1 1.1 Konteks Penelitian
Pemilihan Presiden 2019 masih ditandai dengan adanya konsistensi wilayah yang menjadi basis kemenangan setiap kandidat. Salah satunya adalah provinsi Jawa Barat, dimana karakteristik religius mayoritas masyarakat nya masih memiliki kesetiaan dalam memilih partai atau tokoh politik yang dianggap berhasil merepresentasikan agama Islam (Teguh, 2019). Kekuatan basis massa dan kinerja partai politk islam yang menjadi partai pengusung kubu Prabowo pun juga menjadi salah satu faktor kemenangan. Hal ini selaras dengan perolehan suara kemenangan Prabowo di Jawa Barat, baik pada Pemilihan Presiden 2014 maupun pada Pemilihan Presiden 2019.
Tabel I.1
Perbandingan Hasil Pilpres 2014 - 2019 di Jawa Barat
No. Wilayah (Tahun) Jokowi Dodo Prabowo Subianto
1. Jawa Barat (2014) 40,22% 59,78%
2. Jawa Barat (2019) 40,09% 59,91%
Sumber : Website KPU
Kendati demikian, salah satu provinsi yang juga cenderung konsisten menjadi basis wilayah kemenangan Jokowi adalah Jawa Tengah. Wilayah tersebut dimenangkan telak oleh pasangan Jokowi – Ma’ruf dengan perbandingan interval suara yang terlampau cukup jauh dari kandidat Prabowo – Sandi (A. I. Prasetya, 2019). Namun, kecenderungan pilihan politik masyarakat Jawa Tengah tidak
didorong oleh kekuatan partai politik berbasis muslim. Hal ini disebabkan bahwa partai politik berbasis muslim tidak begitu memperoleh suara kemenangan yang signifikan di Jawa Tengah. Faktanya, kekuatan massa dan partisipan dari partai- partai nasioanalis masih begitu tinggi di Jawa Tengah, salah satu kekuatan terbesarnya adalah partai PDIP yang juga merupakan partai kelahiran Jokowi sebagai kadernya.
Tabel I.2
Perbandingan Hasil Pilpres 2014 - 2019 di Jawa Tengah No. Wilayah (Tahun) Jokowi Dodo Prabowo Subianto
1. Jawa Tengah (2014) 66,65% 33,35%
2. Jawa Tengah (2019) 77,26 % 22,74%
Sumber : Website KPU
Fenomena terciptanya basis wilayah kemenangan identik dengan adanya keterkaitan isu-isu politik. Banyak masyarakat yang beranggapan bahwa isu tersebut bukan hanya sebuah rumor belaka namun sudah menjadi fakta sehingga turut mempengaruhi kecenderungan keputusan politik individu. Fakta tersebut juga diperkuat oleh pernyataan mantan ketua MK Mahfud MD yang mengatakan bahwa Prabowo selalu memperoleh kemenangan di wilayah provinsi garis keras agama islam, salah satu nya adalah provinsi Jawa Barat. Pernyataan tersebut dianggap menjurus kepada masyarakat radikalis atau fanatik terhadap agama. Padahal hal ini menunjukkan bahwa kekuatan isu politik identitas masih menjadi salah satu pemicu kemenangan Prabowo di Jawa Barat. Sejak tahun 1955, wilayah Jawa Barat memang telah terpapar politik identitas sehingga lahirlah masyarakat Jawa Barat yang memiliki tingkat religiusitas tinggi dan cenderung memilih tokoh politik yang mampu merepresentasikan agama islam dengan baik.
Seperti yang terjadi pada masyarakat perkotaan Jawa Barat di Kecamatan Bandung Kidul dan Kecamatan Rancasari. Kedua daerah tersebut adalah wilayah yang selalu konsisten memilih Prabowo dalam setiap penyelenggaraan Pemilihan Presiden. Selain itu, kecenderungan politik masyarakat nya juga banyak dipengaruhi oleh dukungan mereka kepada salah satu partai pengusung Prabowo – Sandi, yakni partai PKS. Namun, hal ini bertolak belakang dengan daerah di Desa Ngawen, Pati, Jawa Tengah yang selalu menjadi basis wilayah kemenangan Jokowi sejak Pemilihan Presiden tahun 2014. Provinsi Jawa Tengah memang tidak termasuk wilayah yang memiliki sejarah kekuatan politik identitas yang tinggi.
