• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I

N/A
N/A
Nguyễn Gia Hào

Academic year: 2023

Membagikan "BAB I"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perempuan adalah makhluk yang sering dianggap lemah jika dibandingkan dengan laki-laki. Ruang lingkup pekerjaan perempuan pada umumnya sebagai ibu rumah tangga yang bertugas merawat anak, membersihkan rumah, memasak dan mengerjakan pekerjaan rumah lainnya.

Berbeda dengan laki-laki yang memiliki kebebasan untuk bekerja. Hal tersebut menunjukan ketidaksetaraan gender antara laki-laki dan perempuan.

Namun pada zaman dewasa ini, kedudukan perempuan dan laki-laki adalah sama, atau yang disebut kesetaraan gender. Kesetaraan gender atau kesetaraan laki-laki dan perempuan merujuk pada kesamaan hak, tanggungjawab, kesempatan, perlakuan dan penilaian bagi kaum laki-laki dan perempuan dalam pekerjaan dan dalam hubungan antara kerja dan kehidupan.1 Dengan adanya kesetaraan inilah perempuan tidak hanya menjalankan perannya sebagai ibu rumah tangga dirumah melainkan perempuan aktif dalam melakukan pekerjaan untuk mencari nafkah.

Di Indonesia, harkat dan martabat perempuan dilindungi oleh negara melalui peraturan perundang-undangan yang berlaku. Undang-undang tersebut harus ditaati oleh seluruh warga negara Indonesia. Undang-undang yang mencakup perlindungan terhadap perempuan yaitu Undang-Undang

1 Nelien Haspels dan Nusakorn Susiysarn, Meningkatkan kesetaraan gender, kantor Perburuhan Internasional, Jakarta, 2005, Hal 5

(2)

Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan Undang-undang Politik (UU No. 2 Tahun 2008 dan UU No. 42 Tahun 2008). Kemudian Inpres Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarustamaan Gender (PUG) dan Kerpres No. 181 Tahun 1998 tentang Pembentukan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan atau Komnas Perempuan yang diubah dengan Perpres Nomor 65 Tahun 2005.

Indonesia sebagai negara hukum tidak hanya memberikan perlindungan bagi perempuan dengan Undang-undang yang berlaku, tetapi juga membentuk Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan atau Komnas Perempuan berdasarkan Keputusan Presiden No. 181 Tahun 1998 yang kemudian diperkuat dengan Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2005.

Keputusan Presiden No 181 tahun 1998 merupakan komitmen konkret Presiden Habibie atas kasus pemerkosaan terhadap perempuan yang sebagian adalah Etnis Tionghoa pada saat terjadi kerusuhan Mei 1998. Keputusan ini terbit setelah Presiden Habibie menerima audiensi dengan Masyarakat Anti Kekerasan terhadap Perempuan. Dalam perkembangannya, Komnas Perempuan menetapkan isu prioritas dalam rencana kerjanya yaitu :

1. Perempuan dalam konflik dan bencana.

2. Perempuan pekerja.

(3)

3. Perempuan tahanan dan serupa tahanan, termasuk kondisi panti rehabilitasi untuk disabilitas.

4. Perempuan korban kekerasan seksual, termasuk yang berbasis siber, dalam konteks keluarga dan lembaga pendidikan.

5. Penguatan kelembagaan.

Salah satu kecenderungan yang muncul setelah adanya persamaan hak dan perlindungan bagi perempuan yaitu perempuan sebagai pelaku pekerja.

Perempuan sebagai pelaku pekerja menjadikan perempuan sebagai subjek dalam mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup, bahkan perempuan menjadi tulang punggung keluarga. Perempuan memiliki fisik yang lemah jika dibandingkan dengan lelaki, sehingga pekerjaan yang dilakukan oleh perempuan secara fisik terbatas pada hal-hal tertentu. Perlindungan terhadap perempuan seharusnya menjadi landasan yang kokoh bagi perempuan dalam melakukan berbagai hal positif, tetapi pada kenyatannya perempuan juga merupakan pelaku tindak pidana.

