Praktek akad musaqah kooperatif yang dilakukan masyarakat di Kecamatan Katomporang antara pemilik kebun dan petani penggarap, pada umumnya masih berdasarkan adat istiadat setempat yang telah lama dianut oleh warga setempat. Bentuk kerjasama dalam akad musaqah ini biasanya terjadi antara pemilik perkebunan dengan penggarap karena salah satu pihak menawarkan dirinya, baik petani penggarap menawarkan jasanya maupun pemilik perkebunan bersedia menggarap kebunnya. Diketahui, Masu yang berusia 60 tahun selaku pemilik perkebunan Salak menjadi faktor pendorong dirinya ikut akad musaqah karena usianya yang sudah lanjut dan sudah tiada.
Informasi yang disampaikan kedua belah pihak antara pemilik perkebunan tebu dan pekebun tebu, dari pernyataan di atas inilah yang mendorong mereka untuk mau bekerjasama untuk membuat akad musaka. Masyarakat di Desa Katomporang, ketika melaksanakan akad musaqah, biasanya pemilik tanaman dan pemegang saham mengadakan rapat. Masu selaku pemilik perkebunan salaku berbicara langsung dengan petani yaitu Ibu Salawati untuk menggarap perkebunan salaku miliknya yang luasnya sekitar 20 hektar.
Perjanjian bagi hasil yang dilakukan oleh masyarakat di Desa Katomporang mengatur bahwa hasil panen berada di antara pemilik kebun dan petani penggarap, dengan dibagi dua (2), setelah dikurangi biaya-biaya yang digunakan untuk mengelola kebun. Perjanjian bagi hasil antara pemilik perkebunan dan petani bagi hasil didasarkan pada persetujuan kedua belah pihak. Hal serupa juga disampaikan oleh pemilik perkebunan yakni pemilik perkebunan salak karena pendistribusian hasilnya dilakukan setelah panen.
Berdasarkan ungkapan di atas, ada faktor yang melatarbelakangi mereka mengadakan akad musaqah antara pemilik perkebunan dan penggarap karena masing-masing pihak saling membutuhkan. Informasi pemeliharaan pemilik kebun tidak memberikan batasan waktu dalam menggarap kebun, petani penggarap menggarap kebun hingga pemilik kebun hendak mengambil kembali kebun tersebut. Seperti yang disampaikan oleh Bpk. Sattu menuturkan, dirinya disuruh pemilik perkebunan untuk menggarap perkebunan pisang tersebut selama 2 tahun.
Hasil setelah panen saya bagi dan setelah penjualan saya bagi dua (2) kepada pemilik kebun. Bentuk kerjasama dalam akad musaqah ini terjadi karena salah satu pihak menawarkan diri, baik dari pihak penggarap yang menawarkan jasanya maupun dari pemilik perkebunan yang bersedia menggarap kebunnya. Proses pelaksanaan akad musaqah terjadi ketika pemilik perkebunan mencari dan menawarkan kepada seorang petani untuk mengelola atau menggarap perkebunan jagung miliknya.
Pernyataan Ibu Salasia yang berusia 48 tahun sebagai pemilik perkebunan jagung menyebutkan bahwa jenis perjanjian yang dilakukan adalah pertemuan lisan langsung dengan penggarap. Terdapat pendapat dari petani penggarap mengenai pelaksanaan akad musaqah yang dibuat dengan pemilik perkebunan. Pemilik kebun menawari saya untuk mengelola kebun gandumnya. Saya telah mengerjakan kebun ini selama 5 tahun dan saya hanya mengerjakan kebun gandum.
Informasi yang diberikan oleh Ibu Diana, pembagian keuntungan dilakukan setiap selesai panen, dibagi tiga dengan pemilik kebun.
Relevansi Pendapat Mazhab Syafi’i dengan Praktik Akad Musaqah Petani Kebun di Kelurahan Katomporang Kabupaten Pinrang
Relevansi Pendapat Madzhab Syafi'i dengan Praktek Akad Musaqah Bagi Petani Kebun di Desa Katomporang Kabupaten Pinrang. Berdasarkan penjelasan dari segi manfaatnya, pendapat Mazhab Syafi’i relevan untuk praktik akad musakat di desa Katomporang. Pendapat mazhab Syafi’i adalah rukun yang pertama dalam mengadakan akad musakah adalah ada dua pihak yaitu pemilik dan penggarap dengan syarat kedua belah pihak berakal budi dan beritikad baik.
Menurut Mazhab Syafi’i, ijab dan qabul dalam akad musaqah harus dinyatakan secara lisan (langsung) bagi yang mampu berbicara. Berdasarkan pendapat Madzhab Syafi’i, praktek akad musaqah pada petani kebun di desa Katomporang sesuai dengan pendapat Madzhab Syafi’i. Hal ini terlihat dari hasil penelitian penulis bahwa pemilik dan penggarap bertemu untuk melaksanakan akad musaqah. Karena akad musaqah menurut mazhab Syafi'i merupakan akad yang berstatus laazim (mengikat), maka wajib menentukan jangka waktu yang sama dengan akad ijarah.
Namun dalam akad musaqah yang dilakukan masyarakat Desa Katomporang tidak disebutkan berapa lama mereka harus menggarap kebun tersebut. Tentu saja hal ini bertentangan dengan pendapat Madzhab Syafi'i yang mengharuskan diketahui jangka waktu persiapannya, jika tidak ditentukan maka akad musaqah menurut Mazhab Syafi'i tidak sah. Berdasarkan syarat-syarat yang ditetapkan oleh mazhab Syafi’i terdapat syarat-syarat yang tidak sesuai dengan praktek akad musaqah yang dilakukan oleh masyarakat Katomporang.
Mazhab Syafi'i mensyaratkan bahwa akad Musakah harus dikukuhkan dengan menentukan jangka waktu pelaksanaannya.Akad Musakah tidak sah bila tidak ada jangka waktu yang ditentukan. Namun dalam praktik Akad Musaqah yang dilakukan masyarakat Katomporang, pemilik tidak menetapkan batasan waktu dalam bekerja di kebun. Sedangkan di wilayah Desa Katomporang, pelaksanaan akad musaka tidak ada batasan waktu yang ditentukan, hal ini sesuai dengan adat istiadat setempat.
Kerja sama akad musaqah yang dilakukan oleh masyarakat Katomporang didasarkan pada kesepakatan kedua belah pihak yaitu pemilik dan penggarap. Akad bagi hasil Mazhab Syafi'i dengan amalan akad Musaqah bagi tukang kebun di masyarakat Katomporang adalah tepat karena menurut pendapat Mazhab Syafi'i jika tidak diketahui besarnya masing-masing bagian. maka akad musaqahnya batal. Analisis penulis menunjukkan bahwa relevansi pendapat mazhab Syafi’i dengan pelaksanaan akad musaqah bagi tukang kebun di Desa Katomporang Kabupaten Pinrang terdapat kondisi yang tidak sesuai dengan pendapat mazhab Syafi’i yaitu bahwa pemilik perkebunan pada saat melakukan kerjasama akad musaqah tidak menentukan jangka waktu pengelolaan perkebunan.
Secara umum pendapat Mazhab Syafi’i terhadap praktik akad musaqah di Desa Katomporang relevan dan sesuai syariah. Hal ini disebabkan adanya pendapat mazhab Syafi’i yang mengamalkan akad musaqah disesuaikan dengan adat istiadat daerah masing-masing.