Sehingga kecenderungan politik masyarakat nya tidak mengacu kepada partai pengusung berbasis islam, melainkan cenderung memilih partai-partai yang sifatnya nasionalis dan menjadi partai pengusung kandidat Jokowi – Ma’ruf.
Sama hal nya dengan ungkapan Mietzner yang mengatakan bahwa peristiwa pemilu pasca 2014 ditandai dengan meningkatnya politisasi identitas. Sebagian para elite politisi pun sering menggunakan isu-isu identitas seperti etnik, agama, atau ideologi untuk kepentingan politik dengan membangun citra positif para kubu oposisi. Maraknya isu agama dan politik pemilu pasca Pemilihan Presiden 2014 dan Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017 juga menjadi salah satu faktor pendorong meningkatnya politisasi identitas menuju Pemilu 2019 (Herdiansah, 2017).
Seperti pemaparan sebelumnya, berbagai partai politik berbasis islam turut menjadi partai koalisi dari kedua kandidat Pilpres 2019. Seperti PKS dan PAN yang menjadi bagian dari koalisi dukungan Prabowo – Sandi. Hal ini memberikan pengaruh yang besar, dimana mayoritas dukungan pun diberikan dari kalangan tokoh agama serta ulama. Selain itu, partai PKB dan PPP juga menjadi bagian
koalisi kandidat Jokowi – Ma’ruf. Namun, koalisi partai politik islam tersebut tidak begitu besar memberikan pengaruh kekuatan massa berbasis islam. Dan selama masa kampanye yang berlangsung pun aktivitas memobilisasi masyarakat beragama muslim hanya dilakukan oleh kandidat Prabowo – Sandi, salah satunya melalui gerakan aksi massa 212.
Sedangkan pada kandidat Jokowi – Ma’ruf, mereka turut menggunakan strategi isu identitas dengan cara mengusung K.H. Ma’ruf Amin yang merupakan ketua MUI untuk mendampingi Jokowi sebagai calon wakil presiden pada Pemilihan Presiden 2019. Dan selama masa kampanye yang berlangsung selama kurang lebih 7 bulan, kandidat Jokowi - Ma’ruf tidak melakukan aktivitas kampanye berupa memobilisasi massa atas nama agama.
Apabila merujuk dari sudut pandang pendukung setiap kandidat yang terlihat di mata publik, muncul berbagai anggapan bahwa isu “radikal” atau
“khilafah” erat kaitannya dengan pendukung Prabowo - Sandi. Namun tidak sedikit pula publik menilai bahwa Jokowi - Ma’ruf lebih banyak didukung oleh kalangan elite, kaum etnis cina dan antek asing. Keterkaitan politisasi identitas memang sulit terlepas karena disebabkan oleh lemahnya institusional partai politik di Indonesia.
Sehingga mendorong para politisi untuk bekerja sama dengan masyarakat dalam menyebarkan isu-isu identitas demi kepentingan pemilu. Salah satu faktor lemahnya institusionalisasi partai politik yakni figur pemimpin yang memiliki koneksi dengan jejaring basis massa identitas tertentu (Herdiansah, 2017).
Peristiwa tersebut juga terlihat relevan dengan penelitian yang pernah dilakukan oleh Dwight King dan Anies Baswedan pada saat keduanya membandingkan hasil dua Pemilu yang berbeda. Keduanya menyimpulkan bahwa
faktor orientasi keagamaan atau politik aliran masih relevan dalam menentukan pilihan pemilih di Indonesia. Dwight King yang membandingkan hasil pemilu 1955 dan pemilu 1999 menyimpulkan bahwa di kedua pemilu tersebut terjadi fenomena perpecahan antara partai-partai dengan politik santri modernis dan tradisionalis.
