BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Mengenai Hukum Internasional
Hukum Internasional adalah bagian hukum yang mengatur aktivitas yang berskala internasional. Pada awalnya, hukum internasional hanya diartikan sebagai perilaku dan hubungan antar negara, namun dalam perkembangan pola hubungan internasional yang semakin kompleks pengertian ini kemudian meluas sehingga hukum internasional juga menyangkut struktur dan perilaku organisasi internasional dan pada batas tertentu, perusahaan multinasional dan individu.1
Hukum antar bangsa-bangsa dipergunakan untuk menunjukkan pada kebiasaan dan aturan hukum yang berlaku dalam hubungan antara raja-raja zaman dahulu. Hukum antar bangsa atau hukum antar negara menunjukkan pada kompleks kaedah dan asas yang mengatur hubungan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa atau negara. Hukum Internasional terdapat beberapa bentuk perwujudan atau pola perkembangan yang khusus berlaku di
suatu dunia (region) tertentu:
1. Hukum Internasional Regional.
Hukum Internasional Regional adalah hukum yang berlaku/terbatas daerah lingkungan berlakunya, misalnya Hukum Internasional Amerika/Amerika Latin, seperti konsep landasan kontinen (Continental Shelf) dan konsep perlindungan kekayaan hayati laut (conservation of the living resources of the sea) yang mula-mula tumbuh di benua Amerika sehingga menjadi hukum Internasional Umum.
1 Andi Tenripadang, 2016, “Hubungan Hukum Internasional Dengan Hukum Nasional”, Jurnal Hukum Diktum, Volume 14, Nomor 1, Juli 2016, Hal. 67.
2. Hukum Internasional Khusus.
Hukum Internasional Khusus adalah hukum internasional dalam bentuk kaidah yang khusus berlaku bagi negara-negara tertentu seperti Konvensi Eropa mengenai Hak Asasi Manusia (HAM) sebagai cerminan keadaan, kebutuhan, taraf perkembangan dan tingkat intergritas yang berbeda-beda dari bagian masyarakat yang berlainan. Berbeda dengan regional yang tumbuh melalui proses hukum kebiasaan.2
Hukum Internasional didasarkan atas pikiran adanya masyarakat internasional yang terdiri dari sejumlah negara yang berdaulat dan merdeka dalam arti masing-masing berdiri sendiri yang satu tidak di bawah kekuasaan lain sehingga merupakan suatu tertib hukum koordinasi antara anggota masyarakat internasional yang sederajat.11
Sementara itu dalam hubungan hukum internasional dengan hukum nasional, terdapat dua aliran yang berkembang, yaitu aliran dualisme dan aliran monoisme.3 Yang pertama adalah aliran dualisme, aliran ini menjelaskan bahwa daya ikat hukum internasional bersumber pada kemauan negara. Pada aliran ini hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua sistem atau perangkat hukum yang terpisah satu dari yang lainnya.
Akibatnya kaidah-kaidah dari perangkat hukum yang satu tidak mungkin bersumber atau berdasar pada perangkat hukum yang lain atau bisa disimpulkan bahwa dalam teori aliran dualisme tidak ada persoalan hirarki antara hukum nasional dengan hukum internasional, karena pada dasarnya kedua perangkat hukum ini berbeda dan berdiri sendiri. Tidak hanya itu, akibat selanjutnya, apabila hukum internasional ingin dijadikan hukum
