• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
47
0
0

Teks penuh

Mikroplastik dibedakan menjadi dua jenis, yaitu mikroplastik primer dan mikroplastik sekunder, tergantung dari sumber plastiknya (Barnes et al., 2009). Plastik yang termasuk dalam kelompok tulang punggung karbon-karbon adalah polietilen (PE), polipropilen (PP), polistiren (PS), dan polivinil karbonat (PVC), sedangkan plastik dengan cincin kepala heteroatom adalah polietilen tereftalat (PET) dan poliuretan (PU). dkk., 2015). Venkatachalam dkk (2012) menyatakan bahwa ester pada PET merupakan gugus fungsi yang berperan penting dalam proses degradasi PET pada sistem perairan, namun Farzi dkk (2019) menyatakan bahwa keberadaan gugus ester pada PET menjadikan PET lebih tahan membuat terhadap proses biodegradasi dibandingkan jenis plastik lainnya.

Proses degradasi PET dalam sistem perairan meliputi degradasi fotooksidasi, degradasi hidrolitik, degradasi mekanis, dan biodegradasi (Gewert et al., 2005).

Tabel  2.  Jenis  –jenis  plastik  yang  umumnya  ditemukan  dilingkungan  alami  (Andrady,2011; Ghosh et al,2013)
Tabel 2. Jenis –jenis plastik yang umumnya ditemukan dilingkungan alami (Andrady,2011; Ghosh et al,2013)

Polipropilen (PP)

Perairan Pesisir Kota Semarang

Melakukan kajian terhadap sampah plastik pesisir tidak lepas dari pemahaman ekosistem pesisir itu sendiri sebagai media pengamatan sampah plastik. Tentu saja kondisi ini juga berlaku pada sebaran sampah plastik dari hulu hingga pesisir (Muhtadi dkk, 2017). Perairan pesisir menurut UU No. 1 Tahun 2014 adalah laut yang berbatasan dengan daratan, yang meliputi perairan sejauh 12 mil laut diukur dari garis pantai, perairan yang menghubungkan pantai dan pulau, muara, teluk, perairan dangkal, rawa payau, dan laguna (Rangkuti dkk, 2017).

Perairan pesisir dibagi lagi menjadi dua jenis lingkungan, yaitu lingkungan bentik (horizontal) dan lingkungan pelagis (vertikal) (Rangkuti, dkk, 2017). Kelimpahan biota di kawasan ini menjadi faktor penting dalam proses degradasi sampah plastik di sistem perairan pesisir. Kampung Tambak Lorok merupakan perkampungan nelayan terluas (Musadun 2016) yang terletak di Kelurahan Tanjungmas Kecamatan Semarang Utara dengan luas pemukiman kurang lebih 101 Ha dan jumlah penduduk sebanyak 570 kepala keluarga (Dimitra, 2012).

Tambak Lorok juga merupakan salah satu kawasan pesisir yang memberikan kontribusi besar dalam memenuhi kebutuhan hasil laut di Kota Semarang pada khususnya dan Jawa Tengah pada umumnya. Sampah plastik sudah tidak lagi menjadi masalah bagi sebagian warga di kawasan ini karena sampah plastik juga dimanfaatkan sebagai bahan untuk mengisi atau meninggikan permukaan tanah yang turun akibat erosi air laut. Tingkat pencemaran di perairan pesisir Tambak Lorok sangat dipengaruhi oleh kebiasaan masyarakat masyarakat Tambak Lorok kota semarang dan pesisir pantai, tentunya masih melibatkan kontribusi sumber sampah plastik lainnya, termasuk sampah plastik yang terbawa oleh aliran sungai yang membanjiri Selat Timur yang bermuara di perairan pantai Tambak Lorok dan masih aktif hingga saat ini, serta limbah industri di sekitar kawasan pantai Tambak Lorok dan berbagai aktivitas di perairan pantai Tambak Lorok, antara lain penangkapan ikan dan budidaya kerang hijau. .

