• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Penerapan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang ITE Terkait Penyebaran Berita Bohong

Perkembangan internet di dunia amatlah pesat termasuk di Indonesia.

Media internet adalah media yang tidak mngenal batas. Baik batas-batas wilayah maupun batasbatas kenegaraan.1 Hal ini membawa dampak positif dan negatif bagi penggunanya. Seperti yang diketahui, peraturan perilaku yang dianut setiap negara berbeda-beda, sehingga apa yang boleh dilakukan secara bebas di suatu negara akan dianggap pelanggaran hukum di negara lain, demikian pula sebaliknya. Sedangkan di internet tidak mengenal batas negara. Misalnya seorang pengguna internet Indonesia yang masuk ke suatu situs tidak ada bedanya dengan pengguna dari negara lain yang masuk ke situs yang sama.Indonesia telah ada dalam tahapan informasi dan komunikasi dalam hal ini adalah internet. Indonesia merupakan salah satu negara berkembang di dunia yang telah melakukan babakan dalam tata cara pengaturan beberapa sistem komunikasi melalui media internet yakni seperti informasi, pertukaran data, transaksi online.

Pada tanggal 25 November 2016 telah diundangkan Revisi UU ITE yang baru dengan nomor UU No. 19 Tahun 2016. Sesuai dengan Pasal 87 UU No. 12 Tahun 2011 yang menyatakan bahwa “Peraturan Perundang-undangan mulai

1Asril Sitompul, Hukum Internet Pengenalan Mengenai Masalah Hukum di Cyberspace, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2004), Hal 71.

(2)

berlaku dan mempunyai kekuatan mengikat pada tanggal diundangkan, kecuali ditentukan lain di dalam Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan”, maka semenjak tanggal 25 November 2016 itu pula lah UU No 19 Tahun 2016 ini memiliki kekuatan hukum dan setiap rakyat Indonesia dianggap tahu dan wajib melaksanakannya. UU No 19 Tahun 2016 yang berasal dari persetujuan bersama dalam rapat paripurna antara DPR dan Pemerintah pada tanggal 27 November 2016 tersebut memiliki amanat penting bagi masyarakat agar agar membangun etika dalam penggunaan media sosial sehingga lebih berhati-hati di ranah media sosial.

Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 menegaskan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum, lebih lanjut lagi sistem hukum yang dianut oleh negara kita adalah civil law atau yang biasa dikenal dengan Romano-Germanic Legal System. Titik tekan pada sistem hukum ini adalah, penggunaan aturan- aturan hukum yang sifatnya tertulis. Oleh karena itu dalam rangka membangun etika bagi pengguna media melalui pembentukan UU No 19 Tahun 2016 adalah langkah yang tepat. Pentingnya etika bagi pengguna media secara nyata juga terkadung dalam Penjelasan Umum paragraf ke-sembilan dari UU No 19 Tahun 2016, yang juga maksud utama pembentukan undang-undang ini, yang menyatakan bahwa karakteristik virtualitas ruang siber memungkinkan konten ilegal seperti Informasi dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan, perjudian, penghinaan atau pencemaran nama baik, pemerasan dan/atau pengancaman, penyebaran berita bohong dan menyesatkan

(3)

sehingga mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik, serta perbuatan menyebarkan kebencian atau permusuhan berdasarkan suku, agama, ras, dan golongan, dan pengiriman ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi dapat diakses, didistribusikan, ditransmisikan, disalin, disimpan untuk didiseminasi kembali dari mana saja dan kapan saja. Dalam rangka melindungi kepentingan umum dari segala jenis gangguan sebagai akibat penyalahgunaan Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik, diperlukan penegasan peran Pemerintah dalam mencegah penyebarluasan konten ilegal dengan melakukan tindakan pemutusan akses terhadap Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar hukum agar tidak dapat diakses dari yurisdiksi Indonesia serta dibutuhkan kewenangan bagi penyidik untuk meminta informasi yang terdapat dalam Penyelenggara Sistem Elektronik untuk kepentingan penegakan hukum tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik.

Pasal 1 UU ITE mencantumkan diantaranya definisi Informasi Elektronik. Berikut kutipannya :

”Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.

Dari definisi Informasi Elektronik di atas memuat 3 makna diantaranya Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, Informasi

(4)

Elektronik memiliki wujud diantaranya tulisan, suara, dan gambar, serta Informasi Elektronik memiliki arti atau dapat dipahami. Maraknya beredar berita bohong ini dapat berakibat buruk bagi perkembangan negara Indonesia. Berita bohong dapat menyebabkan perdebatan hingga bukan tidak mungkin sampai memutuskan pertemanan. Apalagi berita bohong tersebut yang mengandung SARA yang sangat rentan mengundang gesekan antar masyarakat mengganggu stabilitas negara dan kebinekaan. Berita bohong dalam konteks pemberitaan yang tidak jelas asal-usul pembuatnya, memang tidak bisa dijerat oleh Undang-undang Pers, karena itu agak sulit membedakan mana Pers yang Mainstream mana yang Pers berita bohong. Jika pada zaman orde baru agak mudah, karena pers mainstream adalah pers yang berizin, sedangkan pada saat ini pers tanpa izin, karena di Indonesia kewajiban mempunyai SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) telah dihapuskan.

Masyarakat sekarang ini bisa membuat sebuah berita dan menulis di situs atau blog milik pribadi, atau diakun media sosial yang jika dilihat materi dan substansinya bisa lebih baik dari berita-berita di media mainstream. Kurangnya pengetahuan di masyarakat dan faktor kemalasan mencari tahu kebenaran suatu berita membuat penyebaran berita bohong terjadi sangat cepat. Umumnya masyarakat saat ini amat sangat minim memiliki minat membaca. Bagi mereka cukuplah membaca judul dan paragraf pertamanya saja mereka sudah mendapatkan inti dari berita tersebut. Hal ini juga didukung dengan format berita daring, dimana portal berita yang paling banyak dibaca adalah berita yang hanya

(5)

terdiri dari beberapa alinea atau paragraf saja, bahkan penyajiannya cenderung tidak lengkap.

