BAB 4
PENDEKATAN DAN MEETODOLOGI PEKERJAAN
4.1. Pendekatan
Pekerjaan Penyusunan Studi Kelayakan (Feasibility Study) dan Basic Design Engineering (BED) Kota Bandung, Kota Depok, Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Cianjur dilaksanakan menggunakan pendekatan dan metodologi yang ditentukan berdasarkan teori dari kajian literatur, sehingga dapat terpenuhi tujuan dan sasaran yang dimaksud dalam Kerangka Acuan Kerja (KAK). Kegiatan ini dilakukan sebagai salah satu upaya peningkatan pengelolaan sampah, melalui perencanaan FS dan BED TPST, sehingga operasional TPST dapat diterapkan secara komprehensif, efisien, efektif, ramah lingkungan serta dapat berkelanjutan.
a. Pendekatan Teknis
Pekerjaan Studi Kelayakan (Feasibility Study) dan Basic Design Engineering (BED) Kota Bandung, Kota Depok, Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Cianjur dilakukan dengan pendekatan secara teknis, dimana perencanaan dilakukan sesuai dengan kaidah-kaidah teknis (norma, standar, pedoman, dan manual) yang relevan, sehingga diharapkan dapat tercapai desain yang konsisten dengan kaidah yang berlaku.
b. Pendekatan Koordinatif
Pendekatan koordinatif dalam pelaksanaan pekerjaan Penyusunan Studi Kelayakan (Feasibility Study) dan Basic Design Engineering (BED) Kota Bandung, Kota Depok, Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Cianjur ini merupakan koordinasi yang dilakukan dengan berbagai instansi terkait dan semua pihak terkait untuk pengumpulan data, informasi dan studi-studi terdahulu yang menunjang pelaksanaan pekerjaan, sehingga diperoleh data yang komprehensif dan akurat sesuai kondisi di lapangan. Beberapa instansi terkait yang terlibat dalam pendekatan koordinatif pekerjaan ini adalah:
BPPW Provinsi Jawa Barat
Dinas Lingkungan Hidup Kota Bandung, Kota Depok, Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Cianjur;
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Bandung, Kota Depok, Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Cianjur;
Semua pihak yang terlibat dalam pengumpulan informasi terkait dengan rencana kegiatan ini.
4.2. Metodologi
Metodologi dalam pelaksanaan kegiatan ini terdiri dari:
4.1..1. Tahap Pendahuluan meliputi kegiatan:
a. Penyusunan Rencana Mutu Kegiatan b. Persiapan kantor, alat dan Personil c. Koordinasi dengan instansi terkait, d. Administrasi perijinan.
4.1..2. Tahap Pengumpulan Data
Pengumpulan sekunder yang berhubungan dengan kegiatan Perencanaan Pembangunan TPST baik data lapangan maupun literatur terkait.
a. Survei kondisi eksisting lokasi TPST (aksesibilitas, kondisi fisik lahan, jarak permukiman terdekat dan rencana wilayah pelayanan, keberadaan kegiatan sekitarnya, status kepemilikan lahan). Studi literatur bertujuan untuk mencari informasi-informasi yang diperlukan selama penelitian berlangsung. Hal ini diperlukan untuk memperlancar penelitian agar berhasil dengan baik. Studi literatur ini dapat diperoleh dari buku (text book, chapter book), SNI, jurnal, prosiding, seminar, laporan tugas akhir, tesis, disertasi, dan lain-lain yang terkait dengan studi ini. Studi literatur dilaksanakan sepanjang waktu kegiatan ini.
Pengambilan Data Pengumpulan data adalah prosedur sistematis untuk memperoleh data yang diperlukan. Data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder. Data yang terkumpul digunakan untuk menganalisis permasalahan yang telah dirumuskan. Data dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu data primer dan data sekunder
Data Sekunder
Kegiatan identifikasi data sekunder dimaksudkan untuk inventarisasi data instansional yang meliputi:
1. Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kota Bandung, Kota Depok, Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Cianjur
2. Gambaran umum wilayah Kota Bandung, Kota Depok, Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Cianjur, antara lain meliputi: wilayah administrasi, kondisi geografis, topografi, hidrologi, kondisi sosial (demografi, sosial ekonomi dan kondisi sosial budaya), dan jaringan infrastruktur.
