BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Negara Indonesia adalah negara yang cukup maju dalam perkembangannya di bidang teknologi. Jaringan komunikasi yang terus mengalami kemajuan telah memicu peningkatan akses informasi dan hiburan sebagai salah satu kebutuhan masyarakat, salah satunya adalah kemajuan jaringan internet. Selain mempunyai dampak positif yang besar, pemanfaatan internet juga mempunyai dampak negatif bagi kehidupan masyarakat, salah satunya adalah timbulnya kejahatan. Dampak negatif juga dapat timbul apabila terjadi kesalahan yang ditimbulkan oleh peralatan komputer yang akan mengakibatkan kerugian besar bagi pemakai (user) atau pihak-pihak yang berkepentingan. Termasuk juga adanya kesalahan yang di sengaja yang mengarah kepada penyalahgunaan komputer.1
Seiring dengan perkembangan teknologi informasi dalam kemajuan jaringan internet, jual-beli online (online shop) semakin marak dari tahun-ke tahun. Hal tersebut juga seiring dengan maraknya praktik kejahatan berupa penipuan dalam jual-beli online itu sendiri. Dalam proses pembelian secara online, pertama pembeli dapat memesan contoh barang yang telah dipasarkan melalui situs website penjual. Kedua, pembeli melakukan transaksi penawaran harga. Ketiga, pembeli dapat melakukan pembayaran melalui rekening bank.
1 Andi Hamzah; Budi Marsita. 1992. Aspek-Aspek Pidana di Bidang Komputer. Jakarta.
Sinar Grafika. Hal. 23-24.
Keempat, setelah uang diterima oleh penjual maka penjual wajib memberikan/mengirimkan barang yang ditawarkan ke alamat pembeli. Jual-beli di dalam game online memanfaatkan media sosial seperti: Facebook, Twitter, Blog, dan sebagainya, untuk memasarkan produk-produk yang ingin dijual.
Seiring dengan perkembangan kebutuhan masyarakat global, teknologi informasi punya dampak penting bagi perubahan di masa kini maupun masa mendatang. karena perkembangan tersebut memiliki banyak keuntungan dan dampak positif bagi negara-negara di dunia. Setidaknya ada dua hal yang membuat teknologi informasi dianggap begitu penting dalam memacu pertumbuhan suatu negara di dunia. Pertama teknologi informasi membuat peningkatan permintaan atas produk-produk teknologi informasi itu sendiri, seperti komputer, modem, smartphone, laptop dan sebagainya. Kedua, adalah mempermudah aktifitas masyarakat global salah satunya di dalam transaksi bisnis terutama bisnis keuangan di samping bisnis-bisnis lainya.2 Teknologi informasi telah berhasil membangun suatu kebiasaan baru di suatu masyarakat global yang mempengaruhi perubahan pola kebutuhan hidup masyarakat di bidang sosial dan ekonomi, yang lazimnya bertransaksi, berbisnis maupun bersosialisasi dengan bertemu secara fisik atau konvensional menjadi bertransaksi, berbisnis maupun bersosialisasi secara elektronik yakni saling bertemu di dalam dunia virtual, karena hal tersebut diyakini dapat mempermudah transaksi, lebih menghemat waktu, biaya dan tak terbatas oleh ruang dan waktu.
2 Agus Rahardjo, Cybercrime-Pemahaman dan Upaya Pencegahan Kejahatan Berteknologi, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hal 1.
Fakta menggambarkan bahwa perkembangan teknologi dan informasi seperti pedang bermata dua, karena selain memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan, kemajuan, dan peradaban manusia, sekaligus menjadi sarana efektif perbuatan melawan hukum dan berkembangnya modus kejahatan baru.3
Permasalahan hukum yang sering kali di hadapi pada tindak pidana penipuan online adalah ketika terkait penyampaian informasi, komunikasi, dan atau transaksi elektronik, yakni pada hal pembuktian dan hal yang terkait dengan perbuatan hukum yang dilaksanakan melalui sistem elektronik.6 Pasal penipuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP) masih belum dapat mengakomodir hal tersebut, dikarenakan biasanya pelaku penipuan melalui media online ini juga menggunakan sarana email untuk berhubungan dengan korbannya, dalam hal ini apakah email sudah dapat dijadikan suatu alat bukti yang sah dan dapat dipersamakan dengan surat kertas layaknya kejahatan penipuan konvensional di dalam dunia nyata.