Gambar 5. Kondisi lingkungan perumahan didaerah pesisir Tambak Lorok, Kota  Semarang
Gambar 5. Kondisi lingkungan perumahan didaerah pesisir Tambak Lorok, Kota Semarang

Pengaruh budaya dan peran kebijakan pemerintah pada perilaku masyarakat terhadap plastik

Sayangnya gaya hidup tersebut tidak diikuti dengan kesadaran dalam mengelola sampah plastik yang dihasilkan, sehingga budaya membuang sampah tanpa memilah dan mengelompokkan sampah merupakan cerminan dari kebiasaan masyarakat kita sehari-hari. Upaya pemerintah dalam memfasilitasi masyarakat, antara lain melalui berbagai program edukasi pengelolaan sampah dan penyediaan sarana pembuangan sampah, dirasa belum cukup optimal dalam mendukung kesadaran masyarakat untuk menerapkan pengelolaan sampah dengan baik sehingga sampah plastik dari penggunaan plastik sekali pakai akan semakin berkurang. terus terbuang dan tercampur dengan sampah, jenis plastik lain yang berpotensi masuk ke sistem perairan. Semula diharapkan melalui Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, pemerintah dapat menjadi rujukan kebijakan yang mempercepat efektivitas penanganan pengelolaan sampah baik di tingkat pemerintah pusat maupun daerah (provinsi dan kabupaten).

Dalam mengatasi permasalahan sampah plastik yang menumpuk di sistem air dan lahan, membersihkan sampah yang terlihat bukanlah solusi yang tepat, sedangkan proses daur ulang akan meningkatkan emisi karbon sehingga mengurangi produksi dan konsumsi plastik, khususnya plastik sekali pakai. lebih tepatnya (McDermott, 2016). Masyarakat yang sadar akan efisiensi penggunaan plastik dan mempraktikkan pengelolaan sampah yang baik akan sangat membantu dalam mengurangi peningkatan sampah plastik. Dimulai dari kesadaran akan pentingnya membuang sampah pada tempatnya, penggunaan bahan plastik secukupnya dan kehati-hatian dalam memilih bahan non plastik untuk menunjang kebutuhan sehari-hari tentunya akan berdampak besar dalam mengurangi dampak sampah plastik terhadap lingkungan. .

Pada penelitian lainnya, Pettipas, 2016 dalam tulisannya menjelaskan strategi pengurangan pencemaran sampah plastik pada sistem perairan yaitu. Dengan strategi di atas, diharapkan masyarakat berperan aktif dalam mengurangi jumlah sampah plastik, tentunya dengan dukungan pemerintah dan ilmuwan yang berkompeten di bidang terkait sampah plastik. Memberikan edukasi dan pemahaman yang benar kepada masyarakat tentang bahaya plastik jika tidak dimanfaatkan dengan baik dan bahaya sampah plastik terhadap lingkungan diharapkan dapat mengurangi sumber-sumber sampah plastik karena manusia merupakan sumber utama sampah plastik sedangkan organisme non-manusia adalah sumber utama sampah plastik. organisme pertama yang merasakan dampak sampah plastik sebelum akhirnya berdampak pada manusia melalui udara, air, dan rantai makanan (Boowmeester, 2015).

Gambar 6. Kode pada plastik kemasan dan penggunaannya
Gambar 6. Kode pada plastik kemasan dan penggunaannya

Degradasi Plastik di dalam sistem perairan

Degradasi polimer dapat didefinisikan sebagai akibat dari proses kimia, fisika dan biologi yang akan menyebabkan putusnya ikatan pada rantai senyawa sehingga mengakibatkan perubahan struktur molekul (Shah et al., 2008). Venkatachalam, dkk (2012) memberikan gambaran lebih rinci mengenai degradasi polimer sebagai suatu proses kimia yang tidak hanya menyebabkan perubahan komposisi kimia polimer tetapi juga sifat fisik polimer sehingga polimer yang terdegradasi akan berubah warna, bentuk rantai dalam molekul, berat molekul, distribusi berat molekul, sifat kristalinitas (Kristalinitas) polimer, kelenturan rantai molekul (Tensile Strength), percabangan dan kemampuan molekul berikatan melalui bantuan radiasi (Crosslinking). Dua hal utama yang berperan penting dalam proses degradasi plastik di sistem air laut adalah faktor karakteristik plastik, yang meliputi massa jenis (density), kristalinitas, massa molar, dan kekuatan tarik (tensile strenght).