2 Ibid, Hal. 68. 11 Loc.Cit.
3 Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, Alumni, Bandung, Hal. 56
nasional maka memerlukan transformasi menjadi hukum nasional sebelum dapat berlaku dalam lingkungan hukum nasional dan dapat disimpulkan hukum internasional hanya akan berlaku dan ditaati apabila telah menjadi hukum nasional.4
Kedua adalah aliran monoisme, aliran ini berkembang dengan pengertian bahwa hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua bagian dari satu kesatuan yang lebih besar yaitu hukum yang mengatur kehidupan manusia. Dalam aliran monoisme berkembang dua paham baru yaitu aliran monoisme dengan primat internasional dan aliran monosime dengan primat nasional.5 menurut aliran monoisme dengan primat internasional, hukum nasional itu bersumber pada hukum internasional yang menurut pandangannya merupakan suatu perangkat ketentuan hukum yang hirarkis lebih tinggi. Menurut paham ini, hukum nasional tunduk pada hukum internasional dan pada hakikatnya kekuatan mengikatnya berdasarkan suatu pendelegasian wewenang dari hukum internasional. Pada kalimat ini menganut pandangan bahwa hukum internasional harus diutamakan bila terjadi konflik hukum internasional dan hukum nasional.6
Sedangkan aliran monoisme dengan primat nasional menjelaskan bahwa hukum internasional itu tidak lain dari merupakan lanjutan hukum nasional belaka, atau hukum internasional itu bersumber pada hukum nasional. Alasan utama pada anggapan ini karena tidak adanya organisasi di atas negara-negara mengatur kehidupan negara di dunia. Selain itu dasar
4 Ibid, Hal. 57
5 Ibid, Hal. 60
6 Ibid, Hal. 62
hukum internasional yang mengatur hubungan internasional adalah terletak di dalam wewenang negara-negara untuk mengadakan perjanjian-perjanjian internasional.7
Menempatkan hukum nasional dengan hukum internasional tidak harus dalam perspektif hierarki satu dengan yang lain yang seolah melihat hukum nasional dan hukum internasional senantiasa berkonfrontasi atau bertentangan satu dengan yang lain. Dalam praktik sesungguhnya antara hukum nasional indonesia dan hukum internasional saling membutuhkan dan memengaruhi satu sama lain. Contohnya, hukum internasional akan menjembatani ketika hukum nasional tidak dapat diterapkan di wilayah negata lain. Seperti polisi Indonesia tidak bisa menangkap seorang buronan yang lari ke luar negeri maka indonesia membutuhkan perjanjian ekstradisi dengan negara di mana buronan itu berada sekarang.8
1. Unsur Subjek. 9
Yang dimaksud dengan unsur Subjek adalah negara. Dalam hal ini ada 2 (dua) negara yang terkait yakni:
a) Negara yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili atau menghukum sipelaku kejahatan.
b) Negara tempat pelaku kejahatan (tersangka, tertuduh, terdakwa) atau siterhukum itu berada atau bersembunyi.
Negara yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili atau menghukum ini sangat berkepentingan untuk mendapatkan kembali orang tersebut untuk diadili atau dihukum atas kejahatan yang telah dilakukannya itu. Biasanya
7 Ibid, Hal. 61
8 Sefriani, 2010, Hukum Internasional Suatu Pengantar, Rajawali Pers, Jakarta, Hal. 98
9 Ibid hal 98
negara yang memiliki yurisdiksi untuk menghukum ini lebih dari satu. Untuk mendapatkan kembali orang yang bersangkutan, negara atau negara-negara tersebut mengajukan permintaan kepada negara tempat orang itu berada atau bersembunyi. Negara ini disebut negara peminta (the resqusthing state).
Negara tempat pelaku kejahatan berada atau bersembunyi diminta oleh negara yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili supaya menyerahkan orang yang berada dalam wilayahnya itu (tersangka, terhukum) yang dengan singkat disebut negara diminta (the resquithing State).
2. Unsur Objek. 10
Unsur objek yang dimaksud adalah sipelaku itu sendiri (tersangka, tertuduh, terhukum) yang diminta oleh negara peminta kepada negara diminta supaya diserahkan. Dengan perkataan lain disebut sebagai “orang yang diminta”. Walaupun sebagai objek namun sebagai manusia dia harus diperlakukan sebagai subjek hukum dengan segala hak dan kewajibannya yang azasi, yang tidak boleh dilanggar oleh siapapun.
3. Unsur Tata cara dan Prosedur. 11
Maksud dari pada unsur tata cara atau prosedur yakni bagaimana tata cara untuk mengajukan permintaan penyerahan maupun tata cara untuk menyerahkan atau menolak penyerahan itu sendiri serta segala hal yang ada hubungannya dengan itu. Penyerahan hanya dapat dilakukan apabila diajukan permintaan untuk menyerahkan oleh negara peminta kepada negara diminta.
10 Ibid hal 89
11 Ibid hal 89
Permintaan itu haruslah didasarkan pada perjanjian ekstradisi yang telah ada sebelumnya antara kedua belah pihak atau apabila perjanjian itu belum ada juga bisa didasarkan pada asas timbal balik yang telah disepakati. Kalau tidak ada permintaan untuk menyerahkan dari negara peminta, maka si tersangka tidak boleh ditangkap atau diserahkan. Kecuali penangkapan atau penahanan itu didasarkan atas adanya yurisdiksi negara tersebut atau orang yang kejahatannya sendiri atau atas kejahatan lain yang dilakukan orang itu sendiri harus diajukan secara formal kepada negara yang bersangkutan sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan atau menurut hukum kebiasan internasional.
