• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I

N/A
N/A
Nguyễn Gia Hào

Academic year: 2023

Membagikan "BAB I"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam di Indonesia oleh Pemerintah di dasarkan pada Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disingkat UUD NKRI Tahun 1945), yang menyebutkan “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Tindakan pemerintah dalam hal pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam tersebut tentu mengacu pada hukum, karena berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945, bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”, maka sebagai suatu negara hukum, dalam setiap tindakan pemerintah selalu dituntut untuk memberikan perlindungan hukum bagi warga negara (rechtbescherming). Menurut Morisan1 hakekat suatu negara hukum adalah “melindungi individu terhadap pemerintah yang sewenang wenang dan memungkinkan kepadanya untuk menikmati hak-hak sipil dan politiknya sebagai manusia”.

Pemerintah dituntut untuk memberikan suatu kepastian hukum dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam segalah aspek kehidupan berbangsa dan bernegara terkhususnya dalam bidang hukum guna menjamin suatu kepastian

1 Morisan, Negara Hukum, Rajawali Press, Jakarta, 2005, hal 107.

(2)

hukum bagi masyarakat sebagai bentuk dari prinisip legalitas sebagaimana dikemukan oleh Indroharto2 yang mengemukakan salah satu unsur negara hukum adalah pemerintahan dilakukan berdasarkan undang-undang (asas legalitas) dimana kekuasaan dan wewenang yang dimiliki pemerintah hanya semata-mata ditentukan oleh undang- undang dasar atau undang-undang.

Pengelolaan mineral dan batubara di Indonesia didasarkan pada Undang- Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (selanjutnya disingkat Undang-Undang Minerba). Pengaturan hukum dalam Undang-Undang Minerba mewajibkan kepada seseorang atau pihak yang akan melakukan kegiatan pertambangan (palaku usaha), haruslah memiliki sejumlah izin, seperti Izin Usaha Pertambangan (IUP), Izin Pertambangan Rakyat (IPR) atau Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), sehingga bila sudah memiliki izin-izin sebagaimana dimaksud diatas, barulah dapat dilakukan kegiatan pertambangan.

Tentunya izin digunakan sebagai instrumen hukum yang digunakan oleh Pemerintah untuk mengendalikan masyarakat.3 Berkaitan dengan ini yaitu mengenai pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam serta memberikan suatu jaminan kepastian hukum dibidang pertambangan. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 3 Undang-Undang Minerba, yang menyebutkan bahwa :

2 Indroharto, Usaha Memahami Undang – Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta Pusat, 2002, hal 82.

3 Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Sebuah Studi tentang Prinsip-Prinsipnya dan Penanganannya oleh Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi, Edisi Khusus, Penerbit Peradaban, Cet.

Pertama, 2007, hal 32.

(3)

Dalam rangka mendukung pembangunan nasional yang berkesinanibungan, tujuan pengelolaan mineral dan batubara adalah : a. menjamin efektivitas pelaksanaan dan pengendalian kegiatan usaha

pertambangan secara berdaya guna, berhasil guna, dan berdaya saing;

b. menjamin manfaat pertambangan mineral dan batubara secara berkelaajutan dan benvawasan lingkungan hidup;

c. menjamin tersedianya mineral dan batubara sebagai bahan baku dan/atau sebagai sumber energi untuk kebutuhan dalam negeri;

d. mendukung dan menumbuhkembangkan kenlampuan nasional agar lebih mampu bersaing di tingkat nasioiial, regional dan internasional;

e. meningkatkan pendapatan masyarakat lokal, daerah, dan negara, serta menciptakan lapangan kerja uiituk sebesar-besar kesejahteraan rakyat;

dan

f. menjamin kepastian hukum dalam penyelenggaraan kegiatan usaha pertam bangan mineral dan batubara.

