• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II: TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Titin Tri Nurtami

Academic year: 2023

Membagikan "BAB II: TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Komunikasi Kesehatan sebagai bagian dari Studi Komunikasi

Komunikasi kesehatan merupakan perkembangan dari kajian ilmu komunikasi, yang mengkaji tentang komunikasi antar manusia yang memiliki fokus pada bagaimana seorang individu dalam suatu kelompok atau masyarakat menghadapi isu-isu yang berhubungan dengan kesehatan serta berupaya untuk memelihara kesehatan (Northouse dalam Notoadmojo, 2005).

Komunikasi kesehatan merupakan interdisiplin ilmu dari studi komunikasi yang mempelajari peran manusia dalam melakukan pelayanan kesehatan juga menyampaikan promosi kesehatan (Littlejohn dan Foss, 2009, h. 464).

Kajian komunikasi kesehatan juga menggunakan beberapa teori pada ilmu komunikasi seperti teori uses and gratification, agenda setting, elaboration likelihood model dan teori yang berkaitan, hal tersebut dikarenakan komunikasi kesehatan merupakan bidang kajian yang luas dan kompleks, penelitiannya mencakup komunikasi interpersonal, komunikasi kelompok, komunikasi organisasi, komunikasi antar budaya, public relation, dan teknologi informasi dalam penyediaan dan pelayanan kesehatan, sehingga tidak mengherankan jika komunikasi kesehatan menggunakan teori dan model dalam studi komunikasi (Littlejohn dan Foss, 2009, h. 464). Selain itu komunikasi kesehatan juga menggunakan interdisplin ilmu yang lain seperti, psikologi, sosiologi, antropologi, kesehatan masyarakat, kedokteran,

(2)

keperawatan, pendidikan kesehatan, epidemiologi, dan kesejahteraan masyarakat. (Littlejohn dan Foss, 2009, h. 464).

Menurut Health Communication Partnership’s M/MC Health Communication Materials Database (2004) mengungkapkan bahwa komunikasi kesehatan merupakan penyampaian informasi tentang pencegahan penyakit, promosi kesehatan, kebijakan pemeliharaan kesehatan, regulasi dalam bidang kesehatan, mengubah dan membaharui kualitas individu dalam suatu komunitas atau masyarakat dengan mempertimbangkan aspek ilmu pengetahuan dan etika (, 2004). Secara umum, tujuan komunikasi kesehatan digunakan oleh tenaga kesehatan untuk mengurangi ketidakpastian dengan memberikan penjelasan kepada pasien maupun keluarga pasien tentang perawatan dan risiko kesehatan (Berry, 2007, h. 3). Selain itu, komunikasi kesehatan dilakukan sebagai upaya pencegahan penyakit serta promosi kesehatan (Rahmadiana, 2012).

Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa komunikasi kesehatan merupakan aplikasi dari konsep dan teori komunikasi dalam transaksi yang berlangsung antar individu/kelompok terhadap isu-isu kesehatan. Tujuan pokok dari komunikasi kesehatan adalah perubahan perilaku kesehatan dalam rangka meningkatkan kualitas kesehatan.

Littlejohn dan Foss (2009) menjelaskan bahwa komunikasi kesehatan digunakan untuk mengkaji empat perspektif yang saling berkaitan, yaitu 1) komunikasi kesehatan dan pemberian perawatan (delivery of health care), 2) komunikasi kesehatan dan promosi (promotion of health), 3) komunikasi

(3)

risiko dan kesehatan (health and risk communication), 4) komunikasi kesehatan dan teknologi (new information technologies/E-Health).

a. Komunikasi kesehatan dan pemberian perawatan (delivery of health care)

Komunikasi kesehatan digunakan dokter atau perawat dengan menggunakan interaksi interpersonal verbal maupun non-verbal ketika melakukan pemeriksaan, diagnosa, check-up, dan perawatan kepada pasien.

Interaksi antara tenaga kesehatan dengan pasien banyak diteliti menggunakan komunikasi kesehatan termasuk juga social penetration theory yang digunakan untuk mengetahui kedekatan rasional melalui pengungkapan diri, uncertainty reduction theory yang digunakan untuk mengetahui bagaimana pertukaran informasi melalui interaksi interpersonal yang digunakan untuk memahami informasi sehingga dapat mengurangi ketidakpastian, serta teori lain yang berhubungan dengan pemberian informasi perawatan kepada pasien (Littlejohn & Foss, 2009, h. 465).