Di Indonesia banyak para developer yang menyediakan situs-situs game online sebagai sarana bisnis. Bagi sebagian orang, game online bisa saja menjadi salah satu alternatif sarana hiburan, bahkan lebih dari itu dapat juga menjadi lahan bisnis untuk mendapatkan keuntungan ekonomi. Sebagian player game online (seller) menggunakan sarana hiburan ini untuk mencari nafkah dengan cara membuat dan mencari barang atau mata uang dalam game tersebut untuk
3 Ahmad Ramli, Cyber Law Dan Haki-Dalam System Hukum Indonesia, Rafika Aditama, Bandung, 2004, Hal 1.
kemudian mereka menjual hasil barang dan mata uang game (virtual money) tersebut kepada player lain (buyer).
Dengan banyaknya orang yang manfaatkan game online sebagai mata pencaharian dan semakin ramainya minat user game online dari hari-ke hari, dapat dikatakan bahwa bisnis game online dalam hal jual-beli barang (item) untuk menunjang permainan game online tertentu sangat menjanjikan. Bayangkan saja 1 (satu) barang (item) dalam sebuah game online tertentu harganya beragam, dari harga yang puluhan ribu rupiah sampai dengan jutaan rupiah. Kondisi ini pada akhirnya mendorong beberapa gamers untuk mencari nafkah melalui game online, bahkan ada diantara mereka yang menggantungkan hidupnya kepada sebuah game online.
Tidak semua player yang memanfaatkan game online sebagai media bisnis jual-beli item maupun uang virtual berlaku jujur dalam setiap transaksinya dengan para buyer. Sebagian dari mereka ada juga yang berbuat curang dengan melakukan penipuaan terhadap player lain yang bertransaksi dengannya. Meski penipuan jual beli online sudah sebagian terkuak, namun penindakan pelaku terhadap penipuan masih banyak yang belum sampai ke ranah hukum. Hal ini disebabkan para korban penipuan online enggan melaporkan kepada pihak berwajib, sedangkan pasal penipuan merupakan delik aduan. Kebanyakan mereka malu menjadi korban, dan saat melapor tidak disertai dengan bukti yang kuat.
Dalam Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), telah dijelaskan mengenai sanksi pidana atas tindak pidana penipuan, sebagai berikut:
“Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan menggunakan nama palsu atau martabat (hoedaningheid) palsu; dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi utang maupun menghapuskan piutang, diancam, karena penipuan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun”.
Kasus penipuan dalam transaksi jual-beli online dapat dikategorikan sebagai cyber crime. Dengan demikan para pelaku penipuan dapat dikenakan pelanggaran atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Pasal 28 ayat (1) UU ITE yang menyatakan bahwa salah satu perbuatan yang dilarang oleh UU ini adalah: “Setiap Orang dengan sengaja, dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik.” Sanksi atas pelanggaran ketentuan dalam Pasal 28 ayat (1) diatur dalam Pasal 45 ayat (2) yang berbunyi: “Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”
Rumusan kedua pasal tersebut di atas, kita dapat memahami bahwasanya Pasal 378 KUHP dan Pasal 28 ayat (1) jo. Pasal 45 ayat (2) UU ITE memiliki perbedaan dimana Pasal 378 KUHP lebih condong kepada unsur-unsur penipuannya sedangkan Pasa 28 ayat (1) UU ITE lebih condong kepada adanya unsur berita bohong yang lebih merugikan konsumen dalam transaksi ekektronik.
