BAB III
IMPLIKASI PUTUSAN TERSEBUT BAGI STABILITAS KEAMANAN DI LAUT CHINA SELATAN
A. Kajian Tentang Kondisi Laut China Selatan
keadaan politik di kawasan Asia Pasifik cenderung bernuansa suram sekaligus memanas. mengingat Laut China Selatan yang menjadi titik tumpu geopolitik di kawasan Asia Pasifik sedang menjadi suatu pembicaraan tingkat internasional karena menyebabkan tersulutnya konflik antara sejumlah negara besar di Asia dan beberapa negara anggota ASEAN. Inti masalah yang diperdebatkan adalah seputar klaim wilayah perbatasan (territorial zone). yang akhir tahun lalu, sengketa wilayah Laut China Selatan ini telah memberikan dampak yang cukup dramatis terhadap gelombang polarisasi kekuatan negara- negara yang bertikait dalam konflik ini.107
Persinggungan klaim kedaulatan dan yurisdiksi wilayah di kawasan Laut China Selatan melibatkan 6 negara yaitu: Tiongkok, Taiwan, Filipina, Vietnam, Malaysia dan Brunei Darussalam. Sifat pola interaksi antar setiap negara tersebut menjadi lebih konfliktual, dikarenakan kepentingan masing- masing negara terhadap kawasan Laut China Selatan mengingat LCS mempunyai sumber daya alam yang sangat besar dalam sector laut.108
107 “Sengketa Wilayah Laut Cina Selatan” dalam
http://apdforum.com/id/article/rmiap/articles/online/features/2012/12/31/a-ayear-end-story, Diakses 18 Agustus 2021
108 https://repository.usm.ac.id/files/journalnas/A002/20170518102458-Pengaturan- Dan-Mekanisme-Penyelesaian-Sengketa-Nonlitigasi-Di-Bidang-Perdagangan.pdf Diakses 18 Agustus 2021
Peta Konflik Wilayah Laut China Selatan109
Laut China Selatan disebut-sebut memiliki kekayaan sumber daya alam yang berlimpah. Luas perairan meliputi sekitar 4.000.000 km2110. Perairan ini terdiri dari beberapa gugusan pulau yang berjumlah sekitar 170 pulau kecil, karang, dan banks. Salah satu gugus pulau di perairan ini yang memiliki cadangan gas dan minyak berlimpah adalah pulau Spartly dan Paracel.111 Sejumlah aksi agresif dilakukan oleh negara-negara yang berbatasan langsung dengan kawasan ini untuk melegitimasi setiap wilayah yang diklaim atas kepemilikannya112. Klaim tersebut merujuk hingga kepada faktor historis, perhitungan ekonomi dan pertimbangan geostrategis dari negara-negara yang terlibat. 113
Konflik Laut China Selatan dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti tidak adanya batas-batas wilayah maritim yang jelas sebagaimana Laut China Selatan secara geografis berada ditengah-tengah negara-negara di Asia Pasifik
109 Margono, Sujud, Op. Cit, hal 87
110 Hasjim Djalal, “Potential Conflict in the South Cina Sea: In search of Coopertation,”Indonesian Quarterly XVIII,no.2 (Second Quarter,1990): 364-5
111 Ibid.
112 “The Spratly Islands Dispute in the South China Sea: Problems, Policies, and Prospects for Diplomatic Accommodation” dalam http://www.southchinasea.org, diakses 25 Januari 2016.
113 Ibid.
dan juga Asia Tenggara. Hal yang mungkin terjadi adalah adanya sengketa kepemilikan atas wilayah laut sekitar negara-negara tersebut.114
Kawasan Laut China Selatan di Asia Tenggara yang merupakan jalur pelayaran paling sibuk di dunia, memiliki makna yang sangat penting bagi Amerika Serikat maupun China. Jika mereka bisa menguasai Laut China Selatan, maka secara otomatis mereka menguasai jalur perdagangan ekonomi yang sangat besar dan akan menaikan daya tawar negara mereka tetapi hal ini bisa membuat konflik di wilayah LCS mengingat di kawasan tersebut terdapat 6 negara yang saling klaim batas kedaulatan.115
China yang begitu menyadari pentingnya Laut China Selatan, dengan didukung oleh militer mereka yang semakin kuat secara drastis, melakukan sebuah langkah yang sedikit “tidak masuk akal” karena wilayah yang di klaim berada ribuan kilometer dari wilayah daratan terluar Tiongkok. Diaktakan
“beralasan” karena mereka memang memiliki alasan yang kuat menurut mereka untuk melakukan klaim, yaitu karena begitu pentingnya jalur Laut China Selatan di masa yang akan datang dan begitu kayanya kepulauan yang di klaim tersebut. Di sini terlihat jelas bahwa China didukung militer yang sangat kuat begitu percaya diri untuk melakukan klaim wilayah hanya didasari oleh sejarah ribuan tahun yang lalu. 116
114 https://media.neliti.com/media/publications/26551-ID-efektivitas-dan-efisiensi- alternative-dispute-resolution-adr-sebagai-salah-satu.pdf Diakses 18 Agustus 2021
115https://kumparan.com/regent-252000/arbitrase-sebagai-alternatif-upaya- penyelesaian-konflik-1uldxC5BJMm Diakses 18 Agustus 2021
116 “Konflik Laut Cina Selatan dan Posis Strategis Indonesia” dalam http://analisismiliter.com/artikel/part/36/Konflik_Laut_Cina_Selatan_dan_Posisi_Strategis_In donesia, Diakses 18 Agustus 2021
.
Kasus konflik Laut China Selatan menyisakan ketegangan antar negara di wilayah Asia Pasifik terutama China dan Negara-negara di Asia Tenggara seperti Filipina, Vietnam, Malaysia dan Brunei Darussalam. Konflik terbaru terjadi antara Filipina dengan Tiongkok di Dangkalan Scarborough. Selain itu, Vietnam dengan Filipina pun sempat memanas setelah kapal dari tiap kedua negara saling memicu ketegangan. Dengan prinsip kedaulatan maritim, prinsip
“kebebasan laut lepas” (atau kebebasan laut terbuka) mulai dikembangkan, seperti yang dikemukakan oleh Hall.117 sesuai dengan kepentingan-kepentingan bersama dan nyata dari negara-negara maritime.118
Disadari bahwa demikian seringnya terjadi, dan besarnya kesulitan yang menimpa semua negara yang mengajukan klaim-klaim yang bertentangan terhadap bagian laut terbuka. Terlebih lagi klaim-klaim atas kedaulatan maritim hanya sedikit nilai praktisnya kecuali pada masa perang apabila terpaksa menuntutnya dengan dukungan angkatan laut yang tangguh.119
Kebebasan laut lepas dengan demikian harus dilihat dalam kaitannya dengan kepentingan umum suatu negara, khususnya menyangkut kebebasan hubungan antar bangsa. Istilah “kebebasan-kebebasan” lebih tepat dari pada kebebasan laut lepas, karena selain dari kebebasan-kebebasan tidak terbatas untuk pelayaran dan penagkapan ikan, laut pun dapat dimanfaatkan secara
