• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II - Repository UNISBA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "BAB II - Repository UNISBA"

Copied!
47
0
0

Teks penuh

Definisi menurut Wahbah Al-Zuhaily: "Akad yang menghalalkan berlakunya al-istimt' (persetubuhan) dengan wanita atau melakukan wathi' dan berkumpul sehingga wanita itu bukan wanita yang dilarang secara keturunan atau pertalian darah" . Menurut Hanafi, “perkahwinan ialah akad yang memberi faedah mut’ah dengan sengaja” bermaksud halal bagi lelaki untuk menjalinkan hubungan seksual dengan perempuan selagi tidak ada faktor yang menghalang perkahwinan itu sah menurut syar. 'i 19 Muhammad Abu Zahrah dalam kitabnya al-ahwâlal-syakhisiyyah, beliau mentakrifkan perkahwinan sebagai akad yang menimbulkan akibat hukum dalam bentuk persetubuhan yang halal antara seorang lelaki dan seorang perempuan, saling membantu dan mewujudkan hak dan kewajipan antara. kedua-duanya, dengan itu juga mewujudkan akibat undang-undang untuk keturunan mereka.20 Akibat undang-undang mereka adalah hasil daripada kelakuan untuk mencapai akibat yang dikawal oleh undang-undang yang dikehendaki oleh pelaku. Shigat akad nikah iaitu penerimaan yang dilafazkan oleh wali atau wakilnya di pihak perempuan dan dijawab oleh pengantin lelaki. Bakal pengantin lelaki kenal/kenal bakal isteri dan tahu bakal isteri halal.

Inilah yang disebut dengan akad nikah (perkawinan atau perjanjian). 39 Akad dilaksanakan oleh wali atau wali pihak perempuan, sedangkan ikrar dilaksanakan oleh mempelai laki-laki atau wakilnya. Jenis perkawinan fasid yang disepakati oleh para imam madzhab mengenai fasidnya. a) Pernikahan dengan mahram, baik karena faktor keturunan maupun karena hubungan perkawinan. Yang bertindak sebagai wali perkawinan adalah laki-laki yang memenuhi syarat-syarat syariat Islam, yaitu Islam, dewasa dan matang.

Pasal 21 mengatur tentang empat kelompok wali nasab yang pembahasannya sama dengan fikih Islam, seperti pertama, kelompok kerabat laki-laki dari garis keturunan ke atas. Ketiga, kelompok kekerabatan paman, yaitu saudara kandung ayah, saudara tiri, dan keturunan laki-lakinya. Keempat, golongan saudara kandung kakek, saudara laki-laki kakek dari pihak ayah dan keturunan laki-lakinya.67.

“Yang dapat ditunjuk sebagai saksi dalam akad nikah adalah laki-laki muslim, jujur, matang, dewasa, tidak terganggu ingatannya dan tidak tuli atau tuli.”

Larangan Perkawinan

Yang pertama disebut mahram mu’aqat (larangan untuk waktu tertentu) dan yang kedua mahram mu’abbad (haram selama-lamanya).77 Wanita yang diharamkan untuk berkahwin selama-lamanya terbahagi kepada tiga golongan iaitu wanita sejantina ( al- muharramat min an - keturunan), wanita yang mempunyai pertalian darah (al-muharramat min ar-rada'ah), dan wanita yang diharamkan dinikahi kerana hubungan pertalian (al-muharramat min al-musaharah). 78. Dan janganlah kamu mengahwini perempuan-perempuan yang telah dikahwini oleh bapa kamu, kecuali yang telah lalu. Diharamkan bagi kamu mengahwini ibu-ibumu, anak-anak perempuanmu, saudara-saudara perempuanmu, saudara-saudara perempuan ayahmu, saudara perempuan ibumu, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu laki-laki, anak-anak perempuan dari isteri-isteri saudara-saudaramu, ibu-ibu yang menyusuimu, saudara-saudara perempuan yang sesusuan, ibu-ibu. daripada isteri-isteri (menantu) kamu, anak-anak isteri kamu yang berada dalam jagaan kamu terhadap perempuan-perempuan yang kamu nikahi, tetapi jika kamu belum bernikah dengannya dan kamu menceraikannya, maka tidaklah menjadi dosa bagi kamu untuk kahwini Dia.