Sementara itu, berdasarkan perbandingan basis pemilih menurut kabupaten/kota pada pemilu 1999 dan 2004, Anies Baswedan menyimpulkan adanya korelasi yang signifikan antara basis pemilih baik partai-partai Islam, nasionalis, maupun Kristen (Emilia & Ichwanuddin, 2015).
Persaingan kandidat Pemilu 2019 yang begitu ketat juga menyebabkan banyak ditemukannya kasus politik uang yang terjadi di sejumlah daerah. Bahkan terdapat beberapa calon legislatif yang tertangkap basah melalui Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan polres setempat (Wismabrata, 2019). Telah menjadi suatu kebiasaan sejumlah oknum partai politik tertentu untuk memberikan
“serangan fajar” kepada masyarakat demi kepentingan partai nya. Sehingga tidak sedikit temuan di lapangan yang menyatakan bahwa salah satu kecenderungan terbesar pemilih dalam melakukan partisipasi politiknya masih bersifat transaksional.
Dalam rapat pleno terbuka rekapitulasi Daftar Pemilih Tetap (DPT) Hasil Perbaikan ke-3 (DPTHP-3), KPU menetapkan jumlah pemilih tetap untuk pemilu tahun 2019 mencapai 192.866.254 pemilih baik dari dalam negeri maupun luar negeri (Farisa, 2019). Dari 34 KPU provinsi yang ada di Indonesia, Jawa Barat masih menduduki urutan pertama sebagai provinsi dengan jumlah penyumbang Daftar Pemilih Tetap terbesar, yakni mencapai 33.270.845 orang. Begitu pula dengan provinsi Jawa Tengah yang merupakan provinsi dengan jumlah Daftar
Pemilih Tetap terbanyak di urutan ketiga, yakni sebesar 27.896.902 orang (P, 2019).
Berangkat dari hadirnya kekuatan politik identitas yang menimbulkan perbedaan karakteristik antara masyarakat Jawa Barat dan Jawa Tengah dalam menentukan keputusan politik sehingga menghasilkan konsistensi perolehan suara dan membentuk basis wilayah kemenangan antar kandidat, dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan preferensi politik masyarakat Jawa Barat dan Jawa Tengah pada Pilpres 2019. Pada dasarnya Pemilihan Presiden di Indonesia telah menjadi bagian dari kegiatan politik nasional yang paling sentral dimana keterlibatan partisipasi warga menjadi modal terbesar dalam menyumbangkan suara demi terpilihnya seorang kepala negara. Sehingga preferensi politik masyarakat sangat berpengaruh terhadap masa depan jejak kepemimpinan seorang pejabat publik yang diimplementasikan melalui kegiatan penyelenggaraan pemilihan umum, pemilihan kepala daerah, hingga pemilihan presiden.
Preferensi politik didefinisikan sebagai kecenderungan seseorang dalam mengambil keputusan pilihan politik yang didasari atas berbagai macam pertimbangan sesuai dengan kepercayaan, nilai, dan harapan terhadap pejabat atau partai politik tertentu. Pada dasarnya preferensi timbul akibat adanya pengalaman dan keyakinan setiap individu. Dengan demikian, preferensi politik masyarakat di suatu lingkungan dapat dilihat dari hasil sebuah tindakan partisipasi politik pemilih yang cenderung menentukan pilihan politiknya terhadap salah satu partai atau kandidat politik tertentu.
Preferensi politik masyarakat Indonesia yang terbagi menjadi 34 provinsi dapat dilihat dari hasil peta kemenangan Pemilihan Presiden 2019 sebegai berikut:
Sumber : KPU
Gambar I.1 Pemetaan Basis Wilayah Kemenangan
Dari pemetaan basis wilayah kemenangan antar kandidat, peneliti ingin melakukan riset untuk mengetahui : (1) apa saja faktor-faktor pertimbangan yang membentuk preferensi politik masyarakat di Jawa Barat dan Jawa Tengah pada Pemilihan Presiden 2019 ?, (2) mengapa faktor pertimbangan tersebut dijadikan alasan utama dalam menentukan preferensi politik ?, dan (3) bagaimana tahapan terbentuknya preferensi politik masyarakat Jawa Barat dan Jawa Tengah pada Pemilihan Presiden 2019 ?
