BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Mekanisme Pesawat dapat Terbang
Terdapat gaya yang dipengaruhi oleh kinerja dari benda benda terbang diudara karena berbagai macam gaya. Gaya pada aerodinamika bermacam-macam antara lain gaya angkat (lift), gaya dorong (thrust), gaya berat (weight), dan gaya hambat (drag). Gambar 2.1 adalah bagian-bagian gaya yang bekerja di pesawat dimana digambarkan terdapat 4 gaya yang bekerja pada pesawat terbang. Gaya dorong (thrust) adalah suatu gaya dorong yang pada umumnya dari mesin pesawat terbang, pesawat UAV menggunakan berbagai jenis mesin salah satunya turboprop.
Gaya berat (weight) adalah gaya dari beban pesawat itu sendiri yang dipengaruhi tekanan udara di suatu ketinggian tertentu, Gaya hambat (drag) adalah gaya hambat yang dihasilkan dari udara yang menghantam atau melewati permukaan dari pesawat dan gaya yang paling dibutuhkan pesawat untuk terbang yaitu gaya angkat (lift) adalah gaya angkat yang didapatkan dari bentuk suatu sayap pesawat atau biasanya airfoil yang distribusi tekanan dan kecepatan menyebabkan pesawat dapat terbang ke atas (Arif Maulana, 2018).
Gambar 2.1 Gaya-gaya pada Pesawat (Arif Maulana, 2018).
Perancangan pesawat terbang pada umumnya untuk menghasilkan gaya hambat sekecil mungkin. Gaya hambat dihasilkan karena adanya suatu aliran udara.
Benda yang ditempatkan pada suatu aliran fluida atau suatu benda yang bergerak
melewati fluida akan menghasilkan gaya. Fluida yang melewati benda yaitu udara, gaya tersebut dinamakan gaya aerodinamika. Gaya aerodinamika tegak lurus sesuai aliran dari udara biasanya disebut dengan gaya angkat (list) dan gaya aerodinamika yang searah dari aliran dikenal dengan gaya hambat (drag). Gaya aerodinamika yang bekerja pada airfoil ditunjukan Gambar 2.2 Sudut serang merupakan geometri chord line yang dibentuk dari sudut airfoil terhadap aliran udara (Hidayat, 2019).
Gambar 2.2 gaya Aerodinamika pada Airfoil Dengan Sudut Serang (Hidayat, 2019).
Geometri dari airfoil dipengaruhi besarnya dari gaya angkat (lift) dan gaya hambat (drag) suatu pesawat terbang. Geometri airfoil ini adalah nilai gaya angkat tinggi dengan perbandingan gaya hambat serendah mungkin. Performa geometri airfoil ini didefinisikan sebagai rasio antara gaya angkat dan gaya hambat atau biasanya disebut dengan efisiensi aerodinamika. Gaya aerodinamika dinyatakan dalam Persamaan 2.1 dan 2.2 dimana koefisien tak berdimensi yaitu :
𝐶
𝐿=
1 𝐿2𝜌𝑣2𝑆 2.1
𝐶
𝐷=
1 𝐷2𝜌𝑣2𝑆 2.2
Dimana L merupakan gaya angkat (Iift) dengan satuan newton (N), D merupakan gaya hambat (drag) dengan satuan newton (N), 𝐶𝐿 merupakan coefficient lift, 𝐶𝐷 merupakan coefficient drag, 𝜌 merupakan kerapatan udara dengan satuan kg/𝑚3, S merupakan luas area acuan (biasanya sayap pesawat) satuan 𝑚2, dan
𝑣
kecepatan udara (free stream) dengan satuan m/s (Hidayat, 2019).2.2 Airfoil
Airfoil merupakan bentuk perancangan yang secara geometri bentuknya aerodinamis dimana saat aliran fluida melewati permukaannya akan menghasilkan nilai gaya angkat lebih tinggi dari gaya hambat yang menyebabkan pesawat dapat terbang. Airfoil memiliki beberapa bentuk, yang pertama leading edge yaitu bagian depan atau moncong pada airfoil yang pada umumnya berbentuk cembung.Trailing edge merupakan bagian belakang dari airfoil yang biasanya berbentuk runcing.
