
ฬ
୲ୀ
ൌͳ ି୲Ȁฬ
୲ୀ
ൌͳ
Keluaran akan mencapai nilai akhir pada t = T jika kecepatan respon awalnya dipertahankan. Dari persamaan (2.33) dapat dilihat bahwa kemiringan dari kurva respon c(t) menurun secar monoton dari 1/T pada t = 0 hingga nol pada t = ∞. Kurva respon eksponensial c(t) diperlihatkan pada persamaan (2.30) dan Gambar 2.15.
18
Dalam satu konstanta waktu, kurva respon eksponensial telah berubah dari 0%
menjadi 63,2% dari nilai akhir. Dalam dua konstanta waktu, respon mencapai 86,5% dari nilai akhir. Pada t = 3T, 4T, dan 5T, respon masing-masing mencapai 95%, 98,2%, dan 99,3% dari nilai akhir. Jadi pada t ≥ 4T, respon tetap dalam 2%
dari nilai akhir. Seperti yang dapat dilihat pada persamaan (2.30), steady-state secara matematis hanya tercapai setelah waktu tak hingga. Pada praktiknya, estimasi yang masuk akal dari respon waktu adalah lamanya waktu kurva respon dibutuhkan untuk mencapai dan tetap dalam garis 2% dari nilai akhir atau empat konstanta waktu (Ogata, 2010).
Gambar 2.15 Kurva Respon Eksponensial (Ogata, 2010)
2.3.2. Respon Transien Unit-Step Orde 2
Respon transien pada sistem kontrol sering menunjukkan osilasi teredam sebelum mencapai kondisi steady-state. Dalam menentukan karakteristik respon transien dari sistem kontrol ke masukan unit-step, maka perlu ditentukan beberapa hal, yaitu:
1. Delay time ሺୢሻ, yaitu waktu yang dibutuhkan respon untuk mencapai setengah dari nilai akhir waktu awal.
19 (2.34)
(2.35) 2. Rise time ሺ୰ሻ, yaitu waktu yang dibutuhkan respon untuk naik dari 10%
hingga 90%, 5% hingga 95%, atau 0% hingga 100% dari nilai akhir.
Pada underdamped orde 2, 0% hingga 100% rise time adalah hal yang umum digunakan. Pada underdamped sistem, 10% hingga 90% rise time adalah hal yang umum digunakan.
3. Peak time ሺ୮ሻ, yaitu waktu yang dibutuhkan respon untuk mencapai puncak overshoot.
4. Maximum overshoot ሺ୮ሻ, yaitu nilai puncak maksimum kurva respon yang diukur dari kesatuan. Jika nilai akhir steady-state dari respon berbeda dari kesatuan, maka biasnaya menggunakan maximum overshoot.
ܯܽݔ݅݉ݑܱ݉ݒ݁ݎݏ݄ݐ ൌ ൫୮൯ െ ሺλሻ
ሺλሻ ͳͲͲΨ
Nilai maximum overshoot secara langsung menunjukkan stabilitas relatif dari sistem.
5. Settling time ሺୱሻ, yaitu waktu yang dibutuhkan kurva respon untuk mencapai dan tetap pada kisaran sekitar nilai akhir dari ukuran spesifik yang ditentukan oleh presentasi absolut dari nilai akhir (biasanya 2%
hingga 5%). Settling time berkaitan dengan konstanta waktu terbesar dari sistem kontrol. Dimana persentase kriteria kesalahan yang dipakai berdasarkan tujuan desain sistem (Ogata, 2010).
Respon Steady-State Sistem
Berdasarkan kemampuannya, sistem pengendalian dapat diklasifikasikan berdasarkan kemampuannya untuk mengikuti masukan step, ramp, parabola, dan sebagainya. Hal ini merupakan skema klasifikasi yang masuk akal karena masukan aktual sering dianggap sebagai kombinasi dari masukan tersebut. Besarnya nilai error steady-state akibat masukan individu ini menunjukkan sistem yang baik.
Sistem pengendalian umpan balik harus mempertimbangkan fungsi loop terbuka G(S) pada persamaan (2.35) (Ogata, 2010).
ሺሻ ൌ ሺୟ ͳሻሺୠ ͳሻ ǥ ሺ୫ ͳሻ ሺଵ ͳሻሺଶ ͳሻ ǥ ሺ୮ ͳሻ
20
(2.36)
(2.37)
(2.38) sebagai penyebut mewakili kutub multiplisitas N di titik asal. Skema klasifikasi ini didasari pada jumlah integrasi yang ditunjukkan oleh fungsi transfer loop terbuka,. Sistem dinamakan tipe 0, tipe 1, tipe 2,..., jika N=0, N=1, N=2,..., masing-masing. Klasifikasi ini berbeda dari urutan sistem. Seiring dengan bertambahnya nomor tipe, maka akurasi semakin meningkat. Namun, nomor tipe yang bertambah akan memperburuk masalah stabilitas. Kompromi antara akurasi steady-state dengan stabilitas relatif selalu diperlukan.