117 Hall, International Law (8th edn, 1942) hal 189.
118https://business-law.binus.ac.id/2017/05/31/ragam-dan-bentuk-alternatif- penyelesaian-sengketa/ Diakses 18 Agustus 2021
119 “Sengketa Wilayah Laut Cina Selatan” dalam
http://apdforum.com/id/article/rmiap/articles/online/features/2012/12/31/a-ayear-end-story, Diakses 18 Agustus 2021
bebas untuk tujuan-tujuan lainya oleh semua negara, seperti untuk penelitian ilmiah. 120
Terlepas dari ketentuan itu, yang secara umum diikuti oleh sejumlah ketentuan sebagai akibatnya yang wajar, yaitu pada umumnya tidak ada negara yang diperbolehkan untuk melaksanakan yuridiksinya di laut atas kapal-kapal yang berlayar bukan di bawah naungan bendera negara itu, bahwa tidak ada kapal yang boleh berlayar di bawah naungan bendera tertentu tanpa izin dari negara bendera, juga tidak boleh ada bendera selain satu yang secara layak sah untuk dikibarkan hubungan agar konflik ini dapat terselesaikan.121
Upaya terbaik dalam menanggulangi sengketa wilayah laut ini adalah dengan melakukan upaya diplomasi. Terutama menjalankan upaya diplomasi preventif”122. “Salah satu cara dalam diplomasi preventif Indonesia adalah dengan membangun serta meningkatkan rasa saling percaya (confidence building measures) antara pihak-pihak yang bertikai”. Diplomasi preventif secara umum digunakan untuk mencegah keterlibatan negara-negara adidaya yang mencoba untuk melakukan campur tangan atau intervensi. Hal ini disadari sebagai keinginan setiap negara yang sedang bertikai untuk mampu menyelesaikan problem kenegaraannya secara independen. 123
Menurut Japan Foundation, Laut China Selatan merupakan sebuah perairan yang terletak di kawasan Samudera Pasifik, terbentang dari Singapura
120 J.S Starke, “Pengantar Hukum Internasional, hal 323-324, 2010.
121 Ibid., hal 87
122 Eduardus mengutip dari “The South China Sea Dispute: Prospects for Preventive Diplomacy”.dalamhttp://www.usip.org/pubs/specialreports/early/snyder/South_China_Sea1.ht ml, Diakses 18 Agustus 2021
123 Ibid. hal 66
dan Selat Malaka di barat daya hingga Selat Taiwan di timur laut. Kawasan ini meliputi lebih dari 200 pulau kecil, bebatuan dan karang yang sebagian besar berada di rangkaian kepulauan Paracel dan Spratly124. Rangkaian kepulauan inilah yang seringkali diperebutkan sehingga menimbulkan ketegangan politik dari beberapa negara di sekitarnya.125
Kawasan Laut China Selatan merupakan kawasan no man’s island”126. Hal ini disebabkan oleh fakta yang menunjukkan bahwa kawasan ini tidak dimiliki secara strategis oleh pihak manapun, melainkan hanya digunakan, Menurut panjang waktu yang akan dibutuhkan dalam menyelesaikan konflik di kawasan Laut China Selatan, maka diperlukan suatu upaya yang mampu untuk tetap menjaga stabilitas kawasan, keamanan hingga kondusifitas sebagai jalur perdagangan internasional. Menurut salah satu berita yang disiarkan oleh China Outpost disebutkan bahwa, setidaknya terdapat tiga faktor yang membuat salah satu kepulauan yang berada di kawasan Laut China Selatan, Spratly dinilai strategis karena : 127
1. Penguasaan terhadap pulau-pulau tersebut sangat menentukan garis batas negara yang menguasainya dan berdampak pada luas jangkauan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) yang akan dimiliki.
2. Wilayah Kepulauan Spratly merupakan bagian dari jalur lalu lintas internasional, baik untuk kapal dagang dan kadang kapal militer, sehingga akan sangat menentukan bagi posisi geostrategic negara tersebut.
124 “Jepang-Indonesia dalam Konflik Laut Cina Selatan” The Japan Foundation.
diunduh dari http://www.jpf.or.id/artikel/studi-jepang-pertukaran-intelektual/jepang-indonesia- dan-konflik-laut-cina-selatan, Diakses 18 Agustus 2021
125 http://journal.uinjkt.ac.id/index.php/salam/article/view/15167 Diakses 18 Agustus 2021
126 J.S Starke, Op.Cit hal 87
127 Rowan, J.P. The U.S.-Japan Security Alliance, ASEAN, and the South China Sea Dispute.Asian Survey, Vol XLV, No. 3, May/June 2005.
3. Lautan di wilayah sekitar kepulauan ini disinyalir mengandung cadangan minyak dan gas alam yang besar128.
Selain itu terdapat beberapa pulau yang di perebutkan di kawasan laut cina selatan yaitu:
1. Kepulauan Spratly
Kepulauan Spratly129
Kepulauan Spratly merupakan kepulauan yang berada di Laut China Selatan. Kepulauan ini berbatasan langsung dengan Negara Tiongkok, Vietnam, Taiwan, Filipina, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Indonesia. Letak geografisnya sebagaimana digambarkan oleh Dieter Heinzig adalah 4o LU – 11o31’ LU dan 109o BT -117o BT.130
Kepulauan Spratly diperkirakan memiliki luas 244.700 km2 yang terdiri dari sekitar 350 pulau, yang kebanyakan merupakan gugusan karang. Wilayah ini merupakan batas langsung negara Tiongkok dan negara-negara ASEAN.
