2.1. Malaria
Malaria merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit Plasmodium (termasuk protozoa) yang ditularkan oleh vektor nyamuk Anopheles betina (Zulkarnain, 1998). Plasmodium yang terbawa melalui gigitan nyamuk akan hidup dan berkembang biak dalam sel darah merah manusia (Infodatin, 2016).
Penyakit malaria banyak berkembang di daerah beriklim tropis seperti Indonesia. Hal ini disebabkan berkembangnya jentik-jentik nyamuk Anopheles (Zulkoni, 2010). Prevalensi kasus malaria di Indonesia atau daerah-daerah endemi malaria tidak sama, hal ini tergantung pada prilaku spesies nyamuk yang menjadi vektor. Di Kalimantan Selatan sendiri merupakan daerah endemis malaria. Vektor malaria yang terdapat di Kalimantan adalah Anopheles letifer dan Anopheles balabacensis (Gandahusada, 1998).
Penentuan vektor malaria didasarkan atas penemuan sporozoit malaria di kelenjar air liur nyamuk Anopheleni yang hidup bebas di alam. Berbagai faktor yang perlu diketahui dalam rangka menemukan vektor malaria di suatu daerah endemi malaria adalah sebagai berikut:
1. Kebiasaan nyamuk Anopheleni menghisap darah manusia.
2. Lama hidup nyamuk betina dewasa yang lebih dari 10 hari.
3. Nyamuk Anopheleni dengan populasi yang tinggi dan mendominasi spesies yang lain yang ditemukan.
4. Hasil infeksi percobaan di laboratorium yang menunjukkan kemampuan untuk mengembangkan plasmodium menjadi stadium sporozoit.
Abdoerrachman (1989) mengatakan malaria yang disebabkan oleh protozoa terdiri dari empat jenis spesies yaitu plasmodium vivax yang menyebabkan malaria tertiana, plasmodium malariae yang menyebabkan malaria quartana, plasmodium falciparum yang menyebabkan malaria tropika dan plasmodium ovale yang menyebabkan malaria ovale.
Menurut Abdoerrachman (1989) di Indonesia terdapat empat spesies plasmodium, yaitu:
1. Plasmodium vivax
Memiliki distribusi geografis terluas, mulai dari wilayah beriklim dingin, subtropik hingga daerah tropik. Demam terjadi setiap 48 jam atau setiap hari ketiga, pada siang atau sore. Masa inkubasi plasmodium vivax antara 12 sampai 17 hari dan salah satu gejala adalah pembengkakan limpa atau splenomegali.
2. Plasmodium falciparum
Plasmodium ini merupakan penyebab malaria tropika, secara klinik infeksi ini sangat berat dan dapat menimbulkan komplikasi berupa malaria celebral dan fatal. Masa inkubasi malaria tropika ini sekitar 12 hari, dengan gejala nyeri kepala, pegal linu, demam tidak begitu nyata, serta kadang dapat menimbulkan gagal ginjal.
3. Plasmodium ovale
Masa inkubasi malaria dengan penyebab plasmodium ovale adalah 12 sampai 17 hari, dengan gejala demam setiap 48 jam, relatif ringan dan sembuh sendiri.
4. Plasmodium malariae
Merupakan penyebab malaria quartana yang memberikan gejala demam setiap 72 jam. Malaria jenis ini umumnya terdapat pada daerah gunung, dataran rendah pada daerah tropik, biasanya berlangsung tanpa gejala, dan ditemukan secara tidak sengaja. Namun malaria jenis ini sering mengalami kekambuhan Abdoerrachman (1989).
Gambar 2.1. Siklus Hidup Plasmodium (Atirodiyah, 2014)
Daur hidup spesies malaria juga terdiri dari fase seksual eksogen (sporogoni) dalam badan nyamuk dan fase aseksual (skizogoni) dalam tubuh manusia (Muti’ah, 2012).
1. Fase Aseksual
Pada fase ini, sporozoit dalam darah ke sel hati dan berkembang biak membentuk skizon hati yang mengandung ribuan merozit. Proses ini disebut juga sebagai skizogoni praeritrosit. Merozoit masuk ke sel hati dan masuk dalam darah untuk memulai siklus eirtrosit. Sebagian merozoit memulai dengan gametogoni membentuk mikro dan makrogametosit. Siklus ini disebut dengan masa tunas intrinsik.