Gambar 2.16 Sistem Pengendalian (Ogata, 2010)
ሺሻ
ሺሻൌ ሺሻ ͳ ሺሻ
Fungsi transfer antara sinyal error e(t) dan sinyal masukan r(t) adalah:
ሺሻ
ሺሻൌ ͳሺሻ
ሺሻൌ ͳ ͳ ሺሻ
Dimana, error e(t) adalah perbedaan antara sinyal masukan dengan sinyal keluaran.
Nilai error steady-state dirumuskan pada persamaan (2.38) (Ogata, 2010).
ୱୱ
୲՜ஶሺሻ ൌ
ୱ՜ሺሻ ൌ
ୱ՜
ሺሻ ͳ ሺሻ
Inverter Tiga Fasa
Inverter tiga fasa biasanya digunakan untuk penggerak motor AC dan sebagai sumber AC. Masukan sumber DC inverter biasanya berasal dari sumber satu fasa atau tiga fasa yang dirubah menjadi tegangan DC oleh rectifier. Topologi inverter sumber tegangan berbeda dan berkebalikan dari penyearah PWM (pulse width modulation) sumber arus. Inverter sumber tegangan dapat dioperasikan dalam mode PWM dan juga mode gelombang kotak. Mode gelombang persegi menghasilkan penguatan tegangan tertinggi dari inverter, tetapi kualitas arus keluarannya tidak sebaik mode PWM (Trzynadlowski, 2001).
21 (2.41) (2.39)
(2.40) Gambar 2.17 Inverter Tiga Fasa (Asnil, 2018)
Inverter dimodelkan sebagai gain ୧୬ dengan waktu tunda ୧୬ dan sumber tegangan ୢୡ, serta tegangan maksimum kendali ୡ୫.
୧୬ ൌ Ͳǡͷୢୡ ୡ୫
Faktor 0,65 merupakan nilai maksimum karakteristik tegangan dari inverter dengan tegangan masukan tegangan DC. Waktu tunda pada inverter adalah sebanding dengan rata-rata siklus penyaklaran carrier, yaitu setengah periode frekuensi penyaklaran ୡ.
୧୬ൌ ͳ ʹୡ
Sinusoidal Pulse Width Modulation (SPWM)
Sinyal keluaran inverter dapat dikendalikan dengan metode PWM, dimana metode ini mengatur periode penyaklaran inverter. Metode ini lebih banyak digunakan karena dapat mengontrol tegangan dan frekuensi keluaran inverter.
Gelombang segitiga yang juga disebut sinyal carrier akan dibandingkan dengan gelombang sinusoidal tiga fasa yang disebut sinyal referensi.
ൌ୰ ୡ
22
(2.42)
(2.43) Dimana M adalah indeks modulasi dari sinyal SPWM, ୰ adalah amplitudo sinyal referensi, dan ୡ adalah amplitudo sinyal carrier (Asnil dkk, 2018).
Pengendali Proportional, Integral, and Derivative (PID)
Pengendali umpan balik adalah mekanisme kendali yang menggunakan informasi dari pengukuran. Dalam sistem kendali umpan balik, keluarannya dirasakan. Ada dua jenis utama sistem kendali umpan balik, yaitu umpan balik positif dan umpan balik negatif. Umpan balik positif digunakan untuk menambah ukuran masukan tetapi dalam umpan balik negatif, umpan balik digunakan untuk memperkecil ukuran masukan. Sistem negatif biasanya stabil. PID banyak digunakan dalam pengendalian umpan balik proses industri di pasar pada tahun 1939 dan tetap menjadi pengontrol yang paling banyak digunakan dalam pengendalian proses hingga saat ini. Dengan demikian, pengendali PID dapat dipahami sebagai pengendali yang mempertimbangkan masa lalu, masa kini, dan masa depan dari kesalahan. Setelah implementasi digital dikenalkan, perubahan tertentuk dari struktur sistem pengendali diusulkan dan telah diadopsi di banyak aplikasi. Tetapi perubahan itu tidak mempengaruhi bagian penting dari analisis dan desain pengendali PID. Pengendali PID adalah metode pengendali loop umpan balik (Tehrani dan Mpanda, 2012).