4. Unsur Tujuan.12
Sedangkan yang dimaksud dengan unsur tujuan adalah untuk tujuan apa orang yang bersangkutan dimintakan penyerahan atau diserahkan. Hal ini tentunya melihat kepada bentuk kejahatan yang telah melakukan suatu kejahatan yang menjadi yurisdiksi negara atau negara diminta. Penyerahan atau ekstradisi yang dimaksudkan ialah untuk mengadili pelaku kejahatan tersebut dan menjatuhkan hukuman apabila terbukti bersalah dan agar sipelaku kejahatan menjalani hukuman yang telah dijatuhkan kepadanya yang telah mempunyai kekuatan hukum dinegara yang berwenang mengadilinya, namun satu hal yang lebih penting bukan hanya menyeret pelaku kejahatan kedepan pengadilan untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya secara hukum, tetapi lebih jauh lagi sebagai upaya mencegah makin meluasnya tindakan serupa yang akan mengancam keamanan dan ketertiban serta
12 I Wayan Parthiana, SH, “Ekstradisi Dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional”. Alumni Bandung 1993, hal.17.
keselamatan internasional yang sudah menjadi tanggung jawab dari seluruh negara-negara didunia ini.
Pada masa sekarang ini, akibat dari kemajuan teknologi yang semakin canggih khususnya dibidang komunikasi dan kedirgantaraan, maka jarak antara satu negara dengan negara lain dapat ditempuh dengan waktu yang singkat di satu sisi kemajuan ini tentunya berdampak positif terhadap proses percepatan pembangunan diseluruh dunia tetapi di sisi lain hal ini sangat berpengaruh pula terhadap kecanggihan-kecanggihan baik dari bentuk-bentuk kejahatan maupun pelaku-pelaku kejahatan dalam menghindari tuntutan yang akan dijatuhkan terhadapnya.
Seorang pelaku kejahatan tentunya dengan mudah melarikan diri ke negara lain untuk menghindari tuntutan dan ancaman yang akan dijatuhkan terhadapnya. Jika hal ini terjadi, maka telah terlibatlah kepentingan dua negara bahkan lebih.
Agar orang yang telah melakukan kejahatan di suatu negara di mana ia telah melarikan diri ke negara lain dapat dihukum, maka negara tempat ia melakukan kejahatan tersebut tidak dengan mudah menghukum dan menangkapnya di negara lain, karena hal ini telah melanggar kedaulatan di wilayah negara lain. Ini hanya dapat dilakukan dengan persetujuan dari negara dimana sipelaku tersebut berada. Jika dilakukan tanpa adanya persetujuan dari negara tersebut maka hal ini telah dipandang sebagai intervensi atau campur tangan yang dilarang menurut hukum internasional.
Cara yang legal untuk dapat mengadili dan menghukum sipelaku kejahatan itu ialah dengan meminta kepada negara tempat sipelaku kejahatan itu berada, supaya menangkap dan menyerahkan orang tersebut. Sedangkan negara tempat sipelaku kejahatan berada, setelah menerima permintaan untuk menyerahkan itu dapat menyerahkan sipelaku kejahatan tersebut kepada negara atau salah satu negara yang mengajukan permintaan penyerahan tersebut. Cara atau prosedur semacam ini telah diakui dan merupakan prosedur yang telah umum dianut baik dalam hukum internasional maupun dalam hukum nasional yang lebih dikenal dengan ekstradisi.
Hal ini tentunya dapat berjalan dengan lancar jika hubungan antara negara yang meminta penyerahan dengan negara yang diminta penyerahannya berjalan dengan lancar pula. Secara teoritis kelihatannya ekstradisi ini mudah untuk dilaksanakan, namun dalam pelaksanaannya ditemui banyak kesulitan- kesulitan. Apabila dalam pelaksanaan ekstradisi ini tidak ada satu patokan apakah harus ada perjanjian antara negara-negara tersebutnya sebelumnya atau tidak, oleh karena itulah kita harus melihat ekstradisi ini dari lingkup yang lebih luas, baik dalam konteks hukum internasional maupun dalam konteks hukum nasional.