Dan diharamkan bagi kamu mengahwini isteri-isteri anak-anak kamu sendiri (menantu) dan mengahwini dua saudara perempuan, kecuali apa yang berlaku pada masa lalu. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka sebatlah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera dan janganlah kamu belas kasihan kepada keduanya, supaya keduanya menghalangi kamu dari (menjalankan) agama Allah jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat dan hendaklah mereka melaksanakan azab mereka dengan disaksikan oleh sekumpulan orang yang beriman. Hadis ini dijalankan oleh ulama bahawa anak zina tidak boleh diwarisi daripada bapa.

Walaupun anak zina itu perempuan, "bapa kandungnya dibenarkan bersamanya, dan lelaki yang berzina itu tidak menjadi wali." Dan yang kelima (sumpah) bahawa laknat Allah ke atasnya jika dia termasuk orang-orang yang berdusta. Diharamkan dua beradik perempuan dikahwinkan oleh seorang lelaki secara serentak, yang bermaksud dilarang berkahwin serentak 87 Larangan menghimpunkan wanita dalam satu masa perkahwinan disebut dalam lanjutan V.S. -Nisâ (4): 23 yang bermaksud:. Dan diharamkan atas kamu) mempersatukan (menikah) dua orang perempuan yang bersaudara...".

Wanita yang diceraikan secara idda, baik idda mahupun idda dibiarkan mati, berdasarkan firman Allah SWT dalam Q.S Al-Baqarah (2): 228 dan 234. Wanita yang telah diceraikan sebanyak tiga kali dilarang berkahwin semula dengan bekasnya. suami kecuali jika dia berkahwin lagi dengan orang lain dan bersetubuh serta menceraikan suaminya yang terakhir dan telah habis masa iddahnya, berdasarkan firman Allah SWT dalam Q.S. Al-Baqarah. Tafsiran ini berdasarkan firman Allah dalam Q.S. Al-Baqarah (2): 24, sejauh mana wanita ahli kitab iaitu wanita Nasrani dan Yahudi dibolehkan berkahwin, berdasarkan firman Allah dalam Q.S. Al-Ma'idah (5): 5.88.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan hanya mencantumkan secara singkat hal-hal yang mencakup larangan perkawinan, berbeda dengan KHI yang menjelaskannya secara lebih rinci dan ketat mengikuti sistem baku fiqh.91 Larangan perkawinan terdapat pada Bab VI Pasal 39 Pasal 44 Selama seseorang dalam keadaan ihram, ia tidak dapat melangsungkan perkawinan dan tidak dapat bertindak sebagai wali nikah. Larangan menikah juga berlaku bagi laki-laki yang telah mempunyai empat orang istri dan masih dalam keadaan kawin atau cerai dalam masa Iddah, sebagaimana tercantum dalam Pasal 42.93, juga diatur dalam Pasal 43.

Pengertian Anak, Hak dan kewajiban Orangtua terhadap Anak 1. Pengertian Anak

Hak Anak dan Kewajiban Orangtua

Dalam siklus kehidupan manusia mengalami 4 (empat) tahapan yang harus dilalui, yaitu: pertama sejak awal kelahiran, kedua sejak awal kelahiran hingga anak mencapai usia dewasa (mumayyiz), ketiga sejak awal kelahiran. mumayyiz sampai dewasa (baligh), dan keempat, sejak baligh sampai saat kematian. Dalam siklus yang dilalui masyarakat, dibarengi dengan hak dan kewajiban, baik secara vertikal maupun horizontal. Hak dan kewajiban vertikal merupakan hubungan antara manusia dengan Tuhannya sebagai khaliq (pencipta). Sedangkan hubungan horizontal adalah hak dan kewajiban terhadap sesama manusia yang terjadi secara alami atau diciptakan dan direncanakan untuk dan oleh manusia itu sendiri. Hak dan kewajiban yang bersifat horizontal diantaranya adalah kewajiban memperhatikan hak keluarga, hak suami istri, dan hak anak. Subhi Mahmasani berpendapat bahwa orang tua memperhatikan hak-hak anak untuk masa depannya, yaitu hak atas ASI, hak atas pengasuhan, hak atas nama baik dan kewarganegaraan, hak atas penghasilan atau harta benda, hak atas pendidikan, serta hak atas pendidikan. seperti hak atas pendidikan, moralitas dan agama.103.