2.7.1. Pengendali Proportional
Pada pengendali proportional, hubungan antara keluaran pengendali u(t) dan sinyal kesalahan penggerak e(t) adalah sebagai berikut.
ሺሻ ൌ ୮ሺሻ
Jika dalam transformasi Laplace adalah sebagai berikut.
ሺሻ ሺሻൌ ୮
Dimana ୮ adalah proportional gain. Apapun mekanisme aktualnya dan apapun bentuk daya operasinya, pengendali proportional pada dasarnya adalah penguat dengan gain yang disesuaikan (Ogata, 2010).
23 (2.44)
(2.45)
(2.46)
(2.47)
(2.49) (2.48)
2.7.2. Pengendali Integral
Pada pengendali dengan kendali integral, nilai keluaran pengendali u(t) diubah pada tingkat yang sebanding dengan sinyal kesalahan penggerak e(t).
ሺሻ
ൌ ୧ሺሻ Atau
ሺሻ ൌ ୧න ሺሻ
୲
Dimana ୧ adalah konstanta penyesuaian. Transfer function dari pengendali integral adalah sebagai berikut (Ogata, 2010).
ሺሻ ሺሻ ൌ୧
2.7.3. Pengendali Proportional-Integral
Pengendali proportional-integral didefinisikan dengan rumus berikut.
ሺሻ ൌ ୮ሺሻ ୮
୧ න ሺሻ
୲
Dengan transfer function pengendali sebagai berikut.
ሺሻ
ሺሻൌ ୮൬ͳ ͳ ୧൰
Dimana ୧ adalah waktu integral (Ogata, 2010).
2.7.4. Pengendali Proportional- Derivative
Pengendali proportional-derivative didefinisikan dengan rumus berikut.
ሺሻ ൌ ୮ሺሻ ୮ୢሺሻ
24
(2.50)
(2.51)
(2.52) Dengan transfer function pengendali sebagai berikut.
ሺሻ
ሺሻൌ ୮ሺͳ ୢሻ
Dimana ୢ adalah waktu derivative (Ogata, 2010).
2.7.5. Pengendali Proportional-Integral-Derivative
Kombinasi dari pengendali proportional, integral, dan derivative disebut sebagai pengendali proportional-integral-derivative. Pengendali ini memiliki keuntungan tiap individu pengendalinya. Persamaan pengontrol ini adalah sebagai berikut.
ሺሻ ൌ ୮ሺሻ ୮
୧ න ሺሻ
୲
୮ୢሺሻ
Dengan transfer function pengendali sebagai berikut (Ogata, 2010).
ሺሻ
ሺሻൌ ୮൬ͳ ͳ
୧ ୢ൰
Gambar 2.18 Blok Diagram Terbuka Pengendali PID (Ogata, 2010)
Tuning PID Ziegler Nichols
Jika pemodelan matematika dari sistem (plant) dapat diturunkan, maka dapat diterapkan berbagai teknik desain untuk menentukan parameter pengendali yang berkaitan dengan spesifikasi respon transien dan steady-state dalam sistem close-loop. Jika plant terlalu kompleks dimana pemodelan matematika tidak dapat diperoleh dengan mudah, maka pendekatan analisis atau komputasi untuk desain pengendali PID tidak mungkin dilakukan. Kemudian perlu dilakukannya
25 pendekatan eksperimental untuk menentukan parameter penyetelan PID. Proses pemilihan parameter pengendali untuk menentukan performa spesifikasi dikenal dengan nama tuning PID (Ogata, 2010).
Ziegler dan Nichols menyarankan aturan untuk tuning PID berdasarkan eksperimental respon step atau berdasarkan nilai dari hasil stabilitas marginal jika hanya menggunakan kendali proportional. Diagram blok kontrol PID digambarkan pada Gambar 2.19. Aturan tersebut menyarankan beberapa nilai dan yang akan membuat operasi sistem menjadi stabil. Namun, sistem yang dihasilkan mungkin saja menunjukkan maximum overshoot yang tinggi pada respon step, dimana hal tersebut tidak dapat diterima. Oleh karena itu, aturan tuning dengan metode Ziegler- Nichols memberikan tebakan yang membuat nilai parameter dan set point baik untuk tuning. Ziegler-Nichols mengusulkan aturan untuk menentukan nilai dari proportional gain ୮, waktu integral ୧, dan waktu derivative ୢ berdasarkan karakteristik respon transien yang diberikan plant. Penentuan parameter pengendali PID atau tuning PID dapat dilakukan oleh teknisi di lokasi dengan eksperimen pada plant. Terdapat dua metode pada tuning PID dengan Ziegler-Nichols, yaitu metode pertama dan metode kedua. (Ogata, 2010).
