BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Kejadian bencana massal merupakan hal yang sudah tidak asing lagi bagi bangsa Indonesia. Indonesia menduduki peringkat 5 besar di Asia untuk kejadian bencana. Bencana alam, non alam, maupun bencana sosial memberikan dampak negatif kepada masyarakat dalam beberapa tahun terakhir. Hal tersebut mendorong perlunya peranan ilmu forensik dalam identifikasi personal individu, yang akan bermanfaat dalam investigasi bencana dan membantu penyidik untuk menentukan identitas seseorang (Thoyyibah, 2017).
Identifikasi personal sangat diperlukan untuk tubuh tidak dikenal akibat dari pembunuhan, bunuh diri, kecelakaan, dan bencana massal.
Identifikasi terbagi menjadi dua jenis, identifikasi primer yaitu dengan metode pemeriksaan DNA, pemeriksaan sidik jari, pemeriksaan melalui gigi dan identifikasi sekunder yaitu dengan metode identifikasi palatal rugae dan identifikasi sidik bibir atau cheiloscopy. Ilmu forensik kedokteran gigi dapat membantu mempermudah penyidik dalam mengidentifikasi korban melalui gigi, palatal rugae, dan sidik bibir (Bharathi, 2015).
Identifikasi sidik bibir adalah salah satu metode identifikasi forensik yang menggunakan pola kerutan dan alur pada permukaan mukosa bibir.
Pertumbuhan bibir sejalan dengan pertumbuhan wajah, dimana mencapai puncaknya sewaktu lahir dan akan mengalami penurunan dan mencapai laju minimalnya pada masa pubertas. Pertumbuhan bibir akan melambat saat individu mencapai usia 18 tahun hingga akhirnya berhenti dan stabil. Sidik bibir dapat digunakan untuk mengidentifikasi individu karena sifatnya yang unik dan stabil pada setiap invidu (Sadler, 2019)
Pemeriksaan sidik bibir pernah digunakan pada 85 kasus di Polandia antara tahun 1985-1997. Dari seluruh kasus tersebut 34 kasus berhasil dipecahkan, sehingga dapat disimpulkan bahwa sidik bibir dapat dijadikan alat bantu identifikasi individu dalam kasus kriminal. Sidik bibir juga dapat dijadikan sebagai sarana pendukung dalam mengidentifikasi usia, jenis kelamin, dan membedakan ras setiap individu. Pemeriksaan sidik bibir pernah diterapkan di Indonesia pada tahun 1993 pada kasus pembunuhan dengan barang bukti lakban yang ditemukan di TKP. Pada lakban tersebut ditemukan sidik bibir yang diduga dimiliki oleh terdakwa kasus tersebut. Sidik bibir tersebut kemudian dibandingkan oleh penyidik dengan foto sidik bibir terdakw dan hasilnya sidik bibir yang terdapat pada lakban tersebut cocok dengan sidik bibir terdakwa (Reddy, 2011).
Beberapa metode dokumentasi sidik bibir, diantaranya metode lipstick, metode dengan bahan cetak alginate, dan metode fotografi. Klasifikasi yang digunakan untuk pola sidik bibir diantaranya klasifikasi Santos M, klasifikasi Suzuki-Tsuchihashi, dan klasifikasi Kasprzak. Klasifikasi Suzuki-Tsuchihashi merupakan klasifikasi yang paling sering dipakai karena memiliki gambaran yang jelas dan memiliki rentang yang luas mencapai seluruh bagian bibir (Bindal, 2015)
Identifikasi jenis kelamin merupakan langkah awal yang penting dilakukan dalam proses identifikasi karena dapat menentukan 50%
probabilitas kecocokan dalam identifikasi individu dan dapat mempengaruhi beberapa metode pemeriksaan lainnya, seperti estimasi usia dan tinggi tubuh individu. Secara mikroskopis atau histologis jenis kelamin dapat dideteksi dengan melihat keberadaan kromatin seks yaitu; kromatin-X dan kromatin-Y yang dapat menentukan individu memiliki jenis kelamin laki-laki atau perempuan (Syafitri, 2013).
Penelitian sidik bibir mengenai identifikasi jenis kelamin di dunia pernah dilakukan diantaranya oleh Shilpa Patel pada tahun 2010 yang melaporkan terdapat perbedaan pola sidik bibir antara laki-laki dan perempuan pada populasi Udaipur, India. Hasil penelitian menunjukan pada laki-laki
didominasi tipe I (30%) dan pada perempuan didominasi tipe II (42%). Hasil yang serupa didapatkan dari penelitian Richa Gaba pada tahun 2014 yang melaporkan bahwa terdapat variasi pola sidik bibir antara laki-laki dan perempuan pada populasi Mangalore, Indi, pola sidik bibir yang paling dominan pada laki-laki adalah Tipe III (41,25%) dan pola sidik bibir yang paling dominan pada perempuan adalah Tipe II (51,25%). Dapat disimpulkan dari beberapa penelitian bahwa sidik bibir memiliki potensi untuk digunakan dalam penentuan jenis kelamin (Gaba, 2014). Hasil yang berbeda didapatkan dari penelitian Ramakrishnan pada tahun 2015, yang melaporkan laki-laki dan perempuan pada populasi Mumbai, India memiliki pola sidik bibir yang dominan yaitu tipe I. Hasil yang berbeda juga didapatkan dari penelitian Makesh Raj pada tahun 2016 yang melaporkan pola sidik bibir yang dominan pada laki-laki dan perempuan pada populasi Rathinamangalam, India adalah tipe I.