Kepulauan Spratly terletak di sebelah Selatan Tiongkok dan Taiwan, sebelah
128 “Sengketa Kepulauan Spratly: Tantangan Bagi Indonesia” (China Ouptost,2011) dalam http://www.politik.lipi.go.id/index.php/en/columns/politik-internasional/472-sengketa- kepulauan-spratly-tantangan-bagi-indonesia-sebagai-ketua-asean-2011, Diakses 18 Agustus 2021
129 Eduardus mengutip dari “The South China Sea Dispute: Prospects for Preventive Diplomacy”.dalamhttp://www.usip.org/pubs/specialreports/early/snyder/South_China_Sea1.ht ml, Diakses 18 Agustus 2021
130https://www.djkn.kemenkeu.go.id/kpknl-manado/baca-artikel/13628/Arbitrase-Dan- Alternatif-Penyelesaian-Sengketa.html Diakses 18 Agustus 2021
tenggara Vietnam, sebelah Barat Filipina, sebelah utara Indonesia, sebelah utara Malaysia dan Brunei Darussalam.131
Kepulauan ini sebenarnya bukan merupakan yang layak huni, akan tetapi pulau ini memiliki banyak potensi sumber daya alam dan geografis yang sangat strategis. “Kekayaan alam yang dimiliki membuat beberapa negara bersikeras untuk mengakui dan mengklaim wilayah tersebut. Selain itu kawasan ini merupakan kawasan lintas laut yang sangat strategis sehingga mampu mendukung perekonomian Negara.132
Letak strategis lintas laut kapal dan kekayaan sumber daya alam lainnya seperti ikan menjadi faktor yang juga sangat mempengaruhi sengketa dan konfilk di antara negara-negara bersengketa. Kapal-kapal penangkap ikan yang menangkap ikan di sana menjadi salah satu penyebab konflik akibat perbedaan pemahaman dan prinsip antara beberapa negara yang mengklaim wilayah tersebut.133
Kepulauan Spratly memang mempunyai cerita panjang dalam kaitannya dengan sengketa wilayah negara di atas dalam konteks ZEE dan historis serta penamaan pulau-pulau dan nama Laut China Selatan. Filipina menyebut Kepulauan Spratly dengan nama Kalayaan (tanah kebebasan), Vietnam menamainya Dao Truong Sa, sedangkan Tiongkok menyebutnya Nansha
131 http://scholar.unand.ac.id/43699/4/Daftar%20Pustaka.pdf Diakses 18 Agustus 2021
132 https://itjen.pu.go.id/single_kolom/65 Diakses 18 Agustus 2021
133 https://media.neliti.com/media/publications/26551-ID-efektivitas-dan-efisiensi- alternative-dispute-resolution-adr-sebagai-salah-satu.pdf Diakses 18 Agustus 2021
Qundao. Perbedaan nama dimaksudkan agar kepulauan tersebut terisyaratkan sebagai milik negara yang memberikan nama134.
2. Kepulauan Paracel
Kepulauan Paracel135
Secara geografis, kepulauan Paracel terletak di perairan Laut China Selatan. Kepulauan ini terdiri dari 30 pulau yang menyebar hingga 15.000 Km2.136 Kepulauan ini tidak berpenghuni mengingat kondisi tanahnya yang berupa karang dan gumukan pasir sehingga tidak memungkinkan untuk ditinggali. Selain itu tidak adanya air bersih di kepulauan tersebut juga menjadi salah satu penyebab tidak dihuninya kepulauan tersebut. Hal ini diperparah dengan tenggelamnya beberapa pulau saat waktu pasang tiba.137
Secara aspek wilayah, kepulauan Paracel bukan tempat yang layak untuk ditinggali oleh manusia. Namun jika dilihat secara aspek potensi, kepulauan ini merupakan surga bagi sumber daya alam. Di dalam kepulauan ini
134 “Sengketa Kepulauan Spratly, Potensi Konflik di Asia Tenggara” dalam https://tabloidsergap.wordpress.com/2013/08/10/sengketa-kepulauan-spratly-potensi-konflik- di-asia-tenggara/, diakses 27 Januari 2016.
135 https://media.neliti.com/media/publications/872-ID-mediasi-merupakan-salah-satu- alternatif-penyelesaian-masalah-dalam-sengketa-perd.pdf diakses 27 Januari 2016.
136 Muh. Miftahun Niam, “Sejarah Kepemilikan Kepulauan Paracel” dalam https://kakniam.wordpress.com/2011/06/28/sejarah-kepemilikan-kepulauan-paracel/, diakses 27 Januari 2016.
137 “Sengketa Kepulauan Spratly, Potensi Konflik di Asia Tenggara” dalam https://tabloidsergap.wordpress.com/2013/08/10/sengketa-kepulauan-spratly-potensi-konflik- di-asia-tenggara/, diakses 27 Januari 2016
tersimpan berbagai macam jenis ikan dan potensi kelautan lainnya. Kondisi lingkungan kepulauan Paracel yang tidak teratur jusru menjadi tempat yang ideal bagi pertumbuhan ikan. Kepulauan ini sering dijadikan sebagai benteng pertahanan alami oleh para biota laut dari serangan predator. Ini belum termasuk potensi kandungan minyak dan gas yang terkandung didalamnya.
Meskipun belum ada data pasti yang menyebutkan terkait jumlah kandungan minyak dan gas yang ada didalam kepulauan Paracel, namun banyak pihak yang meyakini bahwa minyak bumi yang ada di perut kepulauan Paracel sangat besar dan cukup menjanjikan.138
Berbagai potensi yang dimiliki oleh kepulauan Paracel ini membuat negara yang ada di sekitar kepulauan ini saling berlomba untuk mengklaim sebagai pemilik sah kepulauan tersebut. Sedikitnya ada tiga negara yang saat ini masih bertarung memperebutkan kepulauan Paracel yakni, Taiwan, Tiongkok dan Vietnam. Ketiga negara tersebut saling beradu argumen demi mendapatkan kepulauan tersebut. Setiap pihak memiliki data dan bukti tersendiri terkait kepemilikian kepulauan tersebut.
Tak jarang, adu argumen tersebut berubah menjadi adu fisik di lapangan. Pada tahun 1974 pernah terjadi konflik di perairan tersebut yang melibatkan angkatan bersenjata Vietnam dan Tiongkok. Konflik tersebut menelan 18 tentara yang berasal dari kedua belah pihak, hingga saat ini konflik
138 https://www.djkn.kemenkeu.go.id/kpknl-manado/baca-artikel/13628/Arbitrase- Dan-Alternatif-Penyelesaian-Sengketa.html diakses 27 Januari 2016.
tersebut tidak kunjung reda139. Masih ada ketegangan politik yang terjadi diantara Vietnam dan Tiongkok terkait masalah kepulauan Paracel tersebut.
3. Kepulauan Natuna
Indonesia juga memiliki posisi yang sama. Indonesia akan terkena imbas jika terjadi konflik di Laut China Selatan karena interpretasi dari “nine- dash line” atau sembilan garis terputus di peta china, yang mengklaim sekitar 90% dari perairan yang luasnya 3,5 juta kilometer persegi (atau 1,35 juta mil persegi). Karena kepentingan strategis dan ekonomis dari perairan tersebut, maka isu ini telah menjadi permasalahan internasional yang juga melibatkan berbagai negara dan Amerika Serikat.140
Sebab itu, Indonesia merasa terganggu karena Tiongkok telah memasukkan sebagian dari Kepulauan Natuna dalam sembilan garis terputus tersebut, yang berarti menyatakan sebagian dari provinsi Kepulauan Riau masuk ke wilayahnya. Garis terputus tersebut terlihat di paspor warga negara Tiongkok yang baru diterbitkan. Kepulauan yang termasuk di sini terletak di pesisir barat laut Kalimantan.141
Tetapi, baru-baru ini Tiongkok menambahkan bahwa pemerintah Tiongkok mengakui bahwa kepemilikan Kepulauan Natuna adalah hak milik
139 Thomas J. Cutler, The Battle for the Paracel Islands, Naval Institute Press.
140https://business-law.binus.ac.id/2017/05/31/ragam-dan-bentuk-alternatif- penyelesaian-sengketa/ diakses tanggal 27 Januari 2021
141 “Menanggapi Klaim Terbaru Beijing Terhadap Laut Cina Selatan” dalam https://id-id.facebook.com/notes/moeldoko/menanggapi-klaim-terbaru-beijing-terhadap-laut- cina-selatan/444020405744606/, diakses tanggal 27 Januari 2021
Negara Indonesia dan Tiongkok sendiri hanya terfokus pada kepemilikan Laut China Selatan.142
B. Tinjauan Hukum tentang Stabilitas Keamanan Pra Putusan Permanent Court Of Arbitration
Arbitrase merupakan Perserikatan Bangsa-bangsa menyatakan China tidak memiliki dasar hukum untuk mengklaim wilayah perairan di Laut China Selatan. Namun pemerintah China tidak tidak menerima putusan tersebut.