Selain itu, setelah selesainya proses penguraian kimia yang meliputi faktor abiotik, maka plastik akan siap untuk tahap penguraian selanjutnya yang meliputi faktor biotik, tahap ini disebut biodegradasi. Analisis proses degradasi abiotik dan biotik seringkali dilakukan secara terpisah agar dapat lebih memahami fenomena yang terjadi pada masing-masing proses degradasi tersebut, meskipun perkembangan yang terjadi pada proses biodegradasi (degradasi biotik) seringkali bergantung pada inisiasi dan kelanjutan reaksi. , yang terjadi pada proses dekomposisi abiotik (Palmisano et al., 1992). Biofouling (menetapnya mikroorganisme pada permukaan plastik setelah plastik berada dalam lingkungan berair) akan mempengaruhi daya apung plastik, dimana biofouling dapat meningkatkan berat sebagian besar plastik sehingga menurunkan daya apung sehingga menghasilkan kepadatan yang rendah. plastik. seperti polietilen yang dapat tenggelam ke dasar laut (Thompson et al., 2013).

Dalam proses degradasi plastik di lingkungan, banyak faktor yang mempengaruhi proses degradasi plastik dengan hasil degradasi yang berbeda-beda. Parameter abiotik pada proses degradasi berperan penting dalam melemahkan struktur polimer (Helbling et al., 2006; Ipekoglu et al., 2007) dimana terkadang faktor abiotik akan bekerja secara berbeda. Pengambilan sampel sistem air berupa sedimen dan air laut untuk mengidentifikasi keberadaan mikroplastik merupakan langkah penting dalam mempelajari tingkat pencemaran dalam sistem air (Loder, et al., 2015).

Gambar 7. Mekanisme degradasi pada polietilen dan polipropilen ( Vasile C,1993)
Gambar 7. Mekanisme degradasi pada polietilen dan polipropilen ( Vasile C,1993)

Peranan mikroalga Spirulina sp dalam proses biodegradasi plastik dan pegaruh mickroplastik terhadap pertumbuhan mikroalga Spirulina Sp

Spirulina sp sebagai salah satu cyanobacteria mampu membantu proses oksidasi dengan menyuplai oksigen yang dihasilkan dari proses fotosintesis (Cerniglia et al., 1980). Kondisi yang dapat menyebabkan stres pada mikroalga Spirulina sp adalah kondisi ketika ketersediaan unsur hara (Abdullahi et al., 2006) dan cahaya berlebih serta produksi EPS sangat tinggi karena EPS sendiri bersifat toksik bagi Spirulina sp. Ketersediaan sumber karbon akibat adanya mikroplastik seharusnya dapat mendorong pertumbuhan Spirulina sp lebih cepat, namun produksi EPS yang berlebihan akibat sumber nutrisi yang berlebihan menyebabkan Spirulina sp mengalami stres dan menurunkan laju pertumbuhannya (Sjolemma et al., 2016; Kumar dkk., 2017).

Selain itu, Sjolemma et al., 2017 juga membuktikan dalam penelitiannya bahwa keberadaan mikroplastik mempunyai efek bayangan terhadap distribusi cahaya yang dimiliki Spirulina Sp. membutuhkan. Biofilm, kumpulan mikroorganisme yang dikelilingi oleh EPS yang menempel pada permukaan plastik, dapat dikenali dengan mata telanjang dari teksturnya yang halus dan berwarna hijau (Suseela et al., 2006) akan menggunakan plastik sebagai sumber karbon yang kemudian dioksidasi oleh oksigen dari lingkungan, termasuk oksigen yang dihasilkan oleh Spirulina sp. Konsumsi oksigen oleh mikroorganisme (mikroba dan jamur) dalam biofilm untuk membentuk CO2 merupakan indikator terpenting dalam proses biodegradasi (Hoffmann., 1997; Shah et al., 2008; Arkatkar., 2009).

