• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "BAB I"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

Persalinan merupakan salah satu periode yang mengandung resiko bagi ibu hamil apabila mengalami komplikasi yang dapat meningkatkan resiko kematian ibu. Diperkirakan bahwa 60% kematian ibu akibat kehamilan terjadi setelah persalinan (Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal Dan Neonatal, 2016). Oleh karena itu, pentingnya bagi bidan/perawat untuk memberikan informasi dan bimbingan pada ibu untuk dapat mengenali tanda- tanda bahaya pada masa nifas yang harus diperhatikan (Maryunani, 2013). Pada persalinan pervaginam sering terjadi perlukaan pada perineum baik itu karena robekan spontan maupun episiotomi. Di Indonesia luka perineum dialami oleh 75% ibu melahirkan pervaginam. Pada tahun 2013 menemukan bahwa dari total 1951 kelahiran spontan pervaginam, 57% ibu mendapat jahitan perineum (28%

karena episiotomi dan 29% karena robekan spontan) (Depkes RI,2013).

Ruptur perineum adalah adanya perlukaan jalan lahir yang terjadi pada saat kelahiran bayi baik menggunakan alat ataupun tidak menggunakan alat. Faktor- faktor yang berpotensi menyebabkan ruptur perineum antara lain: bayi besar, hampir semua persalinan pertama atau perineum yang kaku, peralinan dengan tindakan operasi melalui vagina (Manuaba, 2012).

Rupture perineum dialami oleh 85% wanita yang melahirkan pervaginam.

Rupture perineum perlu mendapatkan perhatian karena dapat menyebabkan disfungsi organ reproduksi wanita, sebagai sumber perdarahan atau jalan keluar masuknya infeksi, yang kemudian dapat menyebabkan kematian karena perdarahan atau sepsis (Chapman dalam Cahyanim, 2015). Prevalensi ibu bersalin yang mengalami rupture perineum di Indonesia pada golongan umur 25-30 tahun yaitu: 24%. Sedangkan pada ibu bersalin usia 32-39 tahun sebesar 62%.

(2)

2

Perdarahan post partum menjadi penyebab utama kematin ibu. Robekan jalan lahir merupakan penyebab kedua perdarahan setelah atonia uteri yang terjadi pada hampir setiap persalinan pertama dan tidak jarang juga pada persalinan berikutnya. Sebagai akibat persalinan terutama pada seorang primipara. Biasa timbul luka pada vulva disekitar intoitus vagina yang biasanya tidak dalam, akan tetapi kadang-kadang bisa timbul perdarahan banyak (Wiknjosastro, 2014).

Perineum meregang saat proses persalinan saat itulah terjadi rupture perineum, terkadang rupture perineum ini terjadi selain karena spontan juga dikarenakan tindakan untuk melebarkan jalan lahir yang disebut episiotomi (Oxom, 2015). Rupture perineum hampir terjadi pada semua persalinan pertama namun tidak jarang juga terjadi pada persalinan berikutnya. Rupture perineum umumnya terjadi digaris tengah dan dapat meluas apabila kepala janin lahir terlalu cepat (Depkes RI, 2014).

Ruptur perineum yang sering terjadi dalam proses persalinan terdiri dari beberapa tingkatan diantaranya ruptur perineum derajat satu yaitu: hanya mengenai mukosa vagina dan kulit. Tingkat ke dua yaitu: mengenai mukosa, kulit, dan otot perineum. Derajat tiga yaitu: mengenai mukosa, kulit, otot, dan stigter anus dan derjat empat mengenai mukosa rectum. Ruptur yang luas lebih sring terjadi pada primipara (4%) berat badan lahir lebih dari 4 kg (2%) posisi oksipitoanterior (3%) kala dua yang lama (4%) dan kelahiran dengan forceps (7%) (Liu, 2016).

Menurut World Health Organitation (WHO) tahun 2015, menyatakan setiap menit seorang ibu melahirkan meninggal karena beberapa komplikasi saat melahirkan. 1.400 perempuan yang meninggal lebih dari satu tahun karena kehamilan berkisar 50.000 perempuan yang meninggal pada saat persalinan dan nifas. Angka Kematian Ibu (AKI) di negara ASEAN lainnya, seperti di Thailand pada tahun 2014 adalah 44/100.000 kelahiran hidup, di Malaysia 39/100.000 kelahiran hidup dan Singapura 6/100.000 kelahiran hidup (Herawati,2016).