Putusan itu sesuai dengan keberatan yang diajukan oleh Filipina. Mahkamah Arbitrase menyatakan tidak ada bukti sejarah bahwa China menguasai dan mengendalikan sumber daya secara eksklusif di Laut China Selatan Keputusan Mahkamah Arbitrase Permanen (Permanent Court of Arbitration/PCA) yang memeriksa perkara sengketa antara Filipina melawan China telah keluar di Den Haag, Belanda.143
Putusan setebal 501 halaman itu berpihak pada Filipina dan menguntungkan posisi Indonesia kendati tidak turut terlibat dalam sengketa dalam Mahkamah Arbitrase. Putusan tersebut mempunyai dampak cukup besar terhadap Indonesia yakni terkait klaim Sembilan Garis Putus oleh China berdasarkan hak sejarah (historic rights) tidak dapat dibenarkan karena tidak sesuai dengan pengaturan zona ekonomi yang berlandaskan Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982.130 Putusan Mahkamah Arbitrase Permanen (Permanent Court of Arbitration/PCA) atas klaim China di Laut
142 http://www.ocw.upj.ac.id/files/Slide-MGT401-Slide10-11.pdf diakses tanggal 27 Januari 2020
143 https://www.djkn.kemenkeu.go.id/kpknl-manado/baca-artikel/13628/Arbitrase- Dan-Alternatif-Penyelesaian-Sengketa.html, diakses tanggal 27 Januari 2020
China Selatan dibuat untuk menanggapi pengajuan keberatan Pemerintah Filipina tahun 2013.144
Filipina keberatan atas aktivitas dan klaim China di Laut China Selatan terutama klaim China terhadap hak-hak kesejarahan dan nine-dash-line. Nine- dash-line atau sembilan garis putus-putus adalah upaya Republik Rakyat China untuk memetakan klaim historic rights pada fitur maritim dan perairan Laut China Selatan. Akibatnya, lebih 80 persen wilayah Laut China Selatan diklaim oleh Republik Rakyat Indonesia. Anehnya klaim ini tidak didukung dengan data koordinat geografis. Menurut PCA, klaim ini tak sesuai dengan hak berdaulat Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) yang didasarkan pada Konvensi Internasional tentang UNCLOS.145
PCA menyatakan China telah melanggar hak-hak kedaulatan Filipina dan juga menegaskan bahwa China telah menyebabkan kerusakan lingkungan dengan membangun pulau-pulau buatan. Putusan PCA, meskipun hal itu ditujukan pada pemeriksaan perkara antara Filipina melawan China, memunculkan tantangan sekaligus menguji peranan ASEAN yang selama ini menaruh perhatian besar pada isu Laut China Selatan. Hal tersebut akan dikaji secara singkat dalam tulisan ini, dengan terlebih dahulu dikemukakan secara sekilas bagaimana respons internasional (Filipina, China, Indonesia, dan dunia internasional) atas putusan PCA tersebut. Vietnam, yang bersama Filipina, Malaysia, dan Brunei juga bersengketa dengan China di Laut China Selatan,
144 Abdurrasyid, H. Priyatna, Op. Cit, hal 87
145 Afriani Susant, Kenali ASEAN, Kemlu Ajak Para Rektor Bentuk Pusat Studi ASEAN, Oke Zone News, https://news.okezone.com/read/2016/12/01/65/1555795/kenali- aseankemlu-ajak-para-rektor-bentuk-pusat-studi-asean, diakses 25 Agustus 2018 Pukul 12.34 WIB, 2016
menyambut baik putusan PCA. Juru Bicara Kemenlu Vietnam, Le Hai Binh, menyebutkan Vietnam mendukung penyelesaian damai perselisihan Laut China Selatan. Namun sejalan dengan Beijing, Pemerintah Taiwan (yang juga mengklaim sebagian wilayah Laut China Selatan) menolak keputusan itu, yang dinilainya akan memengaruhi hak-hak teritorial negeri itu.146
Sengketa Laut Cina Selatan atau In the Matter of South China Sea Arbitration, PCA Case No. 2013-1912 Juli 2016, Mahkamah Arbitrase Permanen telah memutuskan perkara ini yang walaupun perkara ini menyangkut masalah kemananan, namun salah satu putusannya juga menyinggung masalah lingkungan hidup maritim khususnya terumbu karang yang rusak akibat pembangunan pelabuhan di pulau dan karang Laut Cina Selatan. Seperti dinyatakan dalam putusannya,147
China has aggravated the Parties’ dispute with respect to the protection and preservation of the marine environment by causing irreparable harm to the coral reef habitat at Cuarteron Reef, Fiery Cross Reef, Gaven Reef (North), Johnson Reef, Hughes Reef, Subi Reef, and Mischief Reef. The Tribunal has already found that China has seriously violated its obligation to preserve and protect the marine environment in the South China Sea In practical terms, neither this decision nor any action that either Party may take in response can undo the permanent damage that has been done to the coral reef habitats of the South China Sea. (China telah memperparah sengketa Para Pihak sehubungan dengan perlindungan dan pelestarian lingkungan laut dengan menyebabkan kerusakan yang tidak dapat diperbaiki terhadap habitat terumbu karang di Cuarteron Reef, Reef Cross Fiery, Gaven Reef (Utara), Johnson Reef, Hughes Reef, Subi Reef, dan Mischief Reef.
Tribunal telah menemukan bahwa China telah secara serius melanggar kewajibannya untuk melestarikan dan melindungi lingkungan laut di Laut Cina
146 Abdurrasyid, H. Priyatna. Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian sengketa (Suatu Pengantar), Fikahati Aneska. Jakarta: . 2002, hal 90
147 https://perpustakaan.mahkamahagung.go.id/assets/resource/ebook/36.pdf diakses tanggal 27 Januari 2020
Selatan Dalam istilah praktis, baik keputusan ini maupun tindakan apa pun yang diambil salah satu Pihak dalam menanggapi dapat membatalkannya.
kerusakan permanen yang telah terjadi pada habitat terumbu karang di LCS).148 Hakim Permanent Court of Arbitration (PCA) dengan suara bulat menerbitkan ‘award’ pada tanggal 12 Juli 2016 tentang sengketa Laut China Selatan antara Filipinadan China, yang memenangkan Filipina secara mutlak.
