9
BAB II
KONTEKS KONSEPTUAL
1.1 Kajian Penelitian Terdahulu
Untuk menambah ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan komunikasi, maka peneliti melakukan kajian pustaka guna melengkapi penelitian ini sebagai berikut:
1. Penelitian yang dilakukan oleh Dasrun Hidayat, Engkus Kuswarno, Feliza Zubair, Hanny Hafiar, jurnal volume IV tahun 2017 dari jurnal Ilmu Komunikasi (J-IKA), dengan judul
“Kearifan Lokal Ulun Lampung Kajian Publik Relation Budaya dengan Pendekan Etnografi Publik Relations”
Dalam Penelitian ini menjelaskan tentang ritual mufakat adat prosesi pemberian gelar atau Juluk Adok sebagai nilai kearifan lokal ulun Lampung (orang Lampung). Aspek-aspek yang dikaji meliputi simbol pada sistem dan status pernikahan sebagai gerbang pemberian gelar. Penelitian yang dilaksanakan di Banjar Negeri Kecamatan Gunung Alip Kabupaten Tanggamus Lampung ini, menggunakan studi Etnografi PR yang berfokus pada perilaku komunikasi jakhu suku sebagai PR Budaya. Penelitian ini bersifat kualitatif dengan paradigma konstruktivis. Hasil penelitian menemukan bahwa mufakat adat menjadi simbolisasi ritual pemberian gelar. Simbolisasi meliputi Mufakat Kamar, Mufakat Pandia Paku Sakha dan Mufakat Balak. Mufakat adat
10
terjadi secara khas dan berulang sehingga membangun pola kerja Jakhu Suku pada prosesi mufakat adat pemberian gelar.
2. Penelitian yang dilakukan oleh Fransiska Idoroyani Neonnub dan Novi Triana Habsarai, jurnal volume 8 tahun 2017 dari jurnal Kajian Historis dan Budaya dengan judul “Belis: Tradisi Perkawinan Masyarakat Insana Kabupaten Timor Tengah Utara”
Dalam penelitian ini menjelaskan tentang sejarah belis yang merupakan sebuah tardisi yang ditinggalkan oleh leluhur dan diadopsi oleh masyarakat insana, serta pergeseran makna belis ditinjau dari beberapa aspek ekonomi, status sosial, dan tinggi rendahnya tingkat pendidikan perempuan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejarah, nilai dan makna pergeseran belis dalam 17 tahun terakhir pada tradisi perkawinan di masyarakat Insana Kabupaten Timor Tengan Utara Nusa Tenggara Timur (NTT). Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif. Hasil penelitian menunjukan bahwa pada kurung sekitar penghujung tahun 1990-an dan masuk pada tahun 2000, belis mulai mengalami pergeseran. Belis sudah meninggalkan nilai yang sesungguhnya dan beralih kepada tingkat menghitung untung dan rugi atau lebih kepada melihat seberapa besar pengeluaran orang tua kepada anak perempuannya dari kecil hingga dewasa.
Makna belis yang mengalami pergeseran dalam kurung waktu 17 tahun terakhir ini dikarenakan adanya pergeseran nilai mata uang, sulitnya mendapatkan uang perak dan kerbau sehingga diuangkan
11
dalam bentuk uang kertas. Penentuan jumlah belis pun juga ikut mengalami pergeseran dimana penentuannya berdasarkan status sosial perempuan apakah dari golongan bangsawan atau rakyat biasa, serta tingginya tingkat pendidikan perempuan.
3. Penelitian yang dilakukan oleh Cut Nadia Nanda B dan Rita Destiwati, Jurnal Manajemen Komunikasi Volume 3 tahun 2018 dengan judul “Pola Komunikasi Virtual Dalam Grup Percakapan Komunitas Hamur “HAMURinspiring” Di Media Sosial Line”
Dalam penelitian ini menjelaskan tentang manfaat media sosial oleh Komunitas sebagai sarana komunikasi dan interaksi. Hal ini mendorong terbentuknya komunitas dalam ranah virtual seperti Komunitas HAMUR yang berada di Yogyakarta yang memanfaatkan grup percakapan pada media sosial Line, sebagai media komunikasi Komunitas. Tujuan penelitiannya adalah untuk mengetahui pola komunikasi virtual, aturan komunikasi, dan proses komunikasi Komunitas HAMUR. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan etnografi virtual. Hasil Penelitian menunjukan bahwa adanya kesamaan identitas antara anggota Komunitas HAMUR yaitu berasal dari keluarga broken home (keluarga tidak harmonis). Pada aturan komunikasi Komunitas HAMUR tidak memiliki aturan tertentu secara tertulis yang mengatur anggota dalam komunikasi. Pada proses komunikasi secara primer terdapat perbedaan bahasa antar anggota komunitas dalam berkomunikasi, pada proses komunikasi sekunder media Line dianggap membantu menghubungkan
12
antar anggota komunitas yang terpisah jarak untuk berkomunikasi.