Ketentuan tentang penyebaran berita bohong yang dapat menerbitkan keonaran diatur dalam dua ketentuan melalui Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Hukum Pidana. Pasal 14 Undang-undang ini menegaskan :

Ayat (1) barangsiapa, dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, dihukum dengan penjara setinggi-tingginya sepuluh tahun.

Ayat (2) barangsiapa mengeluarkan pemberitahuan yang dapat menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, sedangkan dia patut dapat menyangka bahwa berita atau pemberitahuan itu bohong, dihukum dengan penjara setinggi- tingginya tiga tahun.

Nilai pembeda dari dua ketentuan diatas, yaitu pada ayat kesatu merupakan perbuatan menyebarkan berita bohong akan menimbulkan keonaran karena kesengajaan sebagai maksud atau kepastian. Artinya sipembuat pidana jelas-jelas memiliki kehendak dan pengetahuan kalau perbuatan menyebarkan berita kebohongan itu akan menimbulkan keonaran. Sedangkan pada ayat keduanya, merupakan perbuatan sebagai kesengajaan akan kemungkinan, bahwa kepadanya patut mengetahui atau patut menduga kalau dari pada perbuatan menyebarkan berita kebohongan akan menimbulkan keonaran. Soal kekaburan makna apa yang dimaksud keonaran yang telah dijelaskan dalam ketentuannya lebih lanjut bahwa, keonaran adalah lebih hebat dari pada kegelisahan dan menggoncangkan hati

(6)

penduduk yang tidak sedikit jumlahnya.2 Dengan memperhatikan ketentuan ini, kiranya perbuatan salah satu nitizen beberapa bulan lalu yang menyebarluaskan informasi palsu soal rush money terkait dengan rencana aksi demonstrasi 25 November 2016, merupakan perbuatan yang telah dapat dikualifikasikan sebagai penyebaran berita bohong yang akan menimbulkan keonaran sebab telah menyebabkan keresahan hati penduduk, khususnya nasabah perbankan.

Selanjutnya, penyebaran berita bohong yang dapat menimbulkan kebencian terhadap suatu golongan, ketentuannya diatur dalam Pasal 28 ayat 2 Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik : Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA), “Pasal ini pada sesungguhnya tidak memuat unsur perbuatan kebohongan”. Hanya saja, dengan kembali pada peristiwa hukumnya, kerapkali perbuatan kesengajaan menyebarkan informasi yang bertujuan untuk menimbulkan kebencian, konten informasi yang disebarkan biasanya tidak mengandung kebenaran atau sifatnya sebagai berita kebohongan belaka. Dalam melawan berita bohong dan mencegah meluasnya dampak negatif berita bohong ini, pemerintah pada dasarnya telah memiliki payung hukum yang memadai.

Pasal 28 ayat 1 dan 2, Pasal 27 ayat 3, Undang-undang No 11 tahun 2008 tentang

2Republik Indonesia, “Undang-undang RI No 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana”, Penjelasan Umum, Pasal XIV.

(7)

Informasi dan Transaksi Elektronik yang sekarang telah diubah dengan Undang- undang No 19 tahun 2016, Pasal 14 dan 15 Undang-undang No 1 tahun 1946, Pasal 311 dan 378 KUHP, serta Undang-undang No 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskiriminasi Ras dan Etnis merupakan beberapa produk hukum yang dapat digunakan untuk memerangi penyebaran berita bohong.

Berikut beberapa penjabaran singkat terkait pasal-pasal di dalam Undang- undang yang mengatur tentang berita bohong, yaitu :

1. KUHP

Pasal 311 KUHP : “jika yang melakukan kejahatan pencemaran atau pencemaran tertulis dibolehkan untuk membuktikan apa yang dituduhkan itu benar, tidak membuktikannya, dan tuduhan dilakukan bertentangan dengan apa yang diketahui, maka dia diancam melakukan fitnah dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”

Pasal 378 KUHP: “barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberikan hutang maupun menghapuskan piutang diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”

2. Undang-undang No 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana Pasal 14 ayat (1) dan (2) : Ayat 1 “barang siapa, dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya sepuluh tahun.” Ayat 2 “barang siapa menyiarkan suatu berita atau mengeluarkan suatu pemberitahuan yang dapat menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, sedangkan ia patut dapat menyangka bahwa berita atau pemberitahuan itu adalah bohong, dihukum dengan penjara setinggi- tingginya adalah tiga tahun.”

Pasal 15 : “barang siapa menyebarkan kabar yang tidak pasti atau kabar yang berkelebihan atau yang tidak lengkap, sedangkan ia mengerti

(8)

setidak-tidaknya patut dapat menduga bahwa kabar demikian akan atau sudah dapat menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya dua tahun.

3. Undang-undang No 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Pasal 27 ayat (3) : “setiap orang dengan sengaja, dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”

Pasal 28 ayat (1) dan (2) : Ayat 1 “setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektornik.” Ayat 2

“setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau pemusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA).

Ada dua bentuk tindak pidana Informasi dan Transaksi Elektronik dalam pasal 28, masing-masing dirumuskan dalam ayat (1) dan ayat (2).3 Tindak pidana Informasi dan Transaksi Elektronik dalam ayat (1) terdiri dari unsur-unsur berikut :

1) Kesalahan : dengan sengaja.

2) Melawan hukum : tanpa hak.

3) Perbuatan : menyebarkan.

4) Objek : berita bohong dan menyesatkan.

5) Akibat konstitutif mengakibatkan kerugian konsumen dalam ITE.

