• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

N/A
N/A
Nguyễn Gia Hào

Academic year: 2023

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam sistem penyelenggaraan hukum pidana (criminal justice system), maka pidana merupakan suatu posisi sentral. Hal ini disebabkan karena keputusan di dalam pemidanaan akan mempunyai konsekuensi yang luas, baik yang langsung menyangkut pelaku tindak pidana maupun masyarakat secara luas, lebih-lebih kalau keputusan pidana tersebut dianggap tidak tepat, maka akan menimbulkan reaksi yang controversial, sebab kebenaran didalam hal ini sifatnya adalah relative, tergantung dari mana kita memandangnya.

Pidana adalah derita, nestapa, siksaan. Pidana adalah sanksi yang ada hanya didalam hukum pidana. kalau dikaitkan dengan hukum pidana itu sendiri, maka pidana merupakan urat nadinya hukum pidana. Menurut Roeslan Saleh, pidana adalah reaksi atas delik, dan ini berujud suatu nestapa yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-starat tertentu.1

Penjatuhan pidana kepada para pelanggar hukum , merupakan bentuk sanksi yang paling keras, karena sesungguhnya melanggar Hak Asasi Manusia, seperti pengekangan kebebasan dalam penjara. Perampasan barang tertentu bahkan sampai ada kalanya harus dibayar dengan nyawa jika dijatuhkan pidana mati. Persoalan keputusan pidana dianggap kurang tepat, tidak hanya dialami di Indonesia saja, tetapi hampir seluruh negara di dunia mengalami apa yang disebut

1 Muladi dan Barda Nawawi, Teori-Teori Dan Kebijakan Hukum Pidana, Alumni, Bandung,1998

(2)

sebagai the disturbing diaparaty of sentencing yang mengandung perhatian lembaga legislative, serta lembaga lain yang terlibat didalam system penyelenggaraan hokum pidanauntuk memecahkannya.

Yang dimaksud dengan disparitas pidana (disparity of sentencing) dalam hal ini adalah penerapan pidana yang tidak sama terhadap tindak pidana yang sama (same offence) atau terhadap tindak-tindak pidana yang sifat berbahayanya dapat diperbandingkan (offences of comparable seriousness) tanpa dasar pembenaran yang jelas.2

Disparitas pidana akan berakibat fatal, terpidana yang setelah memperbandingkan pidana kemudian akan merasa menjadi korban, akan menjadi terpidana yang tidak menghargai hukum, padahal penghargaan terhadap hokum tersebut merupakan salah satu target didalam tujuan pemidanaan. Dari sini akan nampak suatu persoalan yang serius, sebab akan merupakan suatu indicator dan manifestasi dari pada kegagalan suatu system untuk mencapai persamaan keadilan di dalam negara hukum dan sekalius akan melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem penyelenggaraan hukum pidana.

Hakim sebagai penyelenggara hukum pidana yang menyelenggarakan proses peradilan pidana pada tahap pemeriksaan perkara di pengadilan terikat pada peraturan baik Undang-Undang Dasar 1945 atau yang disebut UUD 1945 dan undang-undang nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, undang-undang nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau yang disebut dengan KUHAP.

2 Ibid .hal 53

(3)

Pengertian hakim menurut KUHAP pada pasal 1 butir (8)dan memutus perkara adalah : “pejabat peradilan Negara yang diberi wewenang oleh undang- undang untuk mengadili.”

Sedangkan pengertian mengadili menurut pasal 1 butir (9) ialah “ serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal dan menrut cara yang diatur dalam undang-undang ini.”

Indonesia adalah Negara hukum, maka salah satu prinsip penting negara hokum adalah jaminan penyeleggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan. Hal mana telah ditegaskan dalam Undang- Undang Dasar 1945 pada pasal 24 ayat (1) bahwa: “ kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan, guna menegakan hukum dan keadilan.”

Hal kekuasaan kehakiman juga telah dirumuskan dalam undang-undang nomor 48 tahun 2009 yaitu pada pasal 1 butir (1) yang menyebutkan :

“Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia.

Adanya kekuasaan kehakiman sehingga seorang hakim memiliki kemampuan untuk mengimplementasikan undang-undang secara tersendiri, serta tidak terikat pada yurisprudensi atau putusan dari hakim yang terdahulu pada suatu perkara yang sejenis. Implementasi pidana yang dijatuhkan oleh hakim

(4)

haruslah mengandung rasa keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum ditengah- tengah masyarakat, sehingga dapat memberikan putusan yang terbaik bagi pelaku dan korban tindak pidana.