Penerbiatan Izin-Izin dalam bidang pertambangan dilakukan oleh Pemerintah sesuai dengan tingkatannya, baik yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi maupun Pemerintah Kabupaten/Kota sesuai dengan kewenangannya yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang. Dalam penelitian ini, penulis hanya berfokus pada wewenang pemerintah Kabupaten/Kota dalam hal perbitan izin-izin di bidang pertambangan. Sesuai Pasal 8 ayat (1) Undang- Undang Minerba, yang menyebutkan bahwa :

Kewenangan pemerintah kabupaten/kota dalam pengelolaan pertambangan mineral dan batubara. Antara lain, adalah :

a. pembuatan peraturan perundang-undangan daerah;

b. pemberian IUP dan IPR, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat, dan pengawasan usaha pertambangan di wilayah kabupaten/ kota dan/ atau wilayah laut sampai dengan 4 (empat) mil;

c. pemberian IUP dan IPR, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat dan pengawasan usaha pertambangan operasi produksi yang kegiatannya berada di wilayah kabupaten/kota dan/atau wilayah laut sampai dengan 4 (empat) mil;

d. penginventarisasian, penyelidikan clan penelitian, serta eksplorasi dalam rangka memperoleh data dan informasi mineral dan batubara;

(4)

e. pengelolaan informasi geologi, informasi potensi mineral dan batubara, serta informasi pertarnbangan pada wilayah kabupaten/kota;

f. penyusunan neraca sumber daya mineral dan batubara pada wilayah kabupaten/kota;

g. pengembangan dan pemberdayaan masyarakat setempat dalam usaha pertambangan dengan memperhatikan kelestarian lingkungan;

h. pengembangan dan peningkatan nilai tambah dan manfaat kegiatan usaha pertambangan secara optimal;

i. penyampaian informasi hasil inventarisasi, penyelidikan umum, dan penelitian, serta eksplorasi dan eksploitasi kepada Menteri dan gubernur;

j. penyampaian informasi hasil produksi, penjualan dalam negeri, serta ekspor kepada Menteri dan gubernur;

k. pembinaan dan pengawasan terhadap reklamasi lahan pasca tambang;

dan

l. peningkatan kemampuan aparatur pemerintah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan pengelolaan usaha pertambangan.

Selanjutnya konsekuensi yuridis dari usaha pertambangan yang tidak disertai izin dapat dikenakan pidana bagi barang siapa yang melakukan kegiatan pertambangan tanpa izin tersebut, hal tersebut diatur dalam Pasal 158 sampai dengan Pasal 165 Undang-Undang Minerba. Tentunya ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Minerba ini dimaksudkan untuk menakut-nakuti dan juga memberika efek jera kepada pelaku tindak pidana dibidang pertambangan namun pada prakteknya masih banyak kegiatan pertambangan yang dilakukan tidak disertai izin-izin usaha pertambangan seperti tidak memliki memiliki IUP, IPR atau IUPK walaupun diancam pidana namun tidaklah efektif.

Kasus pertambangan tanpa IUP, IPR atau IUPK terjadi di Negeri Luhu, Kabupaten Seram Bagian Barat, khususnya untuk jenis tambang Cinnabar.

Contoh kasus tindak pidana dibidang mineral batubara seperti yang terdapat

(5)

dalam Putusan Pengadilan Negeri Ambon Nomor : 428/Pid.Sus/2018/PN Amb dengan terdakwa Rahim Tomia alias Onong. Terdakwa adalah anggota Polri.

Dalam putusan pengadilan tersebut, Majelis Hakim menyatakan dalam amar putusannya bahwa :

1. Menyatakan terdakwa, telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Melakukan usaha penambangan tanpa Izin Usaha Pertambangan (IUP), Izin Pertambangan Rakyat (IPR) atau Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK);

2. Menjatuhkan pidana oleh karena itu kepada terdakwa Rahim Timia alias Onong dengan pidana penjara selama : 1 (satu) tahun dan denda sebesar Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayarkan maka akan diganti dengan pidana denda kurungan selama 3 (tiga) bulan;

3. Menetapkan masa penangkapan dan penahanan yang telah dijalani oleh terdakwa dikurangi seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;

4. Memerintahkan terdakwa tetap ditahan 5. Menetapkan barang bukti berupa :

- 100 (seratus) kg air raksa/mercury yang diisi didalam botol (dengan berat masing-masing botol 1 kg) dan dikemas didalam 4 (emapt) katton/duz dirampas untuk negara untuk diserahkan kepada Kementerian Sumber Daya Mineral melalui Dinas terkait di Provinsi Maluku.