Aspek-aspek tersebut berhubungan dengan pola kounikasi virtual yang terbentuk pada Komunitas HAMUR, pola komunikasi dari komunitas HAMUR adalah pola komunikasi semua arah sehingga setiap anggota dapat bebas melakukan komunikasi dengan anggota lainnya.
4. Penelitian yang dilakukan oleh Adi Bagus Nugroho, Puji Lestari, dan Ida Wiendijart, dalam jurnal ASPIKOM volume 1 tahun 2012 dengan judul “Pola Komunikasi Antarbudaya Batak Dan Jawa Di Yogyakarta”
Penelitian ini menjelaskan tentang pola komunikasi antar budaya mahasiswa suku batak di UPN Veteran Yogyakarta dengan masyarakat asli Yogyakrata. Jenis penelitian ini adalah deskriptif kualitatif yang berusaha menggambarkan suatu gejala sosial. Tujuan penelitian ini adalah untuk menggabarkan sifat sesuatu yang tengah berlangsung pada saat studi. Hasil penelitian ini mendeskripsikan pola budaya yang berbeda antara mahasiswa suku batak di UPN Veteran Yogyakarta dengan masyarakat asli Yogyakarta dimana mahasiswa suku batak di UPN Veteran Yogyakarta memiliki budaya low context dan masculinity sedangkan masyarakat asli Yogyakarta memiliki pola budaya higt context dan femininity.
13 Tabel 2.1 Kajian Penelitian Terdahulu
Judul Kearifan Lokal Ulun Lampung Kajian Publik Relation Budaya dengan Pendekan Etnografi Publik Relations
Belis: Tradisi
Perkawinan Masyarakat Insana Kabupaten Timor Tengah Utara
Pola Komunikasi Virtual Dalam Grup Percakapan Komunitas Hamur
“HAMURinspiring” Di Media Sosial Line
Pola Komunikasi Antarbudaya Batak Dan Jawa Di Yogyakarta”
Peneliti Dasrun Hidayat, Engkus Kuswarno, Feliza Zubair, Hanny Hafiar,
Fransiska Idoroyani Neonnub dan Novi Triana Habsarai,
Cut Nadia Nanda B dan Rita Destiwati,
Adi Bagus Nugroho, Puji Lestari, dan Ida Wiendijart Volume Jurnal Ilmu Komunikasi
(J-IKA), Volume IV
Jurnal Kajian Historis dan Budaya Volume 8
Jurnal Manajemen Komunikasi Volume 3
Jurnal ASPIKOM volume 1
Tahun 2017 2017 2018 2012
Tujuan / Fokus Fokus penelitian adalah perilaku komunikasi jakhu suku sebagai PR Budaya
Mengetahui sejarah, nilai dan makna pergeseran belis dalam 17 tahun terakhir pada tradisi perkawinan di masyarakat Insana Kabupaten Timor Tengan Utara Nusa Tenggara Timur (NTT)
Mengetahui pola komunikasi virtual, aturan komunikasi, dan proses komunikasi Komunitas HAMUR
Menggabarkan sifat sesuatu yang tengah berlangsung pada saat studi
Metodologi/
Studi/ Teori
Kualitatif Konstruktivis dengan pendekatan Etnografi PR
Kualitatif Deskriptif Kualitataif dengan pendekatan Etnografi Virtual.
Kualitatif Deskriptif
Hasil Penelitian Mufakat adat menjadi simbolisasi ritual pemberian gelar.
Pada kurung sekitar penghujung tahun 1990- an dan masuk pada
Adanya kesamaan identitas antara anggota Komunitas HAMUR
pola budaya yang berbeda antara mahasiswa suku batak di UPN Veteran Yogyakarta
14 Simbolisasi meliputi
Mufakat Kamar, Mufakat Pandia Paku Sakha dan Mufakat Balak. Mufakat adat terjadi secara khas dan berulang sehingga membangun pola kerja Jakhu Suku pada prosesi mufakat adat pemberian gelar.
tahun 2000, belis mulai mengalami pergeseran.
Belis sudah
meninggalkan nilai yang sesungguhnya dan beralih kepada tingkat menghitung untung dan rugi atau lebih kepada melihat seberapa besar pengeluaran orang tua kepada anak
perempuannya dari kecil hingga dewasa.