Unsur-unsur pidana dalam ayat (2) adalah : 1) Kesalahan : dengan sengaja.

3Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

(9)

2) Melawan hukum : tanpa hak.

3) Perbuatan : menyebarkan.

4) Objek : informasi.

5) Tujuan : untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu.

Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 yang sekarang telah di perbaharui menjadi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik telah diatur mengenai tindak pidana yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong yang menyebabkan kerugian konsumen transaksi elektronik yang dirumuskan dalam satu naskah, selengkapnya adalah sebagai berikut : ”setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik, dipidana dengan denda penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)” “setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan atar golongan (SARA), dipidana dengan penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 27 ayat ayat (1), (2), dan (4) tentang setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau

(10)

membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan, perjudian,dan pemerasan dan/atau pengancaman dipidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Sedangkan pada ayat (3), setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dipidana penjara paling lama 4 (empat) dan/atau denda paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).

Selanjutnya Undang-undang 1 Tahun 1946 pasal 14 ayat 1 pelaku penyebaran berita/pemberitahuan bohong sehingga menimbulkan keonaran di kalangan rakyat dipidana dengan hukuman penjara setinggitingginya 10 (sepuluh) tahun. Sedangkan dalam ayat (2) pelaku yang menyiarkan suatu berita atau mengeluarkan suatu pemberitahuan yang dapat menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, sedangkan ia patut dapat menyangka bahwa berita atau pemberitahuan itu adalah bohong, dihukum dengan penjara setinggi-tingginya adalah tiga tahun. Dalam pasal 15 penyebar kabar yang tidak pasti atau kabar yang berkelebihan atau yang tidak lengkap, sedangkan ia mengerti setidak- tidaknya patut dapat menduga bahwa kabar demikian akan atau sudah dapat menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya dua tahun.

(11)

Sedangkan dalam pasal 311 dan 378 KUHP masing-masing diancam dengan pidana paling lama 4 (empat) tahun. Menurut Ketua Umum Indonesia Cyber Law Community (ICLC), Teguh Arifiyadi, perubahan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik sangat membantu masyarakat yang menggunakan media sosial. Menurutnya, di dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik yang baru telah dijelaskan bagaimana cara menggunakan media sosial yang benar. Dengan adanya Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik yang baru, kata Teguh, sudah sepatutnya masyarakat memahami hal apa saja yang tidak boleh ditulis dan dibagikan (share) melalui media sosial. Masyarakat juga harus bijak dalam menggunakan media sosial dengan berpikir ulang atas informasi apa yang ingin dibagikan ke orang lain yang nantinya akan dibagikan juga oleh orang lain tersebut.4 Jadi sesuai dengan paparan diatas, pemidanaan pada pelaku penyebar berita bohong atau hoax tidak hanya dikenakan pada pelaku yang menulis atau mem-posting pertama kali suatu berita bohong tersebut akan tetapi juga pada orang yang hanya sekedar iseng mendistribusikan (forward)/ sharing.

B. Peran Penyidik Dalam Penyidikan Tindak Pidana Penyebaran Berita Bohong Kepolisian merupakan sesuatu unsur penting suatu negara yang berperan dalam menjaga keamanan dan ketentraman. Lahirnya Kepolisian Republik

4http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt58636cf3cc4d7/uu-ite-baru-dan-risiko- hukum-bagi-pengguna-mediasosial, diakses pada 20-10-2017, 20:43.

(12)

Indonesia sendiri dapat ditarik kebelakang pada tanggal 1 Juli 1946 yang merupakan hari lahir Kepolisian Indonesia. Di dalam pengaturan undang- undangnya Kepolisian Republik Indonesia di atur dalam Undang-Undang no 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang memuat segala pengaturan serta pengertian mengenai kepolisian, dan tata cara seorang polisi menjalan tugas nya, undang-undang ini juga sebagai pembatas dari seorang polisi dalam menjalankan tugas nya, sebagai pengayom masyarakat polisi menjamin keamanan masyarakat melalui perintah undang-undang di berbagai aspek kehidupan baik aspek hukum, sosial dan ekonomi dengan asas kepastian hukum, maka setiap tindak pidana yang terjadi hendaknya di selesaikan melalui proses peradilan. Penyidik adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.5

Kepolisian merupakan tahap awal dari proses peradilan yang dikenal dengan tahap penyidikan dan penyelidikan dalam tahap ini polisi berwenang dalam mengusut suatu tindak pidana guna mencari tahu apakah perbuatan tersebut termasuk kedalam suatu tindak pidana. Setelah mengetahui, maka polisi juga berwenang dalam melakukan pencarian serta penyitaan terhadap barang bukti. Asas legalitas sebagai

Aktualisasi paradigma supremasi hukum dalam Undang-undang ini secara tegas dinyatakan dalam perincian kewenangan Kepolisian Negara

5Pasal 1 ayat (10) undang-undang no 2 tahun 2002 tentang kepolisian negara republik indonesia.

(13)

Republik Indonesia, yaitu melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya. Adanya asas legalitas tersebut maka polisi berwenang dalam melakukan sagala macam penyidikan terhadap segala tindak pidana, termasuk tindak pidana yang dalam dunia nyata atau secara langsung maupun kejahatan dunia maya atau tindak pidana di dalam dunia maya.

Kejahatan dunia cyber di kenal beberapa kejahatan seperti pornografi, perjudian online, penipuan, pembullyan serta yang sedang menjadi perbincangan hangat adalah penyebaran berita bohong yang kerap kali menimbulkan keresahan di dalam masyarakat.6 Berita bohong sendiri adalah sebuah pemberitaan palsu dalam usaha untuk menipu atau mengakali pembaca/pendengarnya untuk mempercayai sesuatu, padahal sang pembuat berita palsu itu tau bahwa berita tersebut dalah palsu, penyebaran berita sendiri merupakan salah satu cara untuk penyampaian informasi baik melalui media cetak maupun media elektronik, di era digital dan globalisasi seperti ini media sosial merupakan sarana pengakses berita termudah, dengan kebebasan akses internet penyebaran berita cenderung tidak terbatas namun juga tidak dapat disaring kebenarannya, penyebaran berita melalui media elektronik lebih cenderung menyeluruh dan tidak terbatas pada pembaca dengan umur tertentu, seperti layaknya pembaca media cetak.7

6Penjelasan umum tentang Undanag-undang No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia.

