Media sosial kini menjadi tempat penting bagi masyarakat untuk mencari dan bertukar informasi serta pendapat terkait politik saat ini (Katadata, 2021). Sebaliknya, kenyataan menunjukkan bahwa media sosial (khususnya Tiktok sebagai kajian penelitian utama) sebagai sumber penting bagi masyarakat dalam pencarian dan pertukaran informasi semakin terganggu oleh disinformasi politik.
Rumusan Masalah
Makna demokrasi tidak bisa direduksi menjadi sebuah perayaan yang bersifat teknis-prosedural, melainkan menyangkut nilai-nilai yang ada dan dianut oleh masyarakat dalam menentukan sikap dan pilihan. Untuk memahami bagaimana disinformasi politik bekerja di Tiktok dan mengkaji Tiktok sebagai ruang publik digital bagi masyarakat dalam perspektif ruang publik Habermasian.
Manfaat Penelitian
Bagi masyarakat, penelitian ini dan penelitian serupa dapat memberikan wawasan mengenai aktivitas di ruang digital; apa yang mungkin dan apa yang tidak.
Tinjauan Kepustakaan
Demokrasi Digital: Harapan dan Realitas
Kendati demikian, Guess dan Lyons juga tidak menutup mata terhadap dinamika dan perkembangan yang terjadi belakangan ini, yakni munculnya dampak negatif media sosial. Diskusi dan forum ilmiah yang mengangkat tema seputar dampak negatif media sosial semakin mengemuka.
Kampanye Politik dan Kemunculan Disinformasi
Cara pandang tersebut menjadi dasar analisa mereka, salah satunya melalui peristiwa kampanye pemilu presiden Amerika Serikat tahun 2016 yang riuh dan penuh disinformasi politik. Aspek ini sekilas tampak sama dengan yang digunakan peneliti, namun tentunya terdapat perbedaan karena selain mencoba menjelaskan bagaimana disinformasi politik diproduksi, dikonsumsi, dan didistribusikan, peneliti juga mencoba mengkaji aspek hukum dan bagaimana pengaruhnya Oleh karena itu, Saraswati memandang disinformasi sangat erat kaitannya dan penting bagi demokrasi dalam konteks pemilu.
Berbeda dengan penelitian ini, meski sama-sama melihat disinformasi politik sebagai ancaman terhadap demokrasi, penelitian ini lebih fokus pada ancaman terhadap demokrasi yang timbul dari buruknya wacana publik akibat limpahan informasi SARA dan maknanya. Hal ini tentu membuat disinformasi politik saat ini berbeda dengan apa yang terjadi di masa lalu. Beberapa kejadian telah terjadi disinformasi politik berbasis isu SARA, salah satunya adalah pembakaran candi dan vihara di Tanjung Balai pada tahun 2016.
Disinformasi politik SARA dibangun melalui berbagai media seperti thread teori konspirasi di Twitter dan foto editan yang tersebar di berbagai platform media sosial. Disinformasi politik SARA melemahkan demokrasi dengan meramaikan ruang publik digital dengan kemeriahan yang tidak berarti.
Disrupsi, Disinformasi, dan Ruang Publik Digital
Bentuk umum disinformasi politik di Tiktok dikonstruksi secara naratif oleh individu pengguna yang menyisipkan video atau gambar dari platform digital lain dengan konteks berbeda, hal ini semakin diperkuat dengan penambahan teks yang tidak tepat dan bias. Selain itu, video dengan wajah yang dimanipulasi mengucapkan kata atau frasa yang tidak benar, tidak pernah terjadi, atau disinformasi politik lainnya. Meski penelitian ini dilakukan di luar Indonesia, namun tentunya dapat menggambarkan bagaimana penggunaan Tiktok secara sistemik berkaitan dengan disinformasi politik, khususnya isu pemilu.
Analisis penyebaran disinformasi politik dengan dukungan sistem pada penelitian di atas nampaknya harus diselaraskan dengan analisis di luar sistem, yaitu terkait analisis fenomena karakteristik penggunanya. Misalnya saja temuan Ni Made Ras Amanda melalui penelitiannya mengenai Disrupsi Politik dan Ruang Publik Digital (2021) yang secara khusus berfokus pada bagaimana media sosial sebagai ruang publik digital terhubung dengan disrupsi politik berupa disinformasi Buzzer. Amanda mengawali dengan menjelaskan disrupsi politik di media sosial yang disebabkan oleh maraknya pertarungan wacana politik yang riuh dan destruktif.