Gambar 2.19 Diagram Blok Tertutup Pengendali PID (Ogata, 2010)
2.8.1. Metode Pertama Ziegler-Nichols
Pada metode pertama, respon plant diperoleh secara eksperimental terhadap unit-step masukan. Jika plant tidak melibatkan integrator atau kutub konjugasi komplek yang dominan, maka kurva respon unit-step akan terlihat seperti huruf S.
Metode ini berlaku jika respon terhadap masukan step menunjukkan kurva seperti huruf S. Kurva respon step seperti itu dapat dihasilkan secara eksperimental atau simulasi secara dinamis dari plant (Ogata, 2010).
Karakteristik kurva huruf S dapat dicirikan dengan dua konstanta, yaitu delay time L dan konstanta waktu T. Delay time dan konstanta waktu dapat
26
(2.53) ditentukan dengan menggambar garis singgung pada titik belok kurva huruf S dan menentukan perpotongan garis singgung garis dengan sumbu waktu dan garis c(t) sama dengan K.
Gambar 2.20 Respon Unit-step dari Plant (Ogata, 2010)
ሺሻ
ሺሻൌ ିୱ
ͳ
Gambar 2.21 Kurva Respon Huruf S (Ogata, 2010)
Tabel 2.1 Aturan Ziegler-Nichols Berdasarkan Respon Step dari Plant
Tipe Pengendali ୮ ୧ ୢ
P
∞ 0
PI 0,9
Ͳǡ͵ 0
PID 1,2
2L 0,5L
*) Ogata (2010)
27 (2.54)
(2.55) Ziegler-Nichols menyarankan untuk menentukan nilai ୮, ୧, dan ୢ dengan rumus pada tabel 2.1. Rumus yang digunakan pada pengendali tuning PID metode pertama adalah sebagai berikut.
ୡሺሻ ൌ ୮൬ͳ ͳ
୧ ୢ൰
ൌ ͳǡʹ
൬ͳ ͳ
ʹୱ Ͳǡͷୱ൰
ൌ Ͳǡቀ ͳ ቁ
ଶ
Dapat dikatakan bahwa pengendali PID mempunyai kutub pada origin dan double zeros saat s = -1/L (Ogata, 2010).
2.8.2. Metode Kedua Ziegler-Nichols
Pada metode kedua, asumsikan ୧ = ∞ dan ୢ = 0. Dengan hanya menggunakan pengendali proportional, nilai ୮ ditingkatkan dari 0 hingga nilai kritis ୡ୰ dimana keluaran pertama menunjukkan osilasi berkelanjutan. Jika keluaran tidak menunjukkan osilasi berkelanjutan untuk berapapun nilai ୮, maka metode ini tidak berlaku. Jadi, penguatan kritis ୡ୰ dan periode yang sesuai ୡ୰
ditentukan secara eksperimental. Ziegler-Nichols menyarankan untuk menetapkan nilai parameter ୮, ୧, dan ୢ pada tabel 2.2.
Tabel 2.2 Aturan Ziegler-Nichols Berdasarkan Nilai Kritis
Tipe Pengendali ୮ ୧ ୢ
P 0,5ୡ୰ ∞ 0
PI 0,45ୡ୰ ͳ
ͳǡʹୡ୰ 0
PID 0,6ୡ୰ 0,5ୡ୰ 0,125ୡ୰
*) Ogata (2010)
ୡሺሻ ൌ ୮൬ͳ ͳ
୧ ୢ൰
ൌ Ͳǡୡ୰൬ͳ ͳ
Ͳǡͷୡ୰ Ͳǡͳʹͷୡ୰൰
28
ൌ ͲǡͲͷୡ୰ୡ୰
ቀ Ͷ ୡ୰ቁ
ଶ
Gambar 2.22 Sistem Close-Loop dengan Pengendali Proportional (Ogata, 2010)
Dapat dikatakan bahwa pengendali PID mempunyai kutub pada origin dan double zeros saat s = -4/ୡ୰. Perlu diperhatikan bahwa jika sistem memiliki model matematika yang diketahui (seperti transfer function), maka untuk mencari nilai ୡ୰ dan frekuensi dari osilasi berkelanjutan ɘୡ୰ dapat ditentukan dengan menggunakan metode root-locus, dimana ʹߨȀɘୡ୰ ൌ ୡ୰. Nilai-nilai ini dapat ditemukan dari titik persimpangan cabang akar root-locus dengan sumbu jω. Tentu saja jika akar root-locus tidak melwati sumbu jω, maka metode ini tidak bisa diterapkan (Ogata, 2010).