7Nazrullah, Rulli, Media Sosial, Simbiosa Rekatama Media, Bandung 2016, Hal 19.

(14)

Berita bohong sendiri memiliki arti berita bohong yang isi nya tidak benar dan tidak sesuai dengan kebenaran yang sesungguhnya (materiele waarheid, menyebarkan sendiri disini maksudnya menyampaikan (berita bohong) pada khalayak umum in casu melalui media sistem elektronik. Menyebarkan berita bohong tidak bisa ditujukan pada satu atau seseorang tertentu, melainkan ditujukan kepada banyak orang (umum), sesuai dengan frasa “menyesatkan”

berita bohong itu dapat memperdaya orang sifat memperdaya dari isi berita bohong yang di sebarkan menimbulkan akibat kerugian konsumen yang melakukan transaksi elektronik, kerugian yang di maksud, tidak saja kerugian yang dapat dinilai dengan uang, tetapi segala bentuk kerugian seperti timbulnya perasaan cemas, malu, kesusahan, hilangnya harapan mendapat kesenangan maupun keuntungan dan lain sebagainya.8 Berdasarkan hal tersebut di atas dapat dikatakan bahwa tindak pidana hoax menyebar dengan cepat dan susah untuk diketahui siapa pembuat atau penyebar berita tersebut.9

Berita bohong tergolong sulit untuk ditelusuri karena merupakan berita bohong yang menyebar secara berantai dan dapat ditambah atau dikurangi sehingga memperbesar dampak dari berita bohong tersebut. Pemerintah Indonesia telah menyadari dampak yang ditimbulkan dari tindak pidana hoax sehingga pemerintah telah mengambil langkah tegas dengan mengeluarkan

8Budi Suhariyanto, Tindak Pidana Teknologi Informasi (Cybercrime), Jakarta Raja Grafindo Persada 2012, Hal 171.

9Ika pomuda, Perlindungan Hukum Bagi Korban Penipuan Melalui Media Elektronik (Suatu Pendekatan Viktimologi) Jurnal Ilmu Hukum Legal Opinion Edisi 4, Volume 3, Tahun 2015, Hal 1.

(15)

UndangUndang nomor 11 Tahun 2008, dengan dikeluarkan nya undangundang ini penyebar berita hoax dapat di jerat dengan masa hukuman selama 7 tahun sesuai dengan Pasal 28 Ayat (1) jo Pasal 45 yang menyebutkan bahwa “Setiap orang yang dengan sengaja dan atau tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan, ancamannya bisa terkena pidana maksimal enam tahun dan denda maksimal Rp 1 Miliar.”

Peraturan perundangan ini harapkan dapat memberikan rasa aman serta menjerat pelaku tindak pidana penyebaran berita bohong yang semakin hari semakin meresahkan, meskipun telah maraknya pemberitaan bohong di masyarakat hingga mengakibatkan kepanikan dan kekhawatiran di masyarakat seperti kasus pemberitaan penjualan organ tubuh yang di muat di Koran Manadopos. Pemberitaan ini membuat masyarakat merasa khawatir dan menimbulkan kepanikan di masyarakat namun untungnya hal ini telah dikonfirmasi oleh Kepala Polisi Republik Indonesia ia menjelaskan bahwa hal tersebut merupakan berita bohong.10

Meskipun telah banyak kepolisian daerah yang menetapkan jajarannya untuk menanggulangi berita hoax, namun pemberitaan bohong yang telah menyebar baik di nasional maupun di daerah semakin menghawatirkan sehingga membuat pemerintah mengeluarkan revisi Undang-Undang No 19 tahun 2016.

Sementara itu pengaturan pemberitaan bohong sebelumnya juga telah di atur

10Yusuf Asyari, Kapolri Pastikan Isu Penculikan Anak yang Dijual Organ Tubuh nya, http://www.jawapos.com/read/2017/03/22/117847/kapolri-pastikan-isu-penculikananak-yang dijual-organ-tubuhnya-hoax dikutippada tanggal 20 November 2018 pada pukul 22.00 wib.

(16)

dalam Pasal 14 dan 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang peraturan hukum pidana dengan bunyi Pasal 14. “Barang siapa, dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi tingginya sepuluh tahun”.

Serta Pasal 15 yang berbunyi “Barang siapa menyiarkan suatu berita atau mengeluarkan pemberitahuan, yang dapat menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, sedangkan ia patut dapat menyangka bahwa berita atau pemberitahuan itu adalah bohong, dihukum dengan penjara setinggitingginya tiga tahun”, namun saat itu hanya mengatur mengenai penulisan berita bohong yang di muat di media cetak atau koran belum mengatur mengenai pemberitaan yang di atur di dunia maya, pembuktian yang sulit dan penyebaran berita yang pesat dan tidak terkendali membuat kepolisian harus bekerja keras dalam melakukan penyidikan tindak pidana penyerbaran berita bohong. Mencermati persoalan ini tentunya sangat di harapkan peran kepolisian dalam melakukan penyidikan terhadap penyebaran berita bohong yang terjadi di Negara ini. Berbicara soal peran kepolisan terlebih dahulu harus mengerti arti peran itu sendiri. Peran adalah seperangkat tingkah yang di harapkan dimiliki oleh orang yang berkedudukan di masyarakat. Kedudukan dalam hal ini diharapkan sebagai posisi tertentu di dalam masyarakat yang makin tinggi, sedang-sedang saja atau rendah, kedudukan tersebut sebenernya merupakan suatu wadah, yang isinya adalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban tertentu, sedangkan hak dan kewajiban tersebut merupakan peran. Oleh karena itu, seseorang yang mempunyai kedudukan tertentu, lazimnya