Menurut laporan World Health Organization (WHO) yang dikutip dalam Priharyanti Wulandari dan Prasita Dwi Nur Hiba, Untuk AKI di negara-negara

(3)

3

Asia Tenggara diantaranya Indonesia mencapai 214 per 100.000 kelahiran hidup, Filipina 170 per 100.000 kelahiran hidup, Vietnam 160 per 100.000 kelahiran hidup, Thailand 44 per 100.000 kelahiran hidup, Brunei 60 per 100.000 kelahiran hidup, dan Malaysia 39 per 100.000 kelahiran hidup (WHO, 2014).

Di Asia rupture perineum juga merupakan masalah yang cukup banyak dalam masyarakat, 50% dari kejadian rupture perineum di dunia terjadi di Asia.

Prevalensi ibu bersalin yang mengalmi rupture perineum di indonesia secara keseluruhan 52% di karenakan persalinan dengan bayi berat lahir cukup atau lebih (Fathus, 2014).

Menurut Kementerian Kesehatan RI tahun 2015, tiga faktor kematian Ibu melahirkan adalah perdarahan 28%, eklampsia 24%, dan infeksi 11%. Menurut Kementerian Kesehatan RI, sebagai upaya penurunan AKI, pemerintah melalui Kementerian Kesehatan sejak tahun 1990 telah meluncurkan safe motherhood initiative, sebuah program yang memastikan semua wanita mendapatkan perawatan yang dibutuhkan sehingga selamat dan sehat selama kehamilan dan persalinannya. Upaya tersebut dilanjutkan dengan program Gerakan Sayang Ibu di tahun 1996 oleh Presiden Republik Indonesia. Pada tahun 2013 Kementerian Kesehatan meluncurkan program Expanding Maternal and Neonatal Survival (EMAS) dalam rangka menurunkan Angka Kematian Ibu dan neonatal sebesar 25%. Upaya percepatan penurunan AKI dapat dilakukan dengan menjamin agar setiap ibu mampu mengakses pelayanan kesehatan ibu yang berkualitas, seperti pelayanan kesehatan ibu hamil, pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan terlatih di fasilitas pelayanan kesehatan, perawatan pasca persalinan bagi ibu dan bayi, perawatan khusus dan rujukan jika terjadi komplikasi, kemudahan mendapatkan cuti hamil dan melahirkan, dan pelayanan keluarga berencana.

Berdasarkan data yang di dapat kasus dengan klien post partum spontan menduduki peringkat pertama yaitu sebesar 41,37% dibandingkan dengan kasus yang lainnya. Sedangkan angka kejadian rupture perineum di Jawa Barat

(4)

4

pada tahun 2014 adalah sebanyak 222 orang (52,36%) (Prosiding Ippm Unisba, 2017).

Pada persalinan, tindakan episiotomi sering dilakukan untuk mengendalikan robekan pada jalan lahir sehingga memudahkan penyembuhan luka karena lebih mudah dijahit dan menyatu kembali (Manuaba, 2013), penyembuhan luka episiotomi dapat membutuhkan waktu berminggu-minggu, bulanan atau tahunan tergantung pada kondisi kesehatan dan perawatan perineum itu sendiri. Pada penelitian Romi (2014) menyebutkan bahwa luka post episiotomi jika tidak di rawat akan menimbulkan komplikasi secara fisik maupun psikologis.

Masalah kesehatan fisik dan psikis pada ibu hamil, bersalin, nifas, dan ibu menyusui juga termasuk resiko dalam kehamilan dan persalinan yang mungkin timbul dan mempunyai efek yang bermakna terhadap kualitas hidup ibu.

Seorang ibu yang mengalami kehamilan pada saat yang sudah diperkirakan akan mengalami proses persalinan. Proses persalinan merupakan keadaan yang melelahkan secara fisik dan psikis sehingga masa post partum dapat berdampak bagi kualitas hidup ibu diantaranya mengalami robekan perineum. Robekan perineum baik secara alami maupun episiotomi, bisa mengakibatkan gangguan fungsi otot dasar panggul, sehingga dapat menurunkan kualitas hidup ibu setelah melahirkan. Ibu menjadi tidak mampu mengontrol BAK dan BAB karena beberapa saraf atau bahkan otot yang terputus. Peregangan dan robekan yang terjadi akibat dari episiotomi atau tidak dilakukan episiotomi pada jalan lahir selama proses persalinan dapat melemahkan otot-otot dasar panggul (Bobak, 2012).