- Sepeda motor vario warna hitam dengan No Pol : DE 3121 LV dirampas untuk negara

6. Mebebankan biaya perkara kepada terdakwa sejumlah Rp 5.000 (lima ribu rupiah).

Dalam kasus ini Pengasehat Hukum terdakwa pun menyampaikan pembelaan atau pledooi dimana dalam pembelaan tersebut Penasehat Hukum menyampaikan bahwa Jaksa Penuntut Umum gagal atau keliru dalam menerapkkan hukum berkaitan dengan Pasal 158 Undang-Undang Minerba, seharusnya diterapkan Pasal 106 jo Pasal 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan karena peran dari terdakwa hanya membeli hasil

(6)

tambang Cinnabar dari orang lain sehingga terdakwa bukan merupakan pelaku utama yang melakukan kegiatan pertambangan tanpa izin, akan tetapi Majelis Hakim mengesampingkan pembelaan tersebut dan tetap menyatakan Terdakwa terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana terdapat dalam amar putusan diatas.

Kasus tersebut diatas menunjukan maraknya kegiatan pertambangan di Kabupaten Seram Bagian Barat yang dilakukan tanpa izin dari Pemerintah Kabupaten, oleh sebab itu berdasarkan uraian-uraian diatas, maka penulis akan melakukan penelitian hukum berkaitan dengan judul “PERTAMBANGAN BATU CINNABAR TANPA IZIN DI KABUPATEN SERAM BAGIAN BARAT (Tinjauan Dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara)”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : Bagaimana penerapan hukum dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 terhadap pertambangan Cinnabar di Kabupaten Seram Bagian Barat yang dikelola tanpa izin?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Mengkaji dan menjelaskan penerapan hukum Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 terhadap pertambangan Cinnabar di Kabupaten Seram Bagian Barat yang dikelola tanpa izin.

(7)

2. Sebagai salah satu persyaratan untuk mendapat gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Pattimura.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Mengetahui penerapan hukum menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 terhadap pertambangan Cinnabar di Kabupaten Seram Bagian Barat yang dikelola tanpa izin.

2. Memberikan masukan kepada masyarakat yang melakukan penambangan tanpa izin di Kabupaten Seram Bagian Barat sehingga masyarakat mendapat pendidikan hukum mengenai konsekuensi hukum bila dilakukan penambangan tanpa izin yang tentu berdampak pidana kepada masyarakat.

E. Kerangka Teoritis

Menurut Sudarto, penegakan hukum pidana adalah upaya untuk menerjemahkan dan mewujudkan keinginan-keinginan hukum pidana menjadi kenyataan, yaitu hukum pidana menurut Van Hammel adalah keseluruhan dasar dan aturan yang dianut oleh negara dalam kewajibannya untuk menegakkan hukum, yakni dengan melarang apa yang bertentangan dengan hukum (on recht) dan mengenakan nestapa (penderitaan) kepada yang melanggar larangan tersebut.4

Menurut Satjipto Raharjo penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide kepastian hukum, kemanfaatan sosial dan keadilan

4 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1986, hal 60.

(8)

menjadi kenyataan. Proses perwujudan ketiga ide inilah yang merupakan hakekat dari penegakan hukum. Penegakan hukum dapat diartikan pula penyelenggaraan hukum oleh petugas penegakan hukum dan setiap orang yang mempunyai kepentingan dan sesuai kewenangannya masing-masing menurut aturan hukum yang berlaku.5 Dengan demikian penegakan hukum merupakan suatu sistem yang menyangkut suatu penyerasian antara nilai dan kaidah serta perilaku nyata manusia. Kaidah-kaidah tersebut kemudian menjadi pedoman atau patokan bagi perilaku atau tindakan yang dianggap pantas atau seharusnya, perilaku atau sikap tindak itu bertujuan untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian.

Gangguan terhadap penegakan hukum mungkin terjadi, apabila ada ketidakserasian antara nilai-nilai, kaidah-kaidah dan pola prilaku. Gangguan tersebut timbul apabila terjadi ketidakserasian antara nilai-nilai yang berpasangan, yang menjelma dalam kaidah-kaidah yang simpangsiur dan pola perilaku yang tidak terarah yang mengganggu kedamaian pergaulan hidup.