(17)

dinamakan pemegang peran (role occupant), suatu hak sebenarnya merupakan wewenang untuk berbuat atau tidak berbuat, sedangkan kewajiban adalah beban atau tugas.11 Secara sosiologis, peranan merupakan aspek dinamis kedudukan, apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesai dengan kedudukannya, dia telah menjalankan suuatu peran, penting nya peran adalah karena ia mengatur prilaku seseorang. Peran lebih banyak menunjuk pada fungsi penyesuaian diri, dan sebagai suatu proses. Pada dasarnya peradilan yang terkait dengan segala jenis dan bentuk kejahatan ITE termasuk penyebaran berita bohong tetap berlaku hukum acara pidana dalam KUHAP, hal ini merupakan peranan normatif dari Kepolisian yaitu sejalan dengan undang-undang Kepolisian Nomor 2 Tahun 2002, dalam penyidikan tindak pidana ini telah sejalan dengan fungsi Kepolisian sesuai Pasal 2, tugas sesuai pasal 14, dan wewenang sesuai Pasal 15 mencakup Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia berlaku ketentuan Khusus tentang penyidikan dalam bab X Pasal 42 s/d 44 UU Informasi & Transaksi Elektronik.

Kemudian pejabat penyidik yang berwenang melakukan tindak pidana ITE adalah penyidik penjabat Polisi Negara Republik Indonesia.

Oleh karena itu, Rumusan Pasal 28 ayat (1) UU No. 16 tahun 2016 Tentang ITE, yang berisi bahwa “Setiap orang dengan sengaja, dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian

11M. Aristo Wijaya, Skripsi :“Peran Tim Khusus Anti Bandit Polda Lampung Dalam Penegakan Hukum Terhadap Penggunaan Senjata Api Illegal”, (Bandar Lampung, Universitas Lampung, 2016), Hal 35.

(18)

konsumen dalam transaksi elektronik”, perbuatan yang diatur dalam Pasal 28 ayat (1) UU ITE merupakan salah satu perbuatan yang dilarang dalam UU ITE, namun UU ITE tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan “berita bohong dan menyesatkan”. Terkait dengan rumusan Pasal 28 ayat (1) UU ITE yang menggunakan Frasa “menyebarkan berita bohong”, sebenarnya dalam ketentuan Pasal 390 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), walaupun dengan rumusan yang sedikit berbeda yaitu digunakannya frasa “menyiarkan kabar bohong dan hanya dapat dihukum dengan Pasal 390 KUHP, apabila ternyata bahwa kabar yang disiarkan itu adalah kabar bohong. Dapat dianalisis bahwa peran kepolisian dalam penanggulangan tindak pidana penyebaran berita bohong (hoax), harus memaksimalkan peran-peran kepolisian yang ada, yakni : 12

1. Peran normatif adalah peran yang dilakukan oleh seseorang atau lembaga yang didasarkan pada seperangkat norma yang berlaku dalam kehidupan masyarakat, sesuai dengan Pasal 2, Pasal 4, Pasal 13 dan Pasal 14 (1) huruf g UU No 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

2. Peran ideal adalah peran yang dilakukan oleh seseorang atau lembaga yang didasarkan pada nilai-nilai ideal atau yang seharusnya dilakukan sesuai dengan kedudukannya di dalam suatu sistem, sesuai dengan UU No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, khususnya Pasal 1 angka (1), angka (2), angka (4), angka (5).

12Sudrajat Bassar, M, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana, Bandung 2006, CV. Remadja Karya. Hal 17.

(19)

3. Peran faktual adalah peran yang dilakukan oleh seseorang atau lembaga yang didasarkan pada kenyataan secara kongkrit di lapangan atau kehidupan sosial yang terjadi secara nyata, sesuai dengan UU No 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas UU No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, khususnya Pasal 28 (2) dan Pasal 45A ayat (2).

Penerapan aturan hukum juga tidak hanya bersandar pada UU No. 19 Tahun 2016 Tentang ITE, namun juga dapat menerapkan rumusan Pasal 390 KUHP mengenai rumusan kabar bohong, sehingga memperkuat peran kepolisian dalam penanggulangan penyebaran berita bohong. Namun demikian dalam hal penyidikan tindak pidana ITE juga dapat dilakukan oleh pejabat penyidik lain yang ruang lingkup tugas dan tanggung jawab nya di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik. Adalah pejabat dari Departemen/Kementrian Komunikasi dan Informatika (KOMINFO).

Disamping itu berlaku pula hukum acara pidana tentang penyidikan yang diatur secara khusus dalam bab X UU ITE, berdasarkan asas lex specialis gerogat legi generali, maka aturan hal khusus itulah yang diberlakukan.10 dalam hal melakukan penyidikan tindak pidana di bidang ITE selain berlaku seluruh ketentuan mengenai penyidikan dalam kodifikasi hukum acara (Bab IV Bagian kesatu dan kedua KUHAP) berlaku pula ketentuan Khusus tentang penyidikan dalam bab X Pasal 42 s/d 44 UU ITE. Setelah melakukan peran faktual Kepolisian dalam hal ini penyidik juga melakukan peranan ideal yakni melakukan tindakan patroli cyber atau cyber patrol yaitu dengan melakukan