3. Studi sejenis tentang persampahan yang pernah dilakukan.
4. Data tentang lokasi dan kapasitas Tempat Pembuangan Sementara (TPS), angkutan persampahan dan Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) sampah dari dinas terkait.
5. Struktur organisasi dan kelembagaan : - Dinas-dinas terkait yang mengelola.
- Kelompok swadaya masyarakat.
6. Kebijakan perundang-undangan, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri, Peraturan Daerah maupun berbagai Kebijakan Nasional mengenai pengelolaan persampahan.
7. Dokumen Strategi Sanitasi Kota Bandung, Kota Depok, Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Cianjur tahun 2022.
Data Primer
Pengambilan data primer dilakukan pada kegiatan survei lapangan, pengukuran langsung dan pengambilan sampel. Meliputi kegiatan sebagai berikut:
A. Survey Pemetaan Situasi dan Topografi
Survey Kondisi fisik Lokasi Rencana TPST, meliputi :
- Pengukuran Topografi Dilakukan pengukuran topografi (interval 0,5 m) pada calon lokasi TPST. Hasil pengukuran kemudian dikembangkan pada peta topografi dengan kontur ketinggian tanah, sampah dan fasilitas yang ada saat ini.
Maksud dan tujuan survey topografi adalah untuk mengetahui pola topografi secara detail fasilitas pengelolaan sampah yang harus dipetakan. Hal ini sangat dibutuhkan untuk menyusun rencana teknis rinci, menyusun rencana tapak (siteplan) dan rencana teknis pembangunan fasilitas operasional dan yang dibutuhkan dalam kerangka perluasan.
1. Peta Dasar Sebagai Peta Dasar dipakai peta topografi dalam skala 1 : 50.000 dari Bakosurtanal (proyeksi UTM).
2. Pengukuran Pengikatan apabila di lokasi pekerjaan sudah ada titik referensi berupa benchmark, maka untuk penambahan benchmark baru diikat terhadap titik referensi tersebut. Titik referensi yang dipergunakan adalah koordinat atau elevasi dari benchmark yang berada di sekitar lokasi pengukuran misalnya titik triangulasi NWP atau BM lainnya atas persetujuan direksi.
Pemasangan Patok Kayu
Bentuk dan ukuran Patok
Pemasangan patok ditempatkan pada jalur kerangka dan dipasang sepanjang lahan TPA dengan interval jarak 50 m untuk trase yang lurus dan 25 m pada trase yang berbelok (detail desain), serta 100 m untuk trase yang lurus dan 50 m pada daerah kritis (studi kelayakan).
Patok kayu yang dipasang berukuran diameter 5 cm x 60 cm.
Patok kayu dipasang di lokasi yang aman dan stabil, dan bagian atas yang muncul + 20 cm di permukaan.
Untuk titik centring dipasang paku seng.
Bagian atas patok dicat warna merah dengan tulisan warna hitam untuk membedakannya dengan patok yang dipasang pihak lain.
Pemberian simbol (nama) patok diberi simbol a, b, c dan seterusnya.
Pembuatan Diskripsi BM
Bentuk formulir dan cara pengisian dibuat sesuai format yang telah ditentukan.
Sketsa lokasi dan keterangan letak BM/CP, dibuat sejelas mungkin untuk memudahkan dalam pencarian BM/CP dikemudian hari.
Foto BM/CP dibuat dalam posisi close-up dan posisi penampakan daerah sekitarnya. Pemotretan diusahakan dibuat sedemikian rupa, agar nomor BM/CP dan keterangan yang diperlukan tampak jelas pada foto. • Foto, sketsa data koordinat (X,Y), data elevasi (z) dan keterangan lokasi BM/CP dicantumkan pula dalam format standar tersebut
Pengukuran Poligon
• Awal pengukuran dimulai pada titik awal proyek, yaitu dari BM yang dipasang baru, jika sudah ada BM yang lama dapat juga dipakai. Titik referensi yang digunakan adalah titik atau koordinat yang ada di sekitar lokasi pengukuran, untuk selanjutnya pengukuran akan diikatkan dengan titik tetap (BM) yang sudah ada tersebut, seperti misalnya BM-TTG, BM-NWP atau BM lainnya dalam sistem proyeksi UTM.