Dalam hukum internasional, sampai saat ini belum mengenal adanya suatu perjanjian internasional multilateral (International Convention) yang mengatur lembaga ekstradisi secara umum atau universal. Yang ada dikalangan masyarakat internasional (International Community) kebanyakan
ialah perjanjian bilateral ekstradisi dan sejumlah kecil perjanjian multilateral yang sifatnya kerja sama regional di bidang ekstradisi, misalnya: 13
1 . The Arab Leage Extradition Agreement Tahun 1952.
2 . The Inter America Convention Extradition.
3 . European Extradition Convention, dan lain-lain.
Memang diakui agar ekstradisi mudah dilakukan maka keberadaan perjanjian internasional tentang ekstradisi sebelumnya akan sangat diperlukan, dengan demikian penyerahan seorang dapat dilakukan dengan mengikuti ketentuan yang telah diletakkan dengan pasti dalam perjanjian tersebut. Walau demikian, tanpa adanya perjanjian ekstradisi penyerahan seseorang yang dituduh melakukan kejahatan dapat dilakukan menurut hukum kebiasaan internasional.
Ekstradisi yang dimintakan bukan berdasarkan suatu perjanjian internasional (karena adanya traktat) biasanya sering menimbulkan masalah.
Hal ini disebabkan tidak adanya dasar hukum yang pasti yang dapat digunakan sebagai landasan untuk menyerahkan seseorang. Dalam keadaan demikian itu umumnya penyerahan seseorang yang tertuduh melakukan kejahatan dilakukan dengan cara permintaan secara sopan santun internasional (international courtesty), perlakuan timbal balik (reciprocity), juga berupa kemurahan hati (exgratia).
Ekstradisi tumbuh dan berkembang dari praktek negara-negara yang lama kelamaan bekembang menjadi hukum kebiasaan. Negara-negara mulai merumuskannya di dalam perjanjian-perjanjian ekstradisi baik yang bilateral,
13 Ibid hal 17
multilateral, ataupun multilateral regional. disamping menambahkan ketentuanketentuan baru sesuai dengan kesepakatan para pihak.
Beberapa konvensi internasional yang dapat dijadikan dasar hukum sebagai pelaku kejahatan menurut ketentuan tentang ekstradisi sebenarnya juga sudah ada sebelumya, misalnya kejahatan penerbangan yang telah diatur dalam konvensi Tokyo 1963, konvensi Den Haag 1970, konvensi Montreal 1971, konvensi Tentang Obat Bius 1971, dan lain-lain.
Melihatnya dari aspek hukum internasional, ekstradisi juga harus dilihat dari aspek hukum nasional, karena tidaklah mungkin pembahasan ekstradisi dapat dipecahkan jika hanya ditinjau dari sisi hukum internasional saja. Hal ini disebabkan karena adanya hal-hal yang tidak diatur atau dirumuskan sepenuhnya dalam perjanjian-perjanjian ekstradisi, terutama hal- hal yang merupakan masalah dalam negeri masing-masing negara yang bersangkutan. Hal seperti inilah perjanjian-perjanjian ekstradisi menunjukkan kepada hukum nasional masing-masing pihak untuk menentukannya dan pengaturannya secara lebih mendetail. Misalnya tentang penangkapan dan penahanan orang yang diminta, keputusan tentang penentuan kejahatannya apakah termasuk kejahatan politik atau tidak, tentang lembaga atau instansi yang berwenang untuk memutuskan apakah permintaan akan diterima atau ditolak dan lain-lain sebagainya. Namun bukan hukum nasional yang sudah ada itu sendiri masih belum dapat menjawab semua masalah yang timbul bertalian dengan ekstradisi ini. Oleh karena negara-negara juga memandang perlu memiliki sebuah undang-undang nasional yang secara khusus mengatur
mengenai tentang ekstradisi. Disamping itu, mengadakan perjanjian-perjanjian ekstradisi dengan negara-negara lain.
Perjanjian-perjanjian yang telah lebih dahulu diadakan, akan merupakan pembatasan-pembatasan yang harus diperhatikan oleh negara yang bersangkutan apabila kemudian hendak membuat undang-undang ekstradisi nasional. Hal ini dimaksudkan supaya tidak timbul pertentangan antara ketentuan-ketentuan dalam perjanjian ekstradisi dengan terdapat didalam perundang-undangan ekstradisi itu sendiri. Hukum internasional pada prinsipnya tidak membenarkan suatu negara melalaikan kewajiban-kewajiban yang ditentukan dalam hukum internasional berdasarkan alasan-alasan yang merupakan masalah dalam negeri dari negara yang bersangkutan.