Penelitian mengenai pemberian perawatan melalui komunikasi kesehatan telah dilakukan oleh Samii, Dykes, dkk (2006) tentang penggunaan telemedicine1 untuk memberikan perawatan kepada pasien parkinson. Tones (1977) meneliti tentang peran tenaga ahli kesehatan dalam upaya promosi kesehatan kepada masyarakat. Ebrahim (1974) melakukan penelitian mengenai cara negara berkembang dalam mempromosikan kesehatan pada

1 Telemedicine adalah pengobatan jarak jauh, pasien berada di fasilitas sejauh 67 – 2400 km.

Setiap fasilitas memiliki peralatan videoconference (dihubungkan oleh Protokol Internet pada 384 kbit / s), dan terminal komputer yang dapat mengakses rekam medis elektronik pasien.

(Samii, Daykes, dkk, 2006).

(4)

masyarakat khususnya pada kelahiran dan kematian bayi (mortality and death infants). Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Caggiano, Fegley, dkk (2015) tentang preferensi pasien dalam penyampaian perawatan setelah operasi yang tercantum pada The Patient Protection and Affordable Care Act of 2010 atau perlindungan dan pelayanan pasien.

b. Komunikasi kesehatan dan promosi (promotion of health)

Mengadopsi gaya hidup sehat untuk pencegahan penyakit, pemeriksaan dini, dan pengobatan merupakan bagian dari tujuan penggunaan komunikasi kesehatan untuk mempromosikan kesehatan. Promosi tersebut dilakukan dengan mengembangkan dan melaksanakan kampanye persuasif tentang kesehatan kepada masyarakat melalui berbagai saluran komunikasi (Littlejohn

& Foss 2009, h. 465).

Pada promosi kesehatan digunakan beberapa teori komunikasi seperti, uses and gratification, agenda-setting, elaboration likelihood model, social marketing model, transtheoritical model untuk menyusun pesan kampanye kesehatan melalui lima tahap precontemplation, kontemplasi, persiapan, tindakan, dan pemeliharaan (Littlejohn & Foss, 2009, h. 466).

Kajian komunikasi kesehatan untuk mempromosikan kesehatan dapat ditelusuri melalui penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Raine (2012) yang meneliti tentang iklan komersial yang bertujuan untuk mempromosikan kesehatan seperti pola makanan sehat dan olahraga kepada anak-anak sekolah.

Lake (2001) mengkaji tentang pendidikan olahraga di sekolah sebagai bentuk

(5)

promosi kesehatan pada remaja usia 16 – 18 tahun. Kemudian pada penelitian Fukuba (1992) meneliti tentang pembuatan undang-undang makan siang di Jepang untuk anak-anak sekolah sebagai bagian dari promosi kesehatan, sistem undang-undang ini berkontribusi terhadap perbaikan kondisi fisik anak- anak, dan juga menambah pengetahuan mereka terhadap makanan, kebersihan dan gizi. Quraeshi (1998) meneliti tentang konferensi Royal Society for the promotion health sebagai bentuk promosi penggunaan kontrasepsi pada masyarakat Inggris. Hodges (2016) meneliti tentang keefektifan promosi kesehatan melalui liga musim panas baseball di New York.

c. Komunikasi risiko dan kesehatan (health and risk communication) Para peneliti berpendapat bahwa komunikasi kesehatan penting dilakukan untuk menyampaikan risiko kesehatan seperti, penyebaran infeksi penyakit, bencana alam, pencemaran udara, air dan kandungan makanan.

Menyampaikan risiko kesehatan sejak awal bertujuan untuk mempersiapkan masyarakat untuk menghadapi kemungkinan terburuk yang akan terjadi (Littlejohn & Foss, 2009, h. 467).

Beberapa teori telah digunakan dalam pengkomunikasian risiko kesehatan.

Salah satunya adalah risk perception model yang menggambarkan banyak faktor yang mempengaruhi setiap individu dalam menginterpretasi risiko kesehatan seperti, ketidakpastian, ketakutan, kepercayaan, etika, pemahaman, dan lain sebagainya (Littlejohn & Foss, 2009, h. 467).

(6)

Penelitian mengenai health and risk communication dapat ditelusuri melalui beberapa penelitian diantaranya, penelitian yang dilakukan oleh Brewer, Zheng, dkk (2009) yang meneliti tentang cara terbaik dalam pengkomunikasian risiko kepada pasien kanker payudara. Stevenson, Savage, dkk (2017) meneliti tentang pengkomunikasian risiko pada pasien penderita demensia untuk memberikan informasi dan pengambilan keputusan. Engdahl dan Lidskog (2012) meneliti tentang faktor yang mempengaruhi pemahaman risiko kesehatan yang disampaikan oleh dokter kepada pasien. Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Fahlquist (2014) mengenai pengkomunikasian risiko yang akan terjadi kepada ibu yang memiliki anak yang tidak menerima asi dari ibunya (non-breastfeeding mothers). Ming-Ou dan Liu (2012) meneliti tentang pengkomunikasian risiko kepada pasien yang terserang virus H1N1 di Taiwan.

d. Komunikasi kesehatan dan teknologi (E-Health)

E-health merupakan teknologi baru pada bidang komunikasi kesehatan yang menggunakan komputer dan informasi digital untuk menyampaikan informasi kesehatan. Namun, permasalahan pada penggunaan teknologi baru adalah keakuratan informasi yang diberikan kepada masyarakat. Selain itu, masalah lain seperti pemberian informasi yang berlebihan, misinformasi, akses yang sama terhadap informasi kesehatan, kurangnya privasi menjadi perhatian utama pada penggunaan teknologi komunikasi kesehatan (Littlejohn

& Foss, 2009, h. 468).