(20)

pengawasan langsung terhadap aktifitas pengguna media sosial.13Dalam pembuktian dalam dunia cyber bahwa pembuktian dilakukan secara digital forensik ada beberapa proses yang dilakukan dalam digital forensik, salah satunya adalah identifikasi. Proses identifikasi dilakukan untuk memeriksa dengan seksama barang atau sistem elektronik yang mengandung informasi atau dokumen elektronik yang dapat dijadikan alat bukti. Meski begitu, untuk membuktikan kasus ini, bukan berarti hanya bergantung pada alat bukti elektronik. Dalam kasus cyber crime tidak selalu menekankan pada alat bukti elektronik semata pembuktian-pembuktian yang konvensional, serta alat bukti- alat bukti yang konvensional yang terdapat dalam Pasal 184 KUHAP, juga masih sangat relevan untuk digunakan. Berdasarkan uraian tersebut dapat diakatan bahwa bahwa peran penyididk telah menjalankan pernanan normatif yaitu sesuai dengan undang-undang, peranan faktual (factual role) yaitu dengan melakukan penyidikan serta peranan ideal (ideal role) yaitu dengan melakukan cyber patrol, untuk melakukan penyelidikan penyebaran berita bohong.

C. Bentuk Penanganan Tindak Pidana Penyebaran Berita Bohong Oleh Penyidik

Berbagai informasi Berita bohong atau palsu beredar dilinimasa, menyebar melalui media sosial ataupun pesan singkat telepon genggam seperti

13Widodo, 2009, Sistem Pemidanaan Dalam Cyber Crime, Yogyakarta, Laksbang Mediatama, Hal 22.

(21)

whatsapp dan lain sebagainya. Pesatnya perkembangan telepon pintar membuat publik semakin mudah mengakses beragam berita dan informasi hanya dalam genggaman tangan,14 namun imbasnya informasi palsu ikut tersebar dengan mudah yang bagi sejumlah orang malah diyakini sebagai kebenaran. Sebgai contoh kasus yang beberapa bulan terahkir ini muncul sebagi persoalan pemberitaan bohong di negeri ini yakni Ratna Sarumpaet. Kepolisian Daerah Metro Jaya menangkap terhadap aktivis Ratna Sarumpaet pada Kamis malam, 4 Oktober 2018 di Bandara Internasional Soekarno Hatta. Ratna ditangkap sebelum terbang ke Santiago, Cile.

Ratna Sarumpaet ditetapkan sebagai tersangka pembuat dan penyebar berita bohong atau hoax penganiayaan yang dialaminya di Bandung pada awal Oktober 2018. Pengakuan sudah disampaikan setelah polisi mengungkap sejumlah kejanggalan, di antaranya ada transaksi yang dilakukan Ratna Sarumpaet untuk operasi bedah plastik di rumah sakit di Menteng, Jakarta Pusat.

Hoax telanjur menyebar luas dan ikut memanaskan situasi menjelang pemilihan presiden 2019. Saat itu, Ratna Sarumpaet memang masih tergabung dalam tim pemenangan pasangan calon Prabowo-Sandiaga. Secara yudiris terkait dengan persoalan ini bahwa : Penyidik dapat menerapkan Pasal 14 ayat (1) Undang- undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, dimana unsur

“dengan sengaja menerbitkan keonaran dikalangan rakyat” dipandang sudah

14Adami Chazawi dan Ardi Ferdian, Tindak Pidana Informasi dan Transaksi Elektronik. Malang Media Nusa Creative 2015, Hal 2.

(22)

terpenuhi, dengan hukuman penjara setinggi-tingginya sepuluh tahun. Selain sangkaan pasal tersebut, kepadanya dapat pula dikenakan ketentuan Pasal 28 Ayat (2) jo Pasal 45A Ayat (2) Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik (UU ITE), sepanjang yang bersangkutan menyebarkan informasi tersebut melalui sistem elektronik dan ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA).

Yang terjadi berupa pelaporan terhadap sejumlah tokoh antara lain Prabowo Subianto, Amien Rais, dan lain-lain dengan dalil turut menyebarkan berita bohong patut dipertanyakan, karena sebagai bentuk konspirasi dan permufakatan jahat. Perlu disampaikan, bahwa seseorang tidak dapat dipidana, jika memang ia tidak mengetahui atau sesat mengenai keadaan yang merupakan unsur tindak pidana atau berkeyakinan bahwa perbuatannya tidak merupakan suatu tindak pidana, kecuali ketidaktahuan, kesesatan, atau keyakinannya itu patut dipersalahkan kepadanya. Akan tetapi dalam hal ini Prabowo dan timnya tidak mengetahui bahwa Ratna telah menyebarkan berita bohong dan sudah ikut campur dalam pemberitaan Ratna telah dipukul atau dianiaya di bandung, dalam hal ini Prabowo dan timnya ikut dalam pemberitaan bohong ini tapi dalam keadaan tidak mengetahui kalau Ratna Sarumpaet telah melakukan pemberitaan bohong kepada publik.

(23)

Dalam pasal 55 (KUHP), barang siapa turut serta dalam melakukan kejahatan, dia diancam hukumannya itu. Selanjutnya ayat ia menyebutkan orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan, atau turut melakukan perbuatan itu dihukum sebagai orang yang melakukan peristiwa pidana. Setidaknya ada dua pasal dalam KUHP yang bisa dikenakan bagi mereka yang bersinggungan dengan kasus Ratna. Mereka yang ikut serta juga bisa didefenisikan sebagai pelaku. Termasuk pihak-pihak yang menyuruh, membantu, memberi fasilitas dan kesempatan, sebagaimana diatur Pasal 55 dan 56 KUHP sebagai pelaku penyertaan. Sementara pelaku hoaks pertama bisa dijerat dengan sejumlah pasal.

Beberapa di antaranya Pasal 28 ayat 1 dan 2 UU nomor 11 tahun 2008 tentang ITE, Pasal 14 dan 15 Undang Undang nomor 1 tahun 1946, Pasal 311 dan 378 KUHP. Klasifikasi hoaks nantinya akan terbagi dua hal, yakni hoaks yang merugikan pribadi perseorangan.