Problematika mengenai disparitas pidana yang ditemui dalam putusan hakim, tentu menimbulkan akibat yang tidak bisa dielakan lagi, yaitu melemahkan kepercayaan masyarakat luas terhadap penyelenggaraan hokum pidana. Disparitas pidana juga ditemui pada putusan Pengadilan Negeri Ambon terhadap dua putusan yang berbeda dalam tindak pidana yang sama yaitu pemerkosaan. Putusan yang dimaksud ialah :

1. Putusan No. 247/Pid,B/2016/PN.Amb, hakim menjatuhkan sanksi pidana 6 tahun penjara bagi terdakwa Anthon Reni Pieter atas tindak pidana pemerkosaan.

2. Putusan No. 255/Pid.B/2016/PN.Amb, hakim menjatuhkan sanksi pidana 5 tahun penjara bagi terdakwa Nawawi Ohorelia atas tindak pidana pemerkosaan.

Secara umum istilah perkosaan didefenisikan sebagai proses intimidasi yang disadari, di mana laki-laki berusaha untuk menguasai perempuan (secara fisik dan seksual) dengan paksaan sehingga menimbulkan pemerkosaan. Atau lebih umum lagi bahwa perkosaan adalah suatu hubungan seksual yang salah satu pihak (terutama perempuan) tidak menghendakinya.3

Pengertian perkosaan tidak dapat dilepaskan dari pengertian kesusilaan, karena perkosaan merupakan salah satu bagian dari kejahatan kesusilaan yang

3 Ruhaini Dzuhayanti, Martial Rape Suatu Keniscayaan. Sunan Kalijaga.2004.Hal 296

(5)

diatur dalam Bab XIV Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang selanjutnya disebut KUHP yang salah satu pasalnya tentang perkosaan ialah pasal 285 yang menyatakan

“Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita untuk bersetubuh dengan dia di luar pernikahan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun.”

Dari rumusan pasal 285 KUHP tersebut terhadap pelaku yang melakukan perkosaan diancam pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun. Sanksi pidana dalam pasal 285 KUHP tidak menentukan batas minimum pidana , tetapi hanya menentukan batas maksimum yaitu 12 (dua belas) tahun.

Dalam putusan Pengadilan Negeri Ambon terdapat perbedaan sanksi pidana terhadap dua perkara tindak pidana perkosaan yaitu terdakwa Anthon Reni Pieter dengan sanki pidana 6 tahun penjara dan Nawawi Ohorela 5 tahun penjara.

Perbedaan pemberian sanksi pidana ini memunculkan disparitas pidana. adanya perbedaan putusan terhadap kasus yang sama atau sifat bahayanya serupa , atau disebut dengan disparitas pidana sering menimbulkan pertanyaan dan persepsi dari masyarakat yaitu penyebab disparitas pidana, kemudian mengenai kinerja aparat penegak hokum, serta bagaimana pertimbangan hakimnya. Hal inilah yang menyebabkan penulis juga tertarik untuk mengangkat judul penulisan skripsi ilmiah ini yaitu “ Disparitas Putusan Pengadilan Terhadap Tindak Pidana Perkosaan ( Studi Putusan Pengadilan Negeri Ambon ).”

(6)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang, maka rumusan masalah yang diangkat untuk dianalisis adalah : Faktor-faktor apakah yang menjadi penyebab disparitas pidana pada Putusan Pengadilan Negeri Ambon terhadap tindak pidana perkosaan.

C. Tujuan Penelitian.

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Menganalisis dan membahas faktor-faktor yang menjadi penyebab disparitas pidana pada Putusan Pengadilan Negeri Ambon terhadap tindak pidana perkosaan.

2. Sebagai persyaratan akademik guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Universitas Pattimura.

D. Manfaat Penelitian.

Manfaat penelitian adalah :

1. Untuk mengetahui factor-faktor yang menjadi penyebab disparitas pidana pada Putusan Pengadilan Negeri Ambon terhadap tindak pidana perkosaan.

2. Sebagai sumbangan pikiran bagi pengembangan ilmu hokum khususnya dalam memahami disparitas pidana terhadap putusan perkara oleh hakim.

E. Kerangka Teoritis

Penggunaan istilah pidana diartikan sebagai sanksi pidana atau sering juga digunakan istilah lain yaitu hukuman, penghukuman, pemidanaan, penjatuhan hukuman, pemberian pidana dan hukuman pidana.