Chamber line merupakan garis pemisah antara bagian atas dan bawah pada permukaan airfoil. Chord line merupakan bentuk garis lurus dihubungkan leading edge dengan trailing edge. Chord merupakan jarak dari leading edge dan trailing edge. Maksimal chamber merupakan jarak maksimal dari mean chamber dan chord line itu sendiri (Hidayat, 2019).
Airfoil merupakan bentuk penampang dari sayap pesawat udara. Kumpulan airfoil ini membentuk satu sayap pesawat sering disebut dengan bentuk 3D dari airfoil. Bentuk geometri dari airfoil ini akan menghasilkan gaya dan momen jika ditempatkan pada suatu aliran fluida . Terdapat beberapa istilah yang berkaitan dengan airfoil, dan diilustrasikan seperti pada Gambar 2.3.
Gambar 2.3 Bagian Airfoil (Fajri, 2012)
Sudut serang atau angle of attack merupakan tali busur yang dibentuk dari aliran udara yang dilewati dan mempunyai simbol alpha (α). Airfoil dibagi menjadi dua yaitu airfoil tidak simetris dan airfoil simetris. Airfoil simetris memiliki kerugian pada sudut serang nol dimana tidak adanya gaya angkat pada sudut tersebut, berbeda dengan airfoil tidak simetris yang memiliki gaya pada pada sudut serang nol sesuai pada Gambar 2.4. Airfoil tidak simetris akan mempunyai gaya angkat nol apabila sudut serang atau angle of attack yang diberikan negatif terhadap aliran udara yang melintasinya. Zero angle city atau biasanya disebut gaya angkat nol pada sudut serang nol (lubis, 2012).
Gambar 2.4 Sudut Serang Airfoil (Lubis, 2012)
Airfoil memiliki ketetapan yang dikembangkan National Advisory Committee for Aeronautics (NACA) menjadi patokan setiap airfoil pada pesawat terbang UAV sekarang. Airfoil paling banyak dipakai sekarang merupakan riset hasil Gottingen.
Pengajuan airfoil banyak dilakukan dari berbagai negara selama periode ini, namun
hasil riset dari NACA yang paling terkemuka atau populer dikalangan pemodelan airfoil. NACA melakukan pengujian lebih kompleks dimana membagi dari pengaruh efek distribusi dan kelengkungan dari ketebalan atau biasa disebut (thickness) dan pengujian pada bilangan Reynold untuk memaksimalkan. Airfoil sekarang sangat bergantung dengan penelitian NACA pada saat itu dimana terdapat berbagai macam klasifikasi tipe tipe airfoil NACA :
1. NACA Seri 4 Digit
Airfoil NACA merupakan jenis yang paling umum digunakan dalam perancangan pesawat terbang. Digit pertama diartikan dari hasil nilai maksimum chamber dari chord dan memiliki satuan satu per seratus. Digit kedua adalah letak chamber di chord dari leading edge dan memiliki satuan satu per sepuluh. Dua digit terakhir memiliki arti ketebalan angka nol-nol maka airfoil dari dua digit terakhir tersebut tidak mempunyai chamber atau termasuk airfoil simetris yang tidak mempunyai daya angkat pada sudut serang nol derajat.
Gambar 2.5 Airfoil NACA 4415
Gambar 2.6 Airfoil NACA 2412 (Lubis, 2012)
Contoh dari NACA 4 digit yaitu NACA 4415 dimana angka 4 pada digit pertama mengartikan empat perseratus dari chord atau 0,04 dan menentukan ketebalan maximum chamber. Angka 4 pada digit kedua memiliki arti empat per sepuluh dari chord atau 0,4c maka letak dari ketebalan maximum chamber terletak dengan chord 0,15c yang mempunyai arti ketebalan maksimum dari airfoil dan NACA 2412 dimana seri ini memiliki maksimum chamber 0.02 yang terletak pada 0.4c dari leading edge serta memiliki ketebalan maksimum 12% chord atau 0.12c.
Pembuatan distribusi kelengkungan dan ketebalan NACA seri empat ini diberikan berdasarkan suatu persamaan yang diambil dari internet. Bentuk NACA 2412 dalam desain masih 2D sehingga perlu didesain ulang dalam perangkat lunak agar mendapat desain dalam bentuk 3D.
