BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Kasus-kasus Tahanan Politik dalam Misi Kemanusiaan International Committee of The Red Cross (ICRC)
International Committee of The Red Cross (ICRC) mempunyai misi khusus yaitu
melakukan kunjungan dan memberikan perlindungan kepada tahanan-tahanan perang maupun tahanan-tahanan politik karena alasan-alasan yang terkait dengan konflik bersenjata internasional, konflik bersenjata dalam negeri, atau dalam situasi kekerasan lainnya di seluruh dunia. Kegiatan perlindungan mencakup kunjungan ke tempat-tempat penahanan dan pemulihan kembali hubungan keluarga. Realita yang dihadapi dalam praktek konflik bersenjata sekarang ini, terdapat banyak sekali penyimpangan dari ketentuan Konvensi Jenewa terhadap tugas, peran dan fungsi dari ICRC, Terlebih khusus dalam hal mengunjungi tawanan perang.1
Berikut ini penulis akan membahas kasus-kasus tahanan politik yang terjadi pada etnis kurdi di Turki dan kasus tahanan politik di Mesir.
1. Kronologi Konflik etnis Kurdi di Turki
Pada tahun 1980 militer Turki mengklaim bahwa bangsa Kurdi tidak pernah ada dan di dalam buku panduan militer Turki juga menyebut mereka adalah orang- orang gunung. Etnis Kurdi adalah kelompok etnis terbesar keempat di Timur Tengah. Terlepas dari jumlah mereka, mereka adalah orang-orang tanpa status
1 Mochtar Kusumaatmadja, Konvensi-konvensi Palang Merah Tahun 1949, Bina Cipta, Bandung, 1979.
kewarganegaraan yang resmi dan sering terpinggirkan. Etnis Kurdi adalah salah satu penduduk asli kawasan dataran tinggi yang kini terdapat di bagian tenggara Turki, Timur Laut Suriah, Utara Irak, Barat laut Iran dan Barat Daya Armenia.
Setelah Perang Dunia I berakhir dan jatuhnya kekaisaran Ottoman, etnis Kurdi ingin membangun negara Kurdistan merdeka, sekutu barat yang menang membuat ketentuan dalam Perjanjian Sevres tahun 1920 tentang pembentukan negara Kurdi, yang dikenal sebagai Kurdistan. Namun harapan mereka musnah tiga (3) tahun kemudian tepatnya pada tahun 1923, ketika Perjanjian Lausanne, yang menetapkan batas-batas Turki modern, tidak membuat ketentuan apapun tentang negara Kurdi dan meninggalkan Kurdi sebagai kelompok dengan status minoritas di empat (4) negara yaitu, Turki, Suriah, Irak, dan Iran. Selama lebih dari delapan puluh tahun (80) langkah apapun yang dilakukan etnis Kurdi untuk mendirikan negara merdeka selalu mendapat perlawanan keras dari Pemerintah Turki. 2
2. Pemicu Terjadinya Konflik
Tahun 1980 militan Kurdi, Partai Pekerja Kurdistan (PPK) yang dipimpin oleh Abdullah Ocalan sekaligus sebagai pendiri PPK meluncurkan pemberontakan bersenjata terhadap pemerintah Turki yang menewaskan lebih dari empat puluh ribu (40.000) korban jiwa. Aksi pemberontakan ini dilakukan semata-mata untuk memberikan tekanan terhadap pemerintah Turki bahwasannya mereka ingin melanjutkan perjuangan mereka yang bertujuan untuk mendirikan negara sendiri dan terpisah dari Turki dengan cara mengangkat senjata melawan pemerintah
2 Mengapa Turki menyerang Kurdi di Suriah, https://dunia.tempo.co/read/1258097/mengapa-turki-
menyerang-kurdi-di-suriah. Diakses pada 16 Maret 2020.