Berdasarkan uraian di atas maka penulis akan melakukan penelitian mengenai : “Analisis Yuridis Modus Operandi Tindak Pidana Penipuan Jual Beli Di Dalam Game Online”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis mengangkat permasalahan sebagai berikut :
“Apakah Yang Menjadi Modus Operandi Tindak Pidana Penipuan Jual Beli Di Dalam Game Online”
C. Tujuan Penelitian
1. Ingin menganalisis dan mengkaji tentang Modus Operandi Tindak Pidana Penipuan Jual Beli Di Dalam Game Online
2. Sebagai persyaratan dalam penyelesaian studi pada strata I (S1) ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Pattimura
D. Kegunaan Penelitian
1. Ingin mengetahui tentang Modus Operandi Tindak Pidana Penipuan Jual Beli Game Online.
2. Sebagai sumbangsih pemikiran secara akademik maupun ilmu hukum yang berkaitan dengan modus operandi tindak pidana penipuan jual beli di dalam game online
E. Kerangka Teoritis
Pakar hukum pidana berusaha memberikan pengertian, merumuskan dan memformulasikan pengertian mengenai apa yang dimaksud dengan “strafbaar feit” setelah istilah tersebut diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia oleh R.
Tresna tindak pidana (strafbaar feit) diartikan sebagai :
“Suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia yang bertentangan dengan undang-undang atau peraturan perundang-undangan lainnya, terhadap perbuatan mana diadakan tindakan hukumnya”4
Adapun Moeljatno, yang menterjemahkan “strafbaar feit” dengan istilah
“perbuatan pidana” memberikan arti ialah sebagai berikut
“Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang dan diancam pidana barang siapa melanggar larangan itu”.5
Perbuatan itu benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tak boleh dan tak patut dilakukan, karena bertentangan dengan atau mengahmbat akan tercapainya tata cara dalam pergaulan masyarakat yang dicita- citakan masyarakat.6
Dari pengertian yang dirumuskan atau dformulasikan oleh para ahli yang terurai diatas bahwa tindak pidana adalah tindakan atau perbuatan yang harus memenuhi persyaratan-persyaratan atau harus memenuhi aatau mengandung
4 R. Tresna, Asas-asas Hukum Pidana, Tiara, Jakarta, 1959, hal. 27.
5 Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1983, hal. 20
6 Ibid, hal. 21
unsur-unsur yang telah ditetapkan dan digambarkan secara rinci oleh ketentuan- ketentuan hingga apabila tindakan atau perbuatan itu tidak memenuhi salah satu unsur atau gambaran yang ditetapkan oleh ketentuan hukum, maka perbuatan atau tindakan itu bukan tindakan pidana.
Penipuan Bedrog (Oplichting), title XXV buku II KUHP berjudul
“Bedrog” yang berarti penipuan dalam arti luas, sedangkan Pasal pertama dari titel itu, yaitu Pasal 378, mengenai tindak pidana “oplicthing” yang berati penipuuan tetapi dalam arti sempit, sedang pasal-pasal lain dari titel tersebut memuat tindak pidana lain yang bersifat penipuan dalam arti luas.7
Dalam arti luas, penipuan adalah kebohongan yang dibuat keuntungan pribadi, meskipun ia memiliki arti hukum yang lebih dalam, detil jelasnya bervariasi di berbagai wilayah hukum. Perbuatan memanipulasi keterangan untuk mencari keuntungan melalui media internet dapat “ditafsirkan” sebagai perbuatan menyesatkan yang ada dalam delik penipuan seperti yang tertuang dalam Pasal 378 KUHP dan Pasal 379a KUHP.