(7)

Istilah “hukuman” yang berasal dari kata straf dan istilah “dihukum” yang brasal dari perkataan wordt gestraf menurut Mulyatno merupakan istilah-istilah yang konvensional. Beliau tidak setuju dengan istilah-istilah itu, dan menggunakan istilah yang inkonvensional, yaitu “pidana” untuk menggantikan kata “straf” dan “diancam dengan pidana” untuk menggantikan kata wordt gestraf.4

Menurut Sudarto yang dimaksutkan dengan pidana ialah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.5

Penjatuhan pidana kepada para pelanggar hukum merupakan bentuk sanksi yang paling keras. Hal ini sejalan dengan pandangan Remelink yang menyatakan bahwa sanksi pidana sebagai sanksi yang paling tajam dan keras pada asasnya hanya akan dijatuhkan apabila mekanisme penegakan hukum lainnya yang lebih ringan telah tidak berdaya guna atau sudah sebelumnya dipandang tidak cocok.6

Sanksi pidana yang diberikan oleh hakim, harus benar-benar dirasakan adil bagi pihak korban tetapi juga bagi pelaku bahkan masyarakat sehingga keadilan yang dilihat dapat dinilai. Menyangkut keadilan menurut pendapat Aristoteles adalah kelayakan dalam tindakan manusia. Kelayakan diartikan sebagai titik tengah diantara kedua ekstrem yang terlalu banyak dan terlalu sedikit, kedua ekstrem itu menyangkut dua orang atau benda, bila dua orang itu mempunyai

4 Muladi dan Barda Nawawi. Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana. Alumni. Bandung.

1998. Hal 1

5 Ibid.Hal 2

6 Erdianto Effendi. Hukum Pidana Indonesia Suatu Pengantar,Rafika Aditama.

Bandung.2011.Hal 2

(8)

kesamaan dalam ukuran yang telah ditetapkan, maka masing-masing orang akan menerima bagian yang tidak sama, sedangkan pelanggaran terhadap proporsi tersebut adalah ketidakadilan. Keadilan hanya bisa dipahami jika diposisikan sebagai keadaan yang hendak diwujudkan oleh hukum.

Disparitas pidana sebagai salah satu persoalan yang mendatangkan penilaian ketidakadilan. Menurut Molly Cheang, disparitas pidana adalah bahwa penerapan pidana yang sama atau terhadap tindak-tindak pidana yang sama atau terhadap tindak-tindak pidana yang sifat bahayanya dapat diperbandingkan tanpa dasar pertimbangan yang jelas.7

Pengambilan keputusan adalah tugas dari hakim atas perkara yang ditanganinya. Hakim harus memproses dan mengolah data-data dan bukti yang diperoleh selama dalam proses persidangan, kemudian memberi keputusan terakhir apakah seorang terdakwa bersalah atau tidak, dan kalaupun bersalah sanksi apa yang diberikan dan kalau sanksinya sanksi pidana penjara berapa lama pidana penjara yang harus dijalani terdakwa.

Dalam menentukan putusan hakim, hakim harus memperhatikan berbagai pertimbangan yaitu pertimbangan hukum dan pertimbangan hukum. Pertimbangan hukum diartikan suatu tahapan di mana majelis hakim mempertimbangkan fakta- faktayang terungkap selama persidangan berlangsung, mulai dari dakwaan, tuntutan, eksepsi dari terdakwa yang dihubungkan dengan alat bukti yang memenuhi syarat formil dan syarat materil, yang disampaikan dalam pembuktian.

7Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Alumni, Bandung, 2008, Hal 119.

(9)

Dalam pertimbangan hokum dicantumkan pula pasal-pasal dari peraturan hokum yang dijadikan dasar dalam putusan tersebut. Pertimbangan hakim adalah argument atau alasan yang dipakai oleh hakim sebagai pertimbangan hukum yang menjadi dasa sebelum memutus kasus.8

Ada teori yang dapat dipakai hakim dalam mempertimbangkan putusan hakim. Teori pendekatan ratio decindendi menurut Mackenzie yaitu teori yang didasarkan pada landasan filsafat yang mendasar yang mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok pikiran yang disengketakan, kemudian mencari peraturan perundang-undangan yang relevan dengan pokok perkara yang disengketakan sebbagai dasar hokum dalam penjatuhan putusan serta pertimbangan hakim harus didasarkan pada motivasi yang jelas untuk menegakan hukum dan memberikan keadilan bagi para pihak yang berperkara.9

F. Metode penelitian 1. Jenis penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif yaitu dengan melakukan identifikasi terhadap isu hukum yang berkembang dalam masyarakat,mengkaji penerapan-penerapan hukum dalam masyarakat mengkaji ketentuan hukum positif serta prinsip-prinsip hukum maupun doktrin untuk memperjelas hasil penelitian,kemudian ditinjau aspek praktis dan aspek akademis keilmuan hukumnya dalam penelitian hukum.10

8 Lilik Mulyadi, Putusan Hakim Dalam Hukum Acara Pidana. Teori, Praktik Teknik Penyusunan Dan Permasalahannya, Citra Adiitya Bakti. Bandung.2010. Hal 125