(7)

Dalam mengkaji penggunaan teknologi pada komunikasi kesehatan, digunakan teori dari ilmu komunikasi seperti diffusion and inovation theory, organizational culture theory digunakan untuk meneliti sistem perawatan kesehatan modern dalam mengubah dan merangkul pengguna teknologi untuk mendapatkan perawatan kesehatan, pendidikan, dan dukungan sosial (Littlejohn & Foss, 2009, h. 468).

Penelitian mengenai teknologi baru (E-Health) pada komunikasi kesehatan telah dilakukan oleh Ekroos dan Jalonen (2007) tentang penggunaan E-Health untuk proses perawatan pasien penderita diabetes di Finladia. Knapp (2010) meneliti tentang pengguanaan E-Health sebagai upaya untuk mengurangi kesalahan medis, memperbaiki akses terhadap hasil diagnosa dan laboratorium, dan memperbaiki komunikasi antara dokter/perawat dan pasien.

Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Savastano, Hovsto, dkk (2008) yang mengkaji tentang keamanan dan etika penggunaan E-Health dan telemedicine dalam perawatan kesehatan. Marashinge, Edirippulige, dkk (2007) yang meneliti pengaruh penggunaan E-Health di rumah sakit Srilanka terhadap peningkatan kesehatan masyarakat. Anshari dan Almunawar (2013) meneliti tentang tanggapan masyarakat terhadap penggunaan dan pemberdayaan E-Health di rumah sakit Brunei Darussalam.

(8)

2.2 Health and Risk Communication sebagai Bagian Studi Komunikasi Kesehatan

Salah satu perspektif dari empat persepektif menurut Littlejohn dan Foss (2009) yang termasuk dalam studi komunikasi kesehatan adalah komunikasi risiko (health and risk communication). Menurut World Health (2000), komunikasi risiko merupakan pertukaran informasi dan pandangan mengenai risiko serta faktor-faktor yang berkaitan dengan risiko di antara para pengkaji risiko, manajer risiko, konsumen dan berbagai pihak lain yang berkepentingan.

Definisi komunikasi risiko dalam komunikasi kesehatan menurut Littlejohn dan Foss (2009, h. 467) merupakan komunikasi yang dilakukan untuk mengidentifikasi wabah (epidemic), bencana alam, bioterorisme2, paparan racun, makanan yang terkontaminasi, polusi udara dan air, dengan tujuan untuk mempersiapkan masyarakat umtuk menghadapi risiko kesehatan yang akan terjadi. Sedangkan, menurut Viswanath (dalam Donsbach, 2010, h.

2079) komunikasi risiko merupakan komunikasi yang dilakukan melalui komunikasi interpersonal dari dokter atau tenaga kesehatan lainnya kepada anggota keluarga, teman atau bahkan media massa untuk menyampaikan kemungkinan terburuk atau risiko yang akan terjadi kepada pasien, tujuan komuikasi risiko adalah untuk mengubah persepsi dan perilaku pihak yang menerima informasi risiko tersebut. Dari definisi di atas dapat dipahami dan

2 Bioterorisme adalah penggunaan bakteri jahat, virus, atau racun terhadap manusia, hewan, atau tanaman dalam upaya untuk menyebabkan kerusakan dan menciptakan rasa takut.

Bioterorisme menggunakan produk mikroba atau mikroba. (Diakses pada tanggal 13 Oktober 2017, dari elib.fk.uwks.ac.id/asset/.../SEKILAS%20TENTANG%20%20BIOTERORISME.pdf)

(9)

ditarik kesimpulan bahwa komunikasi risiko dilakukan oleh tenaga kesehatan tidak hanya untuk mempersiapkan masyarakat dalam menghadapi risiko kesehatan secara luas, namun juga dilakukan untuk menyampaikan risiko atau kemungkinan terburuk dengan tujuan menyelamatkan individu atau pasien yang sedang dalam proses penyembuhan dan perawatan medis.