Menurut Soerjono Soekanto penegakan hukum bukan semata-mata berarti pelaksanaan perundang-undangan. Walaupun dalam kenyataan di Indonesia kecenderungannya adalah demikian. Sehingga pengertian Law Enforcement begitu populer. Bahkan ada kecenderungan untuk mengartikan penegakan hukum sebagai pelaksana keputusan-keputusan pengadilan. Pengertian yang sempit ini

5 Satjipto Raharjo, Hukum dan Masyarakat, Cetakan Terakhir, Angkasa,. Bandung, 1980, hal 15.

(9)

jelas mengandung kelemahan, sebab pelaksanaan peundang-undangan atau keputusan pengadilan, bisa terjadi malahan justru mengganggu kedamaian dalam pergaulan hidup masyarakat.6

Membicarakan penegakan hukum pidana sebenarnya tidak hanya bagaimana cara membuat hukum itu sendiri, melainkan juga mengenai apa yang dilakukan oleh aparatur penegak hukum dalam mengantisipasi dan mengatasi masalah-masalah dalam penegakan hukum. Oleh karena itu, dalam menangani masalah-masalah dalam penegakan hukum pidana yang terjadi dalam masyarakat dapat dilakukan secara penal (hukum pidana) dan non penal (tanpa menggunakan hukum pidana).

1. Upaya Non Penal (preventif)

Upaya penanggulangan secara non penal ini lebih menitikberatkan pada pencegahan sebelum terjadinya kejahatan dan secara tidak langsung dilakukan tanpa menggunakan sarana pidana atau hukum pidana, misalnya:7

a. Penanganan objek kriminalitas dengan sarana fisik atau konkrit guna mencegah hubungan antara pelaku dengan objeknya dengan sarana pengamanan, pemberian pengawasan pada objek kriminalitas.

b. Mengurangi atau menghilangkan kesempatan berbuat ckriminal dengan perbaikan lingkungan.

6 Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakkan Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hal 5.

7 Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia. Sinar Baru, Bandung, 1984, hal 34.

(10)

c. Penyuluhan kesadaran mengenai tanggung jawab bersama dalam terjadinya kriminalitas yang akan mempunyai pengaruh baik dalam penanggulangan kejahatan

2. Upaya Penal (represif)

Upaya penal merupakan salah satu upaya penegakan hukum atau segala tindakan yang dilakukan oleh aparatur penegak hukum yang lebih menitikberatkan pada pemberantasan setelah terjadinya kejahatan yang dilakukan dengan hukum pidana yaitu sanksi pidana yang merupakan ancaman bagi pelakunya. Penyidikan, penyidikan lanjutan, penuntutan dan seterusnya merupakan bagian-bagian dari politik kriminil.8 Fungsionalisasi hukum pidana adalah suatu usaha untuk menaggulangi kejahatan melalui penegakan hukum pidana yang rasional untuk memenuhi rasa keadilan dan daya guna.9 Selanjutnya menurut Imam Syaukani, bahwa secara konsepsional, maka inti dan arti penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk meniptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.10

8 Sudarto, Op., Cit., hal 113.

9 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori - teori dan Kebijakan Hukum Pidana, Cet III Alumni, Bandung, 2005, hal 14.

10 Imam Syaukani dan A. Ahsin Thoari, Dasar-Dasar Politik Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010, hal 24.

(11)

Penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga dampak positif atau negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut. Faktor- faktor tersebut adalah, sebagai berikut:

1. Undang-undang

Undang-undang dalam arti material adalah peraturan tertulis yang berlaku umum dan dibuat oleh Penguasa Pusat maupun Daerah yang sah. Mengenai berlakunya undang-undang tersebut, terdapat beberapa asas yang tujuannya adalah agar undang-undang tersebut mempunyai dampak yang positif. Asas-asas tersebut antara lain:11

a. Undang-undang tidak berlaku surut.

b. Undang-undang yng dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi.

c. mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula.

d. Undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan undang-undang yang bersifat umum, apabila pembuatnya sama.

e. Undang-undang yang berlaku belakangan, membatalkan undang-undang yan berlaku terdahulu.

f. Undang-undang tidak dapat diganggu guat.

g. Undang-undang merupakan suatu sarana untuk mencapai kesejahteraan spiritual dan materiel bagi masyarakat maupun pribadi, melalui pelestaian ataupun pembaharuan (inovasi).