Makna belis yang mengalami pergeseran dalam kurung waktu 17 tahun terakhir ini
dikarenakan adanya pergeseran nilai mata uang, sulitnya
mendapatkan uang perak dan kerbau sehingga diuangkan dalam bentuk uang kertas. Penentuan jumlah belis pun juga ikut mengalami
pergeseran dimana penentuannya
yaitu berasal dari keluarga broken home (keluarga tidak
harmonis). Pada aturan komunikasi Komunitas HAMUR tidak memiliki aturan tertentu secara tertulis yang mengatur anggota dalam
komunikasi. Pada proses komunikasi secara primer terdapat
perbedaan bahasa antar anggota komunitas dalam berkomunikasi, pada proses komunikasi sekunder media Line dianggap membantu menghubungkan antar anggota komunitas yang terpisah jarak untuk berkomunikasi. Aspek- aspek tersebut
berhubungan dengan pola komunikasi virtual yang terbentuk pada Komunitas HAMUR, pola komunikasi dari
dengan masyarakat asli Yogyakarta dimana mahasiswa suku batak di UPN Veteran Yogyakarta memiliki budaya low context dan masculinity sedangkan masyarakat asli Yogyakarta memiliki pola budaya higt context dan femininity.
15 berdasarkan status sosial
perempuan apakah dari golongan bangsawan atau rakyat biasa, serta tingginya tingkat
pendidikan perempuan.
komunitas HAMUR adalah pola komunikasi semua arah sehingga setiap anggota dapat bebas melakukan komunikasi dengan anggota lainnya.
Persamaan Ranah penelitian yaitu tentang adat perkawinan suatu suku atau budaya
Objek kajian berupa trdisi belis
Pola komunikasi Suatu Komunitas
Pola komunikasi antar budaya
Perbedaan Terdapat pada fokus penelitain yaitu tentang perilaku komunikasi jakhu suku sebagai PR Budaya.
Terdapat pada fokus dan tujuan penelitian yaitu tentang sejarah, nilai dan makna pergeseran belis dalam 17 tahun terakhir pada tradisi perkawinan di masyarakat Insana Kabupaten Timor Tengan Utara Nusa Tenggara Timur (NTT)
Terdapat pada objek kajian yaitu di sebuah Komunitas HAMUR yang berada di Yogyakarta yang memanfaatkan grup percakapan pada media sosial Line, sebagai media komunikasi Komunitas.
Terdapat pada fokus dan tujuan penelitian dan juga objek kajian yaitu pola budaya yang berbeda antara mahasiswa suku batak di UPN Veteran Yogyakarta dengan masyarakat asli Yogyakarta dimana mahasiswa suku batak di UPN Veteran Yogyakarta memiliki budaya low context dan masculinity sedangkan masyarakat asli Yogyakarta memiliki pola budaya higt context dan femininity.
Sumber peneliti 2019
16
Dari beberapa penelitian terdahulu diatas, diketahui bahwa penelitian tentang pola komunikasi tradisi tu ngawu dalam adat perkawinan budaya Nage di desa Romarea, Nusa Tenggara Timur belum pernah di teliti, baik dari objek kajian maupun fokus penelitiannya.
2.2 Kajian Literatur
2.2.1 Gambaran Umum Tentang Komunikasi 1. Defenisi Komunikasi
Sebagai makhluk sosial manusia senantiasa ingin berhubungan dengan manusia lainnya. ia ingin mengetahui lingkungan sekitarnya, bahkan ia ingin mengetahui apa yang terjadi dalam dirinya. Rasa ingin tahu inilah memaksa manusia perlu berkomunikasi. “Kata komunikasi atau communication dalam bahasa inggris berasal dari kata Latin communis yang berarti “sama,”
communico, communication, atau communicare yang berarti “membuat sama” (to make common)”. (Mulyana, 2017)
Menurut Larry A. Samovar, Richar E Porter dan Edwin R. McDaniel komunikasi merupakan “proses dinamis dimana orang berusaha untuk berbagi masalah internal mereka dengan orang lain melalui penggunaan simbol.” (Samovar, Porter, & McDaniel, 2010)
Sebuah defenisi singkat dibuat oleh Harold d. laswell bahwa cara yang tebat untuk menerangkan suatu tindakan komunikasi ialah menjawab pertanyaan “Siapa yang menyampaikan, apa yang disampaikan, melalui saluran apa, kepada siapa dan apa pengaruhnya”. (Cangara, 2011)
17
Lain halnya dengan Steven, justru ia mengajukan sebuah defenisi yang lebih luas bahwa komunikasi terjasi kapan saja suatu organisme memberi reaksi terhadap suatu objek atau stimuli. apakah itu berasal dari seseorang atau lingkungan sekitarnya. Misalnya seseorang berlindung pada suatu tempat karena diserang badai atau kedipan mata sebagai reaksi terhadap sinar lampu, juga adalah peristiwa komunikasi.
Agar dapat dimengerti oleh komunikan maka komunikator perlu menjelaskan pesan utama dengan sejelas-jelasnya dan sedetail mungkin.
Komunikasi dan pendekatan persuasif merupakan cara agar gagasan kita diterima oleh orang lain. Menggerakan orang lain untuk melakukan sesuatu.