Turki. Pada tahun 1999 Abdullah Ocalan ditangkap dan divonis mati oleh pengadilan Turki, namun kemudian diubah menjadi hukuman penjara seumur hidup. Dalam penjara Abdullah sering mendapatkan perlakuan yang sangat tidak manusiawi oleh para penjaga tahanan seperti diberi makanan yang tidak memadai kesehatam, kekerasan dan lain-lain.3
1. Kronologi Konflik Tahanan Politik di Mesir
Pada tahun 2012 tepatnya pada bulan Juni, Mohammed Morsi terpilih sebagai Presiden Mesir sekaligus presiden Mesir pertama yang terpilih secara demokratis.
Morsi adalah presiden Mesir pertama yang berasal dari kalangan sipil berbeda dengan pendahulunya yang selalu berlatar belakang militer. Morsi menjanjikan agenda Islamis moderat untuk membawa Mesir menuju era demokrasi baru, di mana otokrasi digantikan oleh pemerintahan yang transparan dan menghormati hak asasi manusia.
Alih-alih menjadi pemimpin demokratis, Morsi malah dikenal sebagai presiden yang memerintah secara otoriter. Morsi mengasingkan orang-orang yang menuduhnya berupaya memperluas kekuasaan secara sewenang-wenang. Pada tanggal 12 Agustus 2012, Morsi memecat menteri pertahanan sekaligus panglima militer Hussein Tantawi. Setelah pemecatan tersebut ia menghapus undang- undang yang memberikan keluasan bagi militer di pemerintahan.
Presiden Morsi juga mengambil alih kewenangan legislatif dengan menunjuk sendiri wakil presidennya Mahmud Mekki. Berbagai keputusan itu membuat lawan politiknya menjuluki ia dengan sebutan “firaun baru”. Tak berhenti sampai
3 https://s3.amazonaws.com/academia.edu.documents/58209278/Proceeding-INUSHARTS-2018. Diakses
pada 17 Maret 2020.
disitu, morsi juga memberhentikan Jaksa Agung Mesir, Adel Meguid Mahmoud.
Sejak itupun kepemimpinannya morsi dibayangi penentangan dan demonstrasi, kepemimpinan Morsi pun tak berlangsung lama.
2. Pemicu Terjadinya Konflik
Saat morsi meraih tampuk kekuasaan pada Juni 2012 setelah meraih kemenangan tipis dalam pemilu, Morsi berjanji menjadi kepala pemerintahan untuk semua rakyat Mesir. Akan tetapi, sebagian kalangan mengeluhkan ketidakmampuannya memimpin saat dihadapkan pada masa sulit. Mereka menudingnya membiarkan kaum islamis memonopoli kancah politik dan memusatkan kekuasaan ke tangan Ikhwanul Muslimin, selanjutnya mereka menuduh Morsi tidak mampu untuk mengelola ekonomi Mesir. Penentangan publik terhadap Morsi dimulai pada November 2012 ketika Morsi mengeluarkan dekrit yang memberinya kewenangan lebih guna memastikan parlemen yang didominasi kaum Islamis dapat menyelesaikan draft konstitusi baru. Pada saat terjadi kekacauan, Morsi mengeluarkan dekrit lanjutan yang memberi kewenangan kepada militer untuk mlindungi lembaga-lembaga nasional dan tempat pemungutan suara sampai referendum draft konstitusi digelar pada 15 Desember 2012.
Kalangan pengkritik menyebut dekrit itu berujung pada pemberlakuan hukum darurat dan bentrokan antara pendukung Morsi dan kubu oposisi yang menewaskan lima puluh (50) orang. Protes massal digelar untuk memperingati tahun pertama morsi menjadi presiden dan jutaan orang memadati jalan-jalan diberbagai tempat di Mesir. Pada malam hari tanggal 3 juli 2013, militer menangguhkan konstitusi dan mengumumkan pembentukan pemerintahan
sementara berisi sosok-sosok teknokrat sebagai peralihan sebelum pemilihan presiden digelar. Morsi menyebutkan tindakan ini sebagai “Kudeta”.