2. Fase Seksual
Dalam lambung nyamuk, mikro dan makrogametosit berkembang menjadi mikro dan makrogamet yang akan membentuk zigot yang disebut ookinet yang akan menembus dinding lambung nyamuk
sporozoit akan dilepaskan dan masuk dalam kelenjer liur nyamuk.
Siklus ini disebut masa tunas ekstrinsik.
Antimalaria yang memiliki struktur dasar kuinolin yaitu kuinin, klorokuin, amodiakuin dan meflokuin. Untuk kelangsungan hidupnya Plasmodium falciparum memerlukan zat makanan yang diperoleh dengan cara mencerna hemoglobin dan vakuola makanan yang bersifat asam. Hemoglobin yang dicerna selain menghasilkan asam amino yang menjadi nutrisi bagi parasit, juga menghasilkan zat toksik yang disebut ferryprotoporphyrin (FP IX). Klorokuin dan antimalaria yang mengandung cincin quinolin lainnya membentuk kompleks dengan FP IX dalam vakuola. Kompleks obat-FP IX tersebut sangat toksik dan tidak dapat bergabung membentuk pigmen. Toksin kompleks obat-FP IX meracuni vakuola menghambat ambilan (intake) makanan sehingga parasit mati kelaparan. Kompleks klorokuin-FP IX juga mengganggu permeabilitas membran parasit dan pompa proton membran. Mekanisme kerja yang lain adalah dengan berinterkelasi dengan DNA parasit dan menghambat DNA polimerase (kuinin).
Klorokuin juga bersifat basa lemah sehingga, masuknya klorokuin ke dalam vakuola makanan yang bersifat asam akan meningkatkan pH organel tersebut.
Perubahan pH akan menghambat aktivitas aspartase dan cysteinase protease yang terdapat di dalam vakuola makanan sehingga metabolisme parasit terganggu (Syamsudin, 2005).
Senyawa antimalaria telah banyak dikembangkan oleh para peneliti baik yang diisolasi langsung dari alam maupun disintesis dari senyawa yang telah ada sebelumnya (Kilo, 2014). Beberapa tumbuhan yang memiliki senyawa antimalaria yang telah diteliti seperti ekstrak dari daun Pseudocedrala kotschyi yang diteliti oleh Christian et al., (2015), dan ekstrak dari buah Tetrapleura tetraptera yang diteliti oleh Okokon et al., (2007).
Berikut beerapa obat yang dapat digunakan sebagai obat antimalaria, sebagai berikut.
1. Kina, yang merupakan obat antimalaria kelompok alkaloid. Obat ini merupakan obat antimalaria alternatif untuk pengobatan radikal malaria falciparum tanpa komplikasi yang resisten terhadap klorokuin (Zein, 2005).
2. Klorokuin, merupakan obat antimalaria kelompok 4-aminokuinolin yang bersifat skizontosida darah untuk semua jenis Plasmodium pada manusia sehingga dipakai sebagai obat malaria klinis dengan menekan gejala klinis. Obat ini juga bersifat gammetosidal (melawan bentuk gamet) immature (muda) (Kusumaningrum, 2016).
3. Primakuin Menurut Depkes RI (2008), merupakan obat antimalaria kelompok senyawa 8-aminokuinolin yang sangat efektif melawan gametosit seluruh spesies Plasmodium. Obat ini juga aktif terhadap skizon darah P. falciparum dan P. vivax tetapi dalam dosis tinggi sehingga harus berhati-hati.
4. Derivat Artemisinin Menurut Depkes RI (2008), merupakan kelompok obat antimalaria baru yang penggunaannya terbatas pada daerah-daerah yang resistensi klorokuin dan sulfadoksin-pirimetamin.