Bab XXV Buku II KUHP memuat berbagai bentuk penipuan yang dirumuskan Dalam 20 Pasal. Diantara bentuk-bentuk penipuan itu memilki nama sendiri yang khusus, yang dikenal sebagai penipuan adalah yang dirumuskan didalam Pasal 378 KUHP :
7 Wirjono Prodjodikoro, Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Refika Adityama, Bandung, 2003, hal. 36.
“Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan memakai nama palsu atau martabat (hoedanigheid) palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya member hutang maupun menghapus piutang, diancam, karena penipuan, dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun”.8
Unsur-unsur atau syarat yang harus dipenuhi dalam Pasal ini adalah sebagai berikut :
Unsur obyektif, “membujuk/menggerakkan orang lain dengan alat pembujuk/penggerak” :
1. Memakai nama palsu;
2. Memakai keadaan palsu;
3. Rangkaian kata-kata bohong;
4. Tipu muslihat;
5. Agar menyerahkan suatu barang;
6. Membuat hutang;
7. Menghapuskan piutang.
Unsur Subyektif, “dengan maksud”:
1. Menguntungkan diri sendiri atau orang lain;
2. Dengan melawan hukum.
8 Moch. Anwar, Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku II). PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1989, hal. 62.
Undang-undang ITE telah mengatur tindak pidana akses ilegal (Pasal 30), gangguan terhadap Sistem Komputer (Pasal 32 UU ITE). Selain tindak-tindak pidana tersebut, UU ITE juga mengatur tindak pidana tambahan sebagaimana diatur dalam Pasal 36 “…dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 34 yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain”. Akan tetapi, apabila untuk menyimpulkan suatu computer related fraud penyidik harus membuktikan tindak- tindak pidana tersebut terlebih dahulu, maka dapat menimbulkan masalah tersendiri, dan ketidakefisiensian.
Penyebaran berita bohong dan penyesatan merupakan padanan kata yang semakna dengan penipuan. Penipuan dapat dilakukan dengan motivasi, yaitu untuk menguntungkan dirinya sendiri atau paling tidak untuk merugikan orang lain atau bahkan dilakukan untuk menguntungkan dirinya sendiri dan merugikan orang lain secara sekaligus. Dengan motivasi-motivasi tersebut, maka penyebaran berita bohong dan penyesatan dapat dikategorikan sebagai penipuan.9
Secara umum penipuan itu telah diatur sebagai tindak pidana oleh Pasal 378 KUHP yang berbunyi:
“Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang rnaupun menghapuskan piutang diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”
9 Budi Suhariyanto,.2012. Tindak Pidana Teknologi Informasi (Cybercrime): Urgensi Pengaturan dan Celah Hukumnya. Jakarta: Rajawali Pers. hal.124
Pemahaman dari pasal tersebut masih umum yaitu diperuntukan untuk hal di alam nyata ini. Berbeda dengan penipuan di internet yang diatur dalam UU ITE. Penipuan ini memiliki ruang yang lebih sempit daripada pengaturan dalam KUHP. Dalam UU ITE mengatur tentang berita bohong dan penyesatan melalui internet, berita bohong dan penyesatan ini dapat dipersamakan dengan penipuan yang diatur dalam Pasal 378 KUHP. Pasal 28 ayat (1) berbunyi :
“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik.”
Pengaturan dalam UU ITE ini terbatas dalam hal transaksi elektronik.