Tujuan utama komunikasi risiko adalah untuk meningkatkan persepsi terhadap risiko atau kemungkinan buruk sehingga dapat mengubah perilaku audiens. Sebagaimana risiko didefinisikan sebagai kemungkinan buruk, ketidakpastian dan akibat-akibatnya, sehingga penerima informasi diharapkan dapat menimbang sebab-akibat sebelum memutuskan tindakan perawatan selanjutnya (Viswanath dalam Donsbach, 2010, h. 2079).

Ada banyak pertimbangan yang diperlukan untuk dapat menjalankan komunikasi risiko secara efektif, khususnya risiko yang melibatkan masyarakat luas, dan semua pertimbangan ini dapat dikelompokkan dalam suatu rangkaian dengan menggunakan pendekatan sistematik pada proses komunikasi risiko (World Health Organization, 2010). Hal tersebut dapat dilakukan dengan mengumpulkan latar belakang dan informasi yang diperlukan untuk kemudian diikuti dengan penyiapan dan penyusunan pesan, penyebarluasan serta distribusinya, dan kajian tindak lanjut serta evaluasi dampaknya (World Health Organization, 2010).

Dianne Berry (2004, h. 80) menyampaikan bahwa pesan dalam komunikasi risiko harus mempertimbangkan kebutuhan dan tujuan dari pasien

(10)

maupun tenaga kesehatan serta memikirkan jalan tengah diantara keduanya jika terjadi konflik. Keseimbangan informasi ini dipahami sebagai pemberian informasi mengenai manfaat dan juga risiko dari perawatan. Cuervo dan Aranson (dalam Berry, 2004) berpendapat bahwa pada bidang kesehatan, pasien maupun pihak terkait memerlukan informasi mengenai tentang efek, manfaat, bahaya, dan intervensi yang relevan. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa pemberian informasi mengenai risiko maupun manfaat pengobatan dapat mempengaruhi kepuasan, kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan (Bersellini dalam Berry, 2004).

Komunikasi risiko tidak hanya dilakukan secara efektif, tetapi juga harus sesuai dengan etika dalam penyampaian informasi. Beuchamp dan Childress (dalam Berry, 2004) menjelaskan empat prinsip etika penyampaian komunikasi risiko:

1. Menghormati otonomi (respect patients’ otonomy). Otonomi adalah hak individu untuk memutuskan untuk diri mereka sendiri apa yang mereka ingin lakukan. Dengan demikian, menghormati otonomi membutuhkan tenaga kesehatan untuk membantu pasien maupun keluarga untuk membuat keputusan dalam perawatan atau pengobatan 2. Melakukan hal yang terbaik (beneficience). Prinsip ini berkaitan

dengan memberikan manfaat kepada pasien, tenaga kesehatan harus melakukan yang terbaik dalam bertindak atas nama pasien.

3. Tidak bertindak merugikan (non-maleficience). Prinsip ini menyatakan bahwa tenaga kesehatan tidak membahayakan pasien. Prinsip tersebut

(11)

sudah tercantum dalam sumpah dokter (Hippocratic oath). Sumpah tersebut menyatakan bahwa dokter/perawat akan mendedikasikan diri mereka untuk membantu orang sakit dan tidak membahayakan atau merugikan.

4. Bersikap adil (justice). Prinsip ini membutuhkan tenaga kesehatan untuk bersikap adil terhadap pasien. Seperti melakukan perawatan kepada pasien sesuai dengan diagnosa tanpa membeda-bedakan.

Mengkomunikasikan perawatan, diagnosa, dan risiko kepada pasien juga sesuai dengan kebenaran atau keadaan yang sebenarnya (honesty and truth telling) selain itu, keputusan perawatan juga telah dijelaskan oleh tenaga kesehatan kepada pasien dengan jelas dan telah mendapatkan persetujuan (informed consent) (Berry, 2004, h. 80).

a. Pemberian informasi dengan jujur (honesty and truth telling) pembentukan dan pemeliharaan hubungan interpersonal yang efektif antara penyedia tenaga kesehatan, pasien dan anggota keluarga adalah dengan kejujuran dan kepercayaan. Pasien dan keluarga tidak akan mengembangkan kepercayaan dokter dan profesional lainnya jika mereka percaya bahwa mereka tidak jujur sepenuhnya dengan mereka.

b. Persetujuan (informed consent)

Dalam pemberian informasi perawatan, tenaga kesehatan tidak hanya menginformasikan kepada pasien, tetapi juga kepada anggota keluarga atau pihak yang bersangkutan dengan pasien

(12)

untuk mendapatkan persetujuan (Viswanatah dalam Donsbach, 2010, h. 2089).

