• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III Pendekatan dan Metodologi

abdul azis

Academic year: 2023

Membagikan "BAB III Pendekatan dan Metodologi"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

PENDEKATAN DAN METODOLOGI

3.1. PENDEKATAN

Perencanaan rehabilitasi diperlukan untuk mendapatkan dokumen gambar untuk implementasi rehabilitasi dan gambar inventaris pengelola irigasi. Berbeda dengan perencanaan irigasi baru, yang menyiapkan dokumen perencanaan bagi infrastruktur yang tidak ada menjadi ada.

Perencanaan rehabilitasi menyiapkan dokumen infrastruktur yang ada tapi rusak, menjadi infrastruktur yang lebih baik.

Proses perencanaan digambarkan sebagai berikut:

1. Pengenalan Kerusakan: Hal yang penting dalam rehab adalah kejelian perencana dalam mengenali kerusakan, yang dilakukan dengan pandangan mata, pengkajian, atau investigasi.

2. Menemukan penyebab kerusakan: Tahap awal merencanakan rehabilitasi adalah menemukan penyebab kerusakan. Penyebab kerusakan harus dicari akar masalah yang paling hulu sebagai sumber penyebeb penyakit.

3. Tinjauan ulang perencanaan ulang terdahulu: Tahap selanjutnya adalah melakukan peninjauan ulang perencanaan lama, meliputi:

 Pengecekan data penunjang seperti: topografi, dan hidrologi,

 Pengecekan analisa data dan perhitungan

 Prose pengecekan gambar.

4. Elaborasi teknik: berupa upaya mencari jalan keluar perbaikan saluran dan bangunan untuk mengembalikan fungsi saluran dan jaringan irigasi. Perbaikan data dan penyempurnaan data dapat berupa:

 Topografi: pengukuran ulang, pengukuran tambahan

 Hidrologi: tambah seri data, perhitungan ulang, alternatif rumus lain sebagai pembanding

 Geoteknik: tambah data, perubahan pendekatan, perhitungan ulang, interpertasi yang wajar.

 Sedimen: tambah seri data, perbaikan teknik sampling, asumsi yang benar.

Penyempurnaan analisa teknik dapat berupa:

 Konsep pendekatan yang sesuai

 Anggapan-anggapan yang benar

 Rumus yang lebih tepat

 Perhitungan arithmatik yang betul

 Besaran standar yang wajar

 Angka keamanan yang memadai.

 Teknik penggambaran: Setelah elaborasi teknik perbaikan dilakukan, dilanjutkan dengan penuangannya dalam gambar teknik.

5. Tata laksana perencanaan rehab: perencanaan rehabilitasi adalah upaya untuk perbaikan dengan menyempurnakan perencanaan lama. Tata laksana perencanaan rehabilitasi harus dibedakan dalam 3 keadaan:

(2)

1) Gambar dan nota penjelasan lama tersedia: kegiatan perencanaan rehabilitasi tinggal mencocokkan dengan keadaan lapangan, ketepatan data, kebenaran analisa dan perhitungan, kebenaran penggambaran. Tahap terakhir adalah menyempurnakan gambar dan nota penjelasan.

2) Gambar dan nota penjelasan lama hilang: kegiatan rehab harus mengulang seluruh kegiatan perencanaan. Satu- satunya bahan pembanding adalah wujud fisik infrstruktur di lapangan.

3) Gambar dan nota penjelasan lama hilang sebagian: kegiatan rehab harus mengulang sebagian kegiatan perencanaan. bahan pembanding adalah gambar dan nota penjelasan serta wujud fisik infrstruktur di lapangan.

6. Tanggung jawab perencanaan rehabilitasi: Tanggung jawab teknis rehabilitasi dari sisi perencanaan terletak pada perencana lama maupun perencana baru secara bersamaan.

Idealnya keputusan tehnik rehab harus didahului dialog antara perencana lama dan perencana baru, untuk saling interaksi hal-hal yang menyangkut perencanaan.

3.2. CURAH HUJAN PADA DAS

Data curah hujan yang digunakan adalah data curah hujan selama 24 jam (harian) baik absolut maksimum, setingkat dibawah maksimum maupun curah hujan tahunan maksimum. Untuk menghitung curah hujan daerah ini dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:

3.2.1. Cara Aritmatik / Aljabar

Perhitungan curah hujan rata-rata dengan cara ini sama dengan membuat rata-rata aljabar yaitu dengan rumus:

R=R1+R2+R3+.. .. .+Rn n

Dimana:

R = Curah hujan maksimum rata-rata R1 = Curah hujan stasiun no. 1

R2 = Curah hujan stasiun no. 2 Rn = Curah hujan stasiun no. n 3.2.2. Poligon Thiessen

Perhitungan curah hujan rata-rata dengan cara poligon thiessen ini dengan menggunakan poligon dari hasil perpotongan garis tegak lurus tengah garis sumbu yang menghubungkan dua titik pos stasiun hujan. Dari perpotongan poligon tersebut akan terbentuk petak – petak luasan yang diwakili oleh satu stasiun hujan. Kemudian daerah yang mewakili masing – masing stasiun diukur luasnya dengan menggunakan planimeter.

Untuk lebih jelasnya dapat dilihat panda gambar 3.1

(3)

Gambar 3.1 Poligon Thiessen

Secara umum perhitungan curah hujan rata-rata cara Thiesen dengan rumus berikut:

R= A

1

R

1

+ A

2

R

2

+. . .+ A

n

R

n

A

1

+ A

2

+. . .+ A

n

Keterangan :

R

¿ = Curah hujan rata-rata DAS R 1 = Curah hujan stasiun no.1 R 2 = Curah huajn stasiun no.2

R n = Curah hujan pada setiap stasiun pengamat hujan A 1 = Luas Polygon pada R 1

A 2 = Luas Poligon pada R 2 A n = Luas Poligon pada R n A = Luas total DAS

Tetapi dalam perkembangannya rumus tersebut dimodifikasi dengan menggunakan bobot luasan area tiap stasiun terhadap luasan total DAS. Untuk menghitung bobot luas pengaruh hujan (Wi) dengan rumus:

Wi= Ai

ΣA Χ 100%

Keterangan:

Ai = Luas pengaruh hujan dari stasiun i

∑A = Luas total DAS

Wi = Bobot Luas pengaruh hujan

Kemudian bobot masing-masing stasiun merupakan prosentase luas area yang berpengaruh terhadap penentuan curah hujan rata-rata DAS tersebut. Sehingga perhitungan curah hujan rata-rata dihitung dengan rumus :

Ri= Σ Wi X Ri

Keterangan:

(4)

R

¿ = Curah hujan wilayah

Wi = Bobot luasan pengaruh hujan i Ri = Curah hujan di stasiun i

Dari hasil kedua cara tersebut ditentukan hasil yang dianggap dapat mewakili daerah aliran sungai dan merupakan hasil yang paling besar.

3.3. ANALISIS JENIS SEBARAN 3.3.1 Metode Gumbel Tipe I

Metode E.J. Gumbel Type I dengan persamaan sebagai berikut : X=Xr+K . Sx

Xr=1 n

1 n

Xi

Sx=

1 n

X2iXr

1 n

Xii n−1 K=YTYn

Sn Dengan :

X = Variate yang diekstrapolasikan, yaitu besarnya curah hujan ran cangan untuk periode ulang pada T tahun.

Xr = Harga rerata dari data Sx = Standart deviasi

K = Faktor frekuensi yang merupakan fungsi dari periode ulang (return period) dan tipe distribusi frekuensi.

YT = Reduced variate sebagai fungsi periode ulang T

= - Ln [ - Ln (T - 1)/T]

Yn = Reduced mean sebagai fungsi dari banyaknya data n

Sn = Reduced standart deviasi sebagai fungsi dari banyaknya data n T = Kala ulang (tahun)

Dengan mensubstitusikan ketiga persamaan diatas diperoleh :

XT =

X + ( YT - Yn )

Sn . Sx

Jika :

(5)

(1/a) = (Sx/Sn) b = X - (Sx/Sn)Yn

Persamaan di atas menjadi : XT = b + (1/a). YT

(6)

Dengan :

XT = Debit banjir dengan kala ulang T tahun YT = Reduced variate

Metode ini memiliki sifat khas yaitu nilai asimetrisnya Cs=1.1396 dengan koefisien kurtosis Ck = 5.4002.

Menghitung curah hujan dengan persamaan Xt= ´X+ S

Sn

(

YTYn

)

Dimana :

Yn = nilai rata-rata dari reduksi variat (reduce mean) nilainya tergantung dari jumlah data (n), dapat dilihat pada Tabel (Soewarni,1995). Diambil = 0.510

Sn = deviasi standar dari reduksi variat (reduced standart deviation) nilainya tergantung dari jumlah data (n), dapat dilihat pada Tabel… (Soewarno, 1995). Nilainya diambil = 1,0095

X´=103 Sd=17,987 Yt=−ln

[

lnT−1T

]

3.3.2 Metode Log Person Tipe III

Metode yang dianjurkan dalam pemakaian distribusi Log Pearson adalah dengan mengkonversikan rangkaian datanya menjadi bentuk logaritmis.

Nilai rerata :

logxr=

1 n

logx n atau dengan cara :

S1=

1n (logn−1x−logxr)2

Cs=

1 n

(logx−logxr)2 (n−1) (n−2). S13

nilai X bagi setiap probabilitas dihitung dari persamaan:

log x = log xr + G log x

Distribusi frekuensi kumulatif akan tergambar sebagai garis lurus pada kertas log-normal jika koefisien asimetri Cs = 0.

(7)

Distribusi Type III merupakan salah satu dari kumpulan distribusi yang diusulkan oleh Pearson. Tidak terdapat alasan-alasan secara teoritis mengenai pemakaian distribusi ini pada analisis data hidrologi.

(8)

3.3.3 Metode Log Normal

Memiliki sifat khas yaitu nilai asimetrisnya (skewness=Cs) hampir sama dengan 3 dan bertanda positif, atau dengan nilai Cs kira-kira sama dengan tiga kali nilai koefisien variasi Cv.

3.4. DEBIT BANJIR RANCANGAN 3.4.1Metode Rasional

Data - data yang dibutuhkan yaitu :

(a) Cacthmant Area (DAS) yang diperoleh dari Peta Topografi skala 1 : 50.000.

(b) Data Curah Hujan Harian Maksimum.

(c) Perhitungan data hujan periode ulang Rt 5, Rt 10, Rt 25 Rt 50 dengan cara Methode Gumbel.

Rumus :

QT=0,278x c x i x a I=Rt

24 X

[

Tc241

]

¿2/3

Tc1=Tc/60

Tc=0,0195

[ √

Ls

]

¿0,77

S=H/L Dimana :

QT = Debit Banjir Maksimum (m3/dt) H = Beda Tinggi hulu dan hilir (m) L = Panjang sungai (m)

A = Luas Daerah Aliran Sungai (Km2) C = Koefisien Angka Pengaliran S = Kemiringan sungai

I = Intensitas hujan (mm/jam) Tc = Waktu konsentrasi

3.4.2Metode weduwen

Qt = b x c x q x A x Rt/240 t = 0.1 x L0,8 x i-0.3

i = H / (L x 1000)

B = 120 + ((t + 1)/(t + 9)) x A 120 + A

q = 67,75 / (t + 1,45) m3/dt/km2 c = 1 - 4.1 / (q + 7)

Dimana :

Qt = Debit Banjir Rencana (m3/dt) A = Luas DAS (Km2)

Rt = Nilai Hujan Maksimum (mm)

(9)

H = Beda Tinggi Hulu dan Hilir Sungai (m) L = Panjang Sungai (Km)

3.5. DEBIT ANDALAN

Debit Andalan untuk satu bulan adalah debit dengan kemungkinan terpenuhi 80 % atau tidak terpenuhi 20 % pada bulan bersangkutan. Debit Andalan digunakan untuk mengetahui sejauh mana ketersediaan air irigasi bisa terpenuhi.

Debit Andalan bisa diperoleh dengan dua cara yaitu :

1. Data Debit Sungai yang masuk intake dan yang melimpas mercu bendung tiap harinya dihitung keandalannya 80 %.

2. Apabila data debit sungai tidak diketemukan, maka perhitungan analisa hujan ½ bulanan Debit Andalan dilakukan dengan methode Mock.

3.6. KEBUTUHAN AIR TANAMAN

Kebutuhan air adalah jumlah air yang dibutuhkan oleh tanaman untuk tumbuh secara normal.

Untuk tumbuh secara normal tersebut menyangkut kebutuhan untuk pembasahan tanah, pengolahan tanah, pertumbuhan tanaman dan pematangan butir. Disamping dipengaruhi pula oleh jenis tanaman, periode pertumbuhan, sifat tanah, keadaan iklim dan keadaan topografi.

Maksud dan tujuan dari perhitungan angka kebutuhan air untuk irigasi adalah :

 Menentukan pola tanam, rencana tanam dan intensitas tanam.

 Menentukan dimensi saluran pembawa dan bangunan pengambilannya.

Sedangkan kebutuhan air untuk irigasi tergantung pada besarnya kebutuhan air untuk pengolahan tanah dan penjenuhan, nilai consumtive use (kebutuhan masa pertumbuhan), perkolasi, genangan hujan effective dan besarnya kehilangan air selama penyaluran (effisiensi irigasi).

Untuk tanaman palawija masih harus tergantung dari faktor tampungan air hujan yang tergantung dari jenis tanamannya dan dalamnya akar.

Secara garis besar kebutuhan air irigasi ditentukan oleh faktor-faktor sebagai berikut : a. Penyiapan lahan

b. Penggunaan consumtive c. Perkolasi

d. Penggantian lapisan air (untuk padi) e. Curah hujan effective

f. Effisiensi Irigasi 3.6.1 Effisiensi irigasi

Besarnya kehilangan air pada jaringan irigasi diperkirakan sebagai berikut :

- Jika debit air yang melalui intake bendung adalah Q1 l/dt, maka kehilangan air pada jaringan primer = 10 % x Q1.

- Jika debit air yang melalui sadap primer adalah Q2 lt/dt, maka kehilangan air pada jaringan sekunder = 15 % x Q2.

- Jika debit air pada jaringan tersier adalah Q3 l/dt, maka kehilangan air pada jaringan tersier = 25 % x Q3.

(10)

Hal ini berarti debit rencana yang diperlukan untuk masing-masing jaringan sebesar : - Jaringan Tersier (C) = 1,25 x (B)

- Jaringan Sekunder (D) = 1,15 x (C) - Jaringan Primer (E) = 1,10 x (D)

Jika : (B) = Kebutuhan air dari tanaman (l/dt).

= 0,116 x (A) l/dt.

Dimana (A) = Kebutuhan air tanaman dengan satuan mm/hari.

Dengan uraian di atas, maka effisiensi untuk irigasi adalah sebagai berikut : - Untuk jaringan Primer = 90 %

- Untuk jaringan Sekunder = 85 % - Untuk jaringan Tersier = 75 %

Total effisiensi adalah = 90 % x 85% x 75% = 60 %.

3.7. NERACA AIR (WATTER BALANCE)

Perhitungan Neraca Air (Water Balance) yaitu perbandingan antara ketersediaan air (debit andalan) dengan kebutuhan air pada suatu jaringan irigasi. Neraca air masing – masing bendung dihitung berdasarkan areal yang ada. Faktor K yang diperbolehkan untuk pertumbuhan padi yang baik minimal 70 %.

3.8. HIDROLIKA BENDUNG

3.8.1 Tinggi Air di atas Mercu Hulu Rumus :

Q = 2/3 . Cd . 2/3 . g . Be . H1 1,5 Be = B – 2 ( n . Kp + Ka ) . H1

H1 = h+ V2 2.g Cd = C0 . C1 . C2 Dimana :

Q = Debit Banjir (m3/dt) Be = Lebar Effektif Bendung (m)

H1 = Tinggi Energi di Hulu Bendung (m) G = Percepatan Gravitasi (m/dt2) Kp = Koefisien Kontraksi Pilar Ka = Koefisien Kontraksi Dinding n = Jumlah Pilar (bh)

Cd = Koefisien Debit

C0 = Perbandingan H1 / r (Nomogram 4.5. KP.02, hal 44) C1 = Perbandingan P / H1 (Nomogram 4.6. KP.02, hal 44) C2 = Perbandingan P/H1 (Nomogram 4.7. KP.02, hal 45)

(11)

R = Jari-jari Mercu (m) P = Tinggi Mercu (m)

Gambar 3.2 Sket Penampang Hidraulis Bendung 3.8.2 Perhitungan Tinggi Air di Hilir Bendung

Perhitungan Tinggi Air di hilir bendung (h hilir) dengan cara coba - coba menggunakan Rumus Strickler yaitu :

Q = A x V

V = K . R2/3 . i1/2

R = A / O

Dimana :

Q = Debit Banjir yang mengalir (m3/dt) V = Kecepatan Aliran (m/dt)

A = Luas Penampang Basah (m2) R = Jari-jari Hidrolis (m)

i = Kemiringan Dasar Sungai O = Keliling Penampang Basah (m) b = Lebar Sungai (m)

h = Tinggi Air (m) w = Tinggi Jagaan (m) m = Kemiringan Tanggul

Gambar 3.3 Sketsa penampang sungai

(12)

3.8.3 Dalamnya gerusan bendung

Perhitungan Dalamnya Gerusan menggunakan Rumus:

(a) Veronesse (b) Scholistch

(c) Vendijh / Hidraulic Jump 1) Rumus Veronesse

Rumus :

T = 1,9 . Z 0,225 . q0,54 q = Q / Be

Dimana :

T = Dalamnya Gerusan (m) Q = Debit Banjir (m3/dt)

Be = Lebar Effektif Bendung (m) Z = Tinggi Energi hilir (m)

q = Debit per satuan lebar (m3/m) 2) Rumus Scholistch

Rumus :

T = 4,75 . Z0,20 . q0,57 . dt0,32 q = Q / Be

Dimana :

T = Dalamnya Gerusan (m) Z = Tinggi Energi hilir (m)

Q = Debit Banjir (m3/dt) q = Debit per satuan lebar (m3/m) Be = Lebar Effektif Bendung (m) dt = Diameter Butiran (mm) 3) Rumus Vendijh / Hidraulic Jump

Rumus : Untuk 2 < Z/Yc < 15, maka : T = 3 . Yc + 0,10 . Z Untuk 0,5 < Z/Yc < 2, maka :

T = 2,4 . Yc + 0,40 . Z Yc=

[

qg2

]

1/3

Dimana :

T = Dalamnya Gerusan (m) Q = Debit Banjir (m3/dt) Be = Lebar Effektif Bendung (m) Z = Tinggi Energi hilir (m)

q = Debit per satuan lebar (m3/m) g = Gaya Gravitasi (m/dt2)

Yc = Tinggi Kritis (m)

(13)

Gambar 3.4 Penampang gerusan bendung 3.9. HIDROLOKA SALURAN

Kecepatan maksimum untuk aliran sub kritis dianjurkan sebagai berikut :

• Pasangan batu= 2 m/dt

• Pasangan beton = 3 m/dt

• Pasangan tanah = Kecepatan maksimum yang diijinkan.

Untuk mendesain Saluran Irigasi dengan cara coba – coba, menggunakan Rumus Kecepatan Strickler :

V= K . R2/3 . i1/2 Dimana :

V= Kecepatan Aliran (m/dt)

K= Koefisien Kekasaran Manning (pasangan batu = 60, beton = 70, tanah = 35 - 45) i = Kemiringan Dasar Saluran

Dalam perhitungan dimensi saluran dengan cara coba - coba dapat diuraikan sebagai berikut :

Q=A . V A=Q/V A=(b+m .h). h P=b+2. h

m2+1

R=A P Dimana :

Q= Debit saluran (m3/dt)

V = Kecepatan aliran (m/dt) A = Luas Penampang Basah (m2) P = Keliling basah (m)

R = Jari-jari Hidrolis (m) b = Lebar saluran (m) h = Tinggi air (m) m = Kemiringan Tanggul w = Tinggi jagaan (m)

(14)

h w

m m

1 1

MAN

b

Gambar 3.5 Sket Penampang saluran 3.9.1 Kemiringan Saluran

Untuk menekan biaya pembebasan tanah dan penggalian, talud saluran direncanakan securam mungkin. Bahan tanah, kedalaman saluran dan terjadinya rembesan akan menentukan kemiringan maksimum untuk talud yang stabil.

Tabel 3.1 Kemiringan Minimum Talud Untuk Saluran Pasangan

No Jenis Tanah h < 0,75 m 0,75 m < h < 1,5 m 1 Lempung pasiran, tanah pasiran

kohesif

1 1

2 Tanah pasiran lepas 1 1,25

3 Geluh pasiran, lempung berpori 1 1,5

4 Tanah gambut lunak 1,25 1,5

Sumber KP – 03 Bagian Saluran Tabel 4.2. Halaman 42.

3.9.2 Tinggi Jagaan

Tabel 3.2 Tinggi Jagaan Untuk Saluran Pasangan

No Debit (m3/dt) Tanggul (F) m Pasangan (F1) m

1. < 0,5 0,40 0,20

2. 0,5 – 1,5 0,50 0,20

3. 1,5 – 5,0 0,60 0,25

4. 5,0 – 10,0 0,75 0,30

5. 10,0 – 15,0 0,85 0,40

6. > 15,0 1,00 0,50

Sumber : KP – 03 Bagian Saluran Tabel 4.3. Halaman 43.

3.10.HIDROLIKA BANGUNAN BAGI DAN SADAP 3.10.1 Perhitungan Debit Tersier

Untuk bangunan pengambilan yang mengoncori luas areal petak Tersier > 10 Ha, dikategorikan sebagai bangunan Sadap, sedangkan untuk bangunan pengambilan yang mengoncori luas areal petak Tersier < 10 Ha dikategorikan sebagai bangunan Corongan.

Untuk Bangunan Corongan, debit yang dipakai adalah debit minimum = 10 l/dt.

Perhitungan Kebutuhan Debit Tersier sebagai berikut :

(15)

Q=a. A Dimana :

Q = Debit yang direncanakan (m3/dt) a = Angka Kebutuhan Air

A = Luas Petak Tersier

Gambar 3.6 Skema Pengambilan Air 3.10.2 Perhitungan hidrolis bangunan pengambilan

A. Bangunan Pengambilan Tanpa Pintu (Proporsional)

Untuk mencari tinggi air (h) di atas ambang pada bangunan pengambilan proporsional menggunakan rumus:

Q=1,71. b . h3/2 Dimana :

Q = Debit Air (m3/dt) b = Lebar Ambang (m)

h = Tinggi Air di atas Ambang (m) Sehingga diperoleh Tinggi Air (h) adalah :

h=

[

1,71Q. b

]

¿2/3

Sedangkan Lebar Ambang Rencana (b) adalah :

b= Q

1,71. h2/3

(16)

Gambar 3.7 Sket Drempel Pengambilan Proporsional B. Bangunan Pengambilan dengan Pintu Sorong (Teknis)

Q=. a . b .

2. g . z

Dimana :

Q = Debit Air yang mengalir (m3/dt) µ = Koefisien Pengaliran ( diambil 0,85 ) g = Kecepatan Gravitasi ( diambil 9,81 m/dt2) z = Kehilangan Energi di Pintu (m)

a = Tinggi Bukaan Pintu (m) b = Lebar Pintu (m)

Gambar 3.8 Sket Penampang Pintu Sorong C. Perhitungan Bangunan Corongan Baru dengan Pipa.

Digunakan Rumus Pengaliran Strickler : V = K . R2/3 . i1/2

Q = A . V Dimana :

Q = Debit Air (m3/dt)

V = Kecepatan Aliran (m/dt) A = Luas Penampang Basah (m2) K = Koefisien Kekasaran Manning i = Kemiringan dasar pipa

Untuk Bangunan Corongan Standart menggunakan Pipa 10 cm, dengan data-data  sebagai berikut :

Q = 0,010 m3/dt K = 60 (pipa PVC)

D = 10 cm

(17)

Hitungan :

A = ¼ . . D2 = ¼ . 3,14 . 0,102 = 0,00785 m2 O = . D = 3,14 . 0,10 = 0,314 m

R = A / O = 0,00785 / 0,314 = 0,025 m

I=

[

K . RQ2/3. A

]

2

I=

[

60.0,0250,012/3.0,00785

]

2

I=0,0617

Jadi untuk corongan baru menggunakan pipa PVC 10 cm, untuk memenuhi debit sesuai dengan kebutuhan yaitu 0,010 m3/dt, kemiringan dasar pipa yang dipasang (i)

= 0,0617.

3.11.HIDROLIKA BANGUNAN PENUNJANG

3.11.1 Perhitungan Hidrolis Bangunan Jembatan/ Gorong – Gorong

Bangunan jembatan / gorong-gorong diusahakan z = 0, dengan cara penampang basah (F1) jembatan / gorong-gorong lebih besar dari penampang basah (F2) saluran dibagian hulu.

Untuk L < 20 m berlaku:

Q=A . U .

2. g . z

Z=

[

A . U .Q

2. g . z

]

2

Dimana :

Q = Debit Air (m3/dt)

A = Luas Gorong-gorong (m2) U = Koefisien Aliran

g = Percepatan Gravitasi (m/dt2) z = Beda Tinggi Muka Air Hulu Hilir (m)

Gambar 3.9 Penampang Bangunan Gorong – Gorong

(18)

Tabel 3.3 Harga Koefisien Aliran () Tinggi dasar di bangunan

sama dengan saluran

Tinggi dasar di bangunan lebih tinggi dari saluran

Sisi  Ambang Sisi 

Segi empat 0,80 Segi empat Segi empat 0,72

Bulat 0,90 Bulat Segi empat 0,76

Bulat Bulat 0,85

Sumber:KP.04 Halaman 73

3.11.2 Perhitungan Hidrolis Bangunan Talang

Pengaliran pada talang adalah pengaliran dengan permukaan bebas. Konstruksi talang umumnya terbuat dari beton bertulang, besi atau baja.

Batasan kecepatan dalam talang sebagai berikut :

- Beton : V = 1,50 – 2,00 m/dt

- Besi / baja : V = 2,50 – 3,00 m/dt Rumus hidrolis bangunan talang sebagai berikut :

Kehilangan masuk : H masuk =  masuk (VaV)2 2g Kehilangan masuk :H keluar =  masuk (VaV)2

2g

Kehilangan akibat gesekan : H f = i . L i= V2

K2. R4/3

Jumlah kehilangan energi H = H masuk + H keluar + H f Dimana :

V = Kecepatan aliran (m/dt)

Va = Kecepatan dalam talang (m/dt) g = Percepatan gravitasi (9,81 m/dt2) L = Panjang talang (m)

i = Kemiringan dasar talang K = Koefisien kekasaran strickler R = Jari-jari hidrolis talang

 = Koefisien kehilangan energi untuk peralihan (KP-04 hal. 61-62)

Referensi

Dokumen terkait

Peneliti menggunakan metode sejarah dalam penelitian skripsi yang berjudul Pemikiran Fazlur Rahman (1919-1918) tentang Metodologi Memahami Alquran dan Pengaruhnya di

Metode penelitian pada penelitian ini mengunakan pendekatan kualitatif, pendekatan kualitatif dalam penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan data yang ada

Melihat pentingnya peran suatu metode penelitian dalam pelaksanaan penelitian, maka pada bab ini peneliti akan menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan metodologi

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif. 8) pendekatan kuantitatif adalah metode penelitian yang dilandaskan pada filsafat positivisme, penelitian kuantitatif ini

Langkah-langkah penelitian yang dilakukan harus sesuai dengan pendekatan penelitian yang dipilih. Langkah penelitian yang penulis lakukan sesuai dengan pendekatan

Penelitian Tindakan Kelas adalah penelitian yang menunjuk pada suatu kegiatan mencermati suatu objek dengan menggunakan cara dan aturan metodologi tertentu untuk

Pendekatan penelitian ini merupakan pendekatan penelitian kuantitatif, diartiakan sebagai metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat positivisme, digunakan

30 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode dan Studi Penelitian Penelitian “Penerapan Nilai-Nilai Kearifan Lokal Dalam Upaya Melestarikan Lingkungan “ yang digunakan oleh