• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

Besi tuang merupakan paduan unsur besi yang mengandung karbon (C), silika (Si), mangan (Mg), fosfor (P) dan belerang (S). Semakin tinggi kandungan karbon pada besi cor akan menyebabkan besi cor menjadi rapuh. Hal ini menjadi kelebihan besi cor, karena untuk mendapatkan bentuk benda yang diinginkan hanya diperlukan sedikit proses pemanasan.

Besi cor kelabu mempunyai kandungan silikon sebesar 2% dan mudah membentuk grafit sehingga Fe3C tidak terbentuk. Besi tuang kelabu mempunyai keuletan yang sangat rendah sehingga bila diuji tarik akan terbentuk zona patah (Sumber: Wahyu Darmadi, 2015). Besi cor nodular kuat namun rapuh, tahan terhadap gesekan dan keuletan yang baik.

Pada besi tuang, karbon bergabung dengan besi membentuk besi karbida atau dalam bentuk bebas sebagai grafit. Silikon ditambahkan di sekelilingnya untuk mendorong pembentukan grafit. Silikon itu sendiri dalam besi tuang terletak di dalam ferit. Struktur besi cor mempengaruhi sifat mekanik dan juga sifat fisik besi.

Sifat mekanik besi cor dipengaruhi oleh bentuk, ukuran, distribusi dan jumlah grafit di dalamnya.

Gambar 2.3 Struktur Mikro Besi Cor Putih   Sumber : Wahyu Darmadi, 2015
Gambar 2.3 Struktur Mikro Besi Cor Putih Sumber : Wahyu Darmadi, 2015

Diagram Keseimbangan Fasa Fe-C

Diagram TTT dan CCT

  • Sel Satuan
  • Sifat – Sifat Material
  • Uji Keras
  • Uji Impak
  • Uji Struktur Mikro

Untuk memperoleh hubungan antara laju pendinginan dengan struktur mikro (fasa) yang terbentuk biasanya dilakukan dengan menggabungkan diagram laju pendinginan menjadi diagram TTT yang dikenal dengan diagram Continuous Cooling Transformation (CCT). Dari diagram pendinginan di atas terlihat bahwa pendinginan cepat (kurva 6) akan menghasilkan struktur martensit karena garis pendinginan lebih cepat dibandingkan kurva 7 yaitu laju pendinginan kritis yang masih akan membentuk fasa austenitik (tidak stabil). Kelarutan karbon pada fasa ini relatif lebih rendah dibandingkan dengan kelarutan karbon pada fasa kedua larutan padat pada baja, yaitu fasa austenit.

Peningkatan kandungan karbon umumnya akan meningkatkan sifat mekanik ferit, seperti yang disebutkan sebelumnya. Pada paduan baja dengan fase feritik tunggal, faktor lain yang secara signifikan mempengaruhi sifat mekanik adalah ukuran butir. Kelarutan atom karbon dalam larutan padat austenit lebih besar dibandingkan kelarutan atom karbon dalam fasa ferit.

Secara geometris, kita dapat menghitung rasio ukuran ruang interstisial pada fase austenit (atau kristal FCC) dan fase ferit (atau kristal BCC). Sementit dapat terdapat dalam sistem baja dalam berbagai bentuk seperti: bola, lembaran (bergantian dengan alfa-ferit) atau partikel karbida kecil. Fasa martensit merupakan fasa metastabil yang akan membentuk fasa lebih stabil setelah perlakuan panas.

Hal ini dapat dipahami dengan membandingkan batas kelarutan atom karbon pada FCC dan BCC serta ruang interstisial maksimum pada kedua struktur kristal. Meskipun kekerasannya sangat tinggi, martensit tidak mempunyai arti penting dalam aplikasi teknis. Untuk melihat apakah suatu bahan bersifat ulet atau getas dapat dilihat dari nilai impak (HI), dimana untuk bahan ulet HI-nya tinggi dan untuk bahan getas HI-nya rendah.

Struktur ini tidak dapat dilihat dengan mata telanjang, namun dapat dilihat dengan alat pengamatan struktur mikro antara lain: mikroskop elektron, mikroskop ion medan, mikroskop emisi lapangan, dan mikroskop sinar-X. Persiapan yang harus dilakukan sebelum mengamati struktur mikro adalah pemotongan sampel, penggilingan dan pemolesan, dilanjutkan dengan etsa. Langkah terakhir sebelum melihat struktur mikro adalah mencelupkan sampel ke dalam larutan etsa dengan permukaan yang tergores menghadap ke atas.

Pemeriksaan mikrostruktur memberikan informasi tentang bentuk struktur, ukuran dan jumlah bagian struktur yang berbeda. Tata cara perlakuan panas berbeda-beda tergantung tujuan proses perlakuan, yang biasanya mengacu pada sifat mekanik material benda kerja.