Negara Indonesia adalah salah satu negara multikultural terbesar di dunia. Indonesia memiliki keanekaragaman budaya, ras, suku, agama dan golongan. Persebaran ras di Indonesia secara garis besar dibedakan atas ras Proto-Melayu (suku Batak, suku Toraja, suku Dayak), ras Deutro-Melayu (suku Jawa, suku Bali, suku Madura), ras Austramelanesoid (suku Papua), dan ras Weddoid yang terdapat di dalamnya suku Maluku dan suku Riau (Koetjaraningrat, 2002).
Suku Riau merupakan sekelompok manusia yang berasal dari provinsi Riau. Provinsi Riau adalah sebuah provinsi di Indonesia yang terletak di bagian tengah pulau Sumatra tepatnya di bagian tengah pantai timur Pulau Sumatra, yaitu di sepanjang pesisir Selat Melaka. Menurut Mayer Loeb, Suku Riau termasuk dalam ras Weddoid yg memiliki ciri-ciri fisik yang unik antara lain kulit sawo matang, mata hitam, rambut hitam berombak, dan bibir tipis (Evans, 2013).
Beberapa penelitan identifikasi sidik bibir yang pernah dilakukan di Indonesia antara lain dilakukan oleh Ainul Mardiah pada tahun 2017 yang melaporkan adanya perbedaan pola sidik bibir antara laki-laki dan perempuan
pada mahasiswa yg berasal dari suku Padang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada laki-laki didominasi pola sidik bibir tipe IV yaitu 22 orang (53.7%) dan pada perempuan didominasi pola sidik bibir tipe II yaitu 42 orang (45.7%). Pada tahun 2017 hasil yang serupa didapatkan dari penelitian Nadya A yang melaporkan bahwa terdapat perbedaan pola sidik bibir antara laki-laki dan perempuan pada suku Palembang. Hasil penelitian didapatkan pola sidik bibir tipe IV (23,6%) merupakan pola sidik bibir yang paling banyak muncul pada laki-laki dan tipe I’ (24,3%) paling banyak muncul pada perempuan.
Hasil yang berbeda dilaporkan oleh Joe JW pada tahun 2017 yang melaporkan bahwa laki-laki dan perempuan pada etnis Tionghoa di Medan memiliki pola sidik bibir yang paling dominan adalah Tipe II. Hasil yang berbeda juga didapatkan dari penelitian Rebecca Siregar pada tahun 2018 yang melaporkan bahwa laki-laki dan perempuan pada suku Batak Toba memiliki pola sidik bibir yang paling dominan adalah Tipe I.
Suku Riau mempunyai variasi fenotip yang berbeda dari suku-suku lain di Indonesia. Penelitian pola sidik bibir pada suku Riau juga belum banyak diteliti sebelumnya. Data mengenai pola sidik bibir laki-laki dan perempuan pada suku Riau masih juga sedikit atau terbatas sehingga penulis tertarik untuk mempelajari lebih dalam dan melakukan penelitian ini.
Ketika Allah menciptakan manusia, Allah menciptakan menurut kehendak dan rencana-Nya dengan sebaik-baiknya dalam kondisi sempurna.
Kesempurnaan inilah yang menjadi sebuah anugerah yang mendukung tugas manusia sebagai khalifah di muka bumi ini (Zuhroni, 2010). Sebagaimana dijelaskan dalam Al-Quran :
Sesungguhnya Kami telah menicptakan manusia dalam bentuk yang sebaik- baik. (Q.S At-Tin (95):4)
Berdasarkan ayat tersebut, dikatakan Allah telah menciptakan manusia dengan sempurna memiliki jenis kelamin laki-laki dan perempuan dengan keanekaragaman suku, bahasa, agama, golongan, dan budaya yang merupakan sebuah anugerah yang indah dalam kehidupan (Al-Qurthubi, 2009).
Allah SWT berfirman :
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
(Q.S Al-Hujurat (49):13)
Otopsi forensik menurut ulama kontemporer, Nuruddin Atr (ahli hadits dari Suriah) menyatakan, jika sekedar mengeluarkan koin dari perut saja dibolehkan, maka membedah mayat untuk mengetahui sebab kematiannya lebih diutamakan lagi. Karena kepentingannya jauh lebih besar dan dalam keadaan darurat. Namun demikian, dalam batasan darurat, sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan keahlian pelaku kriminal, maka otopsi forensik membedah mayat perlu dilakukan dan hukumnya menjadi wajib, sejalan dengan kaidah hukum Islam (Zuhroni, 2010).
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Apakah terdapat perbedaan pola sidik bibir laki-laki dan perempuan pada suku Riau?
1.2.2 Bagaimana pandangan Islam terhadap identifikasi forensik?
1.3 Tujuan
1.3.1 Untuk mengetahui perbedaan pola sidik bibir laki-laki dan perempuan pada suku Riau.
1.3.2 Untuk mengetahui pandangan Islam terkait identifikasi forensik.
1.4 Manfaat
1.4.1 Manfaat bagi subjek penelitian
• Penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai salah satu metode identifikasi individu dalam kepentingan forensik.
• Penelitian ini dapat bermanfaat sebagai informasi atau data diri seseorang.
1.4.2 Manfaat bagi institusi kedokteran gigi
• Penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai pengembangan ilmu kedokteran gigi forensik.
• Penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai acuan pengidentifikasian sidik bibir untuk menentukan jenis kelamin pada ras di indonesia, terutama suku Riau.
1.4.3 Manfaat bagi masyakarat
• Penelitian ini dapat berguna sebagai data base populasi di Indonesia.
• Masyarakat akan lebih mengetahui adanya perbedaan pola sidik bibir pada tiap individu.
1.4.4 Manfaat pandangan Islam
• Penelitian ini dapat berguna sebagai pedoman identifikasi forensik dari sudut pandang Islam.