Komunikasi dan pendekatan persuasif kita mampu membangun persamaan presepsi orang kemudian menggerakannya sesuai keinginan kita.
Defenisi-defenisi yang dikemukankan diatas tentunya belum mewakili semua komunikasi yang telah dibuat oleh banyak pakar, namun sedikit banyaknya kita dapat memperoleh gambaran mengenai defenisi komunikasi.
Oleh karena itu, penulis dapat menyimpulkan bahwa komunikasi adalah proses dimana terjadi pertukaran simbol antar komunikator dengan komunikan untuk menciptakan persamaan makna.
2. Unsur Komunikasi
Berdasarkan defenisi komunikasi yang telah dipaparkan ditas terlihat jelas bahwa terdapat unsur- unsur komunikasi yang terkandung di dalamnya.
Penegasan tentang unsur-unsur dalam komunikasi adalah sebagai berikut:
18
1) Sender : yang menyampaikan pesan kepada orang atau sejumlah orang;
2) Encoding : penyadian yakni proses pengalihan pikiran dalam bentuk lambang;
3) Message : pesan yang merupakan seperangkat lambang bermakna yang disampaikan oleh komunikator;
4) Media : saluran komunikasi, tempat berlalunya pesan dari komunikator kepada komunikan;
5) Decoding : pengawasandian, yaitu prose dimana komunikan menetapkan makna pada lambang yang disampaikan komunikator kepadanya;
6) Receiever : komunikan yang menerima pesan dari komunikator;
7) Response : tanggapan atau sepangkat reaksi pada komunikaan setelah diterpa pesan;
8) Feedback : umpan balik yakni tanggapan komunikan apabila tersampaikan atau disampaikan kepada komunikator;
9) Noise : gangguan tak terencana yang terjadi dalam proses komunikasi sebagai akibat diterimanya pesan lain oleh komunikan yang berbeda pesan yang disampaikan oleh komunikator kepadanya.
Dalam komunikasi efektif, komunikator harus tahu khalayak mana yang dijadikan sasaran dan tanggapan apa yang dinginkannya. Ia harus terampil dalam menyandi pesan dengan memnperhitungkan bagaimana komunikan sasaran biasanya mengawasandi pesan. Komunikator harus
19
mengirim pesan melalui media yang efesien dalam mencapai khalayak sasaran.
Terdapat beberapa macam pandangan tentang banyaknya unsur atau elemen yang mendukung terjadinya komuniksi. Ada yang menilai bahwa terciptanya proses komunikasi, cukup didukung oleh tiga unsur sementara ada juga yang menambahkan umpan balik dan lingkungan selain kelima unsur yang telah disebutkan.
3. Proses Komunikasi
Proses komunikasi terbagi menjadi dua tahap, meliputi proses komunikasi secara primer dan proses komunikasi secara sekunder.
1) Proses komunikasi secara primer
Proses komunikasi secara primer adalah proses penyampaian pikiran dan atau perasaan seseorang kepada orang lain dengan menggunakan lambang (syimbol) sebagai media. Lambang sebagai media dalam proses komunikasi adalah bahasa, kial, isyarat, warna dan lain sebagainya yang secara langsung mampu “menerjemahkan” pikiran dan atau perasaan komunikator kepada komunikan.
2) Proses komuniksi secara skunder
Proses komunikasi secara skunder adalah proses penyampaian pesan oleh seseorang kepada orang lain dengan menggunkan alat atau sarana sebagai media kedua setelah memakai lambang sebagai media pertama. Seorang komunikator menggunakan media kedua dalam melancarkan komunikasinya karena komunikasn sebagai sasarannya
20
berada ditempat yang relatif jauh atau jumlahnya banyak. Media kedua yang dimaksud adalah surat, telepon, teleks, surat kabar, majalah, radio, televisi, film, dan lain-lain.
Berdasarkan teori yang telah dipaparkan diatas penulis dapat menarik kesimpulan bahwa proses komunikasi adalah bagaimana komunikator menyampaikan pesan kepada komunikannya, untuk mendapatkan suatu persamaan makna sesuai dengan apa yang dininginkan oleh komunikator.
Proses komunikasi ini bertujuan untuk menciptakan komunikasi yang efektif (sesuai dengan tujuan komunikasi pada umumnya).
4. Fungsi Komunikasi
Dalam manfaat dan dampak yang ditimbulkan, komunikasi juga memiliki fungsi-fungsi yang sangat berperan dalam kehidupan masyarakat.
Secara umum, fungsi komunikasi adalah sebagai berikut:
1) Sebagai kendali: fungsi komunikasi sebagai kendali memiliki arti bahwa komunikasi bertindak untuk mengendalikan perilaku orang lain atau anggota dalam beberapa cara yang harus dipatuhi.
2) Sebagai motivasi: komunikasi memberikan perkembangan dalam memotivasi dengan memberikan penjelasan dalam hal-hal dalam kehidupan kita.