Penangkapan Morsi diperintah langsung oleh kepala angkatan bersenjata yang kini menjadi presiden Mesir, Abdul Fattah al-Sisi. Morsi kemudian dibawa militer untuk dimasukan kedalam sel isolasi dan dibatasi akses perhatian medis untuk penyakit yang sedang dideritanya. Morsi memiliki beberapa masalah kesehatan, termasuk diabetes dan gangguan ginjal. Dalam kurungan penjara yang hampir enam (6) tahun setelah penggulingannya dalam kudeta militer Juli 2013 yang dipimpin oleh Al-sisi, sejak saat itu Morsi tidak pernah mendapat perawatan medis, keluarganya hanya diizinkan mengunjungi di penjara sebanyak tiga (3) kali.4
B. Fungsi International Committee of The Red Cross (ICRC) dalam Pelaksanaan Tanggung Jawab Kemanusiaan
Dalam Konvensi-konvensi Jenewa tahun 1949 dan Protokol-protokol Tambahannya tahun 1977, ICRC selain melaksanakan kegiatan=kegiatan operasional untuk melindungi dan membantu para korban konflik bersenjata, juga berperan sebagai pelaksana dan pelindung prinsip-prinsip hukum humaniter internasional. Fungsi ICRC sebagai lembaga humaniter yang tidak berpihak dan berhak menawarkan bantuan kemanusiaannya ditegaskan dalam Pasal 3 ayat (2) Konvensi Jenewa yang berbunyi:
“Yang luka dan sakit harus dikumpulkan dan dirawat. Sebuah badan humaniter tak berpihak, seperti Komite Internasional Palang Merah, dapat menawarkan jasa-jasanya kepada pihak-pihak dalam sengketa. Pihak- pihak dalam sengketa, selanjutnya harus berusaha untuk melaksanakan dengan jalan persetujuan-persetujuan khusus, semua atau
4 https://duniaekspress.com/2019/08/09/lagi-tahanan-politik-mesir-tewas-di-dalam-penjara/ Diakses pada 18
Maret 2020.
sebagian dari ketentuan lainnya dari konvensi ini, Pelaksanaan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, tidak akan mempengaruhi kedudukan hukum pihak-pihak dalam sengketa”.
Dasar hukum dari segala kegiatan ICRC diatur dalam Pasal 9 Konvensi Jenewa I-III dan Pasal 10 Konvensi IV yang menyatakan bahwa :
“Ketentuan-ketentuan Konvensi ini tidak merupakan penghalang bagi kegiatan- kegiatan perikemanusiaan, yang mungkin diusahakan oleh Komite Palang Merah Internasional atau tiap-tiap organisasi humaniter lainnya yang tidak berpihak, untuk melindungi dan menolong yang luka dan sakit, petugas dinas kesehatan dan rohaniawan, selama kegiatan- kegiatan itu mendapat persetujuan Pihak-pihak dalam sengketa bersangkutan”.
Ada sejumlah peran dan fungsi yang dilakukan ICRC sebagai pelakasana dan pengawal Hukum Humaniter Internasional, baik dalam situasi sengketa bersenjata internasional, non international, maupun pada masa damai, antara lain:
1. Monitoring, yaitu fungsi untuk secara terus menerus melakukan penilaian terhadap ketentuan-ketentuan hukum humaniter yang berlaku sesuai atau relevan dengan kenyataan-kenyataan dan fenomena konflik bersenjata yang terjadi dewasa ini serta menyiapkan upaya penyesuaian atau adaptasi serta pengembangan terhadap ketentuan-ketentuan tersebut apabila dipandang perlu.
Penyempurnaan Konvensi tentang Tawanan Perang tahun 1939 menjadi Konvensi Jenewa III tahun 1949 merupakan salah satu contoh dari hal ini. Begitu juga dengan penyusunan protokol I dan II tahun 1977 juga merupakan contoh bagaimana ketentuan-ketentuan Hukum Humaniter perlu diselaraskan dengan perkembangan-perkembangan konflik bersenjata sesuai dengan jamannya.
2. Katalisator (Catalist), yaitu menstimulus diskusi-diskusi yang berkaitan dengan permasalahan-permasalahan hukum humaniter dan mencari kemungkinan pemecahannya, khususnya dalam hal ini dengan kelompok ahli dari pemerintah.