2. NACA Seri 5 Digit
NACA seri 5 digit memiliki nilai gaya angkat lebih tinggi 0,1 sampai 0,2 dibanding NACA 4 digit pada bagian ketebalan dan chamber. Seri NACA 5 digit memiliki sistem penomoran yang berbeda dengan NACA 4 digit. Pada seri NACA 5 digit, digit pertama dikalikan 3/2 dan dibagi dengan 10 yang berguna sebagai desain untuk nilai coefficient angkat (lift). Letak dari maximum chamber memiliki arti setengah dari dua digit berikutnya terhadap chord. Digit 2 terakhir pada NACA 5 digit mempunyai arti persen ketebalan terhadap chord. Contoh dari seri airfoil NACA 5 digit yaitu NACA 24014 mempunyai arti gaya anagkat desain 0,3, letak maximum chamber pada 16% chord dari leading edge dan ketebalan sebesar 14%.
3. NACA Seri -1 (Seri 16)
NACA seri 1 memiliki arti penamaan hamper sama dengan NACA 5 digit, namun memiliki pembeda pada garis setelah 2 digit pertama contoh NACA 16-213.
Digit pertama ditunjukan dengan artian seri 1. Digit kedua ditujukan dengan artian persepuluh posisi tekanan maximum chamber terhadap chord. Angka dibelakang garis penghubung tidak memiliki arti yang signifikan hanya sebagai pemisah 2 digit pertama dengan 3 digit terakhir. Angka pertama dalam 3 digit terakhir diartikan persepuluh dari nilai gaya angkat dan dua angka terakhir ditunjukan dengan artian persentase maximum thickness terhadap chord. Jadi NACA 16-213 artinya seri 1 dengan letak tekanan pada minimum di 0,6 chord dari leading edge, dengan desain gaya angkat 0,2 dan ketebalan maksimum 0,13.
4. NACA Seri 6 Digit
NACA seri 6 digit memiliki aturan penamaan yang sangat rumit dibandingkan seri NACA yang lainnya dikarenakan memiliki variasi yang berbeda.
Adapun contoh dari NACA 6 seri ini yaitu NACA 641-213, digit pertama mengartikan a sebesar 0,6 dan dinyatakan bagian dari desain pada aliran laminer yang lebih besar dibandingkan dengan dua NACA dibawahnya yaitu NACA 4 digit dan NACA 5 digit. Digit kedua memiliki arti letak dari tekanan minimum dalam
persepuluh dari chord. Digit ketiga memiliki artian range dan minimum dicapai pada 0,1 diatas dan bawah. Digit ke 4 setelah garis penghubung yang ditunjukan dengan angka 2 mengartikan desain dari NACA tersebut. Dua angka terakhir diartikan persentase ketebalan dari chord yaitu 13% atau 0,13.
5. NACA Seri 7 Digit
NACA seri 7 digit biasanya diikuti dengan huruf pada tengah tulisan, contoh NACA 747A312. Digit pertama angka 7 diartikan seri dari NACA ini, kemudian digit kedua angka 4 diartikan lokasi tekanan minimum di permukaan atas dalam persepuluh dan digit ketiga angka 7 diartikan sebagai letak tekanan minimum di bagian permukaan bawah airfoil dalam persepuluh. Huruf A dalam NACA ini diartikan dengan format distribusi ketebalan dan garis standarisasi dari NACA seri yang pertama. Digit ke 4 angka 3 diartikan gaya angkat dari desain persepuluh dan 2 digit angka terakhir 12 diartikan persen ketebalan maksimum dari chord, yaitu 12% atau 0,12c.
6. NACA Seri 8
NACA seri 8 digit merupakan seri terakhir dari variasi sebelumnya dan desain pada NACA ini biasanya digunakan untuk pesawat dengan kecepatan supercritical.
Penamaan NACA seri 8 digit ini hampir sama dengan NACA seri 7 digit hanya saja digit pertamanya merupakan 8 yang diartikan dari serinya. Contoh NACA 835a212 merupakan airfoil NACA seri 8 dengan letak tekanan minimum pada permukaan atas ada 0,3c, serta lokasi dari tekanan di permukaan bawah pada 0,5 (Lubis, 2012).