2.2. Benzoil Stirena
Senyawa benzoil stirena berasal dari acridine. Acridine merupakan senyawa organik dengan rumus molekul C13H9N. Acridine di isolasi pertama kali pada tahun 1870 oleh Carl Grab dan Heinrich Caro dari tar batubara dengan cara memisahkan acridine dan tar batubara dengan mengekstraksinya dengan asam sulfat encer. Acridine sendiri juga dapat digunakan sebagai pewarna kationik fluorescent selektif asam nukleat yang berguna untuk penentuan sikulus sel (Collin et al, 2012). Acridine berinteraksi dengan DNA dan RNA melalui interkalasi atau tarikan elektrostatik. Ketika terikat dengan DNA, acridine sangat mirip dengan fluorescent, dengan maksimum eksitasi pada 502 nm dan maksimum emisi pada 525 nm (hijau). Ketika dikaitkan dengan RNA, maksimum eksitasi bergeser ke 460 nm (biru) dan maksimum emisi bergeser ke 650 nm (merah). Acridine juga akan memasuki kompartemen asam seperti lisosom yang menjadi protonasi dan diasingkan. Dalam vesikel pH rendah ini pewarna memancarkan fluoresensi merah ketika bersemangat oleh cahaya biru. Dengan demikian, acridine orange dapat digunakan untuk memvisualisasikan lisosom primer dan fagolisosom yang mungkin termasuk produk fagositosis sel apoptosis.
Zat warna ini sering digunakan dalam mikroskop epifluoresensi dan aliran sitometri .
Turunan acridine yang mengandung 9-aminoacridine dan 9-anilinoacridine telah dilaporkan menunjukkan aktivitas antimalaria (Prajapati et al,2017). Secara umum, gugus acridine telah dilaporkan memiliki beragam efek biologis termasuk antitumor (Nugrahaningsih, 2013), antiprion, anti-alzheimer, aktivitas antileishmanial, antitrypanosomal dan penghambatan enzim topoisomerase II serta untuk karakterisasi interaksi DNA (Pereiera et al, 2017). Benzoil stirena memiliki ciri-ciri fisik yang berbentuk kristal orange dengan titik leleh 210 ᵒC.
Gambar 2.2. Struktur Kerangka Dasar Senyawa Benzoil stirena 2.3. QSAR (Quantitative Structure Activity Relationship)
Awalnya pemahaman Hubungan Kuantitatif Struktur-Aktivitas (HKSA) atau QSAR (Quantitative Structute Activity Relationship) dikonsiderasikan bahwa aktivitas biologis merupakan fungsi dari struktur kimia yang kemudian mengalami perluasan aktivitas biologis sebagai fungsi fisikokimia (struktur fisika dan kimia). Artinya suatu seri sifat-sifat fisika dan kimia suatu molekul dapat menerangkan aktivitas biologis suatu senyawa. Berbagai parameter sifat fisika dan kimia dikuantifikasi dan aktivitas biologis pun demikian dapat dirumuskan secara kuantitatif, maka kemudian hubungan struktur dan aktivitas lebih dikembangkan lagi menjadi Hubungan Kuantitatif Struktur-Aktivitias atau QSAR (Quantitative Structute Activity Relationship) (Wolff, 1994). Struktur kimia dalam studi QSAR digambarkan oleh beragam deskriptor. Deskriptor yang banyak digunakan dalam analisis QSAR adalah deskriptor elektronik dan deskriptor molekul (Shahlaei, 2013).
Pada QSAR memspunyai 2 model pendekatan yaitu:
1. Model Pendekatan HKSA Free-Wilson
Free-Wilson mengembangkan suatu konsep hubungan struktur dan aktivitas biologis obat. Mereka mengemukakan bahwa respon biologis merupakan sumbangan aktivitas dari gugus-gugus subtituen terhadap aktivitas biologis senyawa induk.
2. Model Pendekatan HKSA Hansch
Hansch mengemukakan suatu konsep bahwa hubungan struktur kimia dengan aktivitas biologis (log 1/C) suatu turunan senyawa dapat dinyatakan secara kuantitatif melalui parameter-parameter sifat kimia fisika dari subtituen yaitu parameter hidrofobik (π), elektronik (σ) dan sterik (ES).
(Siswandono, 1995).
2.3.1. Analisis QSAR
Analisis statistik yang sering digunakan untuk mempelajari hubungan struktur dan aktivitas suatu molekul obat adalah analisis regresi multilinear.