Diskusi-diskusi semacam ini dapat mengarah kepada suatu rekomendasi atas
perubahan-perubahan terhadap hukum yang berlaku ataupun tidak. Fungsi ini berkaitan dengan fungsi pertama sebagaimana diuraikan di atas. Manakala suatu ketentuan misalnya dianggap sudah tidak relevan lagi dengan kenyataan yang ada, maka tidak cukup jika hanya mengatakan bahwa ketentuan tersebut perlu dirubah atau disesuaikan. Serangkaian tindakan perlu diambil termasuk untuk mendapatkan masukan dari pakar-pakar yang relevan dan berkaitan dengan permasalahan yang bersangkutan dan kemudian mendiskusikannya secara mendalam serta mencoba merumuskan kemungkinan pemecahannya.
3. Promosi (Promotion), yaitu untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman setiap orang akan ketentuan-ketentuan hukum humaniter sehingga harapan akan penerapannya akan menjadi lebih baik lagi. Tidak dapat dibayangkan jika ada tindakan pelaksanaan apabila pemahaman atas isi dan maksud dari Konvensi Jenewa atau ketentuan hukum humaniter lainnya masih rendah. Karena itu disini dipilih kata “promosi” dan bukan hanya sekedar “disseminasi” atau penyebarluasan saja. Karena sasarannya tidak hanya agar ketentuan-ketentuannya diketahui dan dipahami, tetapi juga dilaksanakan serangkaian tindakan lanjutan, misalnya menerbitkan peraturan nasional sebagai pelaksanaan dari ketentuan hukum humaniter yang dimaksud.
4. Melindungi (Guardian Angel), yaitu suatu fungsi untuk melindungi hukum humaniter dari perkembangan-perkembangan hukum yang mengabaikan atau dapat melemahkan hukum humaniter itu sendiri. Hal ini biasa terjadi disebabkan ketidaktahuan atau kurangnya pemahaman perjanjian internasional lain selain hukum humaniter. Contoh mengenai hal ini adalah intervensi yang dilakukan
oleh ICRC dan beberapa negara pada waktu penyusunan Pasal mengenai perlindungan anak pada waktu perang dalam Konvensi tentang Hak-hak Anak.
Pada waktu itu ICRC dan beberapa negara tersebut melihat bahwa Pasal yang diusulkan tidak sesuai dengan apa yang terdapat didalam Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahannya 1977.
5. Melakukan tindakan nyata yakni melakukan tindakan konkrit dan memberikan kontribusi praktis bagi penerapan hukum humaniter dalam situasi konflik bersenjata. Fungsi ini adalah fungsi yang terpenting bagi ICRC, yakni melakukan tindakan-tindakan nyata dan konkrit bagi korban-korban sengketa bersenjata.
Misalnya diatur bahwa pihak- pihak yang bersengketa harus memperhatikan hak- hak dari mereka yang terluka, sakit, meninggal atau ditawan karena terjadinya sengketa bersenjata. Dalam hal ini ICRC pertama-tama meningkatkan para pihak yang bersengketa tentang kewajiban ini dan yang kedua memberikan bantuan secara langsung kepada korban-korban sengketa bersenjata tersebut.
6. Pengawasan (Supervision), yakni berfungsi mengingatkan negara-negara dan pihak-pihak lain yang terlibat dalam suatu sengketa bersenjata dan juga kepada masyarakat internasional secara keseluruhan manakala terjadi pelanggaran- pelanggaran serius terhadap hukum humaniter. Fungsi ini digambarkan seperti membunyikan alarm jika terjadi pelanggaran-pelanggaran serius. Namun dalam melakukannya fungsi ICRC lebih mengutamakan kepada dialog secara langsung dengan pihak-pihak yang berkompeten dimana pelanggaran serius tersebut terjadi. Hanya dalam situasi-situasi yang sangat spesifik dimana terlihat sama sekali adanya kehendak pihak yang bersengketa untuk menerapkan hukum
humaniter maka kemudian ICRC meminta perhatian masyarakat internasional.