2.3 Bilangan Reynold
Turbulen atau laminer merupakan suatu aliran yang melewati geometri airfoil sangat penting untuk diketahui, variabel yang digunakan untuk memprediksi kondisi dimana ditunjukan pada Persamaan 2.3 yang merupakan bilangan Reynold:
𝑅𝑒 = 𝜌.𝑉.𝑥μ 2.3
Dimana ρ adalah massa jenis udara dengan nilai massa jenis udara ditunjukan pada Tabel 2.1, μ adalah viskositas udara dengan nilai dari viskositas udara ditunjukan pada Tabel 2.2 dan x adalah panjang karakteristik geometri yang
dilewati oleh aliran. Besarnya angka Reynold aliran laminer dan turbulen sangat tergantung jenis geometri yang dilalui. Aliran laminar bilangan Reynold terdiri dari Re kurang dari 2300, serta memiliki aliran transisi pada bilangan reynold 2300 kurang dari Re kurang dari 4000 dan aliran turbulen pada bilangan Reynold Re kurang dari 4000 (Nurcahyadi, 2008). Berdasarkan kecepatan alirannya maka dapat dikategorikan menjadi aliran laminer (kurang dari 5 × 105) dan turbulen (lebih dari 5 × 105) pada aliran fluida eksternal (Indriawan, 2020)
Tabel 2.1 Massa Jenis Udara
T (°C) ρ (kg/𝑚3)
0 1,293
5 1,269
10 1,247
15 1,225
20 1,204
25 1,184
30 1,164
*⁾Lubis, 2012
Tabel 2.2 Viskositas Udara
T (°C) Viskositas (𝑚2/s)
20 15,05 × 10−6
40 16,92 × 10−6
60 18,86 × 10−6
80 20,88 × 10−6
100 22,98 × 10−6
*⁾Lubis, 2012
2.4 Efek Coanda dan Hukum Bernoulli
Sayap pesawat pada bagian atas memiliki proses yang juga menghasilkan suatu sistem apabila suatu aliran fluida mengalir berhubungan dengan hukum Bernoulli dan efek Coanda. Menurut Coanda suatu aliran udara yang melewati permukaan lengkung atau biasa dikenal dengan airfoil sepanjang daerah itu maka disebut dengan efek Coanda. Lilin yang dinyalakan pada depan botol kemudian ditiup dari belakang merupakan salah satu contoh adanya pembuktian secara simpel dari adanya efek Coanda. Menurut Coanda matinya lilin tersebut karena aliran
mati dan botol memiliki konsep yang sama dengan aliran fluida yang mengaliri sebuah airfoil pada sayap pesawat. Aliran fluida menabrak bagian depan sayap pesawat kemudian membelah dan mengalir pada bagian atas dan bawah, pada ujung sayap pesawat aliran fluida berkelompok dan bertambah sehingga berat aliran yang mengalir menjadi naik atau disebut downwash. Tanah juga memiliki downwash namun saat aliran fluida mengalir pada bawah tanah reaksi yang dihasilkan aliran fluida Kembali menuju atas. Reaksi gaya angkat diberikan apabila aliran fluida pada atas sayap pesawat lebih Panjang dari permukaan bawah. Reaksi ini ditunjukan pada Persamaan 2.4 dan sumber gaya angkat lainnya terjadi apabila tekanan udara pada sayap bagian atas dan bawah pesawat berbeda dan terjadi penerapan Hukum Bernoulli. Persamaan Bernoulli 2.4 merupakan persamaan energi untuk fluida inkompresibel di mana terdapat tiga bentuk energi (yang dipengaruhi oleh gravitasi). Batas-batas pemakaian persamaan Bernoulli ideal adalah alirannya konstan sepanjang lintasan dan mengabaikan segala kerugian yang terjadi dalam lintasan fluida. Jika alirannya terjadi perubahan atau kerugian turut diperhitungkan, maka hasilnya tidak akan ideal.
𝑃1+ρ𝑔ℎ1+ 1
2 ρ𝑉12 = 𝑃2+ ρgℎ2+ 1
2ρ 𝑉22 2.4
(Fajri, 2012)
Perbedaan antara aliran kompresibel dan inkompresibel di udara juga dapat dilihat dalam perbedaan mach number (rasio kecepatan aliran dengan kecepatan suara). mach number harus lebih besar dari 0,3 mach sehingga dianggap sebagai aliran kompresibel. Meskipun gas adalah kompresibel, perubahan densitas yang terjadi pada kecepatan rendah mungkin tidak besar. Perubahan densitas diplot sebagai fungsi dari mach number. Dimana P adalah tekanan fluida, 𝜌 adalah densitas fluida, jika gravitasi konstan maka ∅ ≡ 𝑔ℎ dan 𝑤 adalah entalpi fluida per satuan massa (Fajri, 2012).