3) Sebagai pengungkapan emosional: komunikasi memiliki peranan dalam mengungkapkan persaan-perasaan kepada orang lain, baik itu senang, gembira, kecewa, tidak suka dan lain-lainnya.
21
4) Sebagai Informasi: komunikasi memberikan informasi yang diperlukan dari setiap individu dan kelompok dalam mengambil keputusan dengan meneruskan data guna mengenai dan menilai pemilihan alternatif.
5. Pola Komunikasi
Pola menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai
“bentuk (struktur) yang tetap”. (https://kbbi.web.id/pola) Komunikasi timbul karena seseorang ingin menyampaikan atau menerima informasi. Menurut Bayutiarno dalam jurnal Manajemen Komunikasi volume 3 menjelaskan bahwa pola komunikasi dapat diartikan sebagai “suatu cara masyarakat atau komunitas dalam melakukan komunikasi untuk mempertahankan komunitasnya yang dapat berupa pertemuan rutin atau bahkan hubungan timbal balik satu sama lain”. (Briliana & Destiwati, 2018)
Macam-macam pola komunikasi menurut Efendy dalam jurnal Komunikasi Volume VIII adalah sebagai berikut:
1. Pola komunikasi satu arah adalah proses penyampaian pesan dari komunikator kepada komunikan baik menggunakan media maupun tanpa media, tanpa ada umpan balik dari komunikan, dalam hal ini komunikan bertindak sebagai pendengar.
2. Pola Komunikasi dua arah atau timbal balik (two way traffic communication) yaitu komunikasi dan komunikan menjadi saling tukar fungsi dalam menjalani fungsi mereka, komunikator pada tahap
22
pertama menjadi komunikan, dan pada tahap berikutnya saling bergantian fungsi.
3. Pola komunikasi multi arah yaitu proses komunikasi terjadi dalam satu kelompok yang lebih banyak dimana komunikator dan komunikan akan saling bertukaran pikiran secra dialogis. (Yohanah & Setyawan, 2017)
Pola komunikasi dalam budaya perkawinan suku Nage pada masyarakat desa Romarea sendiri memuat komponen proses komunikasi didalamnya yaitu siapa yang terlibat, bagaimana pesannya, siapa yang menerima, dan media yang digunakan. Semua unsur tersebut akan membentuk pola komunikasi yang khas dan merupakan bentuk yang layak untuk diteliti karena dari pola komunikasi dapat mengetahui keterlibatan seseorang dengan orang lainnya.
2.2.2 Tradisi
Tradisi (bahasa latin: traditio, “diteruskan”) atau kebiasaan, dalam pengertian yang paling sederhana adalah sesuatu yang telah dilakukan sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat, biasanya dari suatu negara, kebudayaan, waktu, atau agama yang sama. Hal yang paling mendasar dari tradisi adalah adanya informasi yang diteruskan dari generasi ke generasi baik tertulis maupun (sering kali) lisan, karena tanpa adanya ini, suatu tradisi dapat punah.
Tradisi merupakan sinonim dari kata “ budaya” yang keduanya merupakan hasil karya. Tradisi adalah hasil karya masyarakat, begitupun
23
dengan budaya, keduanya saling mempengaruhi. Kedua kata ini merupakan personafikasi dari sebuah makna hukum tidak tertulis. Hukum tak tertulis ini menjadi patokan norma dalam masyarakat yang dianggap baik dan benar.
Menurut Hasan Hanafi, yang dikutip dalam artikel jurnal kajian historis dan budaya, tradisi (turats) adalah “segala warisan masa lampau (baca tradisi) yang sampai kepada kita dan masuk kedalam kebudayaan yang sekarang berlaku”. (Neonnub & Habsari, 2017) Dengan demikian, bagi Hanafi turats tidak hanya merupakan persoalan meninggalkan sejarah, tetapi sekaligus merupakan persoalan kontribusi zaman kini dalam berbagai tingkatannya.
Secara teminologi perkataan tradisi mengandung suatu pengertian tersembunyi tentang adanya kaitan antara masa lalu dengan masa kini. Dan menujuk pada sesuatu yang diwariskan oleh zaman dahulu tetapi masih berwujud dan berfungsi pada masa sekarang. Ketika orang berbicara tentang tradisi Islam atau tradisi Kristen secara tidak langsung mereka sedang menyebutkan serangkaian ajaran atau doktrin yang dikembangkan ratusan atau ribuan tahun yang lalu, tetapi masih hadir dan malah tetap berfungsi sebagai pedoman dari kehidupan sosial pada masa kini. Oleh karena itu tradisi dalam pengertian yang paling elementer adalah sesuatu yang di transmisikan atau diwariskan dari masa lalu ke masa kini.