Penelitian mengenai health and risk communication atau pengkomunikasian risiko di Indonesia telah diteliti oleh Setiawan (2014) yang meneliti bagaimana komunikasi risiko yang terjadi antara dokter dengan pasien sebagai upaya dokter agar dapat meminimalisir terjadinya risiko medis di Yogyakarta. Hayat (2013) meneliti tentang pengkomunikasian risiko kesehatan kepada petugas operator SPBU di Ciputat akibat paparan Benzena, penelitian serupa juga dikaji oleh Salim (2011) tentang pengkomunikasian risiko kesehatan kepada petugas operator di SPBU Pancoran Mas akibat paparan Benzena. Dari penelitian-penelitian tersebut tergambar bahwa komunikasi risiko yang dilakukan oleh dokter/perawat masih belum banyak dikaji di Indonesia, dan penelitian tersebut masih berfokus pada pengkomunikasian risiko kepada pasien, belum mengulas lebih jauh tentang pengkomunikasian risiko kepada keluarga. Padahal komunikasi risiko yang dilakukan oleh dokter/perawat tidak hanya dilakukan kepada pasien, namun juga keluarga yang memegang peran penting sebagai salah satu support group dalam proses perawatan pasien.

2.3 Peran Keluarga dalam Konteks Perawatan

Selain dibagi dalam empat perspektif, studi komunikasi kesehatan dapat dipetakan berdasarkan level kajian melalui interaksi interpersonal (Viswanath

(13)

dalam Donsbach, 2010, h. 2078) antara lain: consumer-provider communication, pada level ini berfokus pada interaksi antara tenaga kesehatan dengan pasien melalui interaksi interpersonal, selain itu pasien tidak hanya berinteraksi dengan dokter namun dalam proses perawatan dan pengobatan pasien juga berinteraksi dengan apoteker, spesialis, dan staff klinis lain. Level kedua adalah social support, social capital dan social network, pada level ini dijelaskan bahwa dalam konteks kesehatan selama perawatan dan pengobatan pasien membutuhkan dukungan sosial yang didapat dari anggota keluarga, teman, atau rekan kerja yang merupakan bagian dari support group. Dukungan sosial tersebut dapat berupa solusi pemecahan masalah, dorongan dan dukungan perubahan perilaku dalam menghadapi masalah kesehatan pasien.

Dukungan sosial dari keluarga dibutuhkan oleh pasien selama perawatan dan pengobatan secara intensif. Penelitian yang dilakukan oleh Kryworuchko (2011) membuktikan bahwa intervensi dukungan keluarga dapat mengurangi kemungkinan kematian pasien sebesar 50% hingga 90%. Selain itu, tenaga kesehatan membutuhkan kerjasama dengan keluarga dalam pengambilan keputusan perawatan pasien serta meningkatkan hubungan kepercayaan antara tenaga kesehatan dan keluarga (Kryworuchko, 2011). Hal tersebut juga dikemukakan oleh Littlejohn dan Foss (2009, h. 466) bahwa pasien atau orang yang memiliki masalah kesehatan seringkali memerlukan dukungan sosial untuk membantu dalam memberikan dorongan dan motivasi untuk bertahan dalam menghadapi kondisi medis kronis.

(14)

Keluarga dapat memberikan dukungan sosial secara psikologis, berempati, dan membantu pasien dalam menghadapi masalah kesehatan (Berry, 2007).

Menurut Johnson dan Johnson (dalam Berry, 2007, h. 22) komunikasi yang dilakukan dengan keluarga, teman, atau rekan kerja termasuk ke dalam komunikasi small-groups. Small-groups mengacu pada komunikasi verbal dan non-verbal yang terjadi diantara kumpulan individu dan saling bergantung dalam mencapai tujuan bersama (Northouse dan Northouse, dalam Berry, 2007). Tujuan bersama dalam pengkomunikasian risiko yang dilakukan oleh perawat kepada keluarga pasien adalah untuk pengambilan keputusan perawatan dan mewujudkan kesembuhan pasien.

Selain termasuk ke dalam kajian level melalui interaksi interpersonal, Northouse dan Northouse (dalam Berry, 2007, h. 48) membagi ke dalam empat hubungan dalam komunikasi kesehatan3 yaitu, hubungan antara tenaga kesehatan dan keluarga/kerabat pasien (professional and client’s significant others). Berkomunikasi dengan keluarga pasien dengan latar belakang dan pengetahuan yang berbeda sering menjadi permasalahan bagi tenaga kesehatan. Namun, informasi mengenai keadaan pasien tetap disampaikan kepada keluarga karena seringkali beberapa informasi tidak dapat disampaikan langsung kepada pasien, penyampaian informasi tersebut diharapkan dapat menjadi dukungan dan penerimaan keluarga yang dapat membantu pasien

3 Pembagian hubungan dalam komunikasi kesehatan menurut Northouse dan Northouse (dalam Berry, 2007) yaitu, hubungan antara tenaga kesehatan (dokter/perawat) dengan tenaga kesehatan lainnya (professional and professional), tenaga kesehatan dengan pasien (professional and client), tenaga kesehatan dan keluarga/kerabat pasien (professional and client’s significant others) dan pasien dengan keluarga/kerabat (clients and significant others).