Mengapa demikian? Hal ini disebabkan oleh ramai dan gejolak ruang publik digital melalui perang wacana dan hashtag yang mempunyai agenda mengaburkan wacana asli dengan menciptakan wacana lain yang jauh dari konten utama. Bertentangan dengan fokus penelitian Amanda, penelitian ini justru berfokus pada disinformasi politik yang mendisrupsi ruang publik digital masyarakat yaitu Tiktok yang kemudian berakibat pada kehancuran dan jarak ruang publik digital yang idealnya digambarkan oleh Habermas.
Kerangka Pemikiran
Demokrasi Digital
Demokrasi digital merupakan kumpulan berbagai interaksi antara masyarakat dengan pemerintah/aktor politik dalam jaringan digital. Dalam definisi lain, demokrasi digital merupakan kumpulan praktik demokrasi yang tidak dibatasi oleh ruang dan waktu atau kondisi fisik. Pada saat yang sama, daya tawar masyarakat semakin besar karena tersedianya saluran atau platform digital, salah satunya media sosial.
Berbeda dengan apa yang terjadi di masa lalu, penurunan ini jelas terjadi secara diam-diam dan sebagian besar terjadi di media sosial. Penggunaan media sosial mempercepat penyebaran sebuah ide tanpa filter, secara eksponensial – dalam hitungan menit, sebuah cerita sudah berada di tangan publik dan siap untuk direspon. Tak jarang, media sosial juga membentuk kelompok-kelompok fanatik yang cenderung ekstrem, akibat terbentuknya ruang Gema; sebuah ruang gema yang diisi oleh orang-orang yang mempunyai minat dan minat yang sama terhadap informasi dan mereka mengisolasi diri dari sudut pandang yang tidak mereka setujui (Vaccari, 2016: 2) atau dalam istilah lain Filter Bubble —.
Polarisasi yang semakin nyata ini merupakan wujud menguatnya SARA dan isu sektarianisme yang kerap dikonstruksi melalui wacana-wacana intoleran akibat paparan disinformasi politik atau bahkan disinformasi berbasis SARA. Disrupsi disinformasi politik, khususnya yang berbasis SARA, sangat berbahaya karena mengganggu mood dengan menggugah emosi masyarakat, apalagi jika dilakukan secara superior di tengah realitas kesenjangan perkembangan teknologi dan laju kemajuan teknologi yang pesat. perkembangan digital. literasi serta rata-rata pendidikan masyarakat pada umumnya.
Disrupsi: Disinformasi Politik
Ini tidak bisa dianggap sebagai angin yang lewat; Fenomena ini perlahan tapi pasti merusak hangatnya perbincangan sesama warga dan demokrasi pada umumnya. Biasanya hal ini merupakan upaya untuk merusak citra lawan politik dan mendelegitimasi proses pemilu. Motivasinya tentu berbeda-beda, namun umumnya hanya didasari kesenangan dan rasa ingin menarik perhatian penonton.
Mereka menambahkan bahwa misinformasi umumnya merupakan klaim yang bertentangan dan mendistorsi pemahaman umum tentang fakta yang dapat diverifikasi (Flynn, dkk, 2017: 127). Dalam definisi yang lebih sederhana, ini adalah situasi di dunia digital di mana orang-orang menjadi tidak memiliki identitas dan tidak dikenal (Pavlíček, 2005:8). Berbeda dengan dunia maya, terutama dalam prinsip anonimitas, karena itu masyarakat cenderung mengabaikan nilai-nilai moral dan etika yang selama ini berlaku mengenai gaya interaksi sehari-hari.
Tujuannya untuk membangun ketidakpercayaan terhadap pemerintah dengan mempermainkan emosi masyarakat berdasarkan ketimpangan ekonomi yang dibalut SARA (pengendalian non pribumi atas pribumi) dan hubungan langsung dengan pemerintah yang berideologi komunisme – dimana secara historis komunisme melalui PKI lah yang menjadi penyebabnya. musuh utama masyarakat pada umumnya (peristiwa G30S PKI). Isu ini umumnya dibangun dalam konstruksi pemikiran bahwa Syariat Islam yang utuh kelak akan menggantikan Panca Sila dan NKRI dan NKRI menjadi negara khilafah.