Secara pasti, tradisi lahir bersama dengan kemunculan manusia dimuka bumi. Tradisi berevolusi menjadi budaya. Itulah sebab sehingga keduanya merupakan personifikasi. Budaya adalah cara hidup yang dipatuhi oleh
24
anggota masyarakat atas dasar kesepakatan bersama. Dari sini peneliti memahami “belis” dalam tradisi perkawinan sebagai yang diwariskan sejak masa nenek moyang dan dipertahankan sampai saat ini, sehingga peneliti merasa perlu memaparkan tentang defenisi tradisi tersebut.
2.2.3 Perkawinan
Perkawinan adalah ikatan sosial atau ikatan perjanjian hukum antar pribadi yang membentuk hubungan kekerabatan dan yang merupakan suatu pranata dalam budaya setempat yang meresmikan hubungan antar pribadi yang biasanya intim dan seksual. Perkawinan umumnya dimulai dan diresmikan dengan upacara pernikahan. Umumnya perkawinan dijalani dengan maksud untuk membentuk keluarga.
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pengertian perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan keturunan Yang Maha Esa.
Perkawinan merupakan salah satu peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat adat. Peristiwa ini bukan hanya satu peristiwa yang mengenai mereka yang bersangkutan (perempuan dan laki-laki), akan tetapi orang tua, saudara-saudara dan keluarga-keluarganya. Sehingga sering kali kita mendengar bahwa secara umum perkawinan dalam masyarakat Indonesia sesungguhnya adalah perkawinana antar keluarga dengan keluarga.
25
Suatu indikiator, bagaimana banyaknya aturan-aturan yang harus dijalankan, aturan berhubungan dengan adat istiadat yang mengandung sifat religio- magis.
Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa perkawinan menurut adat hakikatnya merupakan suatu peristiwa yang tidak hanya mengakibatkan suatu hubungan atau ikatan antara kedua mempelai saja, tetapi juga kedua orang tua dan keluarga masing-masing. Disamping sebagai sarana untuk mendapatkan fungsi diatas, perkawinan adat juga berfungsi memungkinkan pertumbuhan tertib-teratur dari paguyuban hidup kelompok kebangsaan ke generasi-generasi baru, anak-anak yang dilahirkan dari dan di dalam perkawinan itu melanjutkan kehidupan kelompok kebangsaan. Perkawinan itu juga mempertahankan persekutuan setempat atau masyarakat desa dan persekutuan wilayah selaku tata susunan masyarakat. (Neonnub & Habsari, 2017)
2.2.4 Belis
Pengertian “belis” dalam Jurnal Kajian Historis Dan Budaya Volume 8 adalah “hak mutlak (calon) mempelai wanita dan kewajiban mempelai pria untuk memberikannya sebelum akad nikah dilangsungkan”. (Neonnub &
Habsari, 2017) Pelaksanaanya dapat dilakukan secara tunai dan boleh pula secara utang. “Belis” merupakan lambang tanggung jawab mempelai pria terhadap mempelai wanita, yang kemudian mejadi istrinya.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) “belis” atau maskawin adalah “besar kecilnya pembayaran, biasanya bergantung pada tawar-
26
menawar”. (https://kbbi.web.id/belis-2) Sedangkan menurut pendapat umum
“belis” mempunyai arti dalam hubungan kekeluargaan adalah sebagai tanda terima kasih kepada wanita yang merelakannya pindah tempat, juga sebagai hubungan keluarga baru untuk seterusnya serta memberi nilai pada wanita.
“Belis” juga mempunyai arti untuk menentukan sahnya perkawinan sebagai imbalan jasa atas jerih payah orang tua, sebagai tanda penggantian nama si gadis artinya menurunkan nama keluarga si gadis dan menaikan nama keluarga laki-laki.
1) Fungsi “belis”
“Belis” mempunyai beberapa fungsi untuk pihak laki-laki dan perempuan, antara lain:
(1) Sebagai alat mempererat hubungan keluarga (2) Alat penentu sahnya perkawinan
(3) Sebagai penanda bahwa si gadis telah keluar dari kelurga asalanya
(4) Alat menaikan nama keluarga laki-laki 2) Dampak pemberian “belis”
Ada beberapa dampak yang di dapat pada saat “belis” telah diberikan meliputi:
(1) Dampak positif dari pemberian “belis” antara lain : a. Martabat keluarga laki-laki menjadi terhormat
Melalui pemberian “belis” martabat keluarga laki-laki menjadi terhormat atau diangkat karena pihak pria di anggap mampu membayar “belis” yang di tentukan oleh pihak wanita.