(15)

menghadapi kondisi medis dalam masa penyembuhan (Northouse dan Northouse, dalam Berry, 2007, h. 48). Dalam hubungan komunikasi dengan keluarga terdapat dua macam jenis komunikasi yaitu, previleged communication dan filtered communication. Previleged communication, adalah komunikasi yang hanya diberikan kepada keluarga tidak kepada pasien, sedangkan filtered communication adalah informasi yang sudah disaring dan dipilih untuk disampaikan kepada keluarga maupun pasien.

Pengkomunikasian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan kepada keluarga pasien adalah untuk mendapatkan dukungan sosial, penerimaan hingga pengambilan keputusan perawatan (medical decision makingi) (Northouse dan Northouse, dalam Berry, 2007, h. 49).

Kehadiran keluarga tidak hanya dibutuhkan dalam perawatan sakit fisik tetapi juga sakit psikologis (kejiwaan). Dalam penanganan terhadap pasien gangguan jiwa, obat bukanlah segala-galanya, namun perlu dilakukan konseling, psikoterapi serta rehalibitasi. Disini peran keluarga sangat diharapkan terhadap penyembuhan pasien gangguan jiwa (Fhitrisia, 2008).

Pentingnya keterlibatan keluarga dalam proses perawatan gangguan jiwa telah diteliti oleh Aschbrenner, Peppin, dkk (2014) dalam penelitian tersebut dijelaskan bahwa anggota keluarga memiliki peran aktif dalam proses perawatan pasien gangguan jiwa yang sudah lanjut usia. Selama proses perawatan, anggota keluarga diberikan edukasi mengenai informasi diagnosa, pemberian obat dan juga keputusan perawatan. Dukungan keluarga memberikan hasil pada perubahan perilaku hidup sehat pasien.

(16)

Semiun (2006, h. 89) dalam menangani individu-individu yang menderita gangguan jiwa seperti skizofernia dapat diatasi dengan pendekatan terapi keluarga. Pendekatan ini didasarkan atas penemuan bahwa stress akan menyebabkan gangguan jiwa, karena itu terapi ini melibatkan keluarga pasien sebagai lingkungan kemana pasien akan kembali setelah menjalani perawatan medis. Tiga faktor yang membedakan pendekatan terapi keluarga dengan pendekatan lainnya:

1. Pendekatan ini berupaya agar keluarga menyadari bahwa mereka memiliki anggota keluarga yang menderita gangguan jiwa, mengurangi harapan dan tuntutan terhadap penderita, mengembangkan kerjasama untuk memecahkan masalah bersama- sama.

2. Terapi keluarga tidak menangani masalah-masalah yang mendasar, melainkan memberikan edukasi kepada para anggota keluarga teknik-teknik pemecahan masalah. Misalnya, bila berhadapan dengan suatu masalah, mereka diajarkan untuk berbicara bersama, mengidentifikasi masalah, dan mempertimbangkan pemecahan masalah.

3. Terapi keluarga tidak mengarah kepada perawatan penderita gangguan jiwa, tetapi pada usaha pencegahan agar tidak kambuh kembali dengan melakukan kontrol perawatan atau melakukan pengobatan.

(17)

Studi pendekatan terapi keluarga dapat ditelusuri pada studi Palo Alto School salah satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh Virginia Satir (1967) yang membahas tentang teknik dalam pendekatan terapi keluarga (Conjoint Family Therapy), dalam penelitiannya dijelaskan bahwa tujuan utama terapi keluarga adalah menangani masalah utama dalam keluarga, salah satu contohnya adalah memiliki anggota keluarga yang didiagnosa sebagai penderita gangguan jiwa (identified patients). Terapi keluarga tersebut diterapkan untuk melibatkan semua anggota keluarga untuk mendukung dan menerima serta menangani masalah dalam keluarga tersebut.

Penelitian mengenai pentingnya peran keluarga dalam perawatan dapat ditelusuri melalui penelitian Deimling, Smerglia (1990) yang meneliti tentang pengambilan keputusan perawatan pada pasien lanjut usia dengan melibatkan keluarga. Kemudian, Soderback dan Christensson (2007) yang meneliti tentang bagaimana perawat melibatkan keluarga dalam mengambil keputusan dan pilihan pengobatan kepada pasien anak-anak di Mozambik. Zheng dan Yin (2008) menggambarkan bagaimana peran dan motif keluarga selama perawatan pasien di rumah sakit Taiwan. Penelitian dari Luttik, Gossens, dkk (2016) bertujuan untuk menggambarkan sikap perawat terhadap keterlibatan keluarga dalam perawatan pasien dan untuk mengetahui kontribusi keluarga melalui karakteristik latar belakang demografis, profesional dan regional. Rosland, Heisler, dkk (2008)

meneliti tentang peran dukungan keluarga penderita diabetes dan gagal jantung selama perawatan dan pemberian obat.