Putusan PCA ini sangat dinantikan oleh banyak pihak yang terkait dengan sengketa internasional tersebut danmenarik, karena sikap China yang kontroversial selama kasus tersebut diperiksa oleh PCA. Kasus ini telah menyedot perhatian publik karena terkait dengan perebutanwilayah Laut China Selatan yang melibatkan enam negara yaitu Filipina, Brunei Darussalam, Taiwan, Vietnam, Malaysia, dan China dan karena salah satu negarapihak adalah negara besar dan anggota tetap Dewan Keamanan PBB. Kasus inisemakin menarik tatkala China melakukan penolakan terhadap apapun putusanMahkamah tersebut.149
Bahkan China mengancam akan memberikan sanksi ekonomi terhadap Filipina sebagai balasan atas kekalahan China pada kasus ini. Tak pelak sikap China yang menyangkal putusan Mahkamah Internasional ini membuat banyak pihak skeptic terhadap kekuatan mengikat dan enforcement hukum internasional. Banyak pihak menyangsikan kemampuan hukum internasional dalam menyelesaikan kasus sengketa ini mengingat China yang sangat gigih dari awal ketika kasus ini pertamakali dibawa ke PCA pada 22 Januari 2013,
148 Ibid
149 Op.Cit Abdurrasyid, H. Priyatna. Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian sengketa (Suatu Pengantar), phal 99
China sudah menyatakanpenolakannya terhadap yurisdiksi dan kewenangan dari PCA.150
China mendalilkan bahwa PCA tidak punya kewenangan untuk mengadili kasus ini. Selain itu, banyakpihak yang meragukan keberanian PCA mengadili kasus ini karena posisi China sebagai negara terbesar di Asia dan merupakan anggota tetap Dewan Keamanan PBB.
Namun apapun sikap China, putusan PCA ini paling tidak telah memperlihatkan keberlakuan hukum internasional sebagai hukum bagi masyarakat internasional, Selama ini hukum internasional diklasifikasikan sebagai weak law, hukum yang enforcementnya lemah, Bahkan golongan positivis menyatakan hukum internasional ini bukanlah hukum melainkan norma internasional, sejajar dengan norma sosial dan norma agama, yang tidak mempunyai kekuatan mengikat dan kekuatan hukum sebagai daya paksa terhadap negara-negara sebagai anggota masyarakat internasional, dan bahkan hukum internasional tidak mempunyai sanksi seperti halnya hukum nasional.151
Hal ini terjadi terutama karena negara-negara anggota masyarakat internasional tersebut masing-masing merupakan negara berdaulat. Dalam konteks negara berdaulat ini, maka negara mempunyai kekuasaan penuh mengatur dirinya sendiri, tidak ada kekuasaan yang lebih tinggi diatasnya untuk memaksa negara tunduk pada kekuasaan itu. Atas dasar kedaulatan itu juga, China dalam kasus ini menolak berpartisipasi dalam pengadilan arbitrasi
150https://www.google.com/search?q=Daftar+Pustaka+Duane+Ruthhefelbower&oq=
Daftar+Pustaka+Duane+Ruthhefelbower&aqs=chrome..69i57j33i10i160l2.8070j0j4&sourcei d=chrome&ie=UTF-8 diakses tanggal 27 Januari 2020
151 https://www.djkn.kemenkeu.go.id/kpknl-manado/baca-artikel/13628/Arbitrase- Dan-Alternatif-Penyelesaian-Sengketa.html diakses 27 Januari 2020.
internasional di PCA ini dan mendalilkan bahwa sengketa ini merupakan sengketa dua negara dan diselesaikan dengan jalur negosiasi bilateral akan tetapi pihak Filipina tetap mengajukan gugatannya kepada PCA.152
China juga menyatakan bahwa Filipina telah melanggar Deklarasi ASEAN tentang the Conduct of Parties in the South China Sea (Perilaku Para Pihak di Laut Cina Selatan) tahun 2002, Terlepas dari dalil yang dilontarkan oleh China, Filipina telah mengajukan gugatannya kepada PCA. Isi gugatan Filipina terdiri dari 15 submissions, yang pada akhirnya PCA hanya mengambil 7 submissions dalam putusannya. Atas gugatan Filipina ini, China menyatakan PCA bukan mahkamah yang berwenang mengadili sengketa ini dan china tidak berpatisipasi dalam perkara ini.153
China tidak menunjuk pengacara, konsultan hukum dan wakilnya di PCA sebagai bentuk ketidaksetujuannya. Bisa jadi China menginginkan sengketa ini dibawa ke Mahkamah Internasional (International Court of Justice), ketika jalur diplomasi lewat negosiasi bilateral tidak menghasilkan solusi. Jika sengketa ini dibawa ke mahkamah internasional maka harus ada perjanjian kesepakatan dari kedua belah pihak yang menyatakan mengakui yurisdiksi mahkamah internasional, sebagai persyaratan beracara di mahkamah internasional. Dan persyaratan ini mustahil bisa ditempuh Filipina, karena China pasti tidak akan bersedia membuat perjanjian tersebut.154
152 http://journal.uinjkt.ac.id/index.php/salam/article/view/15167 diakses 27 Januari 2020.
153 Adi Nugroho, Susanti. Penyelesaian Sengketa Arbitrase dan Penerapan Hukumnya,: PT. Fajar Interpratama Mandiri. Jakarta . 2015, hal 77
154 Ibid, hal 87
Sebenarnya di PCA pun juga berlaku hal yangsama, bahwa kedua negara harus bersepakat tentang yurisdiksi dan kewenangan PCA termasuk pemilihan arbitratornya. Namun, PCA sebagai mahkamah arbitrasi mendasarkan kewenangan mengadili pada ketentuan Konvensi UNCLOS, ketika China sebagai pihak dalam sengketa menyatakan tidak akan berpartisipasi dalam proses peradilan di PCA. Mahkamah ini merujuk ketentuan UNCLOS dalam memeriksa dan mengadili kasus ini.Baik China maupun Filipina merupakan negara peratifikasi UNCLOS, sehingga dua negara tersebut terikat pada isi ketentuan UNCLOS.155
29 Oktober 2015 PCA memutuskan bahwa PCA mempunyai yurisdiksi dan kewenangan mengadili sengketa tersebut. Dasar mengadili PCA yaitu Annex VIIUNCLOS yang menyatakan “the absence of a party or failure of a party to defend itscase shall not constitute a bar to the proceedings” (ketiadaan pesta atau kegagalan suatu pihak untuk mempertahankan kasusnya tidak akan menjadi sebuah bar bagi persidangan). Sehingga atas dasar ketentuan inilah.156
PCA menyatakan bahwa ketidakhadiran China tidak menghalangi PCA untuk memeriksa dan mengadili sengketa antara Filipina dan China. Hal ini merupakan optional exceptions atas keberlakuan prosedur wajib yang diatur dalam pasal 298 bagian 3 dari Bab XV UNCLOS tentang sengketa wilayah laut. Sebenarnya, menurut sifatnya, beracara di PCA sebagai sebuah mahkamah arbitrasi, maka para pihak dapat memilih para arbitrator dan prosedurnya
155 Harahap, Yahya. Arbitrase.: Pustaka Kartini. Jakarta. 1991, hal 90
156 Ibid
sendiri, tidak seperti yang terjadi pada pengadilan nasional dimana para pihak tidak dapat memilih hakim dan prosedur pengadilannya sendiri.157
Kasus ini masih diperdebatkan tentang perbedaan cara pandang antara dua negara, China mendasarkan klaimnya atas dasar sejarah yaitu wilayah perairan tersebut sebagai historic waters sebagai traditional fishing ground.