27
b. Pihak keluarga wanita merasa dihargai
Maksud dari pemberian “belis” ini adalah sebagai imbalan jasa atau penghormatan atas kecapaian, kesakitan, dan jeria payah orang tua selama melahirkan dan memelihara si gadis sampai dewasa.
c. Munculnya sebuah kerabatan baru
Dengan memberikan “belis” akan muncul sebuah kekerabatan baru antara keluarga wanita dan keluarga pria. “belis” di jadikan sebagai simbol pengikat sebuah hubungan.
d. Calon pengatin
Melalui pemberian “belis”, calon pengantin pria dan wanita sudah mendapat restu dari orang tua dan keluarga sehingga boleh melanjutkan hubungan ke jenjang perkawinan.
(2) Dampak negatif dari pemberian “belis” antara lain : a. Martabat wanita direndahkan
Dengan pemberian “belis” kepada keluarga wanita pihak pria merasa bisa bertindak bebas kepada wanita sehingga martabat wanita di rendahkan dan wanita kurang di hargai dalam hidup berumah tangga.
b. Pihak laki-laki merasa malu
Jika pihak pria tidak mampu membayar “belis” maka pria akan tinggal dirumah keluarga wanita dan bekerja untuk keluarga wanita. Wanita merasa statusnya lebih tinggi dari pria itu, sehingga pria akan merasa malu.
28
c. Pertentangan di antara kedua keluarga
Hal ini terjadi karena “belis” yang di tuntut oleh pihak wanita terlalu tinggi sehingga pihak pria tidak mampu membayarnya.
d. Menimbulkan utang piutang
Karena tak mampu membayar “belis” maka pihak keluarga laki-laki mengambil jalan pintas dengan meminjam uang pada pihak lain sehingga menimbulkan utang piutang (Neonnub &
Habsari, 2017)
2.3 Kajian Teori
2.3.1 Teori Interaksi Simbolik
Beberapa orang ilmuwan punya andil utama sebagai perintis interaksionisme simbolik : James Mark Baldwin, William James, Charles Harton Cooley, John Dewey, William I. Thomas, dan George Herbert Mead. Akan tetapi dari semua itu, Mead-lah yang paling populer sebagai peletak dasar teori tersebut. Mead mengembangkan teori interaksi simbolik dekade 1920-an da dekade 1930-an ketika iya menjadi profesor filsafat di Universitas Chicago.
Dikenal telah mengajar satu generasi ilmuwan yang berlian dalam bidang mereka, Mead menulis banyak artikel. Namun, gagasan-gagasan mengenai interaksi simbolik berkembang pesat setelah para mahasiswanya menerbitkan catatan-catatan dan kuliah-kuliahnya, terutama melalui buku yang menjadi rujukan utama teori interaksi simbolik, yakni mind, self and
29
society (1934), yang terbit tak lama setelah Mead sendiri meninggal dunia.
Penyebaran dan pengembangan teori Mead juga berlangsung melalui interpretasi dan penjabaran lebih lanjut yang dilakukan para mahsiswa dan pengikutnya, terutama salah satu mahasiswanya, Herbert Blumer. Justru Blumer-lah yang menciptakan istilah “interaksi simbolik” pada tahun 1937 dan mempopulerkannya dikalangan komunitas akademik.
Esensi interaksi simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri khas manusia, yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna.
Blumer mengintegrasikan gagasan-gagasan tentang interaksi simbolik lewat tulisan-tulisanya, terutama pada dekade 1950-an dan dekade 1960-an, diperkaya dengan gagasan-gagasan dari John Dewey, William I. Thomas dan Charles H. Cooley. Selain Blumer terdapat ilmuwan-ilmuwan lain yang memberi andil pada pengembangan teori interaksi simbolik, seperti Manford H. Kuhn, Howard S. Becker, Norman K. Denzin, Arnold Rose, Gregory Stone, Anselm Strauss, Jerome Manis, Bernard Meltzer, Alfred Lindesmith, dan Tamotsu Shibutani, seraya memanfaatkan pemikiran ilmuwan lain yang relevan, seperti Georg Simmel atau Keeneth Burke. Hal itu mereka lakukan lewat interpretasi dan penelitian-penelitian mereka untuk menerapkan konsep-konsep dalam teori Mead tersebut.
Perspektik interaksi simbolik berusaha memahami perilaku manusia dari sudut pandang subyek. Perspektif ini menyarankan bahwa perilaku manusia harus dilihat sebagai proses yang memungkinkan manusia membentuk dan mengatur perilaku mereka dengan mempertimbangkan ekspektasi orang lain yang menjadi mitra interaksi mereka.
30
Defenisi yang mereka berlakukan kepada orang lain, situasi, objek, dan bahkan diri mereka sendirilah yang menentukan perilaku mereka.
Perilaku mereka tidak dapat digolongkan sebagai kebutuhan, dorongan impuls, tuntunan budaya, atau tuntunan peran. Manusia bertindak hanya berdasarkan defenisi atau penafsiran mereka atas objek-objek disekeliling mereka. Tidak mengherankan jika frasa-frasa “defenisi situasi,” “realitas terletak pada mata yang melihat,” dan “bila manusia mendefenisikan situasi sebagai rill, situasi tersebut rill dalam konsekuensinya,” sering dihubungkan dengan interaksionisme simbolik.