Ruang Publik Digital
Media sosial dalam konstruksinya paling dekat dengan ruang publik ideal (Hijau), karena kontrol negara terhadap ruang publik tersebut terbatas dibandingkan dengan ruang publik media arus utama. Ruang digital ini dianggap sebagai bentuk ruang publik yang baru karena kemampuannya dalam mendorong pertukaran ide dan pendapat secara terbuka dengan persamaan hak bagi semua (celaan. Ruang publik dan demokrasi deliberatif merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, karena demokrasi deliberatif tidak dapat dipisahkan. tercipta tanpa ruang publik yang baik.
Media sosial kini menjadi ruang publik baru bagi masyarakat – ruang dimana masyarakat dapat berdiskusi atau berdebat terkait isu-isu publik tertentu. Jurgen Habermas mengartikan ruang publik sebagai tempat dimana orang-orang yang memiliki hubungan privat berkumpul dalam suatu ruang dan menyepakati permasalahan bersama yang bersifat publik (Habermas, 1991:27). Menurut Habermas, ruang publik ini merupakan bagian integral dari demokrasi karena mewadahi partisipasi publik dalam perbincangan antar warga negara yang peduli terhadap negaranya.
Komunikasi masyarakat di ruang publik hendaknya mengarah pada klaim valid yang walaupun berbeda namun saling berkaitan dan saling melengkapi, yaitu: klaim kebenaran, klaim hak, klaim ketulusan, dan klaim komprehensibilitas. Secara khusus, terciptanya, ketenangan, dan efektifitas percakapan di ruang publik dapat dicapai melalui seberapa kuat argumen yang dibangun, bagaimana argumen tersebut dikritik, dan kemampuan meyakinkan lawan akan kekuatan argumen yang dibangun, dan tentunya. semua ini dilakukan dengan dorongan rasionalitas.
Metode Penelitian
- Tipe Penelitian
- Ruang Lingkup
- Fenomena Penelitian
- Jenis dan Sumber Data
- Pemilihan Informan
- Instrumen Penelitian
- Teknik Pengumpulan Data
- Observasi
- Wawancara
- Dokumentasi
- Penelitian Kepustakaan (Desk Study)
- Teknik Analisis Data
Pada akhir bagian ini disajikan grafik yang bertujuan untuk melengkapi kerangka teori yang telah dikemukakan di atas, serta memudahkan pembaca untuk memahami secara lebih sederhana cara berpikir penelitian ini. Penelitian ini berkisar pada kenyataan bahwa masyarakat di era digital tidak bisa lepas dari media sosial, termasuk Tiktok, baik sebagai sumber informasi, media interaksi, dan aktivitas lainnya yang mampu mempengaruhi pengambil keputusan. Oleh karena itu, ruang publik ini hendaknya menjadi tempat perbincangan hangat dan pertukaran informasi yang baik.
Penelitian ini berfokus pada mekanisme disinformasi politik terkait calon peserta pemilu di Tiktok dan gangguannya terhadap demokrasi Indonesia. Selain menjadikan Pemilu 2019 sebagai momen refleksi, penelitian ini juga menelusuri perkembangan terkini dalam penggunaan hashtag yang relevan. Penentuan informan dilakukan dengan cara yang disengaja, yaitu informan yang diwawancarai dalam penelitian ini adalah orang-orang yang mempunyai pengetahuan tentang topik penelitian agar dapat memberikan informasi yang selengkap-lengkapnya.
Teknik pengumpulan data penelitian ini melibatkan prosedur pengumpulan data kualitatif seperti wawancara dengan pengguna Tiktok lintas generasi, pembuat konten disinformasi, partisipasi dalam siaran langsung (live) dalam format grup diskusi dengan pertanyaan-pertanyaan yang ditentukan terutama terkait dengan bakal calon pemilu 2024. Dokumentasi pada Penelitian ini dilakukan dengan mengumpulkan bahan-bahan berupa dokumen-dokumen yang relevan dengan tema penelitian.