Namun dasar ini tidak diatur dalam UNCLOS dan MI dalam kasus antara Tunisia dan Libya tahun 1982 menyatakan bahwa historic rights of waters diatur dalam hukum kebiasaan internasional bukan UNCLOS. Baik China maupun Filipina didukung oleh Negara-negara yang lain. China bahkan menyatakan didukung oleh sekitar 60 negara, yang menurut China hal itu merupakan dukungan penuh masyarakat internasional atas posisi China yang ingin menyelesaikan sengketa ini melalui dialog atau negosiasi Filipina didukung oleh beberapa negara, termasuk AS dan Inggris.158
Pertemuan US- ASEAN Press Conference di California, Amerika Serikat tanggal 16 Februari 2016, dalam pidatonya presiden Barack Obama menyatakan bahwa, “and wediscussed how any disputes between claimants in the region must be resolvedpeacefully, through legal means, such as the upcoming arbitration ruling under theUN Convention of the Law of the Sea, which the parties are obligated to respect andabide by.”
Jelas di sini bahwa AS mendukung tindakan Filipina membawa sengketa tersebut ke badan arbitrasi internasional. Sedangkan Australia dan Selandia baru mengambil jalan tengah yaitu mengakui adanya hak untuk
157 Adolf, Huala. Arbitrase Komersial Internasional, Cet. 2, (RajaGrafindo PersadaJakarta: , 1993), hal 95
158 Ibid
mencari jalan keluar melalui arbitrasi. Sengketa internasional wajib diselesaikan secara damai (peacefully means)yang diatur dalam pasal 33 ayat 3 Piagam PBB. Dalam masyarakat internasional dikenal beberapa mekanisme penyelesaian sengketa internasional yang dibedakan menjadi dua, yaitu secara diplomatik dan secara hukum. Secara diplomatik dapat berupa negosiasi atau konsultasi, mediasi, konsiliasi dan inquiri. Dan mekanisme 3 hukum yaitu para pihak dapat membawa sengketa mereka ke depan mahkamah internasional, MI atau International Tribunal for the Law of the Sea (mahkamah internasional bentukan UNCLOS).159
Sedangkan PCA meskipun namanya mengandung kata ‘court’, PCA bukan pengadilan, PCA merupakan lembaga arbitrasi. Seperti halnya MI, PCA berkedudukan di Peace Palace, di Den Haag.Yurisdiksi dari PCA ini meliputi semua sengketa internasional yang para pihaknya adalah negara, bagian dari negara, organisasi internasional, perusahaan multi nasional, pihak privat atau individu. Ini berbeda dengan MI, yang para pihak yang bersengketa hanya mencakup negara saja. Dengan kata lain, semua negara di dunia dapat membawa sengketa mereka baik ke MI atau PCA, apabila tahapan penyelesaian sengketa secara diplomatic sudah dilakukan dan tidak membuahkan hasil.160
Filipina telah melampaui tahapan negosiasi melalui Deklarasi China - ASEAN tahun 2002, dan tampaknya sudah lebih dari satu decade belum menampakkan hasil yang jelas atas hak berdaulatnya di wilayah perairan
159 Op.Cit Adolf, Huala. Arbitrase Komersial Internasional, hal 87
160 Op.Cit Abdurrasyid, H. Priyatna. Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian sengketa (Suatu Pengantar), hal 45
disekitarkepulauan Spratly. kasus ini Filipina mengajukan gugatan tentang hak dankewajiban negara pihak menurut UNCLOS terkait dengan klaim China
‘nine-dashline’, Filipina juga mempertanyakan status ‘maritime features’, yang diklaim kedua pihak, menurut UNCLOS, apakah statusnya bisa disebut sebagai pulau, batu. Tiga status ini mempunyai konsekuensi yang berbeda terhadap pengukuran zona wilayah laut suatu Negara.161
Filipina juga mempertanyakan tindakan China selama ini yang melakukan intervensi atas hak berdaulat dan kebebasan Filipina dalam mengelola sumber daya alam di wilayah perairan Filipina, dan kegiatan penangkapanikan kapal-kapal China yang membahayakan lingkungan hidup.
Filipina juga meminta keadilan atas tindakan tertentu China, yaitu reklamasi besar-besaran dan pembangunan pulau buatan di kepulauan Spartly.162
Atas gugatan Filipina ini, pada 12 Juli 2016 PCA telah memutuskan bahwa klaim ‘nine-dash line’ tidak sah karena tidakmempunyai dasar hukum, dan Scarborough Shoal merupakan traditional fishingground bagi Filipina (bangsa Filipina), atau dengan kata lain Filipina memenangkan sengketa ini dan meminta pemerintah China mematuhi hukum internasional. Atas putusan ini, banyak negara berharap dua pihak yang bersengketa, khususnya China mematuhinya.163
161 Op. Cit Adi Nugroho, Susanti. Penyelesaian Sengketa Arbitrase dan Penerapan Hukumnya, hal 76
162 https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt56d6a120b03b3/alternatif- penyelesaian-sengketa-secara-online/ diakses 27 Januari 2020
163 Adolf, Huala, Op.Cit, hal 87
Terkait dengan putusan PCA ini hendaknya negara-negara mendukung masing-masing pihak supaya saling menahan diri untuk tidak terlibat, dan mengingat komplesitas sengketa dan banyaknya negara yang wilayah perairannya over lapping, maka wilayah perairan Laut China Selatan sebaiknya ditetapkan sebagai wilayah laut bersama yang dilindungi sehingga pengelolaannya dapat dilakukan secara bersama-sama dengan koordinasi PBB.
Dengan demikian tujuan pokok dari hukum internasional untuk selalu menjaga dan menjamin perdamaian dan keamanan duniadapat dicapai.