Episiotomi adalah insisi yang dibuat pada vagina dan perineum untuk memper lebar bagian lunak jalan lahir sekaligus memper pendek jalan lahir.

Robekan perineum atau ruptur terjadi pada hampir setiap persalinan pertama dan tidak jarang juga pada persalinan berikutnya. Seorang primipara atau orang yang baru pertama kali melahirkan terjadi ketika kepala janin keluar. Luka-luka biasanya ringan tetapi juga terjadi luka yang luas dan berbahaya. Jahitan perineum tadi pasti menimbulkan rasa nyeri. Nyeri dapat terjadi pada hari

(5)

5

pertama sampai hari ke empat post episiotomi karena proses inflamasi dan terjadi pelepasan zat-zat kimia seperti prostaglandin yang dapat meningkatkan transmisi nyeri (Rukiyah dkk, 2013).

Episiotomi tidak boleh dilakukan secara rutin karena akan menimbulkan meningkatnya jumlah darah yang hilang dan resiko hematoma, meningkatnya resiko infeksi dan meningkatnya nyeri pasca persalinan. Episiotomi dilakukan jika ada indikasi tertentu misalnya perineum kaku, distosia bahu, fetal distress, persalinan preterm dan persalinan dengan tindakan vacum maupun forcep (Saifudin, 2014).

Penatalaksanaa nyeri dibagi menjadi dua yaitu dengan farmakologi dan nonfarmakologi. Penatalaksanaan nonfarmakologi terdiri dari berbagai tindakan mencakup intervensi perilaku dan kognitif menggunakan agen-agen fisik (Bernatzky, 2013). Pemberian melakukan intervensi dengan teknik nonfarmakologi merupakan tindakan independen dari seorang perawat dalam mengatasi respon nyeri klien (Andarmoyo, 2013). Manageman secara non farmakologis lebih aman diterapkan karena mempunyai risiko yang lebih kecil, tidak menimbulkan efek samping serta menggunakan proses fisiologis (Bobak 2014).

Salah satu cara penanganan nyeri non farmakologi dengan pemberian kompres dingin. Kompres dingin merupakan suatu prosedur menempatkan suatu benda dingin pada tubuh bagian luar. Dampak fisiologisnya adalah vasokontriksi pada pembuluh darah, mengurangi rasa nyeri dan menurunkan aktivitas ujung saraf pada otot-otot (Silviana, 2013). Kompres dingin dapat dilakukan dengan menggunakan cairan NaCL 0,9 %. NaCl 0,9% merupakan cairan isotonis yang bersifat fisiologis, non toksik dan tidak menimbulkan hipersensitivitas sehingga aman digunakan untuk tubuh dalam kondisi apapun.

NaCl 0,9% merupakan larutan isotonis aman untuk tubuh,tidak iritan,melindungi granulasi jaringan dari kondisi kering, menjaga kelembaban sekitar luka dan membantu luka menjalani proses penyembuhan.

Berdasarkan hasil wawancara pada tanggal 14 Januari 2022 dengan pasien

“Ny.E” post partum episiotomi di ruangan Mawar Rs. Dustira Cimahi, pasien

(6)

6

mengalami nyeri dengan skala nyeri yaitu 5. Peneliti menggunakan pengukur skala nyeri Numerical Ratting Scale (NRS), dengan kriteria 0 : tidak mengalami nyeri, 1-3 : skala nyeri ringan, 4-6 : skala nyeri sedang, 7-9 : skala nyeri berat, 10 : skala nyeri sangat berat. Dari wawancara tersebut, didapatkan hasil bahwa pasien mengalami nyeri dengan tingkat sedang. Pasien mengatakan belum pernah melakukan atau pun diberikan tentang kompres dingin untuk mengurangi rasa nyeri. Pasien merasa serba salah dengan kondisi nyeri yang dirasakan, gelisah akan kemampuanya merawat bayi, stress dan ibu sukar tidur, selain itu pemenuhan ASI pada bayi berkurang dan tidak tahu apa yang harus dilakukan untuk mengalihkan rasa nyerinya. Apabila nyeri tidak segera ditangani akan mengakibatkan stres fisik, kecemasan, ketakutan, dan rasa putus asa serta menimbulkan masalah secara psikologis karena tidak dapat berinteraksi dengan bayinya. Dalam manajemen nyeri pasien post episiotomi, perawat ruangan melakukan intervensi farmakologi dan nonfarmakologis baru sebatas tehnik relaksasi napas dalam, untuk terapi kompres dingin belum pernah dilakukan karena mereka beranggapan bahwa nyeri pada pasien post episiotomi itu wajar dan akan hilang dengan pemberian analgetik.