Faktor penting yang berperan dalam pembentukan biofilm adalah gaya elektrostatik, muatan permukaan, hidrofobisitas permukaan dan ketersediaan kation (Bhaskar et al., 2005). Lucas dkk (2008) memberikan gambaran tahapan proses biodegradasi plastik oleh mikroorganisme seperti terlihat pada Gambar 3. Yang dapat dijelaskan sebagai berikut. Hasil identifikasi Dmytryka dkk (2014) dapat dijadikan acuan dalam mengamati perubahan struktur organik Spirulina Sp setelah perlakuan dengan mikroplastik.

Gambar 9. Grafik pertumbuhan mikroalga  Dimana,
Gambar 9. Grafik pertumbuhan mikroalga Dimana,

Dampak sampah plastik bagi lingkungan hidup

Dalam kondisi aerobik, mikroba menggunakan oksigen untuk mengoksidasi karbon dan membentuk karbon dioksida sebagai salah satu produk utama metabolisme. Akumulasi plastik di lingkungan perairan memberikan potensi kontaminasi senyawa kimia berbahaya yang disebabkan tidak hanya oleh pelepasan bahan pencemar organik persisten (POPs) dari permukaan plastik dan proses pelepasan (leaching) bahan kimia tambahan dari plastik. , tetapi juga karena pelepasan senyawa kimia akibat proses degradasi polimer plastik itu sendiri (Rochman, 2015 dan Lambert, 2014). Lebih lanjut Lambert, 2014 juga menemukan bahwa mikroplastik terakumulasi pada konsumen non-selektif seperti ikan, jenis kerang dan berbagai jenis makanan laut yang kemudian dikonsumsi oleh konsumen lapis kedua dan ketiga, termasuk manusia.

Kerang hijau atau disebut dengan kerang hijau asia (Perna Veridis) merupakan salah satu keluarga kerang yang mempunyai nilai ekonomi tinggi (Normah, 2016) yang sangat sering dikonsumsi manusia dan menjadi salah satu produknya. Kerang hijau ini dibudidayakan dengan cara menempelkan bambu pada air laut pada kedalaman tertentu, kemudian kerang akan tumbuh menempel pada bambu tersebut yang biasa disebut rumpon. Kerang hijau merupakan salah satu jenis organisme laut yang tidak selektif, namun memiliki sistem filter untuk menyaring partikel organik, plankton, dan mikroorganisme laut lainnya sehingga polutan yang tertelan tidak memberikan efek toksik pada tubuhnya, namun dapat terakumulasi di dalam cangkang. . Mayat-mayat itu.

Aktivitas kerang hijau dalam memasukkan makanan ke dalam tubuhnya dipengaruhi oleh suhu, konsentrasi makanan dan terutama salinitas. Salinitas sangat mempengaruhi kinerja kerang dalam mengkonsumsi sesuatu sebagai makanannya, karena salinitas akan mengatur tingkat kerja osmoregulasi, dimana tingkat kerja osmoregulasi sangat berperan dalam mengatur energi tubuh moluska dalam memasukan bahan apapun yang masuk ke dalam tubuhnya. . . Kemampuan kerang hijau dalam mengakumulasi zat-zat pencemar dalam tubuhnya menjadikan kerang hijau sebagai salah satu indikator dalam mengukur tingkat pencemaran lingkungan laut.

Upaya mengurangi dampak pencemaran sampah plastik

Gambar

Tabel  2.  Jenis  –jenis  plastik  yang  umumnya  ditemukan  dilingkungan  alami  (Andrady,2011; Ghosh et al,2013)
Gambar 1. Struktur molekul monomer dari polietilen tereftalat (PET)
Gambar 2. Mekanisme degradasi abiotik PET (Gewert et al.,2015)
Gambar 3. Struktur molekul monomer dari polipropilen (PP)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Data analysis using two-way variance analysis ANAVA technique.The results of data analysis show that: 1 Assertive behavior of students in terms of gender, namely men and women are in