B. Prosedur Dalam Pelaksanaan Ekstradisi
Maksud dari prosedur di sini ialah tata cara untuk mengajukan permintaan penyerahan maupun tata cara untuk menyerahkan atau menolak penyerahan itu sendiri dengan segala hal yang ada hubungannya dengan itu.
Penyerahan hanya dapat dilakukan apabila sebelumnya ada diajukan permintaan untuk menyerahkan oleh negara peminta kepada negara diminta.
Penyerahan dan permintaan itu haruslah didasarkan pada perjanjian ekstradisi yang telah ada sebelumnya antara masing-masing kedua belah pihak. Apabila perjanjian itu tidak ada, juga bisa didasarkan pada asas timbal balik yang telah
disepakati. Jadi bila sebelumnya tidak ada permintaan untuk menyerahkan dari negara peminta, orang yang bersangkutan tidak boleh ditangkap, atau ditahan ataupun diserahkan. Kecuali penangkapan dan penahanan itu didasarkan adanya yurisdiksi negara tersebut atas orang dan kejahatannya sendiri atau atas kejahatan lain yang dilakukan orang itu dalam wilayah negara tersebut.
Permintaan untuk menyerahkan itu haruslah diajukan secara formal kepada negara diminta sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan dalam perjanjian ekstradisi atau hukum kebiasaan internasional. Jika permintaan untuk menyerahkan tersebut tidak diajukan secara formal melainkan hanya informal saja misalnya hanya dikemukakan secara lisan oleh wakil negara peminta kepada wakil negara diminta yang kebetulan bertemu dalam suatu pertemuan ataupun dalam konferensi internasional. Hal itu tidak dapat dianggap sebagai permintaan untuk menyerahkan dalam pengertian dan ruang lingkup ekstradisi. Tetapi barulah merupakan tahap penjajakan saja.
Sebelum permohonan ekstradisi diajukan melalui saluran di plomatik, harus ada dua faktor yang harus dipenuhi terlebih dahulu, yaitu:14
1. Adanya orang yang harus diserahkan (extraditiable person)
Dalam praktek ekstradisi umumnya terdapat keseragaman antara negaranegara, yaitu bahwa negara peminta lazimnya memperoleh orang yang diminta, bila orang itu warga negara dari peminta atau warga negara suatu negara ketiga, dimana adanya perjanjian sebelumnya. Tetapi kebanyakan negara yang diminta biasanya menolak untuk menyerahkan
14 Eddy Damian, “Kapita Selekta Hukum Internasional”, Alumni, Bandung, 1991, hal 19.
warga negaranya sendiri untuk diserahkan kepada negara lain. Dengan perkataan lain warga negara yang telah melakukan kejahatan akan diserahkan kembali kenegara asalnya (non extradition of nationals).
2. Kejahatan yang dapat diserahkan (extraditiable offence)
Kejahatan yang dapat diserahkan pada umumnya atas kesepakatan dari negara yang melaksanakan perjanjian tersebut dengan pengecualian yaitu:
a) Kejahatan politik.
b) Kajahatan militer.
c) Kejahatan agama.15
Dalam praktek negara-negara dewasa ini, dalam menetapkan kejahatan-kejahatan apa yang dapat diserahkan, dipergunakan salah satu dari tiga sistem, yaitu: 16
1) Sistem Enumeratif atau sistem daftar (list system) yaitu sistem yang memuat dalam perjanjian suatu daftar yang mencantumkan satu persatu kejahatan mana yang dapat diekstradisi.
2) Sistem Eliminatif, yaitu sistem yang hanya menggunakan maksimum hukuman atau minimum hukuman sebagai ukuran untuk menerapkan apakah suatu kejahatan merupakan kejahatan yang dapat diserahkan atau tidak, tanpa menyebutkan satu persatu nama delik yang dapat diekstradisi.
15 Ibid, hal. 70.
16 Ibid hal 70
3) Sistem campuran yang merupakan kombinasi sistem enumeratif dan sistem eliminatif, mencantumkan juga kejahatan dengan minimum atau maksimum hukumman yang dapat diekstradisi.
Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa untuk melaksanakan ekstradisi ini haruslah dilihat kepada perjanjian yang telah disepakati sebelumnya, sedangkan jika tidak ada perjanjian ekstradisi sebelumnya harus menuruti prinsip timbal balik yang disepakati.
