BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian
Skizofrenia berasal dari kombinasi dua kata Yunani, yaitu schizein, yang memiliki arti “untuk membagi,” dan phren, yang memiliki arti
“pikiran.” Makna skizofrenia sendiri tidak mengarah kepada “kepribadian ganda” seperti halnya pada gangguan kepribadian ganda, terdapat adanya identitas yang timbul secara terpisah, dan yang membuat suatu keyakinan adanya perpecahan pada aspek kepribadian yaitu emosional dan kognitif. 1,2
Diantara gangguan psikotik yang lainnya, skizofrenia merupakan yang paling banyak angka kejadiannya. Di dunia, sekitar 1% penduduk mengalami skizofrenia sepanjang hidupnya. Tanda-tanda skizofrenia kerap kali muncul pada rentan usia remaja akhir sampai dewasa muda. Pada pria biasanya sering terjadi pada usia 15-25 tahun, sedangkan pada wanita pada usia 25-35 tahun.
Biasanya, prognosis pada pria lebih buruk jika dibandingkan dengan wanita. 1 Berdasarkan WHO (2016), diperoleh kurang lebih sebanyak 21 juta jiwa yang menderita skizofrenia. Di Indonesia, dengan bermacam-macam penyebab yang diantara lainnya seperti biologis, psikologis dan sosial dengan berbagai macam penduduk. Terjadinya peningkatan jumlah angka kejadian penderita gangguan psikotik mengakibatkan penambahan beban negara dan pengurangan produktivitas manusia untuk rentang waktu yang panjang. 5
Data Riskesdas (2013) menyatakan bahwa angka kejadian gangguan jiwa berat, seperti skizofrenia terdapat sebanyak 400.000 jiwa atau sekitar 1,7 per 1.000 populasi. 5
Berkembangnya obat antipsikotik yang tepat terhadap pengobatan orang sakit jiwa sudah membuat perubahan yang signifikan dalam sistem rawat inap untuk pasien skizofrenia hampir kurun waktu 50 tahun terakhir ini.
Kemungkinan pasien kembali di rawat inap dalam kurun waktu 2 tahun setelah dipulangkan dari rawat inap pertama sebesar 40-60%. Penderita skizofrenia hampir memenuhi sekitar 50% dari jumlah semua tempat tidur di rumah sakit jiwa dan termasuk sekitar 16% dari seluruh penderita gangguan psikiatik yang melakukan pengobatan. 2
Penderita memiliki probabilitas yang cukup besar untuk berhenti mengkonsumsi obat pada tahun pertama setelah penderita tersebut terdiagnosis skizofrenia. Penderita akan berhenti mengkonsumsi obat kemungkinan diakibatkan karena obat efektif dan gejala hilang atau diakibatkan karena obat tidak efektif dan gejala tidak hilang. Uji coba Antipsikotik Klinis tentang Efektivitas Intervensi / CATIE (Clinical Antipsychotic Trials of Intervention Effectiveness mendapatkan sekitar 74%
penderita akan menghentikan pengobatannya dalam beberapa bulan, terbebas dari jenis obat antipsikotik yang dikonsumsi oleh penderita skizofrenia.
(Lieberman dan Stroup, 2011). 3
Kemungkinan terjadinya kekambuhan pada penderita skizofrenia sekitar 60% sampai 70% dalam kurun waktu beberapa bulan pada tahun pertama setelah penderita terdiagnosis. Bagi penderita yang patuh menjalani
pengobatan, kemungkinan terjadinya relap sekitar 40% dan bisa menurun sampai pada angka 15% bila dipadukan antara obat, pendidikan, dan dukungan orang sekitar. 2
Rawat inap dapat membantu penderita menurunkan stres dan menyusun kegiatan sehari-harinya. Keparahan penyakit penderita dan ketersediaan fasilitas layanan rawat jalan dapat menentukan jangka waktu rawat inap penderita. Penelitian menyatakan bahwa perawatan dalam kurun waktu yang singkat sekitar 4 sampai 6 minggu sama efektifnya dengan rawat inap dengan kurun waktu yang lama. Keadaan di rumah sakit dengan pendekatan perilaku yang aktif dapat menyampaikan hasil yang semakin baik daripada institusi pemeliharaan. 2
Rehospitalisasi merupakan keadaan dimana penderita kembali menjalani rawat inap ke rumah sakit (Heslin & Weiss, 2015). Rawat inap diperlukan saat penderita mengalami gejala psikotik yang tidak bisa dikendalikan, sehingga bisa membahayakan penderita sendiri ataupun orang di sekitarnya.