Contoh mengenai hal ini adalah kasus pembersihan etnis yang terjadi di bekas negara Yugoslavia.5
Jadi, dari semua fungsi yang dijelaskan tersebut tidak dapat diartikan bahwa ICRC sebagai penjamin kemudian juga berfungsi sebagai penanggung dilaksanakannya ketentuan- ketentuan hukum humaniter oleh negara dan pihak-pihak lain yang terlibat dalam suatu sengketa bersenjata. Karena yang dapat menjamin hal ini adalah negara-negara serta pihak- pihak lain yang terlibat dalam sengketa bersenjata itu sendiri. Fungsi sebagai penjamin dapat dilihat sebagai upaya untuk memobilisasi perjanjian secara terus menerus tentang nilai-nilai kemanusiaan dari hukum humaniter yang harus ditegakkan baik pada masa damai maupun pada masa perang.
ICRC juga berhak untuk melakukan pengawasan terhadap tawanan perang dan penduduk sipil, dengan cara mendatangi tempat-tempat mereka ditahan atau dipekerjakan, berkomunikasi dengan mereka secara langsung atau menggunakan jasa penerjemah, dengan jangka waktu dan frekuensi yang tidak terbatas. Kunjungan seperti ini tidak boleh dilarang, kecuali bila ada kepentingan militer yang mendesak.
ICRC berhak memilih sendiri tempat-tempat yang akan mereka kunjungi. Hal ini diatur dalam Pasal 126 Konvensi III dan Pasal 143 Konvensi IV. Dewasa ini, semua Negara terikat oleh empat Konvensi Jenewa tahun 1949 yang pada masa konflik bersenjata, memberikan perlindungan kepada anggota angkatan bersenjata yang terluka, sakit dan kapal karam, tawanan perang dan warga sipil. Lebih dari tiga perempat negara di seluruh duni saat ini telah menjadi Negara Pihak pada kedua Protokol Tambahan tahun 1977.
5 Journal Komunitas Yustisia Universitas Pendidikan Ganesha Program Studi Ilmu Hukum Vol. 3, No. 1,
Januari 2020, halaman. 6-8
Protokol Tambahan I melindungi korban konflik bersenjata internasional, sedangkan Protokol Tambahan II melindungi korban konflik bersenjata non international. Hal yang terpenting bahwa=, perjanjian-perjanjian tersebut telah mengkodifikasikan aturan untuk melindungi penduduk sipil dari dampak permusuhan. Upaya-upaya yang dapat dilakukan ICRC dalam situasi konflik bersenjata diantaranya adalah perlindungan ICRC dalam perang, perlindungan bagi korban sipil, perlindungan bagi perempuan, perlindungan bagi anak, perlindungan terhadap tahanan perang dalam sengketa bersenjata internasional.
Kewenangan ICRC dalam menjalankan fungsi dan peranannya dalam memberikan bantuan kemanusiaan menurut Hukum Humaniter Internasional telah tercantum dalam Pasal 3 dan Pasal 10 Konvensi Jenewa I tahun 1949 dan Pasal 30 dan Pasal 60 Konvensi Jenewa IV tahun 1949, asas-asas Hukum Humaniter Internasional, Statuta Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Internasional, dan dua (2) buah Protokol Tambahannya tahun 1977, yang proses perumusannya didukung secara aktif oleh ICRC. Implementasi peran ICRC dalam situasi konflik tertera dalam Pasal 5 Statuta Gerakan No. 3, 4, dan 7 yang dapat bertindak sesuai dengan mandat masyarakat internasional.
ICRC juga terus berupaya meningkatkan perlindungan bagi para korban perang seperti di Suriah dengan cara mendorong negara-negara untuk menyusun dan mengadopsi standar-standar hukum yang baru. Berdasarkan mandat masyarakat internasional ICRC memberikan bantuan seperti kelembagaan sistem untuk warga sipil, meningkatkan pemahaman terhadap Hukum Humaniter Internasional, kunjungan tahanan, memberikan bantuan medis, makanan, dukungan ekonomi, bantuan kelangsungan hidup, dan rehabilitasi ekonomi. Apabila ICRC melihat adanya pelanggaran, maka ICRC akan mengadakan pendekatan kepada pihak yang bertanggung jawab atas peristiwa tersebut dan negara
seharusnya tidak menghalangi aktifitas ICRC dalam memberikan bantuan dalam menjalankan misinya sebagai organisasi kemanusiaan yang independen6.