Tindak pidana dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) dikenal dengan istilah Starfbaarfeit. Dalam kepustakaan tentang hukum pidana sering mempergunakan istilah delik, sedangkan pembuat Undang Undang merumuskan suatu Undang Undang, mempergunakan istilah peristiwa pidana atau perbuatan pidana atau tindak pidana.2 Kejahatan atau Misdrijf berarti suatu perbuatan yang tercela dan berhubungan dengan

2 Amir Ilyas, Asas-asas Hukum Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana Sebagai Syarat Pemidanaan, Rangkang Education Yogyakarta PuKAP-Indonesia, Yogyakarta, 2012

(4)

hukum, berarti tidak lain daripada perbuatan melanggar hukum3. Dengan demikian, tindak pidana kejahatan adalah perbuatan yang melanggar hukum dan diancam dengan pidana oleh Undang-undang. Tindak pidana yang dilakukan oleh perempuan awalnya terbatas pada masalah prostitusi dan aborsi. Namun seiring dengan waktu dan perubahan kondisi sosial membuat perempuan terlibat dalam berbagai tindak kejahatan seperti: rentenir, penipuan, perampokan bersenjata, kurir narkoba, dan pembunuhan bahkan melakukan residivis.

Residivis adalah orang yang pernah melakukan suatu kejahatan yang sama4. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar suatu perbuatan dianggap sebagai residivis, yaitu :

1. Pelakunya adalah orang yang sama

2. Terulangnya tindak pidana dan untuk tindak pidana terdahulu telah dijatuhi pidana oleh suatu lembaga peradilan

3. Pelaku sudah menjalani sebagian atau keseluruhan hukuman penjara tersebut

4. Keputusan hakim tersebut bersifat inkraht

5. Pengulangan terjadi dalam jangka waktu tertentu.

Berbagai faktor dapat mempengaruhi seseorang menjadi pelaku residivis yaitu pendidikan, lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat dan ekonomi.

3 Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia, PT. Refika Aditama,Bandung, 2003, hal.12.

4 Rudi Haryono dan Mahmud Mahyung, Kamus Lengkap Inggris-Indonesia, Lintas Media, Jakarta,2000 hlm. 215

(5)

Perempuan yang melakukan tindak pidana kejahatan selanjutnya diproses hingga memperoleh suatu putusan yang sah disebut narapidana.

Narapidana adalah orang hukuman atau orang buian5. Sedangkan menurut Undang Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (selanjutnya disebut UU Pemasyarakatan) pasal 1 angka 7 merumuskan :

Narapidana adalah Terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di LAPAS.

LAPAS atau Lembaga Pemasyarakatan adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan. LAPAS dibagi menjadi tiga kategori yaitu Lembaga Pembinaan Khusus Anak, Lembaga Pemasyarakatan dan Lembaga Pemasyarakatan Perempuan.

Tujuan dari pembinaan dan tujuan dari penyelenggaraan sistem pemasyarakatan dalam Undang-undang Pemasyarakatan, yaitu :

Pasal 2 :

Sistem Pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk warga binaan pemasyarakatan agar menjadi manusia yang seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggungjawab.

Pasal 3 :

Sistem pemasyarakatan berfungsi menyiapkan warga binaan pemasyarakatan agar dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat, sehingga dapat berperan aktif kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggungjawab.

Seluruh proses pembinaan narapidana dengan sistem pemasyarakatan merupakan suatu kesatuan yang integral untuk mengembalikan narapidana

5 Dahlan, M.Y. Al-Barry, Kamus Induk Istilah Ilmiah Seri Intelectual, Target Press, Surabaya, 2003.Hlm 53.

(6)

kepada masyarakat dengan bekal kemampuan (mental, phsikis, keahlian, keterpaduan, sedapat mungkin pula finansial dan material) yang dibutuhkan untuk menjadi warga yang baik dan berguna.6

Berdasarkan pengamatan penulis di Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Kelas III Ambon selanjutnya disebut LPP Ambon, perempuan cenderung melakukan pengulangan tindak pidana penipuan atau residivis penipuan sebanyak 1 (satu) kasus. Salah satu kasus residivis perempuan yang melakukan tindak pidana penipuan di Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Kelas III Ambon yaitu LS (41) yang bekerja sebagai pengusaha ikan pada tahun 2017 melakukan kerjasama dengan YM (56) sebagai konsumen. YM telah memberikan Down Payment (DP) sebesar Rp. 60.0000.000 (enam puluh juta rupiah) untuk membeli ikan sebanyak 16 ton (enam belas), tetapi LS tidak mengirimkan ikan tepat waktu kepada YM dengan alasan kapal yang digunakan untuk mencari ikan rusak sehingga waktu mencari ikan tertunda karena LS melakukan perbaikan kapal terlebih dahulu tanpa sepengetahuan konsumen. Sehingga YM melaporkan LS atas tindak pidana penipuan. LS dijatuhi pidana 3 bulan penjara berdasarkan pasal 378 KUHP.