Gambar 2.23 Osilasi Berkelanjutan dengan Periode Kritis (Ogata, 2010)
Fuzzy Logic
Fuzzy logic dengan metode Sugeno memiliki kesamaan yang mirip, namun terdapat perbedaan pada output (konsekuen). Dimana pada metode Sugeno tidak berupa himpunan fuzzy melainkan konstanta atau persamaan linear. Pada metode Sugeno terdapat 3 tahapan untuk mendapatkan keluaran, yaitu fuzzification, rule evaluation, dan defuzzification (Yusuf dkk, 2019).
29
2.9.1. Fuzzifikasi
Fuzzifikasi adalah proses transformasi variabel numerik (crisp variable) ke dalam variabel linguistik. Nilai error (e) dan delta error (Δe) dinormalisasi dari variabel numerik (-1,1) ke dalam variabel linguistik dan diberi label dengan nama NB (Negative Big), NM (Negative Medium), NS (Negative Small), ZE (Zero), PS (Positive Small), PM (Positive Medium), dan PB (Positive Big). Selain itu, variabel linguistik untuk nilai gain ୮, ୧, dan ୢ yang memiliki peran sebagai keluaran diberi label dengan nama ZE (Zero), MS (Medium Small), S (Small), M (Medium), B (Big), MB (Medium Big), dan VB (Very Big) (Khadari dkk, 2019).
2.9.2. Sistem Inferensi Fuzzy
Sistem inferensi fuzzy berisi matriks keputusan yang digunakan dan direpresentasikan pada tabel 2.3 (Khadari dkk, 2019).
Tabel 2.3 Aturan Fuzzy pada Gain Proportional
Δe/e NB NS ZE PS PB
NB VB VB VB VB VB
NS B B B MB VB
ZE ZE ZE MS S S
PS B B B MB VB
PB VB VB VB VB VB
*) Khadari dkk (2019)
Tabel 2.4 Aturan Fuzzy pada Gain Integral
Δe/e NB NS ZE PS PB
NB M M M M M
NS S S S S S
ZE MS MS ZE MS MS
PS S S S S S
PB M M M M MS
*) Khadari dkk (2019)
Tabel 2.5 Aturan Fuzzy pada Gain Derrivative
Δe/e NB NS ZE PS PB
NB ZE S M MB VB
NS S B MB VB VB
ZE M MB MB VB VB
PS B VB VB VB VB
PB VB VB VB VB VB
*) Khadari dkk (2019)
30
(2.56)
2.9.3. Defuzzification
Model defuzzification yang digunakan adalah center of gravity (COG).
Untuk mendapatkan defuzzification, maka digunakan persamaan (2.54). Dimana u(xi) adalah nilai keanggotaan dari elemen xi (i=1, 2, 3,...) dan u(COG) adalah kelauran dari pengendali logika fuzzy (Khadari dkk, 2019).
ሺሻ ൌσ୬୧ୀଵሺሻǤ
σ୬୧ୀଵሺሻ
Penelitian Terdahulu
Rangkuman hasil penelitian terdahulu yang memiliki hubungan dengan penelitian tugas akhir ini direpresentasikan pada tabel 2.3.
Tabel 2.6 Penelitian Terdahulu No. Nama dan Tahun
Publikasi Hasil
1. Chao dkk, 2019 Metode: An Optimal Fuzzy PID Controller Design Based On Conventional PID Control and Nonlinear Factors
Hasil: Nilai konvergensi GA diperoleh dengan cepat akibat adanya penambahan fuzzy logic controller.
2. Khadari dkk, 2019 Metode: Simulasi Kontroler PID Tuning Menggunakan Logika Fuzzy dan Algoritma Genetika Sebagai Pengendali Kecepatan Motor DC
Hasil: Respon transien menunjukkan bahwa overshoot dan undershooot berkisar 2-5 %, dimana hal ini menunjukkan bahwa tuning fuzzy PID mampu mengarahkan sistem menuju keluaran yang diinginkan.
3. Yusuf dkk, 2019 Metode: Rancang Bangun Kontrol Pompa Air Menggunakan Kontroler Fuzzy Logic pada Pengendalian Aliran Air di Plant Water Treatment Hasil: Gangguan berupa sudut derajat stopvalve berbanding terbalik dengan kecepatan aliran air.
4. Kresna Prasetya Pamungkas, 2021
Metode: Analisis Penerapan PID-Fuzzy pada Pengendalian Kecepatan Motor Induksi Tiga Fasa Hasil:
*) Penulis (2021)