Berdasarkan data dan fenomena diatas, maka penulis tertarik untuk melihat seberapa besar pengaruh dilakukannya pemberian kompres NaCl 0.9% untuk manajemen nyeri di ruangan Mawar RS. Dustira Cimahi Tahun 2021-2022.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang telah di jelaskan diatas, maka penulis mengangkat masalah “Asuhan Keperawatan Pada Ny.E (26 Tahun) P1,A0 Dengan Ruptur Grade III+Episiotomi Dengan Menggunakan Kompres NaCl 0,9% Hari ke-1 Di Ruang Mawar Rumah Sakit TK.II Dustira Kota Cimahi”

(7)

7 C. TUJUAN

1. Tujuan umum

Mampu melakukan asuhan keperawatan secara komprehensif Pada Ny.E (26 Tahun) P1,A0 Dengan Ruptur Grade III+Episiotomi Dengan Menggunakan Kompres NaCl 0,9% Hari ke-1 Di Ruang Mawar Rumah Sakit TK.II Dustira Kota Cimahi”

2. Tujuan Khusus

a. Mampu melakukan pengkajian keperawatan pada Ny.E (26 Tahun) P1,A0 Dengan Ruptur Grade III+Episiotomi Dengan Menggunaka Kompres NaCl 0,9%.

b. Mampu merumuskan diagnosis keperawatan pada Ny.E (26 Tahun) P1,A0 Dengan Ruptur Grade III+Episiotomi Dengan Menggunakan Kompres NaCl 0,9%).

c. Mampu menyusun intervensi keperawatan pada Ny.E (26 Tahun) P1,A0 Dengan Ruptur Grade III+Episiotomi Dengan Menggunakan Kompres NaCl 0,9%.

d. Mampu melaksanakan implementasi keperawatan pada Ny.E (26 Tahun) P1,A0 Dengan Ruptur Grade III+Episiotomi Dengan Mengguanakan Kompres NaCl 0,9%.

e. Mampu melakukan evaluasi pada Ny.E (26 Tahun) P1,A0 Dengan Ruptur Grade III+Episiotomi Dengan Menggunakan Kompres NaCl 0,9%.

f. Gambaran intervensi keperawatan pada Ny.E (26 Tahun) P1,A0 Dengan Ruptur Grade III+Episiotomi Dengan Menggunakan Kompres NaCl 0,9%.

(8)

8 D. MANFAAT

1. Manfaat Untuk Praktisi A. Praktik

Hasil penyusunan tugas akhir ini di harapkan dapat memberi masukan atau saran untuk mengambil langkah-langkah kebijakan dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan dan meningkatkan pemberian asuhan keperawatan yang berkaitan dengan Ruptur Grade III+Episiotomi.

B. Pasien dan keluarga

Diharapkan penelitian ini dapat memberikan informasi kepada pasien dan keluarga tentang penerapan asuhan keperawatan Ruptur Grade III+Episiotomi.

C. Tenaga Kesehatan/keperawatan

Perawat mampu memberikan asuhan keperawatan yang profesional melalui lima tahap proses keperawatan yang di mulai dari melakukan pengkajian, menegakkan diagnosis, membuat intervensi, melakukan implementasi, dan melakukan evaluasi keperawatan pada pasien Ruptur Grade III+Episiotomi.

2. Manfaat Untuk Keilmuan A. Keilmuan

Hasil penyusunan tugas akhir ini dapat menjadi masukan bagi institusi keperawatan dan menambah referensi dan informasi, serta menjadi indikator mutu untuk institusi pendidikan khususnya pada bahan ajar mata kuliah keperawatan maternitas tentang Ruptur Grade III+Episiotomi.

B. Studi Kasus Selanjutnya

Dapat dijadikan bahan masukan bagi peneliti selanjutnya terutama yang berhubungan dengan asuhan keperawatan Ruptur Grade III+Episiotomi.

Referensi

Dokumen terkait

Pada pemeriksaan dikunjungan PNC III persalinan penulis datang menemui ibu S dan pada pemeriksaan pada bekas luka perineum didapatkan hasil bahwa luka kering dan jaringan mulai menyatu