Beberapa program komputer digunakan untuk memudahkan perhitungan regresi multilinear antara berbagai kombinasi deskriptor dengan aktivitas suatu seri senyawa, salah satunya yaitu dengan menggunakan SPSS (Pranowo, 2000). SPSS dipilih dalam penelitian ini karena SPSS merupakan software statistik terpopuler di dunia, termasuk di Indonesia. SPSS mampu memecahkan permasalahan statistik dari yang sederhana hingga yang cukup kompleks seperti multivariasi.
Keunggulan dari SPSS adalah tampilannya yang sudah menyerupai Microsoft Excel dan tampilan grafis yang lebih baik. Analisis regresi multilinear digunakan untuk mendapatkan persamaan matematis QSAR dan aktivitas biologi prediksi (Mushlihin, 2015).
Analisa Multiple Linier Regression (MLR) merupakan suatu analisa statistik yang melibatkan dua atau lebih variabel bebas (independen) terhadap satu variabel terikat (dependen). Analisa suatu persamaan regresi di tentukan oleh beberapa kriteria statistik untuk memperoleh keabsahan atau validitas persamaan yang diproleh yaitu, berupa nilai r (koefisien korelasi), r2 (koefisien determinasi), F
2.4. Metode ab initio Hartree-Fock
Istilah ab initio berarti “dari prinsip pertama”. Metode ab initio digunakan untuk menyelesaikan persamaan Schrödinger. Di dalam metode ab initio, pendefinisian Hamiltonian dan pembentukan fungsi gelombang dilakukan secara fungsional. Fungsi gelombang terbaik dengan energi yang paling minimum dapat diperoleh dengan penerapan metode variasional. Perhitungan ab initio yang paling umum digunakan adalah perhitungan Hartree-Fock (HF). Dalam perhitungan HF, fungsi gelombang disusun dengan pendekatan determinan Slater tunggal dari sejumlah spin orbital orthonormal untuk memenuhi prinsip antisimetri. Fungsi tersebut disajikan pada persamaan 2.1.
ǀ HF ǀ = ǀ ǀ ... (2.1)
Dalam determinan Slater, indeks baris menandakan koordinat elektron dan indeks kolom menyatakan fungsi gelombang (orbital) elektron tunggal, seperti pada persamaan 2.2.
√ | ( ) ( ) ( )
( ) ( ) ( )
( ) ( ) ( )
| ... (2.2)
Penyelesaian determinan Slater didasarkan pada prinsip variasi yang menyatakan bahwa seluruh fungsi gelombang pendekatan memiliki energi lebih tinggi atau sama dengan energi fungsi gelombang sesungguhnya (Jensen, 2007).
2.5. Metode Semiempiris AM1 dan PM3
Perhitungan semiempiris dibuat dengan struktur yang sama dengan perhitungan HF, dalam hal metode semiempiris juga memiliki suatu Hamiltonian dan suatu fungsi gelombang. Menggunakan kerangka kerja tersebut, beberapa informasi didekati atau dihilangkan secara sempurna. Biasanya, elektron inti tidak diikutsertakan dalam perhitungan dan hanya satu himpunan basis minimal yang digunakan. Selain itu, beberapa integral dua-elektron juga dihilangkan. Sebagai
bentuk perbaikan terhadap kesalahan yang muncul disebabkan penghilangan bagian dari perhitungan, metode tersebut diparameterisasi. Parameter-parameter untuk menentukan nilai-nilai yang dihilangkan diperoleh dari proses fitting hasil- hasilnya terhadap data eksperimen atau perhitungan ab initio. Seringkali, parameter-parameter tersebut menggantikan beberapa integral yang tidak diikutsertakan (Hardjono, 2013).
Pada Austin Model 1 (AM1) untuk unsur-unsur C, H, O, dan N, energi tolakan inti antara setiap dua inti atom A dan B dihitung sebagaimana persamaan (2.3)
( )
∑ ⌊
( ) ( ) ⌋
...(2.3)
Keunggulan perhitungan semiempiris adalah metode ini lebih cepat daripada perhitungan ab initio. Kekurangan dari metode ini adalah, optimasi molekul hanya sebatas pada elektron kulit terluar, sementara inti atom tidak ikut di optimasi. Apabila molekul yang dikomputasi mirip dengan molekul di dalam database yang digunakan untuk parameterisasi metodenya, hasil yang diperoleh sangat baik.