2.5 Computational Fluid Dynamic (CFD)
Computational Fluid Dynamic atau CFD banyak dipakai peneliti dalam membantu menyelesaikan berbagai macam masalah secara alternatif tanpa melakukan hasil lapangan terlebih dahulu. Simulasi CFD banyak digunakan peneliti karena diklaim lebih murah dan praktis untuk dilakukan. Media dari CFD biasa melakukan simulasi dengan aliran fluida yang bergerak dengan menabrak suatu objek yang diam ataupun sebaliknya. Hasil dari simulasi CFD dapat diprediksi secara teliti dengan objek yang dilakukan oleh peneliti baik dari luar maupun dalam suatu tempat. Model CFD yang memiliki ketelitian paling akurat yaitu Large Eddy Simulation (LES) pada sebuah lokasi bangunan. Analisi CFD mudah untuk dimengerti dengan berbagai materi dari data eksperimen yang dilakukan dan dapat digunakan sebagai pembanding maupun acuan dengan hasil lapangan (Maulana, 201)
Simulasi CFD dilakukan dengan 3 cara, pertama proses merupakan awal mula pembentukan objek dari suatu model penelitian dengan format Computer Aided Design (CAD), kemudian melakukan mesh sesuai keinginan ataupun desain dan ditentukan aliran fluida yang akan diuji coba. Tahap kedua solving yaitu perhitungan berbagai macam elemen yang akan dimasukan kedalam CFD dan nilai dari material yang telah ditetapkan. Tahap ketiga atau terakhir adalah pengamatan dari hasil simulasi yang telah dilakukan dengan cara mengamati maupun menginterpretasi berupa kurva diagram, gambar ataupun animasi dari suatu aliran fluida atau pun objek yang telah dilakukan CFD (Maulana, 2016).
2.6 Penelitian Terdahulu
Penelitian ini memerlukan acuan penelitian-penelitian sebelumnya agar dapat mudah dalam menyelesaikan penelitian. Penelitian – penelitian terdahulu dapat berguna dalam menentukan variabel yang akan dikembangkan dalam penelitian ini agar bisa dioptimalkan dengan baik. Berikut ini merupakan penelitian terdahulu yang digunakan sebagai referensi pada penelitian ini yang dapat dilihat pada Tabel 2.3.
Tabel 2.3 Penelitian Terdahulu No Nama dan
Tahun Publikasi
Judul Referensi Hasil Penelitian 1 Arif Maulana
Ghofar (2018)
Pemilihan Sudut Pasang Airfoil NACA 2412 pada Tail UAV
Male dengan
menggunakan
Software Berbasis
CFD Untuk
Memperoleh Gaya Angkat Maksimal.
Hasil analisis simulasi didapatkan nilai gaya angkat yang dilakukan sebesar 10°
dengan nilai tertinggi pada V-tail sebesar 120,63.
2 Kurnia dkk (2019)
Analisis Pemilihan Airfoil Pesawat Terbang Tanpa Awak LSU-05 NG dengan Menggunakan
Analytical Hierarchy Process”.
Pada penelitian ini telah dilakukan pemilihan airfoil untuk pesawat LSU-05 NG dengan menggunakan metode AHP. Dari 1504 database airfoil yang telah dikumpulkan, dianalisis, dan disaring, diperoleh 5 buah airfoil yang memenuhi kriteria filter awal data 3 M. Mirsal Lubis
(2012)
Analisis aerodinamika airfoil NACA 2412 pada sayap pesawat model tipe glider dengan menggunakan software berbasis computational fluid dynamic untuk memperoleh gaya angkat maksimum
Metode yang digunakan adalah metode analisis simulasi dengan hasil yang didapatkan dengan airfoil NACA 2412 dengan sudut angkat 12° mendapatkan nilai gaya angkat maksimum sebesar 33,5509 N.