Hakim di pengadilan ini mendasarkan putusan mereka pada Konvensi PBB tentang UNCLOS, yang ditandatangani baik oleh pemerintah China maupun Filipina. Keputusan ini bersifat mengikat, namun Mahkamah Arbitrase tak punya kekuatan untuk menerapkannya. Perkara sengketa Laut China Selatan yang ditangani Mahkamah ini didaftarkan secara unilateral oleh pemerintah Republik Filipina untuk menguji keabsahan klaim China antara lain berdasarkan UNCLOS tahun 1982.164
China mengklaim gugus kepulauan di kawasan LCS berdasarkan peta sepihak tahun 1947, di mana peta tersebut mencakup hampir seluruh kawasan termasuk Kepulauan Spratley di dalamnya dengan ditandai garis-garis merah (the nine dash line). Sebaliknya Filipina menyatakan bahwa kawasan yang diketahui kaya cadangan minyak dan gas bumi itu adalah wilayahnya.
Kepulauan Spratley dan perairan sekitarnya juga berada dalam ZEE, berada dalam radius 200 mil laut sebagaimana diatur dalam UNCLOS 1982.
164 Menanggapi Klaim Terbaru Beijing Terhadap Laut Cina Selatan” dalam https://id- id.facebook.com/notes/moeldoko/menanggapi-klaim-terbaru-beijing-terhadap-laut-cina- selatan/444020405744606/, Diakses 18 Agustus 2021
C. Implikasi Hukum Pasca Putusan Permanent Court Of Arbitration
Hukum internasional dikenal beberapa sumber hukum yang dapat dirujuk yakni yang ada di dalam Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional, hukum internasional sebagai pedoman global dalam mengatur tingkah laku dan perbuatan negara-negara, organisasi-organisasi internasional dan sejensinya, secara tegas menyandarkan dirinya pada sumber hukum internasional. Sumber hukum internasional dapat didefinisikan sebagai bahanbahan aktual yang digunakan para ahli hukum internasional untuk menetapkan suatu hukum yang berlaku pada peristiwa atau kejadian tertentu.
Adapun sumber hukum internasional yang dimaksud di dalam pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional adalah sebagai berikut, The Court, whose function is to decide in accordance with international law such disputes as are submitted to it, shall apply.165
a. International conventions, whether general or particular, establishing rules expressly recognized by the contesting states;
b. International custom, as evidence of a general practice accepted as law;
c. The general principles of law recognized by civilized nations;
d. Subject to the provisions of Article 59, judicial decisions and the teachings of the most highly qualified publicists of the various nations, as subsidiary means for the determination of rules of law.
Salah satu sumber hukum yang erat dengan artikel ini adalah putusan badan peradilan. Putusan badan peradilan dapat dikemukakan untuk membuktikan adanya kaidah hukum internasional mengenai suatu persoalan yang didasarkan atas perjanjian internasional, hukum kebiasaan, dan prinsip
165 Lew, Julian D.M. Applicable Law in International Commercial Arbitration. 1978.
Oceana Publications, hal 87
hukum umum. Putusan badan-badan peradilan mencakup seluruh putusan badan peradilan. Jadi tidak hanya terbatas pada putusan-putusan badan peradilan internasional saja seperti putusan Mahkamah Internasional, putusan badanbadan arbitrase internasional maupun putusan Mahkamah Hak Asasi Manusia dan putusan badan-badan peradilan internasional yang lainya, melainkan termasuk pula di dalamnya, putusan badan-badan peradilan nasional negaranegara, badan arbitrase nasional maupun badan-badan peradilan nasional lainnya yang mungkin ada di dalam suatu negara.Terhadap putusan badan peradilan internasional, ditegaskan di dalam pasal 59 Statuta Mahkamah Internasional bahwa: The decision of the Court has no binding force except between the parties and in respect of that particular case.166
Meskipun putusan badan-badan peradilan itu hanya berlaku dan mengikat bagi para pihak yang berperkara, namun seringkali nilai hukum yang dikandung di dalamnya dapat berlaku menjadi hukum yang berlaku umum.
Putusan badan peradilan internasional juga ada yang merupakan pengukuhan atas norma hukum internasional baru. Isi, jiwa, dan semangat yang terkadung di dalam putusan itu kemudian diikuti oleh negara-negara dalam praktik dan ada pula yang diundangkan di dalam peraturan perundang-undangan nasionalnya. Sehingga putusan badan peradilan internasional yang semula hanya berlaku bagi para pihak yang berperkara saja, seiring dengan
166 https://www.djkn.kemenkeu.go.id/kpknl-manado/baca-artikel/13628/Arbitrase- Dan-Alternatif-Penyelesaian-Sengketa.html
perkembangan zaman menjadi norma hukum internasional yang berlaku umum.167
Putusan Badan Arbitrase Internasional termasuk ke dalam golongan sumber hukum ini, maka putusan dari PCA juga merupakan suatu sumber hukum yang harus dipatuhi oleh masyarakat internasional khususnya bagi negara yang berperkara. Khusus dalam sengketa LCS ini, PCA menggunakan Konvensi Hukum Laut 1982 di dalam menangani sengketa ini. Terkait dengan implikasi hukum maka dapat melihat pasal 11 Lampiran VII Konvensi Hukum Laut 1982 yang berbunyi, “The award shall be final and without appeal, unless the parties to the dispute have agreed in advance to an appellate procedure. It shall be complied with by the parties to the dispute” 168.
Pasal tersebut terdapat frasa final and without appeal yang berarti bahwa putusan arbitrase tidak dapat diajukan banding, kasasi, atau peninjauan kembali. Hal ini berarti tidak ada upaya hukum lain terhadap putusan arbitrase yang telah diputuskan oleh lembaga arbitrase. Selanjutnya dari pasal tersebut juga dapat dikatakan bahwa kedua pihak baik Filipina maupun China wajib untuk menyelesaikan sengketa secara damai dan mematuhi Konvensi Hukum Laut 1982 dan putusan dari PCA dalam sengketa LCS dengan itikad baik.
Terlebih kedua negara baik Filipina maupun china merupakan negara pihak dari Konvensi Hukum Laut 1982.169
167 Adolf, Huala. Arbitrase Komersial InternasionalJakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2002. hal 98
168 https://www.antaranews.com/berita/2257390/pengerahan-milisi-laut-dalam- sengketa-di-laut-china-selatan Diakses 18 Agustus 2021
169 https://repository.uin-suska.ac.id/16657/7/7.%20BAB%20II_2018384PMI.pdf Diakses 18 Agustus 2021
Prinsip itikad baik berarti bahwa para pihak harus melaksanakan ketentuan perjanjian sesuai dengan isi, jiwa, maksud, dan tujuan perjanjian itu sendiri, menghormati hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari masing-masing pihak maupun pihak ketiga yang mungkin diberikan hak dan atau kewajiban dan tidak melakukan tindakan-tindakan yang dapat menghambat usaha-usaha mencapai maksud dan tujuan perjanjian itu sendiri,baik sebelum berlaku atau ketika para pihak dalam proses penantian akan multi berlakunya perjanjian atau juga setelah perjanjian berlaku.170
Khusus bagi China yang secara konsisten menolak untuk mengakui putusan PCA tersebut maka hal tersebut dapat dibantah dengan pasal 9 Lampiran VII Konvensi Hukum Laut 1982 bahwa, “If one of the parties to the dispute does not appear before the arbitral tribunal or fails to defend its case, the other party may request the tribunal to continue the proceedings and to make its award. Absence of a party or failure of a party to defend its case shall not constitute a bar to the proceedings. Before making its award, the arbitral tribunal must satisfy itself not only that it has jurisdiction over the dispute but also that the claim is well founded in fact and law”.