(18)

Hasil dari beberapa penelitian tersebut menunjukan bahwa efektivitas dukungan dari keluarga dapat meringankan kondisi kesehatan secara fisik maupun jiwa. Sehingga, dapat dilihat pentingnya komunikasi yang dilakukan oleh perawat untuk melibatkan keluarga dalam perawatan dengan tujuan untuk memberikan dukungan sosial hingga pengambilan keputusan perawatan.

2.4 Fenomenologi untuk Mengungkap Makna

Studi fenomenologi mendeskripsikan pemaknaan umum dari sejumlah individu mengenai berbagai pengalaman hidup terkait dengan konsep atau fenomena (Creswell, 2013, h. 105). Tujuan utama dari fenomenologi adalah untuk mereduksi pengalaman individu pada fenomena menjadi deskripsi tentang esensi atau intisari universal (Van Men dalam Cresswell, 2013). Fenomenologi tidak hanya deskripsi, tetapi juga merupakan proses penafsiran yang penelitinya menafsirkan, memediasi antara makna yang berbeda, tentang makna dari pengalaman-pengalaman hidup tersebut (Van Men dalam Cresswell, 2013, h.

110).

Fenomenologi merupakan pandangan berpikir yang menekankan pada fokus kepada pengalaman-pengalaman subjektif manusia (Moustakas dalam Hasbiansyah, 2008). Pendekatan fenomenologi digunakan sebagai landasan untuk memahami makna suatu gejala. Fenomenologi mengacu pada pengalaman sebagaimana yang muncul pada kesadaran, penjelasan lebih lanjut fenomenologi adalah ilmu yang menggambarkan apa yang seseorang terima, rasakan, dan ketahui di dalam kesadaran langsungnya pengalaman dan apa yang muncul dari

(19)

kesadaran itulah yang disebut sebagai fenomena (Moustakas dalam Hasbiansyah, 2008)

Intisari fenomenologi menurut Stanley Deetz (dalam Littlejohn & Foss, 2005, h. 38) adalah pertama, pengetahuan adalah hal yang disadari. Pengetahuan tidak disimpulkan dari pengalaman tetapi ditemukan langsung dalam pengalaman kesadaran. Kedua, makna dari sesuatu terdiri dari potensi-potensi dalam kehidupan seseorang. Bagaimana hubungan seseorang dengan suatu objek itu bagi yang bersangkutan. Ketiga, bahasa merupakan sarana bagi munculnya makna.

Individu mengalami dunia dan mengekspresikannya melalui bahasa.

Dalam memahami fenomenologi, terdapat beberapa konsep dasar yang perlu dipahami, antara lain, konsep fenomena, epoche, konstitusi, kesadaran dan reduksi (Hasbiansyah, 2008).

a. Fenomena

Fenomena menurut Moustakas (dalam Hasbiansyah, 2008) adalah apa saja yang muncul dalam kesadaran. Obyek yang muncul dalam kesadaran berbaur dengan objek yang ada secara alamiah, sehingga makna diciptakan dan pengetahuan dikembangkan. Suatu hubungan berada antara yang ada dalam kesadaran yang disadari dan apa yang berada dalam dunia. Apa yang muncul dalam kesadaran adalah realitas absolut sedangkan apa yang muncul di dunia adalah suatu produk belajar (Moustakas dalam Hasbiansyah, 2008).

b. Kesadaran

(20)

Kesadaran adalah pemberian makna yang aktif. Individu selalu mempunyai pengalaman tentang diri individu sendiri, tentang kesadaran yang identik dengan diri individu sendiri. Kesadaran tak lain, adalah keterbukaan dan kelangsungan hubungan yang lain di mana dirinya dengan yang lainnya tidak memiliki pemisahan yang tegas (Hasbiansyah, 2008).

c. Konstitusi

Konstitusi merupakan proses konstruksi dalam kesadaran manusia.