Pada tahun 2019 LS melakukan sewa-menyewa kapal dengan EP (54) sebagai pemilik kapal. Harga sewa kapal sebesar Rp. 15.000.000/bulan (lima belas juta rupuah). Pada bulan pertama LS telah membayar harga sewa selama 2 (dua) bulan sebesar Rp. 30.000.000 (tiga puluh juta rupiah) kepada EP. Dalam proses pemakaian kapal pada bulan pertama kapal mengalami

6Djisman Samosir, Fungsi Pidana Penjara dalam Sistem Pembinaan Narapidana di Indonesia, Pradnya Para,ita, Jakarta, 1982, Hal. 13

(7)

kerusakan sehingga LS memperbaikinya selama beberapa bulan, tetapi LS tidak melakukan pembayaran atas sewa kapal pada bulan ketiga dan seterusnya. Sehingga LS dilaporkan kembali oleh EP atas tindak pidana penipuan. Berdasrkan Putusan Pengadilan Negeri Ambon : 417 / Pid. B / 2019 / PN. Amb menjatuhkan pidana terhadap LS dengan pidana penjara selama 3 (tiga) tahun berdasarkan pasal 378 KUHP.

Pasal 378 KUHP merumuskan :

Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan menggunakan nama palsu atau martabat (hoedaningheid) palsu; dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi utang maupun menghapuskan piutang, diancam, karena penipuan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

Kasus yang dilakukan oleh LS dikategorikan sebagai tindak pidana residivis penipuan karena telah memenuhi unsur-unsur residivis yaitu :

1. Pelakunya adalah orang yang sama, yaitu LS

2. Terulangnya tindak pidana penipuan pada tahun 2019, sebelumnya pada tahun 2017 LS dipidana oleh lembaga peradilan negeri di Ambon atas tindak pidana penipuan.

3. LS telah selesai menjalani masa pidananya yang pertama pada tahun 2017 dengan masa pidana selama 3 (tiga) bulan di Rumah Tahanan Kelas II Ambon dan sedang menjalani masa pidananya yang kedua selama 3 (tiga) tahun di Lembaga Pemasyarakatan Kelas III Ambon.

4. Keputusan hakim tersebut bersifat inkrah

(8)

5. Pengulangan terjadi dalam jangka waktu teretntu yakni pada tahun 2017 dan 2019.

Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dalam bentuk proposal dengan judul Kajian Sosio Yuridis Terhadap Pembinaan Residivis Perempuan Yang Melakukan Tindak Pidana Penipuan (Studi di Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Kelas III Ambon).

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka permasalahan yang dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Faktor apakah yang menyebabkan seseorang menjadi pelaku residivis tindak pidana penipuan ?

2. Bagaimana upaya pembinaan terhadap residivis perempuan yang melakukan tindak pidana penipuan ?

C. Tujuan Penelitian

1. Mengkaji dan membahas faktor penyebab residivis perempuan yang melakukan tindak pidana penipuan.

2. Mengkaji dan membahas upaya pembinaan terhadap residivis perempuan yang melakukan tindak pidana penipuan.

3. Sebagai persyaratan dalam menyelesaikan studi strata satu (S1) pada Fakultas Hukum Universitas Pattimura.

(9)

D. Manfaat Penelitian

1. Untuk mengetahui faktor penyebab residivis perempuan yang melakukan tindak pidana penipuan.

2. Untuk mengetahui upaya pembinaan terhadap residivis perempuan yang melakukan tindak pidana penipuan.

3. Sebagai sumbangan pemikiran bagi pengembangan studi Hukum Pidana di Indonesia.

E. Kerangka Konseptual

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia perempuan berarti orang (manusia) yang mempunyai puki, dapat menstruasi, hamil, melahirkan anak, dan menyusui, wanita berarti istri; bini.7 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perempuan dan wanita adalah sama namun memiliki makna yang berbeda. Perempuan merupakan makhluk yang memiliki ciri khusus sedangkan wanita merupakan jabatan bagi seorang perempuan yang sudah berkeluarga.