Ada pula berita bohong yang merugikan suatu kelompok masyarakat.

Setidaknya ada 17 nama yang sempat dilaporkan karena diduga turut menyebarkan berita hoaks. Mereka ialah Prabowo Subianto, Ratna Sarumpaet, Fadli Zon, Rachel Maryam, Rizal Ramli dan Nanik Deang. Kemudian Ferdinand Hutahaean, Arief Puyono, Natalius Pigai, Fahira Idris, Habiburokhman dan Hanum Rais. Ada juga Said Didu, Eggy Sudjana, Captain Firdaus, Dahniel Azar Simanjuntak dan Sandiaga Uno.

Dalam hukum pidana dikenal asas “tiada pidana tanpa kesalahan” (geen straf zonder schuld, latin : actus non facit reum, nisi mens sit rea). Kesalahan

(24)

merupakan dasar pemidanaan atau yang menimbulkan hak untuk memidana.

Kesalahan adalah sebagai faktor penentu pertanggungjawaban pidana. Kesalahan sebagai faktor penentu dalam menentukan dapat tidaknya seseorang dipertanggungjawabkan secara pidana, dapat dibedakan dalam dua bentuk, yaitu kesalahan dalam bentuk kesengajaan (dolus/opzet) dan kesalahan dalam bentuk kealpaan (culpa). Dapat dikatakan bahwa tanda kesalahan adalah kesengajaan.

Dalam KUHP tidak dijelaskan secara komprehensif tentang kesengajaan dimaksud. Hanya saja, apabila dilihat dari segi penafsiran historis dari KUHP itu sendiri yakni “Memorie van Toelichting” dari Wetboek van Strafrecht (KUHP), didefinisikan bahwa sengaja sama dengan “willens en wetens”. Tegasnya dalam kesengajaan mempersyaratkan adanya unsur menghendaki dan mengetahui (willens en wetens).

Apabila menggunakan interpretasi futuristik dengan melihat rumusan Rancangan KUHP, maka kita temui adanya penjelasan tentang pertanggung jawaban pidana, sebagaimana disebutkan dalam Penjelasan Pasal 34, sebagai berikut : “Tindak pidana tidak berdiri sendiri, itu baru bermakna manakala terdapat pertanggung jawaban pidana. Ini berarti setiap orang yang melakukan tindak pidana tidak dengan sendirinya harus dipidana. Untuk dapat dipidana harus ada pertanggung jawaban pidana. Pertanggung jawaban pidana lahir dengan diteruskannya celaan (vewijbaarheid) yang objektif terhadap perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana yang berlaku, dan secara subjektif kepada pembuat tindak pidana yang memenuhi persyaratan untuk dapat dikenai pidana

(25)

karena perbuatannya. Dasar adanya tindak pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dapat dipidananya pembuat tindak pidana adalah asas kesalahan. Ini berarti bahwa pembuat tindak pidana-tindak pidana hanya akan dipidana jika ia mempunyai kesalahan dalam melakukan tindak pidana tersebut.

Kapan seseorang dikatakan mempunyai kesalahan merupakan hal yang menyangkut masalah pertanggung jawaban pidana. Seseorang mempunyai kesalahan bilamana pada waktu melakukan tindak pidana, dilihat dari segi kemasyarakatan ia dapat dicela oleh karena perbuatannya.”.

Terkait dengan kasus Ratna bisa menggunakan pendekatan Criminal Justice System yang untuk menelusuri motif dan siapa saja yang terlibat di balik kasus ini, karena pendekatan ini melingkupi jaringan atau koordinasi antar lembaga peradilan maupun pada fungsi penegakan hukum. Dalam teori ini Kepolisian-Kejaksaan-Pengadilan terikat sebuah sistem yang memiliki kesamaan sudut pandang sehingga memudahkan proses penyelesaian kasus Ratna ini.

Karena dalam pendekatan ini bisa menggunakan pola monitoring di level penyidikan yang efektif membedah kasus apakah kebohongan ini merupakan penyertaan terkoordinasi dari Prabowo dan timnya atau memang murni ulah seorang Ratna Sarumpaet. Tapi dalam artian Prabowo dan timnya telah turut menyebarkan berita bohong akan tetapi dalam hal tidak mengetahui jika Ratna Sarumpaet telah berbohong. “Jadi dalam hal ini telah terjadi pemberitaan bohong yang lebih dari 1 orang”.

(26)

Konstruksi hukum tentang penyertaan (deelneming), sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP berbunyi : Dihukum sebagai orang yang melakukan peristiwa pidana, Orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan atau turut melakukan perbuatan itu. Pasal ini mensyaratkan adanya koordinasi antara Prabowo dan Ratna terkait pemberitaan bohong yang dilakukan oleh Ratna, padahal Prabowo dan timnya dalam keadaan tidak mengetahui kalau sebenarnya Ratna telah berbohong. Logika hukumnya bagaimana mungkin mereka sebagai pihak yang dibohongi Prabowo dan timnya, kemudian mereka dicelakan sebagai pihak yang menyebarluaskan berita bohong dan oleh karenanya dikatakan terdapat kesengajaan. Oleh karena itu, kepada mereka tidak dapat dimintakan pertanggung jawaban pidana baik menurut KUHP maupun UU ITE. Prabowo, Amien Rais, dan lain-lainnya adalah sebagai korban kebohongan Ratna Sarumpaet karena tidak mengetahui pemberitaan Ratna adalah kebohongan. Pengakuan Ratna Sarumpaet bahwa ia telah melakukan kebohongan merupakan “fakta sudah berbicara sendiri” (res ipsa loquitur). Oleh karena itu, pemberitaan bohong seperti yang Ratna buat ini harus ditanggapi serius oleh pemerintah dan memerlukan suatu tindakan tegas dari aparat penegak hukum khususnya oleh pihak kepolisian dalam rangka penanggulanggannya.