2. Penegak Hukum

Penegak hukum merupakan golongan panutan dalam masyarakat, yang hendaknya mempunyai kemampuan-kemampuan tertentu sesuai dengan aspirasi masyarakat. Mereka harus dapat berkomunikasi dan mendapat pengertian dari

11 Andi Hamzah, Asas-asas Penting dalam Hukum Acara Pidana, FH Universitas Surabaya, Surabya, 2005, hal 12.

(12)

golongan sasaran, disamping mampu menjalankan atau membawakan peranan yang dapat diterima oleh mereka. Ada beberapa halangan yang mungkin dijumpai pada penerapan peranan yang seharusnya dari golngan sasaran atau penegak hukum, Halangan-halangan tersebut, adalah:12

a. Keterbatasan kemampuan untuk menempatkan diri dalam peranan pihak lain dengan siapa dia berinteraksi.

b. Tingkat aspirasi yang relatif belum tinggi.

c. Kegairahan yang sangat terbatas untuk memikirkan masa depan, sehingga sulit sekali untuk membuat proyeksi.

d. Belum ada kemampuan untuk menunda pemuasan suatu kebutuhan tertentu, terutama kebutuhan material.

e. Kurangnya daya inovatif yang sebenarnya merupakan pasangan konservatisme.

Halangan-halangan tersebut dapat diatasi dengan membiasakan diri dengan sikap- sikap, sebagai berikut:

a. Sikap yang terbuka terhadap pengalaman maupun penemuan baru.

b. Senantiasa siap untuk menerima perubahan setelah menilai kekurangan yang ada pada saat itu.

c. Peka terhadap masalah-masalah yang terjadi di sekitarnya.

d. Senantiasa mempunyai informasi yang selengkap mungkin mengenai pendiriannya.

12 Andi Hamzah, Masalah Penegakan Hukum Pidana, Jakarta, 1994, hal 20.

(13)

e. Orientasi ke masa kini dan masa depan yang sebenarnya merupakan suatu urutan.

f. Menyadari akan potensi yang ada dalam dirinya.

g. Berpegang pada suatu perencanaan dan tidak pasrah pada nasib.

h. Percaya pada kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi di dalam meningkatkan kesejahteraan umat manusia.

i. Menyadari dan menghormati hak, kewajiban, maupun kehormatan diri sendiri dan ihak lain.

j. Berpegang teguh pada keputusan-keputusan yang diambil atas dasar penalaran dan perhitingan yang mantap.

3. Faktor Sarana atau Fasilitas

Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu, maka tidak mungkin penegakan hukum akan berjalan dengan lancar. Sarana atau fasilitas tersebut antara lain, mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan trampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup, dan seterusnya. Sarana atau fasilitas mempunyai peran yang sangat penting dalam penegakan hukum. Tanpa adanya sarana atau fasilitas tersebut, tidak akan mungkin penegak hukum menyerasikan peranan yang seharusnya dengan peranan yang aktual. 13

13 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2010, hal 13.

(14)

Moeljatno mengemukakab bahwa khususnya untuk sarana atau fasilitas tesebut, sebaiknya dianut jalan pikiran, sebagai berikut :14

a. Yang tidak ada-diadakan yang baru betul.

b. Yang rusak atau salah-diperbaiki atau dibetulkan.

c. Yang kurang-ditambah.

d. Yang macet-dilancarkan.

e. Yang mundur atau merosot-dimajukan atau ditingkatkan 4. Faktor Masyarakat

Penegakan hukum berasal dari masyarakat, dan bertujuan untuk mencapai kedamaian dalam masyarakat. Oleh karena itu, dipandang dari sudut tertentu, maka masyarakat dapat mempengaruhi penegakan hukum tersebut. Masyarakat Indonesia mempunyai kecendrungan yang besar untuk mengartikan hukum dan bahkan mengidentifikasikannya dengan petugas (dalam hal ini penegak hukum sebagai pribadi). Salah satu akibatnya adalah, bahwa baik buruknya hukum senantiasa dikaitkan dengan pola prilaku penegak hukum tersebut.15

5. Faktor Kebudayaan

Kebudayaan(sistem) hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik (sehingga dianuti) dan apa yang dianggap

14 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta. 1987, hal 21.

15 Barda Nawawi Arif, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Kencana Media Group, Jakarta, 2007, hal 34.

(15)

buruk (sehingga dihindari). Pasanagn nilai yang berperan dalam hukum, adalah sebagai berikut:

a. Nilai ketertiban dan nilai ketentraman.

b. Nilai jasmani/kebendaan dan nilai rohani/keakhlakan.

c. Nilai kelanggengan/konservatisme dan nilai kebaruan/inovatisme.