Esensi lain tentang interaksi simbolik menurut Mead adalah peningkatan penerimaan atas pandangan bahwa perilaku manusia berlangsung dengan mendefenisikan situasi yang memungkinkan manusia bertindak yakni pandangan bahwa perilaku khas manusia adalah perilaku berdasarkan apa yang disimbolisasikan oleh situasi. Teori interaksi simbolik merupakan teori yang memiliki asumsi bahwa manusia membentuk makna melalui proses komunikasi. Teori interaksi simbolik berfokus pada pentingnya konsep diri dan persepsi yang dimiliki individu berdasarkan interaksi dengan indiviidu lainnya.
Menurut Herbert Blumer, terdapat tiga asumsi dari teori ini yakni:
1. Manusia bertindak berdasarkan makna yang diberikan orang lain kepada mereka.
2. Makna diciptakan dalam interaksi antar manusia.
3. Makna di interpretasi melalui modifikasi. (Mulyana, 2018)
31
2.3.2 Kerangka Berpikir
Bertahannya suatu tradisi tidak terlepas dari peran aktif masyarakat.
Setiap etnis di Indonesia memiliki keunikan masing- masing dalam adat perkawinan. Perkawinan merupakan suatu peristiwa yang sangat penting sehingga harus dilakukan upacara-upacara agar kehidupan perkawinan mereka selamat dari segala cobaan.
Hal yang menjadi alasan mengapa diambilnya kajian tentang tradisi tu ngawu perkawinan budaya Nage adalah keunikan dalam pemberian mahar perkawinan atau belis yang dimanifestasikan dengan sejumlah emas, gading, dan hewan. Belis sesungguhnya merupakan simbol dari sebuah penghargaan dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan dalam tradisi tu ngawu.
Tradisi tu ngawu ini menunjukan bahwa komunikasi memiliki peranan penting didalamnya, sehingga fokus penelitian yang diambil oleh peneliti yaitu pola komunikasi dan aktivitas tradisi tu ngawu dalam perkawinan adat masyarakat budaya Nage.
Dari fokus penelitian, kemudian berkembang berbagai pertanyaan yakni tentang bagaimana proses dan penentuan belis dalam sistem pernikahan adat budaya Nage, bagaimana pola dan aktivitas tradisi tu ngawu dalam perkawinan adat budaya Nage, bagaimana bentuk kearifan lokal yang ditetapkan oleh masayarakat desa Romarea mengenai tradisi tu ngawu serta bagaimana upayah pelestarian tradisi tu ngawu.
Penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivisme karena realitas dalam kondisi dimana gejala yang sifatnya tidak tetap dan memiliki pertalian hubungan dengan masa lalu, sekarang dan yang akan datang. Realitas dalam
32
tradisi “tu ngawu” budaya Nage di Desa Romarea hanya bisa dipahami berdasarkan konstruksi pemahaman sebagaimana terdapat dalam dunia pengelaman peneliti dalam pertaliannya dengan kehidupan manusia.
Metode penelitian etnografi komunikasi dianggap mampu menggali informasi mendalam dengan sumber-sumber yang luas dengan menggunakan teknik “observatory paricipant” yang mengharuskan partisipasi peneliti secara langsung dalam sebuah masyarakat atau komunitas sosial tertentu.
Tradisi tu ngawu merupakan sebuah penghargaan, dimana setiap simbol mata barang yang diberikan oleh pihak laki-laki memiliki masing- masing makna penghargaan, maka peneliti merasa teori interaksi simbolik adalah teori yang cocok untuk dijadikan rujukan penelitian. Sebab sasumsi dari teori ini adalah bahwa manusia membentuk makna melalui proses komunikasi.
Untuk lebih memperjelas kerangka penelitian, maka peneliti menyajikan dalam bentuk bagan yang dapat dilihat pada halaman selanjutnya.
33
Bagan 2.1 Kerangka Berpikir
Sumber : Peneliti 2019
z
Pola Komunikasi Tradisi Tu Ngawu Perkawinan
Budaya Nage
1. Proses dan penentuan belis atau ngawu dalam sistem adat perkawinan budaya Nage di desa Romarea.
2. Pola dan aktivitas komunikasi tradisi tu ngawu dalam adat perkawinan budaya di desa Romarea.
3. Bentuk kearifan lokal yang ditetapkan oleh masyarakat desa Romarea mengenai tradisi tu ngawu
4. Upayah pelestarian tradisi tu ngawu budaya Nage di desa Romarea
Teori Interaksi Simbolik (George Herbert Mead dan
Herbert Blumer)
Masyarakat Budaya Nage
Konstruktivisme Etnografi Komunikasi