Ketika melihat suatu bentuk benda, yang tampak pada indera selalu hanya sebagian. Tetapi kesadaran melakukan konstitusi, sehingga kemungkinan bentuk dari sisi lain dapat disadari. Konstitusi adalah hal yang dilihat dari sudut pandang subjek, memaknakan dunia dan alam semesta yang dialami (Hasbiansyah, 2008).

d. Epoche

Epoche merupakan konsep yang dikembangkan oleh Husserl, yang terkait dengan upaya mengurangi atau menunda penilaian (bracketing) untuk memunculkan pengetahuan di atas setiap keraguan yang mungkin (Hasbiansyah, 2008).

e. Reduksi

Reduksi merupakan kelanjutan dari epoche. Manusia memiliki sikap alamiah yang mengandaikan bahwa dunia ini sungguh sebagaimana diamati dan dijumpai. Dalam reduksi terdapat dua macam reduksi yaitu, reduksi fenomenologis, dan reduksi-fenomenologis-transedental

(21)

Sehingga seorang peneliti fenomenolog sebaiknya menanggalkan teori, prasangka, agar dapat memahami sebuah fenomena sebagaimana adanya (Hasbiansyah, 2008).

Penggunaan pendekatan fenomenologi dengan tujuan untuk mengungkap makna telah dilakukan dalam penelitian Gibson dan Hanes (2003) menggunakan metode fenomenologi untuk meneliti bagaimana departemen HRD menjelaskan esensi pengalaman manusia. Rousell dan Bachelor (2000) meneliti tentang pengalaman sadar penderita skizofrenia. Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Shaw (2009) yang mengkaji tentang esensi demokrasi yang meliputi kebebasan bersuara setiap individu dan pengambilan keputusan menggunakan pendekatan fenomenologi. Meadows (1975) mengkaji A joy scale untuk menggambarkan kebahagiaan seseorang, dalam penelitian tersebut dijelaskan setiap individu diminta untuk memberikan skala kebahagiaan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi mood dan kebahagiaan seseorang.

Berdasarkan pengertian dari fenomenologi di atas, maka penelitian ini merujuk pada penelitian fenomenologi yang bertujuan untuk menggambarkan pengalaman sadar perawat di Rumah Sakit Jiwa Dr. Radjiman Wediodiningrat dalam melakukan komunikasi keluarga pasien gangguan jiwa terkait proses perawatan dan pengobatan pasiens. Jadi, menurut peneliti metode ini merupakan metode yang tepat untuk meneliti dan menafsirkan makna objek yang akan dikaji.

2.5 Kerangka Pemikiran

Penelitian ini berfokus bahwa komunikasi diperlukan oleh dokter maupun perawat tidak hanya kepada pasien tetapi juga kepada keluarga pasien.

(22)

Komunikasi pada keluarga dianggap penting dalam proses perawatan karena keluarga merupakan sistem pendukung utama pasien dalam memberikan dukungan, dorongan dan motivasi. Sementara itu, di Indonesia, memiliki anggota keluarga penderita gangguan jiwa masih dianggap aib sehingga hal tersebut membuat keluarga menjauhi penderita, padahal kehadiran keluarga tidak hanya berperan dalam memberikan dukungan sosial, tetapi juga dibutuhkan selama perawatan pasien gangguan jiwa.

Dalam proses perawatan perawat tidak hanya berkomunikasi dengan pasien tetapi juga dengan keluarga terkait dengan perawatan serta pengobatan yang diberikan. Berkomunikasi dengan keluarga dianggap penting karena perawat membutuhkan kerjasama keluarga untuk memberikan keputusan perawatan dan pengobatan pasien. Pada dasarnya dalam konteks tersebut komunikasi yang dilakukan oleh perawat merupakan komunikasi risiko (risk communication).

Sehingga melalui penelitian ini, peneliti bermaksud mengetahui lebih lanjut bagaimana komunikasi risiko dilakukan oleh perawat dalam penyampaian informasi pengobatan dan perawatan kepada keluarga di Rumah Sakit Jiwa Dr.

Radjiman Wediodiningrat menggunakan desain penelitian fenomenologi.

(23)

Keterangan: Penelitian ini berfokus pada pengkomunikasian risiko yang dilakukan perawat dalam menyampaikan informasi keluarga pasien mengenai tindakan perawatan serta pengobatan untuk pasien gangguan jiwa, sehingga hasil dari proses komunikasi risiko akan memberikan keputusan perawatan pasien dari keluarga, pada proses komunikasi risiko antara perawat dan keluarga diberikan garis tegas. Namun, pada penelitian ini juga tidak menghilangkan tugas utama perawat dalam memberikan perawatan kepada pasien gangguan jiwa.

Pasien gangguan jiwa Keluarga

Perawat

Bagan 2.1 Kerangka pemikiran Sumber: data diolah oleh penulis

Komunikasi risiko (risk communication)

(24)

34

Referensi

Dokumen terkait

PERCEPTIONS OF MASS COMMUNICATION STUDENTS OF CENTRAL PHILIPPINE UNIVERSITY ON WEIGHT LOSS ADVERTISEMENT A Research Report Presented to The Department of Languages, Mass Communication

These figures form ways of coming to terms with the double authorship of all translation – even self-translation – and of the author’s sense of survival as “self” or “other” in the