Kaum wanita sering dijadikan mesin untuk melahirkan anak dan mesin bekerja. Di Irian Jaya, hanya dengan beberapa ekor babi bisa mengganti seorang wanita. Dan kepala suku bisa memiliki sampai 150 istri, karena dengan makin banyak istri, makin banyak tenaga kerja, sehingga

7 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi kedua, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pustaka, Jakarta, hal. 753.

(10)

makin banyak tanah yang bisa digarap, dan makin banyak penghasilan, Mereka memperbudak wanita dan menghina kedudukan wanita8.

Berdasarkan Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (selanjutnya disebut UU HAM) setiap orang memiliki hak dan kesempatan yang sama. Kata setiap orang disini berarti laki-laki dan perempuan atau pria dan wanita sehingga hak yang dimiliki tidak memandang jenis kelamin. Salah satu hak yang dimiliki oleh perempuan yaitu hak untuk bekerja. Kesempatan ini digunakan oleh perempuan untuk mencari nafkah guna memperoleh penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Tugas mencari nafkah tidak hanya menjadi tanggungjawab oleh pria sebagai seorang kepala keluaraga tetapi juga telah menjadi tanggungjawab wanita.

Dengan demikian wanita memiliki tugas dan tanggungjawab ganda yaitu sebagai ibu rumah tangga yang bertugas dan bertanngungjawab melakukan pekerjaan rumah seperti mencuci, memasak, mengurus anak dan bertugas mencari nafkah sebagai bentuk bertanggungjawab atas terpenuhinya kebutuhan keluarga. Segala cara dilakukan oleh wanita guna memperoleh penghasilan, termasuk menghalalkan perbuatan jahat bahkan sebagai pelaku residivis.

Residivis atau pengulangan tindak pidana berasal dari bahasa Perancis yaitu Re dan Cado. Re berarti lagi dan Cado berarti jatuh, sehingga secara umum dapat diartikan sebagai melakukan kembali perbuatan-perbuatan kriminal yang sebelumnya biasa dilakukan setelah dijatuhi pidana dan

8 Stephen Tong, Keluarga Bahagia, Penerbit Momentum, Surabaya, 1991. Hal 14

(11)

menjalani hukumannya9. Residivis juga diartikan sebagai seseorang melakukan beberapa perbuatan yang merupakan beberapa delik yang berdiri sendiri yang atas satu atau lebih perbuatan telah di jatuhi hukuman oleh hakim10. Selanjutnya residivisme adalah kecenderungan individu atau sekelompok orang untuk mengulangi perbuatan tercela, walaupun ia sudah pernah dihukum karena melakukan perbuatan itu11.

Perempuan sebagai residivis selanjutnya menjalani masa pidananya di Lembaga Pemasyarakatan atau yang biasa di sebut LAPAS. Menurut Undang-Undang No 12 Tahun 1995 Lembaga Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut LAPAS adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan. LAPAS dibagi menjadi tiga kategori yaitu LAPAS Anak, LAPAS dan LAPAS Perempuan. LAPAS Anak atau Lembaga Pembinaan Khusus Anak adalah tempat Anak Didik Pemasyarakatan menjalani hukuman pidana. LAPAS atau Lembaga Pembinaan adalah tempat narapidana yang berjenis kelamin laki-laki menjalani masa pidana.

LAPAS Perempuan atau Lembaga Pemasyrakatan Perempuan adalah tempat narapidana yang berjenis kelamin perempuan menjalani masa pidana.

Selama berada di LAPAS narapidana dan anak didik pemasyarakatan mengikuti program pembinaan guna membentuk pribadi narapidana menjadi

9 Paulus Hadisuprapto, Pemahaman dan Penanggulangannya, Citra Aditya Bakti , Bandung, 1997, hal 31

10 Satochid Kartanegara, Hukum Pidana. Kumpulan Kuliah Bagian Dua: Balai Lektur Mahasiswa, Bandung, 2003, hal 233

11 Budiono, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Karya Agung,Surabaya, 2001, hlm.

416

(12)

pribadi yang lebih baik agar dapat diterima kembali oleh masyarakat. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa LAPAS adalah tempat bagi pelaku kejahatan. Dalam perkembangan ilmu pengetahuan kejahatan merupakan bagian dari ilmu pengetahuan yaitu kriminologi.