Gejala psikotik mencakup gejala positif dan negatif dari skizofrenia.
Rehospitalisasi pada penderita skizofrenia bisa diakibatkan karena penderita tidak rutin atau tidak patuh dalam mengkonsumsi obat. Penderita yang tidak rutin atau tidak patuh dalam mengkonsumsi obat sesuai anjuran, sebagian besar dapat mengalami rawat inap kembali 3 kali lebih sering jika dibandingkan penderita yang rutin atau patuh dalam mengkonsumsi obat (Gilmer dkk, 2004). 4
Selain perilaku patuh dalam mengkonsumsi obat, jenis obat yang dikonsumsi pun dapat juga mengakibatkan penderita skizofrenia kembali menjalani rawat inap. Penderita yang meminum obat antipsikotik jenis tipikal dapat mengalami kejadian rawat inap kembali yang lebih tinggi dibandingkan dengan penderita yang meminum obat antipsikotik jenis atipikal, khususnya Risperidone dan Olanzapine (Rabinowitz, Lichtenberg, Kaplan, Mark, Nahon
& Davidson, 2001). 4
Obat antipsikotik jenis tipikal berkerja untuk mengendalikan gejala-gejala positif sedangkan gejalan negatif nyaris tidak berfungsi, dan obat antipsikotik jenis ini lebih berisiko mengakibatkan gangguan motorik yang biasa disebut sebagai ekstrapyramidal symtoms seperti parkinsonisme, distonia akut dan akatisia. 1
Obat antipsikotik jenis atipikal bekerja baik untuk gejala positif ataupun gejala negatif. Obat antipsikotik jenis ini merupakan standar baku baru, walaupun harganya mahal tetapi memiliki efektivitas yang lebih baik, namun obat antipsikotik jenis ini bisa mengakibatkan gangguan metabolik seperti diabetes, kolesterol dan peningkatan berat badan. 1
Kepala Bidang Pengendalian Data dan Evaluasi Dinas Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan Kota Bandung, menyatakan bahwa sebanyak 60% pasien di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat merupakan penduduk Kota Bandung. Unsur stressor menyebabkan penderita gangguan jiwa di perkotaan lebih besar prevalensinya dibandingkan dengan daerah pedesaan.
Kepadatan di jalan raya merupakan salah satu pemicu stress yang paling berdampak di perkotaan. Menurut data, Jawa Barat menduduki urutan ke-3
total terbesar penduduk yang menderita gangguan jiwa setelah Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Selatan. 10
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana gambaran frekuensi rawat inap penderita skizofrenia yang menkonsumsi obat antipsikotik jenis tipikal di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat?
2. Bagaimana gambaran frekuensi rawat inap penderita skizofrenia yang menkonsumsi obat antipsikotik jenis atipikal di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat?
3. Bagaimana perbandingan frekuensi rawat inap penderita skizofrenia berdasarkan jenis obat antipsikotik yang diminum di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat?
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui perbandingan frekuensi rawat inap penderita skizofrenia berdasarkan jenis obat antipsikotik yang diminum di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Menghitung jumlah berapa kali dirawat inap pasien skizofrenia yang mengkonsumsi obat antipsikotik jenis tipikal
2. Menghitung jumlah berapa kali dirawat inap pasien skizofrenia yang mengkonsumsi obat antipsikotik jenis atipikal
3. Menganalisis perbandingan frekuensi rawat inap penderita skizofrenia berdasarkan jenis obat antipsikotik yang diminum.
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Akademik
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi lebih mengenai perbandingan frekuensi rawat inap penderita skizofrenia berdasarkan jenis obat antipsikotik yang diminum di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat.
Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi acuan untuk peneliti selanjutnya.
1.4.2 Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan, sumber atau dasar untuk rumah sakit mengenai pemilihan jenis obat antipsikotik yang tepat untuk pasien, agar meminimalisir kemungkinan terjadinya relaps pada pasien skizofrenia.