Preferensi politik pemilih mayoritas di wilayah basis kemenangan kandidat sangat menarik untuk diteliti dan dikaji lebih dalam. Maraknya isu, terutama pada isu politik identitas tentu tidak sesuai dengan Indonesia yang merupakan sebuah negara dengan berbagai macam agama, suku, ras, dan budaya sehingga harus menanamkan paham Bhinneka Tunggal Ika dalam menjalani kehidupan bernegara
dengan penuh toleransi. Semakin tajam nya polarisasi politik pendukung antara dua kubu oposisi sangat berbahaya jika tidak dikelola dengan baik karena sangat rentan dengan perpecahan bangsa.
1.2 Fokus Penelitian
Berdasarkan konteks penelitian yang telah dijelaskan sebelumnya, untuk membatasi pemilihan data yang relevan berdasarkan kepentingan peneliti dari masalah yang dihadapi, maka fokus dari penelitian ini adalah :
1. Bagaimana perbandingan preferensi politik masyarakat di Jawa Barat dan Jawa Tengah pada pilpres 2019 ?
1.3 Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan fokus penelitian yang telah dipaparkan sebelumnya, untuk memahami lebih dalam mengenai preferensi politik masyarakat Jawa Barat dan Jawa Tengah pada pemilihan presiden 2019, peneliti mengambil pertanyaan penelitian sebagai berikut :
1. Apa saja faktor-faktor pertimbangan yang mendorong terbentuknya preferensi politik masyarakat Jawa Barat dan Jawa Tengah pada Pilpres 2019 ?
2. Mengapa faktor pertimbangan tersebut digunakan sebagai alasan utama dalam membentuk preferensi politik masyarakat Jawa Barat dan Jawa Tengah pada Pilpres 2019 ?
3. Bagaimana tahapan terbentuknya preferensi politik masyarakat Jawa Barat dan Jawa Tengah pada Pilpres 2019 ?
1.4 Tujuan Penelitian
Berdasarkan pertanyaan penelitian yang telah dijelaskan sebelumnya, peneliti akan melakukan riset sehingga penelitian ini memiliki tujuan yang ingin dicapai. Berikut adalah tujuan penelitian yang diangkat dalam penelitian ini : 1. Mengetahui faktor-faktor pertimbangan yang mendorong terbentuknya
preferensi politik masyarakat Jawa Barat dan Jawa Tengah pada Pilpres 2019.
2. Mengatahui alasan digunakannya faktor pertimbangan utama dalam membentuk preferensi politik masyarakat Jawa Barat dan Jawa Tengah pada Pilpres 2019.
3. Mengetahui tahapan terbentuknya preferensi politik masyarakat Jawa Barat dan Jawa Tengah pada Pilpres 2019.
1.5 Kegunaan Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian yang telah dijelaskan sebelumnya, sebuah riset harus memiliki fungsi atau kegunaan lain setelah selesai dilaksanakan.
Kegunaan penelitian memiliki dua macam kategori yaitu secara teorits dan praktis.
Berikut kegunaan penelitian yang diangkat dalam penelitian ini : 1.5.1 Kegunaan Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk pengembangan keilmuan dalam bidang Ilmu Komunikasi, khususnya dalam konteks komunikasi politik terkait faktor-faktor terbentuknya preferensi politik masyarakat Jawa Barat dan Jawa Tengah dalam menentukan keputusan politiknya.
1.5.2 Kegunaan Praktis 1. Untuk Peneliti
Hasil penelitian dapat dijadikan pembelajaran dalam pembuatan penelitian serupa, memberikan pengetahuan serta pemecahan masalah terkait perbandingan preferensi politik masyarakat Jawa Barat dan Jawa Tengah pada Pilpres 2019.
2. Untuk Masyarakat
Hasil penelitian dapat memberikan informasi dan pemahaman kepada masyarakat terkait perbandingan preferensi politik masyarakat Jawa Barat dan Jawa Tengah pada pilpres 2019.