9 Ahmad Rifai. Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Dan Progresif. Sanar Grafika. Jakarta. 2010. Hal 105

10 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Permada Media. Cet.I,Jakarta,2005, hal.35

(10)

2. Tipe penelitian

Penelitian ini tergolong tipe deskriptif analitis11 dimana dengan menggunakan pendekatan normatif di atas, selanjutnya akan dapat dideskripsikan yang dilanjutkan dengan menganalisis dan menjelaskan temuan-temuan baik dari data pustaka maupun lapangan dalam suatu sistematika sehingga dengan hasil deskripsi tersebut selanjutnya akan dapat ditarik beberapa kesimpulan yang dilengkapi dengan saran-saran.

3. Sumber bahan hukum

Dalam penelitian ini sumber bahan hukumnya yaitu bahan hukum primer dan sekunder.12

a. Bahan hukum primer

Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mengikat yakni bahan pustaka yang berisikan pengetahuan ilmiah yang baru dan mutakhir ataupun pengertian baru tentang fakta yang diketahui maupun mengenai suatu gagasan (ide) yang bersifat autoritatif,artinya mempunyai otoritas yang terdiri dari13 :

1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP)

2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

b. Bahan hukum sekunder

11 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986, hal.12

12 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Raja Grafindo Persada, Jakarta. 2014, hal.13

13 Peter Mahmud Marzuki, op.eit, 2005, hal.181

(11)

Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti hasil-hasil penelitian dan pendapat pakar hukum yang sudah tersedia dalam bentuk buku atau dokumen.

4. Teknik Pengumpulan dan Analisis Bahan Hukum

a. Teknik pengumpulan dilakukan dengan cara Studi Kepustakaan yaitu serangkaian usaha untuk memperoleh bahan penulisan dengan cara membaca, menelaah, mengklasifikasikan, dan dilakukan pemahaman terhadap bahan-bahan hukum yang berupa peratuaran perundang-undangan, yuriprudensi, hasil penelitian yang ada hubungannya dengan pokok permasalahan maupun pendapat para ahli hukum,14 serta buku-buku literature dan relevansinya dengan permasalahan dan hasil dari kegiatan pengkajian tersebut kemudian dibuat ringkasan secara sistimatis sebagai inti dari hasil pengkajian studi dokumen.

b. Teknik analisis bahan hukum adalah pengolahan bahan hukum yang diperoleh baik dari penelitian pustaka maupun penelitian lapangan. Bahan- bahan hukum merupakan data bagi penulis untuk menganalisis bahan hukum dipergunakan analisis kualitatif. Artinya bahwa bahan hukum yang telah terkumpul atau di temui harus dipisah-pisahkan menurut kategori masing-masing dan kemudian di tafsirkan dalam usaha mencapai jawaban masalah penulisan ini. Bahan hukum yang diperoleh dalam penulisan ini selanjutnya di deskripsikan sesuai dengan pokok permasalahan yang dikaji secara kualitatif.

14 Burhan Ashshafia, Metode Penelitian Hukum, Jakarta, Bina Cipta, 1996, hal.91

(12)

Dengan kata lain penelitian deskriptif analitis mengambil masalah atau memusatkan perhatian kepada masalah-masalah sebagaimana adanya saat penelitian dilaksanakan hasil penelitaian yang kemudian diolah dan dianalisis unuk mengambil kesimpulannya.

G. Sistematika Penulisan

Bab I Adalah Bab Pendaluhuan yang berisikan latar belakang, rumusan masalah, tujuan penenelitian, manfaat penelittian, kerangka teoritis, metode penelitian (jenis penelitian, tipe penelitian, sumber bahan hukum, teknik pengumpulan data dan analisa bahan hukum) dan sistematika penulisan.

Bab II Adalah Bab Tinjauan Pustaka yang berisikan pengertian dan unsur-unsur tindak pidana perkosaan, pengertian dan kategori disparitas pidana, pertimbangan hukum hakim dalam memutuskan sanksi pidana.

Bab III Adalah Bab Hasil dan Pembahasan yang berisikan putusan pengadilan dalam tindak pidana pemerkosaan, faktor-faktor yang menjadi penyebab disparitas putusan pengadilan terhadap perkara pemerkosaan, upaya hukum mengatasi disparitas Tindak Pidana Pemerkosaan.

Bab IV Adalah Bab Penutup yang berisikan kesimpulan dan Saran.

Referensi

Dokumen terkait

Perspektif Hukum Pidana Indonesia Terhadap Pidana Seumur Hidup Atau Pidana Mati Dalam Kasus Tindak Pidana Pembunuhan Berencana Hukum pidana merupakan aturan-aturan hukum yang dibuat