Sesungguhnya rugilah orang-orang yang membunuh anaknya karena kebodohan dan kejahilan, dan mereka mengharamkan apa yang Allah berikan kepada mereka hanya dengan melakukan perbuatan yang melawan Allah. Selama perkawinan orang tua itu masih berlangsung, maka anak-anaknya yang belum dewasa itu berada di bawah kekuasaan orang tuanya, selama orang tuanya belum lepas atau diberhentikan dari kekuasaan itu setelah meninggalnya salah satu orang tuanya, maka orang tua yang hidup lebih lama, maka anak yang berada dalam perwalian meliputi harta benda dan pribadi anak tersebut.108 Di antara berbagai hal Tanggung jawab yang paling menonjol yang disadari oleh Islam adalah mendidik, membimbing dan membesarkan anak-anak yang berada di bawah tanggung jawabnya. 106 Zakariya Ahmad Al-Barry, Hukum Anak dalam Islam, Diterjemahkan oleh Chadidjah Nasuition, Jakarta, Bulan Bintang, 1977.

Oleh karena itu, dalam Islam, manusia tidak hanya berhak mendapatkan pendidikan, bahkan mencari ilmu pun merupakan suatu kewajiban. Begitu pula dengan anak dalam Islam, orang tua mempunyai kewajiban untuk memberikan pendidikan kepada anaknya. Pendidikan anak dilaksanakan sebagai upaya mempersiapkan anak dalam menjalani kehidupannya, karena setiap anak yang dilahirkan tidak mengetahui apa-apa. 109, seperti yang dikatakan kata itu. Allah QS An-Nahl (16): 78 yang artinya. Dalam hal ini berarti orang tua bertanggung jawab penuh dalam memberikan tanggung jawab pendidikan kepada anaknya.

Pemenuhan kebutuhan fisik tersebut meliputi sandang, pangan, dan papan yang merupakan kebutuhan anak untuk tumbuh kembang dalam hidupnya.112. Hak-hak anak juga termasuk dalam kewajiban orang tua, sebagaimana tercantum dalam Pasal 45 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu: Kumpulan hukum Islam juga mengatur tentang hak-hak anak, dimana hak-hak anak juga termasuk dalam kewajiban orang tua.

Suami dan isteri mempunyai kewajipan untuk mengasuh dan menjaga anak-anak mereka, baik dari segi pertumbuhan jasmani, rohani dan intelek serta pendidikan agama mereka.”

Kedudukan Anak

Kedudukan anak dalam Islam sangat tinggi dan mulia, Al-Quran menempatkan anak sebagai hiasan dunia sekaligus hiburan. Namun harus diakui, bahwa penghargaan yang tinggi dan mulia terhadap anak manusia hanya dimiliki oleh anak-anak yang mempunyai gelar anak sah dari seorang laki-laki dan seorang istri yang terikat dalam perkawinan yang sah. Bukan berarti anak yang lahir dari perkawinan tidak sah menduduki kedudukan yang rendah, karena anak tersebut juga merupakan anak manusia yang mempunyai hak asasi manusia untuk memperoleh jaminan hukum sesuai dengan statusnya, sesuai dengan Konvensi Hak Anak.

Perlindungan terhadap anak menurut kedudukannya dapat dijadikan landasan untuk memberikan hak-hak kepada anak secara proporsional berdasarkan status hukumnya. 116M Joni dan Zulchaina Z Tanamas, Aspek Hukum Perlindungan Anak dalam Perspektif Konvensi Hak Anak, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999, hal. “Bahwa laki-laki yang merendahkan istrinya dan menolak anaknya, maka anaknya isterinya harus diceraikan, dan anak itu hanya ada hubungannya dengan garis keturunan ibunya.”

Hal ini menjadi landasan ulama bahwa anak-anak hasil perkawinan yang tidak sah (anak hasil zina) hanya boleh mempunyai hubungan kekerabatan melalui garis keturunan ibunya.117 Agar garis keturunan seseorang dapat terpelihara dengan baik maka disyariatkan perkawinan dan dilarangnya zina, karena perkawinan dianggap sah. . suatu perbuatan keji yang justru akan memutus garis keturunan.Seseorang, sekalipun anak hasil zina tidak akan pernah mempunyai ayah biologis yang sah, karena anak hasil zina hanya akan bersetubuh dengan perempuan yang mengandung dan melahirkannya.118 Untuk itu. Pasalnya, Intisari Hukum Islam mengatur bahwa anak yang dilahirkan di luar nikah hanya mempunyai satu garis keturunan dengan ibunya dan keluarga ibunya. Hukum Islam yang demikian berbeda dengan aturan yang terdapat dalam hukum positif Indonesia, Menurut hukum positif Indonesia, anak yang lahir di luar nikah disebut anak luar nikah atau menurut hukum Islam disebut dengan zina. Kedudukan anak Pasal 43 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang berbunyi: 1) Anak yang dilahirkan di luar nikah hanya mempunyai hubungan keperdataan dengan ibunya dan keluarga ibunya.

Referensi

Dokumen terkait