ICRC dalam penerapannya terdapat banyak sekali hambatan untuk mengunjungi dan memberikan perlindungan terhadap tawanan perang, korban perang, serta tawanan politik pada saat masa perang maupun damai, hal ini terdapat banyak sekali penyimpangan dari ketentuan Konvensi Jenewa tahun 1949 yang sekaligus sebagai dasar hukum terhadap tugas dan fungsi dari ICRC. Dapat dilihat dari beberapa kasus yang telah diuraikan penulis antara lain, kasus tahanan politik yang terjadi terhadap Abdullah Ocalan yang ditahan oleh pemerintah Turki dan penahanan yang dilakukan oleh kepala angkatan bersenjata Mesir terhadap presiden Morsi.
ICRC sebagai organisasi internasional yang bersifat independen telah diberi mandat oleh Konvensi Jenewa tahun 1949 dan kedua Protokol-protokol tambahan tahun 1977 untuk menjalankan tugas dan fungsinya. Konvensi jenewa adalah bagian dari hukum internasional yang juga dikenal sebagai hukum kemanusiaan dalam konflik bersenjata. Tujuan konvensi ini adalah untuk menjadi patokan standar dalam memperlakukan korban atau tawanan perang maupun politik. Protokol tambahan I tahun 1977 membahas perlindungan korban- korban sengketa besenjata internasional, dalam hal ini memberikan perlindungan bagi warga sipil dan juga militer serta petugas kemanusiaan, protokol tambahan II tahun 1977 membahas perlindungan terhadap korban-korban sengketa bersenjata bukan internasional.
Dalam Konvensi Jenewa III tahun 1949 pasal 4, berbunyi:
“Setiap tawanan perang ini adalah menjadi tanggung jawab negara penahan bukan tanggung jawab pihak atau orang yang menahan. Setiap tawanan perang yang ditangkap harus didaftarkan dan dilaporkan kepada negara asal tawanan, kemudian mereka secepatnya
6 Konferensi Internasional Perlindungan Korban Perang, Jenewa, 30 Agustus – 1 September 1993, Deklarasi
Final, International Review of The Red Cross, No. 296, 1993, hal. 381.
dibawa keluar dari medan pertempuran. Mulai dari awal penangkapan hingga selama penahanan sampai berakhirnya penawanan setiap tawanan perang ini harus diperlakukan dengan berperikemanusiaan dan dihargai haknya sebagai pribadi dalam setiap keadaan”.
ICRC berkedudukan sebagai pelindung bagi orang-orang yang menjadi korban perang, sebagai penengah atau perantara antara pihak-pihak yang bersengketa dan sebagai pengawas pelaksananaan konvensi-konvensi Jenewa tahun 1949. Fungsi ICRC sesuai hukum humaniter internasional yaitu untuk mengunjungi dan memberikan bantuan bagi para tawanan perang, korban perang serta tawanan politik merupakan suatu hak istimewa yang harus dijamin oleh negara-negara dimana terjadi konflik bersenjata.
Tugas-tugas dari ICRC antara lain untuk mengunjungi tempat dimana tawanan perang ditempatkan, mengunjungi tempat-tempat pemberangkatan, tempat singgah dan tempat kedatangan tawanan perang yang dipindahkan, berdialog langsung dengan tawanan atau wakil dari tawanan, menyalurkan makanan, obat-obatan ataupun bingkisan lainnya kepada tawanan perang dan membantu mencari tawanan perang yang hilang. Demi kelancaran tugas dari ICRC maka negara penahan berkewajiban melaksanakan ketentuan- ketentuan yang terdapat dalam Konvensi Jenewa III tahun 1949 antara lain yang terdapat dalam pasal 25 sampai dengan pasal 28, pasal 34, pasal 60 sampai dengan pasal 64 dan pasal 122.