F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Dalam penulisan ini, penulis mengguanakan jenis penelitian “Yuridis Normati f”. Jenis penelitian secara yuridis normatif, yaitu suatu penelitian terutama me ngkaji bahan-bahan hukum, ketentuan-ketentuan hukum positif, asas-asas huk um, prinsip-prinsip hukum maupun doktrin hukum, guna menjawab isu huku m, yang dihadapi.16

2. Tipe Penelitian

Guna melengkapi jenis penelitian diatas dan untuk memberi arah pada penulis an ini maka tipe penelitian ini bersifat “deskriptif analitis”, maksudnya bahwa data yang ditemukan selanjutnya dianalisis dan dibahas dengan berpatokan pa da kerangka teori dan pemikiran beberapa ahli sehingga hasilnya hanya dapat dideskripsikan untuk membantu penarikan kesimpulan yang dilengkapi denga n saran-saran.17

3. Sumber Bahan Hukum

16 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986, hal 50.

17 Ibid, hal 17.

(16)

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer merupakan bahan-bahan hukum yang mengikat terdiri dari perundang-undangan yaitu:

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral D an Batubara;

3. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegia tan Usaha Pertambangan Mineral Dan Batubara;

4. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Pe raturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiata n Usaha Pertambangan Mineral Dan Batubara;

5. Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Kedua A tas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan K egiatan Usaha Pertambangan Mineral Dan Batubara

6. Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2014 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral Dan Batubara;

7. Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral Dan Batubara.

(17)

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder merupakan memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer yang terdiri dari pendapat ilmiah para sarjana dan buku-buku literatur yang berkaitan dengan penerapan hukum dari Undang- Undang Nomor 4 Tahun 2009 terhadap pertambangan Cinnabar di Kabupaten Seram Bagian Barat yang dikelola tanpa izin.

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier merupakan bahan hukum yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dengan memberikan pemahaman dan pengertian atas bahan hukum lainnya. Bahan hukum yang dipergunakan oleh penulis adalah kamus hukum dan kamus besar bahasa Indonesia.

4. Teknik Pengumpulan dan Analisa Bahan Hukum a. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Dalam penelitian ini dilakukan studi kepustakaan (library research) yaitu mengumpulkan bahan-bahan hukum yang terkait untuk memperoleh infor masi yang obyektif dan akurat, baik dari buku-buku, undang-undang mau pun internet. Pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan menyusun ber dasarkan subyek selanjutnya dipelajari kemudian diklasifikasikan sesuai d engan pokok yang dibahas.18

18 Ibid, hal 20.

(18)

b. Analisa Bahan Hukum

Dalam mengelola bahan penulisan ini, penulis menggunakan metode anal isis kualitatif,19 yaitu bahan hukum yang diperoleh kemudian disusun seca ra sistematis untuk selanjutnya dianalisa secara kualitatif berdasarkan disi plin ilmu hukum pidana untuk mencapai kejelasan masalah.20

G. Sistematika Penelitian

Adapun sistematika yang penulis pergunakan dalam melakukan penulisan skripsi ini yakni, berawal dari Bab I merupakan pendahuluan yang terdiri dari lat ar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka te oritis, metode penelitian dan sistematika. Bab II membahas mengenai tinjauan pu staka yang terdiri dari pengaturan usaha pertembangan menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, fenomena pe rtambangan rakyat, tindak pidana dibidang pertambangan. Bab III berisikan hasil penelitian dan pembahasan yang terdiri dari kasus posisi, prosedur penerapan huk um menurut KUHAP dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertam bangan Mineral dan Batubara, penerapan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 dan upaya kesadaran masyarakat. Bab IV merupakan penutup yang terdiri dari ke simpulan dan saran.

19 Ibid, hal 21.

20 Ibid, hal 22.

Referensi

Dokumen terkait

Perpustakaan keliling adalah perpanjangan tangan dari perpustakaan umum karena perpustakaan ini merupakan perpustakaan yang melayani masyarakat umum namun

Memberikan kontribusi terhadap peneliti lain yang akan melakukan penelitian terkait hukum kenotariatan dan perdata tentang pengaturan secara hukum yang benar mengenai ketentuan Notaris