Gambar 2.9 Diagram TTT untuk Besi Cor Kelabu
Gambar 2.9 Diagram TTT untuk Besi Cor Kelabu

Perlakuan Sub-kritis

Austenisasi

Pendinginan Cepat

Proses Pembuatan Liner Ballmill dengan Metode Pengecoran

Pembuatannya menggunakan cetakan pasir, dimana 92% pasir kuarsa (96% SiO2) dicampur dengan 5% perekat bentonit dan 3% air, diaduk dalam mesin pengaduk sekrup kembar selama kurang lebih 15 menit. Cetakan ini terdiri dari dua buah toples (cope dan drag), kemudian pasir cetakan dan pola dipadatkan ke dalam masing-masing toples. Setelah logam cair beserta komposisinya dituangkan ke dalam cetakan dan dipadatkan, cetakan kemudian dibongkar, dimana benda cor dipisahkan dari pasir tuang dan dibersihkan dengannya.

Inokulasi

Bahan cangkok yang populer saat ini adalah cangkokan berbahan dasar FeSi yang mengandung unsur-unsur antara lain Al, Ba, Ca, Sr dan Zr. Kurangnya atau bahkan tidak adanya proses pencangkokan akan menyebabkan besi cor mengeras secara metastabil sehingga menghasilkan struktur berwarna putih (ledeburite). Beberapa unsur C yang digabungkan dengan Fe menjadi karbida membentuk struktur ledeburit, yang juga menyebabkan kurangnya grafit pada struktur besi tuang, yang secara langsung akan menurunkan laju pemuaian grafit, sehingga.

Hasilnya adalah struktur eutektik yang lebih halus dan sifat mekanik besi cor kelabu yang lebih baik tanpa peningkatan kekerasan yang signifikan. Dari analisis pembekuan besi cor hipoeutektik dapat dijelaskan bahwa pada awal pembekuan terbentuk butiran kristal austenit primer dengan kandungan C maksimum hanya 2,06% yang menyebabkan peningkatan konsentrasi unsur C pada sisa cairan. , dan akhirnya tercapai konsentrasi eutektik (CE = 4,3%), dimana pemadatan eutektik harus berlangsung secara stabil (grafit + austenit). Namun karena perbedaan komposisi, ketebalan, laju pendinginan, suhu pengecoran dan lain-lain, kondisi teknis yang berbeda dalam proses pengecoran logam tidak dapat menjamin pemadatan yang stabil, sehingga besi cor akan mendingin di bawah suhu eutektik yang sesuai (saat pendinginan), sebelum dibekukan. .

Peran inokulasi adalah menghasilkan inti grafit yang terpadatkan yang akan mempercepat pemadatan eutektik sehingga hanya terjadi sedikit undercooling dan menghasilkan grafit tipe A, atau pada besi tuang nodular berupa grafit bulat kecil dalam jumlah besar. Inokulasi merupakan bagian penting dalam pembuatan besi cor yang berkualitas, khususnya besi cor kelabu dengan kekuatan tarik tinggi dan juga besi cor nodular. Proses inokulasi ini memerlukan permukaan cairan yang bersih (bebas) dari terak, suhu yang cukup untuk melarutkan bahan inokulasi dan umumnya dilakukan sebagai inokulasi tambahan apabila efek inokulasi sebelumnya sudah berkurang (fading effect).

Untuk inokulasi kapang biasanya digunakan bahan inokulasi berupa briket yang ditanam pada kantong inokulasi pada saluran bekicot (runner). Inokulan mempunyai efek maksimal segera setelah proses inokulasi berlangsung, kemudian efeknya akan menurun. Laju pengurangan efek ini bergantung pada komposisi inokulan yang digunakan dan kondisi cairan yang diinokulasi (suhu dan komposisi).

Mengingat setiap bahan inokulum dan wujud cair menghasilkan derajat pengurangan efek yang berbeda-beda, maka disarankan agar pengujian awal terhadap efek ini dilakukan dalam proses peleburan dengan menggunakan bahan inokulum tertentu. Penerapan proses inokulasi pada produksi besi cor baik pipih maupun nodular harus dilakukan dengan berbagai pertimbangan dan perhitungan yang matang, agar diperoleh hasil yang memuaskan tanpa disertai dampak negatif berupa cacat tuang. Peningkatan kandungan Si ini dapat mengakibatkan komposisi bahan tidak sesuai dengan ketebalan dinding produk, mengingat kadar besi cor, baik pipih maupun nodular, terutama ditentukan oleh kesesuaian komposisi (C dan Si) dengan ketebalan dinding produk. dimana nilai tersebut harus dicapai.

Banyaknya jumlah sel eutektik yang dihasilkan dari proses pencangkokan mengakibatkan semakin banyaknya grafit yang terbentuk. Banyaknya gas/slag yang terbentuk tergantung pada kualitas bahan cangkokan, sedangkan waktu pembentukannya bergantung pada suhu cairan, jenis bahan cangkok dan komposisi cairan.

Gambar 2.18 (a) Tanpa Inokulasi (b) dengan Inokulasi  Sumber : Buku Struktur Mikro, 2016
Gambar 2.18 (a) Tanpa Inokulasi (b) dengan Inokulasi Sumber : Buku Struktur Mikro, 2016

Referensi

Dokumen terkait