Nilai strategis dari kehadiran UU ITE sesungguhnya pada kegiatan transaksi elektronik dan pemanfaatan dalam bidang teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Sebelumnya sektor ini tidak mempunyai payung hukum, tapi kini makin jelas sehingga bentuk-bentuk transaksi elektronik sekarang dapat dijadikan sebagai alat bukti elektronik sah. Oleh karena itu, sesungguhnya undang-undang ini merupakan upaya pemerintah dalam memberikan perlindungan yang jelas dan berkekuatan hukum tetap terhadap berbagai macam transaksi elektronik kearah negatif. Namun tetap saja bahwa pengaturannya dalam hal ini masih memiliki keterbatasan. Keterbatasan itu terletak pada perbuatan hukum yang hanya digantungkan pada hubungan transaksi elektronik, yaitu antara produsen dan konsumen serta dalam lingkup pemberitaan berita bohong dan penyesatan dalam internet.10
10Budi Suhariyanto,.2012. Tindak Pidana Teknologi Informasi (Cybercrime): Urgensi Pengaturan dan Celah Hukumnya. Jakarta: Rajawali Pers, hal. 126
Pembuktian sebenarnya telah dimulai pada tahap penyidikan; pembuktian bukan dimulai pada tahap penuntutan maupun persidangan. Dalam penyidikan, Penyidik akan mencari pemenuhan unsur pidana berdasarkan alat-alat bukti yang diatur dalam perundangan. Pada tahap penuntutan dan persidangan kesesuaian dan hubungan atara alat-alat bukti dan pemenuhan unsur pidana akan diuji. Sejak adanya laporan mengenai terjadinya tindak pidana, Penyidik telah mendapatkan satu bagian dari keseluruhan bagian teka-teki gambar, dan setelah menemukan bagian pertama itu, Penyidik harus mencari bagian-bagian lain dari gambar untuk disusun sehingga ia memperoleh gambar yang utuh mengenai suatu tindak pidana dan pelakunya. Akan tetapi, mengingat gambar yang utuh itu terdiri dari begitu banyak bagian dan bagian-bagian itu tersebar dibanyak tempat dalam berbagai bentuk, dalam banyak kasus Penyidik menemukan banyak kesulitan untuk mengumpulkan seluruhnya. Gambar yang utuh itulah yang dimaksud kebenaran materil.11
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian.
Adapun penelitian ini menggunakan jenis penelitian yuridis normatif.
Jenis penelitian ini bersifat “yuridis normatif” yaitu memperoleh data dari studi
11 Josua Sitompul, 2012. Cyberspace, Cybercrimes, Cyberlaw: Tinjauan Aspek Hukum Pidana. Jakarta: Tatanusa.. hal.309-310.
kepustakaan berupa undang-undang, dokumen, buku-buku, majalah, dan literatur lainnya yang berkaitan dengan penulisan.12
Penelitian ini bersifat normatif berupa kepustakaan. Bahan pustaka merupakan dasar yang dalam (ilmu) penelitian digolongkan sebagai data sekunder. Data sekunder yang dimaksudkan dalam penelitian yang dipakai berupa surat-surat pribadi, buku-buku, dokumen-dokumen resmi, literatur, karya ilmiah dan peraturan perundang-undangan guna melengkapi penulisan ini.13
Penelitian hukum yang normatif mengidentifikasikan dan mengkonsepkan hukum sebagai norma, kaidah, peraturan perundang-undangan yang berlaku pada suatu waktu tertentu dan tempat tertentu sebagai produk dari suatu kekuasaan negara yang berdaulat. 14 Penelitian terhadap hukum yang berlaku tersebut dilakukan berdasarkan konsep, perspektif, teori dan paradigma yang menjadi landasan teoritikal penelitian.15