C. Penerapan Prinsip Extraterritorial Jurisdiction
Yurisdiksi negara untuk mengatur kewenagan mengadili suatu negara meliputi yurisdiksi legislatif, yurisdiksi eksekutif, dan yurisdiksi yudikatif pada tataran konseptual dapat diterapkan dalam konteks ekstrateritorial. Pada intinya prinsip-prinsip yurisdiksi tersebut didesain untuk mengatur penentuan yurisdiksi, misalnya dalam hal di mana dan kapan suatu Negara mempunyai kewenangan untuk membentuk hukum terkait dengan subyek- subyek/masalah-masalah yang bersifat ekstrateritorial.
Tataran pembentukan hukum (jurisdiction to prescribe), suatu negara dimungkinkan dan mempunyai kewenangan untuk membuat serta menetapkan yurisdiksi terhadap hal-hal yang bersifat ekstrateritorial, namun dalam konteks
pemberlakuannya, perlu diuji lebih lanjut apakah akan melanggar kedaulatan negara lain atau tidak.
Yurisdiksi negara untuk membentuk hukum yang bersifat ekstrateritorial terdiri dari 3 (tiga) jenis yurisdiksi, yaitu: 1) yurisdiksi atas subjek ektrateritorial saja, misalnya Section 46 Competition Act Kanada yang melarang perjanjian monopoli yang dibuat di luar wilayah Kanada oleh perusahaan-perusahaan Kanada; 2) yurisdiksi atas perorangan secara ekstrateritorial saja, misalnya Section 477.1 the Criminal Code Kanada yang menetapkan pelanggaran di atas kapal Berbendera Kanada di laut oleh Warga Negara Kanada maupun orang asing; 3) Yurisdiksi atas perbuatan-perbuatan secara ekstrateritorial oleh aktor/pelaku ekstrateritorial, misalnya the Crimes Against Humanity and War Crimes Act khususnya Sections 6 dan 8 pada pelanggaran di luar wilayah Kanada dan di luar yurisdiksi dari pelaku. 17
Membentuk hukum atau pengaturan yang bersifat ekstrateritorial bukanlah merupakan suatu pelanggaran atau hal yang ilegal dalam hukum internasional. Pada hakikatnya, dasar yang tegas bagi penerapan jurisdiction to prescribe diperlukan untuk menjustifikasi “infringement of sovereignty”
atau pelanggaran kedaulatan yang diatur dalam peraturan atas ruang siber misalnya konten internet. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Mahkamah Internasional (International Court of Justice) dalam opininya dalam Kasus Lotus (Lotus Case), bahwa suatu negara tidak boleh melaksanakan kedaulatannya dalam bentuk apapun di dalam wilayah negara lain dan
17 Lihat Steve Coughlan, et.al, Global Reach, Local Grasp: Constructing Extraterritorial Jurisdiction in the Age of Globalization, Dalhousie Law School, Prepared for the Law Commission of Canada, 2006, hlm.15
yurisdiksi tidak dapat dilakukan oleh negara tersebut di luar wilayahnya kecuali dengan suatu aturan yang memperbolehkannya yang diperoleh dari kebiasaan internasional atau dari suatu konvensi. 18
Pada hakikatnya, permasalahan baru ada ketika negara menegakkan atau melaksanakan hukumnya secara ekstrateritorial. Apabila suatu negara tidak menegakkan atau melaksanakan hukum yang telah ditetapkannya tersebut maka sebenarnya secara praktis hal itu tidak akan menimbulkan persoalan. Namun akan sangat tidak bijak apabila suatu negara tidak mampu memetakan yurisdiksi preskriptifnya (prescriptive jurisdiction) secara ekstrateritorial, misalnya dengan melihat di mana Indonesia berniat dan mempunyai potensi serta kapasitas untuk melakukan penegakan hukum terhadap hukum yang telah Indonesia tetapkan. 19
Dalam hal ini kriteria yang diberikan oleh Mahkamah Internasional dalam menerapkan yuridiksi negara secara ekstrateritorial terhadap negara lain adalah adanya: 1) permissive rule yang berasal dari kebiasaan internasional (international costumary law); dan 2) permissive rule yang berasal dari suatu konvensi. 20
18 Lihat Samuel F. Miller, Prescriptive Jurisdiction over Internet Activity: The Need to Define and Establish the Boundaries of Cyberliberty, Indiana University School of Law, Digital Repository @Maurer Law, Indiana Journal of Global Legal Studies, Volume 2, Issue 2, 2003, hlm.
229
19 Eddy Damian, “Kapita Selekta Hukum Internasional”, Alumni, Bandung, 1991,hal 20
20 Ibid hal 20