Pasal di atas telah jelas bahwa ketidakhadiran salah satu pihak tidak menghalangi proses dari arbitrase tersebut asalkan arbitrase yang bersangkutan memiliki yurisdiksi untuk memeriksa sengketa. Dalam hal ini, PCA memiliki yurisdiksi untuk memeriksa sengketa LCS. Suatu negara baik yang sedang bersengketa ataukah tidak memiliki kewajiban untuk taat kepada hukum
170 Fouchard. Gaillard, Goldman. International Commercial Arbitration. The Hague. . 1999, hal 67
internasional. Untuk menumbuhkan ketaatan negara pada hukum internasional, terdapat dua alternatif yang diberikan oleh Chayes. Pertama melalui enforcement mechanism yang menerapkan banyak sanksi seperti sanksi ekonomi, sanksi keanggotaan sampai ke sanksi unilateral.171
Terhadap mekanisme pertama ini Chayes berhasil menyimpulkan bahwa penerapan mekanisme ini tidak efektif, membutuhkan biaya tinggi, dapat menimbulkan masalah legitimasi dan justru banyak menemui kegagalan.
Alternatif kedua yang ditawarkan Chayes adalah management model, “dimana ketaatan tidak dipacu oleh berbagai kekerasan atau sanksi tetapi melalui model kerjasama dalam ketaatan, yaitu melalui proses interaksi dalam justification, discourse and persuasion”.
Kedaulatan tidak lagi bisa ditafsirkan bebas dari intervensi eksternal, akan tetapi menjadi sebuah kebebasan untuk melakukan hubungan internasional sebagai masyarakat internasional. Dengan demikian kedaulatan yang baru ini tidak hanya terdiri dari kontrol wilayah atau otonomi pemerintah tetapi juga pengakuan status sebagai anggota masyarakat bangsa- bangsa.
Ketaatan pada hukum internaisonal tidak lagi semata karena takut akan sanksi tetapi lebih pada kekhawatiran pengurangan status melalui hilangnya reputasi sebagai anggota masyarakat bangsa-bangsa yang baik.172
Pelanggaran suatu negara terhadap hukum internasional ini merupakan suatu kelalaian suatu negara yang sangat serius. Perbuatan tersebut mengurangi kepercayaan negara-negara terhadap negara tersebut, terutama dalam hal
171 http://e-journal.uajy.ac.id/16812/3/HK117852.pdf Diakses 18 Agustus 2021
172 Goldsworthy, Peter J. Interim Measures of Protection in the International Court of Justice. 1974, hal 87
mengadakan perjanjian dengannya di kemudian hari. Pelanggaran seperti ini dapat pula dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap prinsip pacta sunt servanda dalam hukum internasional. Oleh karena itu terkait putusan PCA dalam sengketa LCS, maka China harus menghormati putusan tersebut karena sudah menjadi sumber hukum internasional. Apabila suatu negara menaati hukum internasional maka masyarakat internasional akan merasakan ketertiban, keteraturan, keadilan, dan kedamaian. Sebaliknya apabila Tiongkok tetap konsisten untuk menolak mematuhi putusan PCA dan terus melakukan agresivitas di kawasan LCS maka akan terjadi instabilitas kawasan yang bisa saja berujung pada konflik terbuka.173
Pematuhan terkait dengan penyelesaian sengketa juga menjadi salah satu poin putusan yang dikemukakan pihak PCA, hal ini telah penulis jelaskan pada poin sebelumnya bahwa,
The Tribunal considers it beyond dispute that both Parties are obliged to comply with the Convention, including its provisions regarding the resolution of disputes, and to respect the rights and freedoms of other States under the Convention. Neither Party contests this, and the Tribunal is therefore not persuaded that it is necessary or appropriate for it to make any further declaration”. “Putusan PCA memang bersifat final and binding, akan tetapi di dalam Lampiran VII Konvensi Hukum Laut 1982 tidak ada ketentuan mengenai pelaksanaan putusan, dalam kata lain PCA tidak memiliki kekuatan untuk melakukan pemaksaan sehingga akhirnya kembali lagi ke itikad baik para pihak untuk melaksanakan putusan tersebut”.
Terkait dengan penegakan hukum maka banyak bergantung pada Filipina, apa sekarang siap untuk tegas terhadap china didasarkan pada tanggapan china yang menolak hasil putusan PCA. Terhadap implikasinya
173 Lew, Julian D.M. Applicable Law in International Commercial Arbitration.
Oceana Publications. 1978, hal 89
dengan negara-negara yang berkepentingan di sekitar kawasan LCS, putusan PCA terkait sengketa LCS merupakan klarifikasi atau interpretasi PCA terhadap Konvensi Hukum Laut 1982 sehingga dapat menjadi sumber hukum yang berlaku umum atau mengikat semua negara. Intrepetasi ini sebenarnya dapat memudahkan para pihak yang bersengketa di LCS untuk merundingkan klaim mereka masing-masing.174
Interpretasi PCA mengenai nine dash line yang tidak memiliki dasar dan bertentangan dengan Konvensi Hukum Laut 1982 bisa digunakan oleh negara negara di sekitar kawasan LCS apabila china kembali melanggar kedaulatan negara lain. Putusan PCA tersebut dapat dijadikan sarana untuk memperlemah argumen China. PCA juga menemukan fakta bahwa tidak ada fitur laut yang diklaim oleh china yang mampu menghasilkan apa yang disebut ZEE yang memberikan negara hak berdaulat untuk sumber daya, seperti perikanan, minyak, dan gas dalam 200 mil laut. Dampaknya, negara-negara di kawasan LCS dapat mengetahui seberapa besar klaim wilayah mereka di kawasan tersebut. Putusan ini juga akan berguna dan dirujuk oleh negara- negara dalam praktiknya maupun oleh putusan lembaga ajudikasi di masa mendatang. Negara-negara di sekitar kawasan LCS harus bisa secara konsisten mendukung pentingnya penegakan hukum dan penggunaan cara damai, bukan kekerasan, dalam mencari penyelesaian perselisihan maritim. Karena sifat putusan yang final dan mengsssikat, masyarakat interansional dapat mendorong Filipina dan China untuk mematuhi putusan PCA.
174 Rubino, Mauro dsan Sammartano. International Arbitration Law and Practice, Oceana Publications. 1978, hal 99