2. Tipe Penelitian.
Berdasarkan permasalahan yang dikemukakan sebelumnya maka tipe penelitian ini bersifat deskriptif analitis, artinya bahwa dengan data dan analisa yang diteliti mungkin dapat dipertegas pendirian dan pandangan para ahli serta
12 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Fajar Interpratama Offset, Jakarta, 2006, Hal 141
13Ibid, hal 24
14 Ronny Hanitijo Soemitro, Perbandingan Antara Penelitian Hukum Normatif dengan Penelitian hukum Empiris, Majalah Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Nomor 8 Tahun 1991, FH UNDIP, Semarang, 1991, hal 45
15 Lili Rasjidi dan Liza Sonia Rasjidi, Monograf : Filsafat Ilmu, Metode Penelitian, Pascasarjana UNPAD, Bandung, 2008, hal 12
pemikir-pemikir yuridis guna memperkuat teori sekaligus dapat ditarik beberapa kesimpulan dari beberapa permasalahan yang dikemukakan16
3. Sumber Bahan Hukum
Dengan menggunakan pendekatan yang bersifat normatif, maka bahan- bahan penelitian hukum yang diperlukan bersumber dari bahan hukum primer, bahan huum sekunder dan bahan hukum tersier.17 Bertolak dari permasalahan yang dirumuskan, dengan memperhatikan tujuan dan manfaat yang hendak dicapai. Jadi sumber bahan hukum dalam penelitian ini yaitu :
a. Bahan hukum primer
Bahan hukum yang diperoleh dari peraturan perundang-undangan dan mempunyai kekuatan mengikat yaitu terdiri dari :
1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Tahun 1945
2) Undang-Undang Nomor Nomor 2 tahun 2002 Tentang Kepolisian RI 3) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
4) Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 Tentang KUHAP
5) Undang-Undang nomor 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik
6) Undang-undang Nomot 19 tahun 2016 tentang informasi dan transaksi elektronik
16 Rony Hanitijo Soemitro, Metodologi Hukum dan Juri Metri, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1980, hal. 12
17 Ibid, hal 141
b. Bahan hukum sekunder
Bahan hukum yang diperoleh dari tulisan atau uasan para ahi yakni yang ditemukan dalam berbagai buku-buku, artikel, makalah pada kegiatan ilmiah, jurnal Ilmiah
c. Bahan hukum tersier
Bahan hukum yang diperoleh dari majalah-majalah hukum, brosur, internet, kamus, ensikloedia dan fakta-fakta hukum yang terjadi dalam praktek.
4. Teknik Pengumpulan bahan hukum dan Analisa Bahan Hukum a. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Perpustakaan sebagai sarana untuk memperoleh bahan hukum primer, sekunder maupun tersier dan bisa juga bahan hukum tersebut diperoleh dari berbagai sumber bahan hukum. Setelah bahan-bahan hukum itu dikumpulkan diidentifikasi, serta dipilah-pilah sesuai dengan urgensinya dan dijadikan sebagai bahan analisis terkait dengan permasalahan yang sudah dirumuskan sehingga memperooleh jawaban dan solusi yang tepat
b. Analisis Bahan Hukum
Bahan Hukum primer, Bahan Hukum sekunder, maupun Bahan Hukum tersier setelah dikumpulkan kemudian diklasifikasikan dan dianalisis dengan cara menghubungkan atau teori dengan teori yang lain atau menghubungkan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk menjawab permasalahan yang
ada, maka data hukum yang dikumpulkan dianalisis secara kualitatif, kemudian dipaparkan secara deskriptif, sistematis dan logis menuju pada penarikan kesimpulan secara khusus yang bertujuan untuk mendapatkan dan memahami gejala-gejala yang timbul. Paradigma ilmu lainnya sebagai suatu sarana untuk membantu mempertajam analisis.18
Dipilihnya metode ini karena data yang dikumpulkan lebih bersifat normatif. Oleh sebab itu, analisis hasil penelitian dan pembahasannya lebih beriorientasi pada pengujian data yang disajikan berdasarkan kerangka teori yang dilengkapi dengan beberapa dokumen disertai pendapat para ahli.
G. Sistematika Penulisan
Pada sistematika penulisan ini akan diuraikan sistem penulisan dengan maksud untuk mempermudah hubungan antar bab yang satu dengan bab lainnya sebagai bentuk rangkaian penulisan yang konsisten. Sistematika tersebut adalah sebagai berikut : Bab I : Pendahuluan, pada bab ini penulis akan menguraikan tentang latar belakang pemilihan judul, rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penelitian dan sistematika penulisan. Bab II : Tinjauan Pustaka yang membahas tentang tindak pidana penipuan, pengertian game online dan undang-undang ITE. Bab III : Merupakan hasil dan pembahasan yang membahas tentang modus operandi jual-beli di dalam game online, hambatan- hambatan dalam penegakkan hukum pelaku tindak pidana penipuan di dalam
18 Matthew B. Milles dan Michel Huberman, Analisis Data Kualitatif, UII Press, Jakarta, 1992, hal 12
game online dan penegakkan hukum terhadap pelaku tindak pidana penipuan di dalam game online