Bentuk penanganan kasus Ratna di mulai saat Direktur Kriminal Umum Polda Metro Jaya Kombes Nico Afinta menyampaikan, pihaknya menerima sejumlah laporan yang terbuka untuk umum dari beberapa orang yang meminta agar kepolisian menyelidiki kebenaran benar atau tidak penganiayaan yang

(27)

dialami Ratna yang telah membuat kegaduhan dimasyarakat, karena Ratna berujar di media masa kalau dia telah dianiaya dan pada dasarnya semua itu adalah berita bohong yang dilakukan oleh ratna di media masa. Karena berdasarkan hasil penyelidikan temuan di lapangan berbeda dengan apa yang Ratna katakan di media masa yaitu Ratna Sarumpaet diketahui datang ke Rumah Sakit Bina Estetika pada 21 September 2018 sekitar pukul 17.00 WIB, dia tinggal di RS tersebut sampai tanggal 24 September dan keluar jam 21.00 WIB, dan setelah diselidiki kepolisian dalam periode 21 sampai 24 September menurut keterangan dari RS, dia tidak keluar dari RS dari hal ini sudah ada 1 bukti kebohongan Ratna dan dengan kemudian Ratna mengakui sendiri jika itu ada berita bohong yang dia sebarkan. Akan tetapi Kasus Ratna Sarumpaet disebut bukan delik aduan menurut Ketua Umun Cyber Indonesia Habib Muanas Al Aidi Karenanya, polisi bisa langsung rangkaian proses hukum tanpa ada pengaduan masyarakat. Dikarenakan pemberitaan ratna telah membuat kegaduhan dimasyarakat tentang pemukulan dirinya, dan hal ini adalah suatu pemberitaan bohong atau hoax.

Selain itu juga berita bohong Ratna ini tidak hanya diarahkan untuk mengacaukan persepsi masyarakat tentang situasi terkini tetapi juga merupakan upaya pihak-pihak tertentu untuk merusak kondusivitas negara. Oleh karena itu, bentuk penanganan terkait kasus Ratna yang dilaporkan terbuka untuk umum ini diperlukan peran kepolisian yang telah menetapkan Ratna sebagai tersangka yang merupakan gambaran Equality before the law, atau kesetaraan di hadapan

(28)

hukum, menjadikan semua orang di Indonesia wajib mematuhi hukum, oleh karena itu penanganan oleh kepolisian berupa proses penyidikan serta penyelidikan sangat diperlukan guna membongkar seluruh kebohongan Ratna dan harus di proses sesuai Undang-undang yang berlaku.

Pada intinya upaya kepolisian dalam penanggulangan tindak pidana penyebaran berita bohong atau hoax adalah mengacu kepada Kitab Undang- undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yakni Polisi sebagai Penyelidik dan Penyidik dari suatu tindak pidana, khususnya diatur dalam Pasal 1 angka (1) UU No 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang berisi bahwa “Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-undang untuk melakukan penyidikan”, Pasal 1 angka (2) UU No 8 Tahun 1981, berisi bahwa “Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”,15 yang dalam hal ini mengungkap kasus berita bohong Ratna Sarumpaet yang juga menyeret Prabowo dan timnya yang juga menyebarkan berita bohong tersebut akan tetapi tidak mengetahui jika Ratna telah berbohong. Logika hukumnya bagaimana mungkin mereka sebagai pihak yang dibohongi yaitu Prabowo

15Sunarso, Siswanto, Hukum Informasi dan Transaksi Elektronik (Studi Kasus; Prita Mulyasari), Rineka cipta, Jakarta 2009, Hal 11.

(29)

Subianto, Fadli Zon, Rachel Maryam, Rizal Ramli, Nanik Deang, Ferdinand Hutahaean, Arief Puyono, Natalius Pigai, Fahira Idris, Habiburokhman, Hanum Rais, Said Didu, Eggy Sudjana, Captain Firdaus, Dahniel Azar Simanjuntak dan Sandiaga Uno, kemudian disebut sebagai pihak yang menyebarluaskan berita bohong dalam artian mereka tidak mengetahui kebohongan Ratna yang sesungguhnya. Oleh karena itu, kepada mereka tidak dapat dimintakan pertanggung jawaban pidana baik menurut KUHP maupun UU ITE. Prabowo dan timnya adalah sebagai korban kebohongan Ratna Sarumpaet karena tidak mengetahui pemberitaan Ratna adalah kebohongan. Lebih jelasnya Pakar Hukum Pidana dari Universitas Al Azhar Indonesia, Suparji Ahmad, mengatakan, Prabowo Subianto dan kawan-kawan yang sempat mengeluarkan kabar penganiayaan Ratna Sarumpaet tidak bisa dikenai hukum pidana. Sebab, Prabowo dan politisi lainnya hanya menceritakan pernyataan Ratna. Jika dibawa ke UU ITE Pasal 28 ayat (1) : “Setiap orang dengan sengaja, dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik”, pasal penyebaran berita bohong ini, tidak akan efektif dalam artian yang dimaksud berita bohong dalam UU ITE itu kan secara sengaja. Artinya dia tahu bahwa itu berita bohong kemudian disebar untuk menguntungkan dirinya atau menjelekkan orang lain akan tetapi Prabowo tidak tahu bahwa itu berita bohong jadi Prabowo dan timnya tidak dapat di jerat pidana karena tidak mengetahui tentang berita bohong ini serta tidak dengan sengaja memberitakan pada publik.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini menemukan beberapa kesimpulan : pertama, dalam menegakan hukum pidana berita bohong (hoax) salah satu aparat penegak hukum yakni Kepolisan Republik

Regulasi: Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang