• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III

N/A
N/A
Nguyễn Gia Hào

Academic year: 2023

Membagikan "BAB III"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN A. Posisi Kasus

Bahwa Umar Atamimi, Wakil Ketua I Bidang Pendidikan pada Yayasan Al-Hilaal Ambon ternyata diketahui telah menjual aset-aset yayasan berupa tanah kepada pihak lain tanpa sepengetahuan yayasan. Dalam hal ini Umar Atamimi, dijerat dengan pasal 378 KUHP tentang penipuan dan pasal 372 tentang penggelapan.

Bahwa awalnya dalam surat pendirian Yayasan Al-Hilal terdapat nama Umar Atamimi. Jabatan Umar Atamimi dalam yayasan tersebut adalah Ketua Bidang I yang membidangi masalah Pendidikan. Oleh karena itu Atamimi berperan dalam pengajuan izin ke Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi untuk pendirian Universitas Al-Hilaal Ambon. Selanjutnya Atamimi memanfaatkan hubungan baiknya dengan Notaris RN untuk memiliki asset milik yayasan Al- HIlaal.26

Hasil kesepakatan secara diam-diam berlanjut dengan diterbitkannya Akte Notaris pendidirian Yayasan Wakaf Al-hilaal yang diketuai oleh Umar Atamimi, sedangkan untuk jabatan Pembina adalah anak dari Umar Atamimi.

Bahwa untuk memiliki seluruh asset Yayasan Al-hilal, Atamimi menghubungi Pemerintah Provinsi Maluku untuk meminta legitimasi atas status Yayasan Wakaf Al-Hilal yang baru didirikannya.27

Selanjutnya Atamimi memberikan keterangan palsu bahwa seluruh

26Putusan Pengadilan Ambon Nomor : 47/Pid/B/2018/ PN./AB

27ibid

(2)

Pembina Al-Hilal telah meninggal dunia. Faktanya ada sejumlah Pembina Al- Hilal yang masih hidup, antara lain Wakil Gubernur Maluku (2008-2013) Said Assagaff, HR. Sanusi, dan Rifai Ambon termasuk ayah dari Salem Bassalamah termasuk pendiri Yayasan Al-Hilal. Dengan alasan tersebut kemudian Pemprov mengeluarkan Surat Keputusan Gubernur Maluku Tentang Status Hukum dan Pengalihan Aset Yayasan Al-Hilal ke Yayasan Wakaf Al-Hilal, termasuk penguasasn atas lahan, lokasi berdirinya Kantor PMI Maluku.

Bahwa setelah memiliki SK Gubernur tersebut, Atamimi menjual tanah seluas 560M2 ke To Heng alias Hengky pemilik Swalayan Planet 2000. Karena Pemprov merasa tertipu, pemprov menunjuk Alexander Anakatoty selaku Kepala BPN Kota Ambon menjadi saksi dalam perjanjian beli antara Atamimi dan To Heng sekaligus menandai pelepasan tanah dijalan Anthony Rebok.

Bahwa jual beli tersebut tidak dilakukan dihadapan Notaris. Namun kemudian tanpa akte Jual-beli Kepala BPN Kota Ambon mengeluarkan Sertifikat Hak Atas Milik atas nama To Heng.28

Bahwa untuk mengelabui khalayak umum, Atamimi menggantikan papan nama Yayasan Al-Hilal dengan Yayasan Wakaf Al-Hilal, namun hal itu tidak diberlakukan kepada 280 sekolah dimaluku yang pengelolaannya dibawah Yayasan Al-Hilal yang berdiri 70 Tahun yang lalu. Bahwa atas dasar laporan dari Bassalamah Gubernur Maluku saat itu membatalkan perjanjian jual beli antara Atamimi dan To Heng.29

28ibid

29ibid

(3)

Selanjutnya dalam sidang kasus dugaan penyerobotan lahan dan asset milik yayasan Al-Hilal dengan terdakwa Umar Atamimi, yang digelar di Pengadilan Negeri Ambon. Bahwa Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili kasus tersebut, menetapkan dan memerintahkan Jaksa Penuntut Umum untuk menjemput dan menghadirkan secara paksa gubernur Maluku Ir.

Said Assagaff dalam kapasitasnya selaku salah satu pengurus Yayasan Alhilaal. Penetapan dan perintah majelis hakim tersebut disampaikan Herry Setyobudi, hakim ketua dalam sidang kasus tersebut.30

Bahwa kuasa hukum terdakwa tetap meminta majelis hakim guna menghadirkan secara paksa Said Assagaff. Lantaran Assagaff tidak pernah memenuhi panggilan jaksa walaupun telah dipanggil secara sah dan patuh.

Namun dilain pihak, jaksa penuntut umum menyatakan tidak akan lagi menghadirkan saksi termasuk Said Assagaff. Kehadiran SA dalam kedudukan sebagai Ketua Dewan Pembina Yayasan Al-Hilal Ambon sebagai saksi adalah relevan dan urgent dalam kepentingan menggali fakta dan peristiwa materil sepanjang berkaitan dengan tindakan dugaan penjualan aset Yayasan Al-Hilal Ambon oleh Terdakwa. Bahwa adanya perdebatan sengit antara penasihat hukum terdakwa dengan jaksa penuntut umum ini akhirnya ditengahi majelis hakim. Dimana majelis hakim mengeluarkan penetapan dan perintah memanggil dan menjemput paksa Said Assagaff guna dihadirkan selaku saksi dalam perkara tersebut.31

30Ibid.

31http://desamerdeka.id/hakim-perintahkan-jaksa-jemput-paksa-said-assagaff/ Up Date tanggal 4 Oktober 2018

(4)

B. Pemanggilan Saksi Dalam Perkara Pidana

Berbagai fokus pembahasan ilmu hukum, salah satu dari kajian ilmu hukum yang sangat penting adalah kajian ilmu hukum pidana. Hukum pidana adalah sejumlah peraturan yang merupakan bagian dari hukum positif yang mengandung larangan-larangan dan keharusan-keharusan yang ditentukan oleh negara atau kekuasaan lain yang berwenang untuk menentukan peraturan pidana. Larangan, atau keharusan itu disertai ancaman pidana dan apabila hal ini dilanggar timbullah hak negara untuk melakukan tuntutan, menjatuhkan pidana, melaksanakan pidana.32

Hukum pidana dapat bermakna jamak karena dalam arti objektif sering disebut ius poenale dalam arti subjektif disebut ius puniendi, yaitu peraturan hukum yang menetapkan tentang penyidikan lanjutan, penuntutan, penjatuhan, dan pelaksanaan pidana. Dalam arti objektif meliputi:33

1. Perintah dan larangan yang atas pelanggarannya atau pengabaiannya telah ditetapkan sanksi terlebih dahulu oleh badan-badan negara yang berwenang;

peraturan-peraturan yang harus ditaati dan diindahkan oleh setiap orang.

2. Ketentuan-ketentuan yang menetapkan dengan cara atau alat apa dapat diadakan reaksi terhadap pelanggaran peraturan-peraturan tersebut.

3. Kaidah-kaidah yang menentukan ruang lingkup berlakunya peraturan- peraturan itu pada waktu dan di wilayah negara tertentu.

Dilihat dalam garis-garis besarnya dengan berpijak pada kodifikasi sebagai sumber utama atau sumber pokok hukum pidana, hukum pidana merupakan

32Amir Ilyas, Asas-Asas Hukum Pidana, Rangkang Education Yogyakarta & Pu-Kap Indonesia, Yogyakarta, 2012, hal 3.

33Andi Zainal Abidin, Hukum Pidana 1, Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hal. 1.

(5)

bagian dari hukum publik yang memuat atau berisi tentang ketentuan- ketentuan sebagai berikut:34

1. Aturan umum hukum pidana dan yang berkaitan atau berhubungan dengan larangan melakukan perbuatan-perbuatan tertentu yang disertai dengan ancaman sanksi berupa pidana (straf) bagi yang melanggar larangan itu;

2. Syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi atau harus ada bagi pelanggar untuk dapat dijatuhkannya sanksi pidana yang diancamkan pada larangan perbuatan yang dilanggarnya;

3. Tindakan dan upaya-upaya yang boleh atau harus dilakukan negara melalui alat-alat perlengkapannya terhadap yang disangka dan didakwa sebagai pelanggar hukum pidana dalam rangka usaha negara menentukan, menjatuhkan, dan melaksanakan sanksi pidana terhadap dirinya, serta tindakan dan upaya-upaya yang boleh dan harus dilakukan oleh tersangka atau terdakwa pelanggar hukum tersebut dalam usaha melindungi dan mempertahankan hak-haknya dari tindakan negara dalam upaya negara menegakkan hukum pidana tersebut.

Hukum pidana yang mengandung aspek pertama dan kedua disebut hukum pidana materil yang sumber utamanya adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Sementara itu, hukum pidana yang berisi mengenai aspek ketiga disebut hukum pidana formil yang sumber pokoknya adalah Undang- Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

34 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 1, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010, hal. 2.

(6)

Hukum pidana materil atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana berisi petunjuk dan uraian tentang delik, peraturan tentang syarat-syarat dapat tidaknya orang dipidana dan aturan tentang pemidanaan, yaitu mengatur kepada siapa dan bagaimana pidana itu dijatuhkan, sedangkan hukum pidana formil atau Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana mengatur bagaimana Negara melalui alat-alatnya melaksanakan haknya untuk memidana dan menjatuhkan pidana, jadi berisi acara pidana. Jadi dapat disimpulkan bahwa hukum pidana materil adalah hukum yang berisikan materi hukuman, sedangkan hukum pidana formil adalah hukum yang mengatur tentang tata cara bagaimana melaksanakan hukum materil tersebut.35

Praktik sistem peradilan pidana Indonesia, Hukum Acara Pidana (Hukum pidana formil) sangat penting eksistensinya guna menjamin, menegakkan dan mempertahankan hukum pidana materil.36 Peradilan pidana pada hakekatnya merupakan suatu sistem kekuasaan penegakkan hukum pidana atau sistem kekuasaan kehakiman di bidang hukum pidana, yang diwujudkan atau diimplementasikan dalam 4 (empat) subsistem yaitu:

Kekuasaan penyidikan (oleh badan/ lembaga penyidik); Kekuasaan penuntutan (oleh badan/ lembaga penuntut umum); Kekuasaan mengadili dan menjatuhkan pidana (oleh badan pengadilan); dan Kekuasaan pelaksanaan pidana (oleh badan aparat pelaksana/ eksekusi). Keempat tahap/ subsistem tersebut merupakan satu kesatuan sistem penegakan hukum pidana yang integral atau

35 Andi Sofyan, Hukum Acara Pidana: Suatu Pengantar, Kencana Prenadamedia Group, Jakarta, 2014, hal 2.

36 Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana: Normatif, Teoretis, Praktik dan Permasalahannya, PT. Alumni, Bandung, 2007 hal. 1.

(7)

sering dikenal dengan istilah sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system). Sistem terpadu tersebut diletakkan di atas landasan

undang-undang kepada masing-masing.37

Tujuan peradilan pidana adalah menemukan kebenaran materil. Bahwa kebenaran materil adalah kebenaran yang selengkap-lengkapnya. Majelis hakim akan meletakkan kebenaran yang ditemukannya dalam putusan yang akan dijatuhkan, maka kebenaran tadi harus diuji dengan alat-alat bukti yang ada. Secara ringkas dapat disimpulkan bahwa kebenaran materil diperoleh hakim melalui proses pemeriksaan alat-alat bukti yang dihadirkan dalam pemeriksaan di persidangan dengan mengkaitkan alat bukti satu dengan alat bukti lainnya sehingga ditemukan fakta hukum secara utuh dan lengkap, dengan ketentuan bahwa dalam mempergunakan dan menilai alat bukti tersebut harus dilaksanakan dalam batas-batas yang dibenarkan oleh undang-undang.

Proses ini disebut pembuktian.

Pembuktian diatur dalam ketentuan Pasal 183 KUHAP yaitu:

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya.”

Masalah pembuktian merupakan bagian yang penting dalam hukum acara pidana, oleh karena itu tugas utama dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan menemukan kebenaran materil atau kebenaran yang sejati. Dalam

menemukan kebenaran tersebut, dititik beratkan pada mencari bukti-bukti.

Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman

37 M. Yahya Harahap, loc cit , hal. 90.

(8)

tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan- ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang yang boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan.

Persidangan pengadilan tidak boleh sesuka hati dan semena-mena membuktikan kesalahan terdakwa.38

Berdasarkan ketentuan KUHAP, alat-alat bukti memegang peranan yang sangat penting dalam proses pembuktian sebagai dasar bagi hakim menjatuhkan putusan terhadap terdakwa. Alat bukti sendiri adalah suatu hal yang ditentukan oleh undang-undang yang dapat dipergunakan untuk memperkuat dakwaan, tuntutan, atau gugatan, maupun guna menolak dakwaan atau tuntutan. Sedangkan yang dimaksud dengan alat bukti yang sah adalah alat-alat yang ada hubungannya dengan suatu tindak pidana, dimana alat-alat bukti tersebut dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian, guna menimbulkan keyakinan bagi hakim, atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa.

Ketentuan Pasal 183 KUHAP mensyaratkan bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang- kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 183 KUHAP tersebut maka jelaslah bahwa majelis hakim tidak boleh menjatuhkan putusan pidana apabila

38Loc cit, hal. 273.

(9)

tidak ada alat bukti, yaitu sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah yang kemudian dapat memberikan keyakinan hakim bagi hakim bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya. Hal ini menunjukkan bahwa sesuai dengan ketentuan dalam KUHAP tersebut majelis hakim dalam mengambil putusannya harus mempertimbangkan setiap alat bukti yang diajukan ke persidangan dalam tahap pembuktian.

Rumusan Pasal 184 ayat (1) KUHAP menyatakan secara limitatif alat bukti yang sah menurut undang-undang. Selain alat bukti yang diatur dalam Pasal 184 tersebut, tidak dibenarkan mempergunakan alat bukti lain untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Majelis Hakim, penuntut umum, terdakwa atau penasihat hukum tidak leluasa mempergunakan alat bukti yang dikehendakinya di luar alat bukti yang ditentukan Pasal 184 ayat (1) tersebut.

Alat bukti yang dinilai sebagai alat bukti yang sah dan yang dibenarkan mempunyai kekuatan pembuktian hanya terbatas pada alat-alat bukti itu saja.

Pembuktian dengan alat bukti di luar jenis alat bukti yang disebut dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP tidak mempunyai nilai serta tidak mempunyai kekuatan pembuktian yang mengikat. Adapun alat bukti yang sah menurut undang- undang sesuai dengan apa yang disebut dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, adalah:39

1. Keterangan saksi;

2. Keterangan ahli;

3. Surat;

4. Petunjuk, dan

5. Keterangan terdakwa.

39 Loc cit , hal. 285-286.

(10)

Alat bukti keterangan saksi merupakan satu dari lima alat bukti yang sah menurut KUHAP. Alat bukti ini memegang peranan yang penting dalam proses pembuktian suatu perkara pidana sebab hampir semua pembuktian perkara pidana bersandar pada pemeriksaan alat bukti keterangan saksi. Alat bukti keterangan saksi ini juga menimbulkan keyakinan hakim dalam memutus suatu perkara pidana.

Berdasarkan hal tersebut, maka alat-alat bukti yang diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, keterangan saksi merupakan alat bukti yang terpenting.

Proses pembuktian dalam penyidikan bahkan persidangan menjadi sangat menarik ketika dalam pemeriksaan. Pemanggilan merupakan salah satu upaya paksa dalam fase penyidikan selain penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan surat. Adapun yang dimaksud dengan penyidikan menurut Pasal 1 butir 2 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana adalah serangkaian tindakan Penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang suatu tindak pidana yang terjadi guna menemukan tersangkanya.

Tujuan dari pemanggilan adalah sebagai salah satu upaya mencari bukti- bukti untuk membuat terang suatu tindak pidana. Untuk melakukan pemanggilan, penyidik wajib memberikan panggilan secara tertulis. Tenggat waktu Surat Panggilan dengan waktu untuk menghadiri panggilan hendaknya dilakukan dengan memperhatikan tenggat waktu yang wajar yaitu paling lambat 3 (tiga) hari sudah diterima sebelum waktu untuk datang memenuhi panggilan.

(11)

Surat Panggilan disampaikan kepada pihak yang dipanggil dengan berbagai cara, seperti meminta pihak yang dipanggil untuk mengambil sendiri Surat Panggilan, menitipkan pada kuasa hukum atau penyidik mengantarkan langsung kepada pihak yang dipanggil. Pada prinsipnya, Surat Panggilan sedapat mungkin diserahkan kepada pihak yang dipanggil disertai tanda terima, kecuali dalam hal: yang bersangkutan tidak ada di tempat, maka Surat Panggilan diserahkan melalui keluarga, kuasa hukum, Ketua RT/RW, Kepala Desa atau orang lain yang dapat menjamin bahwa surat panggilan tersebut segera dapat disampaikan kepada yang bersangkutan; atau apabila pihak yang dipanggil berada di luar wilayah hukum kesatuan Polri yang memanggil, maka surat panggilan dapat disampaikan melalui kesatuan Polri di tempat tinggal yang bersangkutan atau dikirim melalui pos/jasa pengiriman surat dengan disertai bukti penerimaan pengiriman.

Pihak yang dipanggil tidak hadir, maka penyidik akan menerbitkan Surat Panggilan kedua. Apabila tanpa alasan yang patut dan wajar, kembali pihak yang dipanggil tidak memenuhi Surat Panggilan kedua, maka penyidik dapat menerbitkan Surat Perintah Membawa bagi pihak yang dipanggil tersebut.

Namun tidak demikian dalam hal pihak yang dipanggil tidak dapat memenuhi panggilan karena alasan yang patut dan wajar, maka pemeriksaan oleh penyidik dapat dilakukan di tempat kediamaan atau tempat lain dengan memperhatikan kepatutan. Sebagaimana telah dikemukan di atas, seseorang dapat dipanggil oleh penyidik untuk diperiksa dalam kapasitas selaku saksi, [saksi] ahli atau tersangka. Untuk pemeriksaan terhadap saksi, apabila diduga

(12)

bahwa saksi tidak dapat hadir dalam persidangan, maka atas saksi dapat dilakukan penyumpahan atau pengucapan janji sebelum pemeriksaan dan dibuatkan dalam Berita Acara. Apabila seseorang dipanggil dalam kapasitasnya selaku saksi ahli, Penyidik akan terlebih dahulu melakukan penyumpahan atau pengucapan janji dari (saksi) ahli bahwa yang bersangkutan akan memberikan keterangan sesuai keahliannya.

Selain penyidik Kepolisian, Penuntut umum juga mempunyai beberapa wewenang, yang salah satunya adalah menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa dan saksi tentang ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, untuk datang pada sidang yang telah ditentukan.40 Pada dasarnya, supaya panggilan yang dilakukan aparat penegak hukum pada semua tingkat pemeriksaan dapat dianggap sah dan sempurna, harus dipenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan. Ketentuan syarat sahnya panggilan saksi adalah penuntut umum menyampaikan surat panggilan kepada saksi yang memuat tanggal, hari serta jam sidang dan untuk perkara apa ia dipanggil yang harus sudah diterima oleh yang bersangkutan selambat- lambatnya tiga hari sebelum sidang dimulai.41

Ketentuan ini dipertegas kembali dalam Pasal 227 ayat (1) dan (2) KUHAP yang berbunyi:

(1) Semua jenis pemberitahuan atau panggilan oleh pihak yang berwenang dalam semua tingkat pemeriksaan kepada terdakwa, saksi atau ahli disampaikan selambat-lambatnya tiga hari sebelum tanggal hadir yang ditentukan, di tempat tinggal mereka atau di tempat kediaman mereka terakhir;

40M. Yahya Harahap, Loc cit, hal 30

41Loc cit

(13)

(2) Petugas yang melaksanakan panggilan tersebut harus bertemu sendiri dan berbicara langsung dengan orang yang dipanggil dan membuat catatan bahwa panggilan telah diterima oleh yang bersangkutan dengan membubuhkan tanggal serta tanda tangan, baik oleh petugas maupun orang yang dipanggil dan apabila yang dipanggil tidak menandatangani maka petugas harus mencatat alasannya;

Oleh karena itu, asal-usul surat panggilan itu harus jelas, setidaknya memuat:

a. tanggal, hari serta jam sidang;

b. perkara apa ia dipanggil;

c. disampaikan langsung oleh petugas;

d. untuk apa dia dipanggil menghadap persidangan.

Menurut M. Yahya Harahap, Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali maksudnya orang yang dipanggil penuntut umum sebagai saksi harus tahu kedudukannya dalam panggilan dan pemeriksaan pengadilan yang akan datang. Dalam surat panggilan harus jelas dan tegas disebut bahwa dia dipanggil untuk menjadi saksi. Lebih lanjut Yahya mengungkapkan bahwa panggilan tidak kabur. Panggilan yang kabur mengakibatkan kegelisahan dan ketidakpastian terhadap orang yang dipanggil.

Penegasan dan penjelasan ini wajar dan perlu diketahui saksi, baik ditinjau untuk kepentingan pemeriksaan perkara itu sendiri maupun untuk kepentingan kejiwaan, perlindungan hukum, dan kepastian hukum bagi saksi .42

Pemanggilan tersangka pada tahap penyidikan maupun penuntutan yang diatur tegas dalam KUHAP, pemanggilan saksi untuk hadir di sidang pengadilan tidak diatur secara tegas dalam KUHAP. Yahya Harahap,

42Loc cit, hal 91

(14)

menjelaskan antara lain bahwa sekalipun KUHAP tidak menyebutnya secara tegas, semua ketentuan pemanggilan yang berlaku terhadap terdakwa, berlaku juga terhadap saksi. Yahya menambahkan bahwa seluruh ketentuan yang diatur dalam Pasal 145 dan Pasal 146 KUHAP sekaligus berlaku juga bagi pemanggilan saksi.

Pemeriksaan dalam tindak pidana, penyidik dan penyidik pembantu mempunyai wewenang melakukan pemanggilan terhadap :

a. tersangka, yang karena perbuatannya atau keadaanya berdasarkan bukti permulaaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.

b. saksi yang dianggap perlu untuk diperiksa;

c. pemanggilan seorang ahli yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang sesuatu perkara pidana yang sedang diperiksa.

Agar panggilan yang dilakukan oleh setiap aparat penegak hukum dapat dianggap sah dan sempurna, maka harus dipenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan undang-undang. Dalam pemanggilan pada tingkat pemeriksaan di penyidikan diatur dalam pasal 112, 119 dan 227 KUHAP.

Adapun bentuk dan cara pemangggilan, yaitu :

a. Bentuk panggilan berbentuk “surat panggilan”, yang memuat antara lain

1. alasan pemanggilan, dalam hal ini haruslah tegas dijelaskan status orang yang dipanggil apakah sebagai tersangka atau saksi, agar

(15)

memberikan kepastian hukum dan kejelasan bagi orang yang dipanggil;

2. surat panggilan ditanda tangani pejabat penyidik (pasal 112 ayat 1)

b. Pemanggilan memperhatikan tenggang waktu yang wajar dan layak dengan jalan

1. memperhatikan tenggang waktu antara tanggal hari diterimanya surat panggilan dengan hari tanggal orang yang dipanggil tersebut menghadap (pasal 112 ayat 1)

2. atau surat panggilan harus disampaikan selambat-lambatnya tiga (3) hari sebelum tanggal hadir yan ditentukan dalam surat panggilan;

(penjelasan pasal 152 ayat 2 dan pasal 227 ayat 1 KUHAP).

Bila tenggang waktu tidak terpenuhi pasal 227 ayat 1 KUHAP maka panggilan tidak memenuhi syarat untuk dianggap sah. Sehingga orang yang dipanggil dapat memilih apakah akan tetap hadir memenuhi panggilan ataukah tidak akan hadir. Akan tetapi dalam Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman No.M.14- PW.07.03/1983 angka 18, telah memberi penegasan tenggang waktu diterapkan sesuai dengan situasi dan kondisi setempat dan tidak dianalogikan sesuai dengan penjelasan pasal 152 ayat 2. Sehingga pemanggilan dapat disampaikan sehari sebelum diperiksa.

(16)

C. Penjemputan Saksi Dalam Perkara Pidana.

Melihat peran sentral saksi dalam proses penyidikan dan peradilan tindak kejahatan (pidana) maka kiranya pentinglah bahwa hak dan kewajiban saksi ini harus dikaji secara lebih cermat bagi kita yang sedang menggeluti bidang studi hukum. Menurut pasal 1 angka 26 kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, saksi adalah : “Orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri ”.

Keseluruhan sistem perundang-undangan, sebenarnya hanya terdapat sedikit porsi bagi para saksi, bahkan hampir tidak dimuat dalam Perundang- Undangan. Setelah reformasi baru adanya perhatian kepada saksi terutama hak dan kewajiban saksi. Secara yuridis, Undang-Undang yang mengatur tentang hak dan kewajiban saksi, termuat dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006. Mengenai hak dan kewajiban saksi yang mengikat dalam peradilan di indonesia, belum begitu maksimal. Kehadiran Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban Nomor 13 Tahun 2006, merupakan suatu hal yang membahagiakan bagi saksi dan masyarakat, namun mengingat masih banyaknya keluhan masyarakat mengenai perlu dan pentingnya perlindungan hak-hak dan kewajiban saksi maka hal ini perlu untuk direfleksikan.

Salah satu amanat yang ada dalam Undang-Undang perlindungan saksi dan korban ini adalah pembentukan Lembaga perlindungan saksi atau LPSK yang di bentuk paling lambat satu tahun setelah Undang-Undang perlindungan saksi dan korban di sahkan. LPSK di bentuk pada tanggal 8 Agustus, LPSK

(17)

adalah Lembaga yang mandiri namun bertanggung jawab pada presiden.

Mengingat saksi memiliki hak dan juga kewajiban yang khusus, maka

Menurut Undang-undang nomor 13 tahun 2006 pasal 5, menyebutkan beberapa hak saksi (termasuk korban), yaitu:

1. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya.

2. Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan.

3. Memberikan keterangan tanpa tekanan.

4. Mendapat penerjemah.

5. Bebas dari pertanyaan menjerat.

6. Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus.

7. Mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan.

8. Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan.

9. Mendapat identitas baru.

10. Mendapatkan tempat kediaman baru.

11. Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan.

12. Mendapat nasehat hukum.

13. Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir.

Hak-hak ini dilakukan di luar pengadilan dan dalam proses peradilan jika yang bersangkutan menjadi saksi. Jika dicermati dalam pasal 5 ayat (2), maka hak- hak sebagaimana dimaksudkan di atas sebenarnya hanya berlaku untuk kasus- kasus tertentu sesuai keputusan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) jadi pemberian hak-hak tersebut secara selektif dan prosedural melalui LPSK. Yang dimaksud dengan kasus-kasus tertentu, antara lain: tindak pidana korupsi, tindak pidana narkotika/psikotropika, tindak pidana terorisme, dan tindak pidana lain yang mengakibatkan posisi saksi (dan korban) dihadapkan pada situasi yang sangat membahayakan jiwanya.

(18)

Keseimbangan dari hak yang melekat pada seorang saksi, terdapat juga kewajiban-kewajiban yang harus ditunaikan oleh saksi (atau korban) sebagaimana dikatakan Arief Gosita yang dikutip oleh Bambang Waluyo, sebagai berikut:43

1. Tidak sendiri membuat korban dengan mengadakan pembalasan (main hakim sendiri)

2. Berpartisipasi dengan masyarakat mencegah perbuatan, dan korban lebih banyak lagi.

3. Ikut serta membina pembuat korban.

4. Bersedia dibina atau membina diri sendiri untuk tidak menjadi korban lagi.

5. Tidak menuntut kompensasi yang tidak sesuai dengan kemampuan pembuat korban.

6. Memberi kesempatan pada pembuat korban untuk memberi kompensasi pada pihak korban sesuai dengan kemampuan (mencicil bertahan/imbalan jasa).

7. Menjadi saksi bila tidak membahayakan diri sendiri dan ada jaminan.

Kekuatiran dari orang yang diminta menjadi saksi dikarenakan memiliki berbagai sebab: karena orang yang tidak terbiasa menghadapi permasalahan hukum, merasa takut untuk berurusan dengan para pejabat penegak hukum, yaitu polisi, jaksa dan hakim, yang diketahuinya memiliki wewenang untuk menjebloskan orang ke penjara. Penyebab lainnya, yaitu seorang saksi, terutama saksi korban, kuatir bahwa keterangan yang diberikannya sebagai saksi di depan pengadilan tidak dipercaya oleh hakim sehingga terdakwa diputus bebas. Apabila terdakwa diputus bebas, maka saksi korban sebagai korban dari tindak pidana tidak dapat berbuat apa-apa sebab dihukum atau tidaknya terdakwa berada di luar kekuasaan saksi korban tersebut.

43 Waluyo, Bambang. Viktimologi Perlindungan Korban dan Saksi. Sinar Grafika, Jakarta, 2011. hal 40-41

(19)

Kekuatiran-kekuatiran tersebut diatas, sangatlah beralasan karena apabila syarat formilnya juga tidak terpenuhi yaitu KUHAP dalam hal pembuktian.

Dimana KUHAP mengatur tentang saksi harus ada 2 (dua) orang. Satu saksi bukan saksi (unus testis nulus testis). Menurut Pasal 1 butir 26 KUHAP, saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. Dari rumusan itu tampak bahwa saksi adalah seseorang yang memenuhi syarat:

1. mendengar sendiri, 2. melihat sendiri, atau

3. mengalami sendiri suatu peristiwa yang diduga merupakan tindak pidana.

Dengan apa yang diketahui oleh saksi tersebut, sudah tentu sangat diharapkan bahwa ia akan memberikan keterangan yang dapat menjelaskan tentang suatu peristiwa pidana. Dengan keterangannya itu maka lebih besar kemungkinan untuk dapat dilaksanakannya penegakan hukum pidana. Namun, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010, Mahkamah Konstitusi(“MK”) telah memberikan perluasan makna saksi, yakni tidak hanya orang yang mendengar, melihat, atau mengalami sendiri, tetapi juga setiap orang yang punya pengetahuan yang terkait langsung terjadinya tindak pidana wajib didengar sebagai saksi demi keadilan dan keseimbangan penyidik yang berhadapan dengan tersangka/terdakwa.

(20)

Sesuai dengan Pasal 184 ayat (1) huruf a KUHAP telah menempatkan pentingnya kedudukan saksi sebagai alat bukti yang utama dalam perkara pidana, oleh karena keutamaan peranan saksi di dalam perkara pidana sangat wajar.. Pembuktian merupakan sikap atau perbuatan yang sangat dibutuhan dalam kehidupan. Kebutuhan pembuktian atas suatu kebenaran yang berkaitan dengan pergaulan hidup bermasyarakat meliputi pembuktian dari hal-hal yang bernilai sederhana sampai yang bernilai tinggi. Pembuktian kebenaran dari hal yang sifatnya sederhana, cara pembuktiannya juga sederhana tidak terlalu formal dan malah kadang diserahkan kepada orang ke orang.

Pembuktian dalam perkara pidana membuktikan adanya tindak pidana dan kesalahan terdakwa. Dalam praktik pembuktian adalah tindakan penuntut umum untuk menciptakan keyakinan hakim yang diperoleh dari alat bukti minimum tentang adanya tindak pidana dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Fungsi pembuktian amat penting karena akan menjadi sandaran atau titik tolak putusan hakim. Agar tercipta pembuktian dan penerapan pembuktian yang mampu menciptakan kepastian hukum dan keadilan, diperlukan aturan, kaidah atau ketentuan sebagai pedoman.

Kegiatan pembuktian dapat dibedakan menjadi 2 bagian yaitu bagian yaitu bagian kegiatan pengungkapan fakta dan bagian pekerjaan penganalisisan fakta yang sekaligus penganalisisan hukum. Di dalam bagian pengungkapan fakta, alat-alat bukti diajukan ke muka sidanng oleh Jaksa Penuntut umum dan Penasehat hukum atau atas kebijakan majelis hakim untuk diperiksa kebenarannya. Proses pembuktian bagian pertama ini akan berakhir pada saat

(21)

ketua majelis mengucapkan secara lisan bahwa pemeriksaan terhadap perkara dinyatakan selesai (Pasal 182 ayat (1) huruf a KUHAP).

Setelah bagian kegiatan pengungkapan fakta telah selesai, maka selanjutnya Jaksa Penuntut Umum, Penasehat Hukum, dan Majelis Hakim melakukan penganalisisan hukum. Oleh Jaksa Penuntut Umum pembuktian dalam arti kedua ini dilakukannya dalam surat tuntutannya (requisitoir). Bagi penasehat hukum pembuktiannya dilakukan dalam nota pembelaan dan akan dibahas majelis hakim dalam putusan akhir (vonis) yang dibuatnya.

Pembuktian ini menjadi penting apabila suatu perkara tindak pidana telah memasuki tahap penuntutan di depan sidang pengadilan.

Tujuan adanya pembuktian ini adalah untuk membuktikan apakah terdakwa benar bersalah atas tindak pidana yang didakwakan kepadanya.

Perihal pembuktian merupakan hal yang sangat determinan bagi setiap pihak yang terlibat langsung dalam proses pemeriksaan perkara pidana, khususnya dalam hal menilai terbukti atau tidak terbuktinya kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.

Bahwa dalam kasus penyerobotan lahan dan asset milik Yayasan Alhilal dengan terdakwa Umar Atamimi seharusnya JPU mengadirkan SA sebagai saksi. Seperti yang diatur dalam KUHP prosedur pemanggilan terhadap saksi dan hak-haknya (dalam Penyidikan):

1. Pemanggilan terhadap saksi dilakukan oleh penyidik sesuai dengan pasal 112 KUHAP ayat 1 KUHAP yaitu “Penyidik yang melakukan pemeriksaan, dengan menyebutkan alasan pemanggilan secara jelas,

(22)

berwenang memanggil tersangka dan saksi yang dianggap perlu untuk diperiksa dengan surat panggilan yang sah dengan memperhatikan tenggang waktu yang wajar antara diterimanya panggilan dan hari seorang itu diharuskan memenuhi panggilan tersebut” .

2.Surat pemanggilan harus resmi dari penyidik dan terdapat pernyataan/tulisan "PRO JUSTITIA".

3.Surat pemanggilan harus sudah sampai pada saksi sekurang-kurangnya hari sebelum pemeriksaan sesuai dengan pasal 227 ayat 1 KUHAP yaitu “Semua Jenis pemberitahuan atau panggilan oleh pihak yang

berwenang dalam semua tingkat pemeriksaan kepada terdakwa, saksi atau ahli disampaikan selambat-lambatnya tiga hari sebelum tanggal hadir yang ditentukan, di tempat tinggal mereka atau di tempat kediaman mereka terakhir”.

4.Pemanggilan saksi harus dilakukan sendiri oleh petugas yang melaksanakan pemanggilan yang diatur dalam pasal 227 ayat 2 KUHAP yaitu “Petugas yang melaksanakan panggilan tersebut harus bertemu sendiri dan berbicara langsung dengan orang yang dipanggil dan membuat catatan bahwa panggilan telah diterima oleh yang bersangkutan dengan membubuhkan tanggal serta tandatangan, baik oleh petugas maupun orang yang dipanggil dan apabila yang dipanggil tidak menandatangani maka petugas harus mencatat alasannya”.

(23)

5. Apabila hal orang yang dipanggil tidak terdapat di kediaman yang ditujukan didalam surat pemanggilan surat panggilan dapat disampaikan kepada kepala desa sesuai dengan pasal 227 ayat 3 KUHAP yaitu “Dalam hal orang yang dipanggil tidak terdapat salah

satu tempat sebagaimana dimaksud ayat (1), surat panggilan disampaikan melalui kepala desa atau pejabat dan jika di luar negeri melalui perwakilan Republik Indonesia di tempat di mana orang yang dipanggil biasa berdiam dan apabila masih belum juga berhasil disampaikan, maka surat panggilan ditempelkan di tempat pengumuman kantor pejabat yang mengeluarkan panggilan tersebut”

Kasus diatas atas nama saksi SA telah dipanggil berturut turut dalam proses persidangan tidak hadir, karena ketidakhadiran saksi maka Ketua Majelis dalam perkara tersebut mengelurkan penetapan pengadilan untuk melakukan upaya paksa mengahadirkan saksi dalam proses persidangan.

Selanjutnya Bahwa SA menolak panggilan sebagai saksi dikategorikan sebagai tindak pidana menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ("KUHP").

Adapun ancaman hukuman bagi orang yang menolak panggilan sebagai saksi diatur di dalam Pasal 224 ayat (1) KUHP yang berbunyi:

Barang siapa dipanggil sebagai saksi, ahli atau juru bahasa menurut undang-undang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban berdasarkan undang-undang yang harus dipenuhinya, diancam:

1. Dalam perkara pidana, dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan; R. Soesilo dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-

(24)

Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, mengatakan bahwa supaya dapat dihukum berdasarkan Pasal 224 KUHP, orang tersebut harus:44

2. Dipanggil menurut Undang-Undang (oleh hakim) untuk menjadi saksi, ahli atau juru bahasa baik dalam perkara pidana, maupun dalam perkara perdata;

3. Dengan sengaja tidak mau memenuhi (menolak) suatu kewajiban yang menurut Undang-Undang harus ia penuhi, misalnya kewajiban untuk datang pada sidang dan memberikan kesaksian, keterangan keahlian, menterjemahkan. Orang itu harus benar-benar dengan sengaja menolak memenuhi kewajibannya tersebut, jika ia hanya lupa atau segan untuk datang saja, maka ia dikenakan Pasal 522 KUHP.

Menurut penulis, saksi SA dapat dihukum karena tidak mau menjadi saksi apabila telah ada panggilan bagi dirinya untuk menjadi saksi dalam suatu perkara pidana maupun perdata. Selama tidak ada panggilan tersebut, maka tidak ada keharusan untuk bersaksi. Jika seseorang yang telah dipanggil secara patut dan sah sesuai amanat Undang Undang dan orang tersebut tidak datang.

Maka hal tersebut sama saja dengan menghalangi proses suatu persidangan.

Mengenai ketidakhadiran saksi SA dalam kasus dugaan penggelapan asset milik Yayasan AlHilal. Didalam dunia Hukum dikenal prinsip yang disebut equality befare the law (Persamaan Di Depan Hukum). Itu berarti siapapun dia dan apapun kedudukannya. Yang bersangkutan harus tunduk

44R, Soesilo, tanpa tahun, KUHP Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia, Bogor, 1991, hal 250

(25)

kepada perintah undang undang. Bahwa setiap warga negara harus taat kepada hukum karena Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Sikap saksi yang mengikuti aturan hukum yang berlaku menunjukkan sikap seorang warga negara yang baik. Nilai ini juga memampukan setiap warga Negara untuk percaya pada Lembaga Hukum Negara, dalam hal ini Kepolisian, Kejaksaan dan Kehakiman.

SA sebagai Gubernur seharusnya memiliki nilai tanggungjawab. Salah satu nilai yang bisa dipetik dari pelaksanaan hak dan kewajiban seorang saksi.

Seorang saksi yang bersaksi dan memberikan keterangan di Pengadilan menunjukkan sikap tanggungjawab yang sangat besar dan mendalam.

Tanggungjawab bahwa apa yang disampaikan bukan berdasarkan intervensi pihak lain, namun berdasarkan kesadaran akan kehendak bebas untuk menyampaikan sesuatu secara benar berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan yang sebenarnya. Apalagi majelis hakim yang mengadili perkara tersebut telah mengeluarkan penetapan jemput paksa terhadap Assagaff. Perintah yang disampaikan hakim dalam sidang adalah amanat dan jaksa wajib menjalankan perintah jemput paksa terhadap Assagaff.

Menurut Hukum setiap orang yang menerima surat panggilan dari aparat penegak Hukum (Penyidik, Jaksa Penuntut Umum/Kejaksaan dan Hakim Pengadilan) di wajibkan hadir memenuhi pangggilan tersebut, karena panggilan tersebut pada hakikatnya bukan untuk kepentingan Penyidik/Kepolisian atau JPU/Kejaksaan atau Hakim/Pengadilan melainkan untuk kepentingan warga masyarakat pada umumnya, terutama untuk

(26)

kepentingan warga masyarakat yang menjadi korban kejahatan/pencari keadilan.

Bahwa ada ketidakmampuan dari JPU menghadirkan SA dalam persidangan kasus penipuan dan penggelapan asset Yayasan AlHilal Ambon.

Dimana telah dikeluarkannya penetapan penjemputan paksa. Penetapan hakim adalah produk Hukum, sehingga tidak ada alasan untuk tidak menjalankannya.

Menurut Pakar hukum Unpatti, Jhon Pasalbessy juga menegaskan hal yang sama. Menurutnya, JPU harus menjalankan penetapan majelis hakim. “Itu penetapan majelis hakim yang diputuskan di dalam sidang dan terbuka untuk umum sehingga penetapan majelis hakim untuk menghadirkan Assagaff sebagai saksi harus dijalankan oleh JPU.” Bahwa tidak ada didalam KUHAP

yang menyebutkan bahwa penetapan majelis hakim di dalam sidang, dapat dianulir atau diclearkan di luar persidangan. Bahwa Dalam KUHAP, tidak ada satupun pasal atau ayat yang menyebutkan bahwa apabila sudah ada penetapan majelis hakim di dalam persidangan bisa dianulir dengan kedatangan pengacara atau siapapun, karena penetapan majelis hakim itu adalah produk hukum yang harus dijalankan oleh JPU,” ujarnya. Ia mengingatkan majelis

hakim agar tidak terbiasa dengan praktek-praktek ketidakadilan yang sering dilakukan di luar persidangan. Penetapan majelis hakim itu sudah tercatat dalam berita acara oleh panitera, sehingga kebiasaan majelis hakim untuk melakukan praktek-praktek ketidakadilan itu harus dihindari,”45

1http://www.siwalimanews.com. JPU tak Punya Alasan Abaikan Perintah Hakim Hadirkan SA. Up date tanggal 25 Oktober 2018

Referensi

Dokumen terkait

kasus yang menjadi petunjuk kasus. Berkas perkara yang dipelajari adalah perkara yang sudah diadili pada pengadilan tingkat pertama yang berada di Pengadilan

There are several concept related to the IEP. The discussion would consist of business practices, human capital, strategies, and work ethics which are assumed to be the predictor