Secara etimologis, Kriminologi berasal dari kata crime yang berarti kejahatan, dan logos yang berarti pengetahuan atau ilmu pengetahuan, sehingga kriminologi adalah ilmu/pengetahuan tentang kejahatan. Istilah kriminologi untuk pertama kali pada tahun 1879 digunakan oleh P. Topinard, ahli antropologi Prancis, sementara sebelum kata kriminologi ini dikenal orang banyak istilah yang digunakan adalah antropologi criminali12. Dengan demikian objek dari kriminologi itu sendiri yaitu kejahatan, pelaku kejahatan dan reaksi masyarakat terhadap perbuatan melanggar hukum dan pelaku kejahatan. Salah satu teori dalam Kriminologi yang membahas tentang pelaku kejahatan yaitu teori tegang (Strain Theory).

Teori tegang beranggapan bahwa manusia pada dasarnya makhluk yang selalu memperkosa hukum atau melanggar hukum, norma-norma dan peraturan-peraturan setelah terputusnya antara tujuan dan cara mencapainya menjadi demikian besar sehingga baginya satu-satunya cara untuk mencapai tujuan ini adalah melalui saluran yang tidak legal. Akibatnya teori tegas memandang manusia dengan sinar atau cahaya optimis. Dengan kata lain,

12 I.S. Susanto, Kriminologi, Genta Pubishing , Yogyakata, 2011, Hal 1

(13)

manusia itu pada dasarnya baik, karena kondisi sosiallah yang menciptakan tekanan atau stress, ketegangan dan akhirnya kejahatan13.

F. Metode Penelitian

Di dalam suatu penelitian, metode penelitian merupakan salah satu faktor penting yang menunjang suatu proses penelitian yaitu berupa penyelesaian suatu permasalahan yang akan diteliti. Metode penelitian hukum merupakan prosedur atau langkah-langkah yang dianggap efektif dan efisien untuk mengumpulkan, mengolah, dan menganalisis data dalam rangka menjawab masalah yang diteliti secara benar14.

1. Tipe Penelitian

Tipe Penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah deskriptif analisis. Dengan kata lain penelitian deskriptif analisis mengambil masalah atau memusatkan perhatian kepada masalah-masalah sebagaimana adanya saat penelitian dilaksanakan. Hasil penelitian yang kemudian diolah dan dianalisis untuk diambil kesimpulannya. 15

2. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah yang dipakai dalam penulisan proposal ini adalah penelitian yuridis empiris, atau disebut dengan penelitian lapangan yaitu mengkaji ketentuan hukum yang berlaku serta apa yang terjadi dalam

13 Soedjono Dirdjsoisworo, Kriminologi,1994, hal 109

14 Soerjono dan Abdurahman, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2003 Hal. 45

15https://www.scribd.com/doc/306349047/Adapun-Pengertian-Dari-Metode- Deskriptif-Analitis-Menurut-Sugiono (diakses 10 Oktober 2020 pukul 10.00)

(14)

kenyataannya dalam masyarakat16. Atau dengan kata lain yaitu suatu penelitian yang dilakukan terhadap keadaan sebenarnya atau keadaan nyata yang terjadi dimasyarakat dengan maksud untuk mengetahui dan menemukan fakta fakta dan data yang dibutuhkan, setelah data yang dibutuhkan terkumpul kemudian menuju kepada identifikasi masalah yang pada akhirnya menuju pada penyelesaian masalah.17

3. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu :

a. Data primer adalah data yang ditemukan di lapangan dalam bentuk observasi, wawancara, dan kuesioner.

b. Data Sekunder adalah data yang diperoleh dari kajian kepustakaan, yang terdiri dari:

- Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri atas perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim18. Bahan hukum primer yaitu :

1) Kitab Undang Undang Hukum Pidana

2) Rancangan Kitab Undang Undang Hukum Pidana

16 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitiaan Suatu Pendekatan Praktek, Rineka Cipta, Jakarta, 2012, hal. 126

17 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hal. 15

18 Suratman dan H. Philips Dillan, Metode Penelitian Hukum, Alfabeta, Bandung, 2005, Hal.67

(15)

3) Undang Undang No 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan

4) Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

5) Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan

6) Permen Hukum dan Hak Asasi Manusia No. M.HH- 01.PK.07.02 Tahun 2009 tentang Pedoman Penyelenggaraan Makanan bagi Warga Binaan Pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara.

7) Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2005 tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan

- Bahan Hukum Sekunder biasanya berupa pendapat hukum / doktrin/

teori-teori yang diperoleh dari literatur hukum, hasil penelitian, artikel ilmiah, maupun website yang terkait dengan penelitian.19 - Bahan Hukum Tersier merupakan bahan hukum yang memberikan

penjelasan dan petunjuk terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Biasanya bahan hukum tersier diperoleh dari

19 Suratman dan H. Philips Dillan Loc.cit

(16)

kamus hukum, kamus bahasa indonesia, kamus bahasa inggris, dan sebagainya.20

4. Lokasi Penelitian

Penelitian akan dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Kelas III Ambon.

5. Populasi, Sampel dan Responden

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek/subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya.21 Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah narapidana dan petugas Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Kelas III Ambon.

Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut.22 Atau dengan kata lain sampel adalah beberapa orang yang dipilih untuk dijadikan objek penelitian.

Responden adalah penjawab atas pertanyaan yang diajukan untuk kepentingan penelitian.23 Responden yang diambil dalam penelitian ini sebanyak 2 (dua) orang, yaitu narapidana residivis penipuan di Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Kelas III Ambon.

20https://ngobrolinhukum.wordpress.com/2014/08/09/data-sekunder-dalam- penelitianhukumnormatif/#:~:text=Bahan%20hukum%20tersier

%20merupakan%20bahan,kamus%20bahasa%20inggris%2C%20dan%20sebagainya (diakses pada Minggu 11 Oktober 2020 pukul 10.30)

21 Sugiono, Metode Penelitian Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D, Alfabeta, Bandung, 2007, Hal. 117

22 Sugiono, Loc. cit

23 https://kbbi.web.id/responden diakses pada Rabu 18 November 2020, pukul 22.41)

(17)

Disamping narapidana residivis, penulis juga akan mewawancarai Kepala Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Kelas III Ambon dan petugas Lapas sebanyak 2 orang untuk mengetahui model pembinaan yang dilakukan kepada mereka.

6. Teknik Pengumpulan Data

Bahan hukum primer dan sekunder dikumpulkan dengan cara menghimpun undang-undang dan peraturan-peraturan lainnya yang berkaitan dengan masalah yang dibahas, yang mana pengumpulan bahan hukum tersebut dilakukan dengan cara menginventarisasi, mengklasifikasi bahan hukum yang sesuai dengan masalah yang dipaparkan, disusun, dan melakukan wawancara kemudian dikaji untuk menginterpretasikan hukum yang berlaku. Wawancara (interview) adalah cara pengumpulan data dengan mengadakan tanya jawab langsung kepada objek yang diteliti atau kepada perantara yang mengetahui persoalan dari objek yang diteliti24. 7. Analisis data

Berdasarkan bahan hukum yang telah dikumpulkan, maka teknik analisa yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisa kualitatif,25 yakni hasil yang dianalisis hanya merupakan hal-hal yang bersifat mendasar dari apa yang telah diteliti.

25 Tatang M. Arifin, Menyusun Rencana Penelitian, Rajawalai, Jakarta, 1986. Hal 132

25 Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1980, Hal. 51

(18)

G. Sistematika Penulisan

Sistematika yang digunakan dalam penulisan yaitu Bab I tentang Pendahuluan yang terdiri dari Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Kerangka Teoritis, Metode Penelitian, dan Sistematika Penelitian. Bab II tentang Sistem Pemasyarakatan dan Pembinaan Narapidana yang membahas tentang Sejarah Pemasyarakatan di Indonesia, Pembinaan Narapidana di Indonesia, Tindak Pidana dan Tindak Pidana Penipuan. Bab III tentang Pembinaan Residivis Perempuan di LAPAS Perempuan yang mengkaji tentang Perempuan dan Narapidana Perempuan, Faktor Penyebab Residivis Perempuan Melakukan Penipuan, Upaya Pembinaan Residivis Perempuan yang Melakukan Tindak Pidana Penipuan. Bab IV tentang Penutup yang terdiri dari Kesimpulan dan Saran.

(19)

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, maka dalam penyusunan skripsi ini penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Analisis Dampak Kebijakan Insentif

Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti tertarik untuk membahas permasalahan ini dalam bentuk penelitian dengan judul “Pengaruh Kompensasi Finansial Terhadap