• Jalur poligon kerangka membentuk jaringan poligon/rangkaian segitiga dan jalur ukur melalui titik referensi yang telah ditetapkan, hal ini untuk memudahkan dalam memberikan koreksi hitungan.
• Sudut horizontal dan miring diukur dengan Theodolith T2 (ketelitian bacaan satu second) dengan pembacaan sudut dua seri lengkap (B-LB-LB-B).
• Untuk mengupas secara jelas dalam pelaksanaan pengukuran Poligon akan diuraikan secara terperinci untuk tiap pekerjaan yang tercakup dalam pengukuran Poligon, yaitu :
Pengamatan matahari.
Pengukuran jarak.
Pengukuran sudut horizontal
Pengukuran jarak akan dilakukan dengan alat ukur jarak elektronik (EDM) dengan pembacaan ke muka dan ke belakang, sehingga jarak yang digunakan dalam hitungan poligon adalah :
Keterangan :
D t1-t2 = jarak datar bacaan ke muka D t2-t1 = jarak datar bacaan ke belakang
D t1-t2 = jarak yang digunakan dalam hitungan poligon.
Jalur Poligon adalah merupakan kerangka dasar horizontal dari pemetaan situasi. Untuk pelaksanaannya, rencana jalur poligon ini akan dibuat di atas peta dasar skala 1 : 2.000.
Pengukuran Sudut Horizontal Untuk Poligon, pengukuran sudut horizontal akan dilakukan dengan alat ukur Theodolith Wild T-2 / TM-1A (ketelitian bacaan satu detik) dan pembacaan arah dilakukan dengan cara dua seri lengkap (B-LB-LB- B), serta besarnya sudut akan langsung dihitung di lokasi untuk dicocokkan
dengan keadaan sebenarnya di lapangan.Target bidikan dalam pengukuran sudut akan digunakan target segitiga dengan centring optis (bersatu dengan reflector untuk pengukuran jarak yang menggunakan alat ukur jarak elektronik/EDM Sokhisa RED-1) dengan pembacaan ke muka dan ke belakang, sehingga jarak yang digunakan dalam hitungan poligon adalah :
Keterangan :
- D t1-t2 = jarak datar bacaan ke muka - D t2-t1 = jarak datar bacaan ke belakang
- D t1-t2 = jarak yang digunakan dalam hitungan poligon.
Untuk kontrol bacaan sudut akan dilakukan dengan memeriksa bacaan arah dalam keadaan biasa dan luar biasa, serta harus berselisih 180 derajat.
Pengamatan azimuth matahari dilakukan pada setiap titik simpul dan tiap 2,5 km digunakan untuk kontrol ketelitian pembacaan sudut. Perbedaan sudut horizontal hasil bacaan biasa (’) dan luar biasa (”) diusahakan harus < 2 detik. Sudut yang dipakai dalam hitungan poligon adalah:
Kontrol ketelitian pengamatan sudut antara satu pengamatan ke pengamatan lain.
Maksimal untuk tiap 2,5 km dilakukan pengamatan azimuth matahari, sehingga pengamatan sudut dapat dikontrol.
• jika f < 10”n, dapat disimpulkan bahwa pengamatan sudut antara kedua pengamatan matahari, dinyatakan baik. • jika f > 10”n, dapat disimpulkan bahwa pengamatan sudut antara kedua pengamatan matahari, harus diulang. Hitungan azimuth matahari dilakukan sesegera mungkin untuk mengetahui ketelitian bacaan sudut pada titik di antara dua pengamatan dalam keadaan biasa dan luar biasa.
Jika ketelitian bacaan sudut diluar toleransi, akan dilakukan pengukuran ulang pada jalur antara kedua pengamatan tersebut. Hitungan salah penutup sudut dilakukan di lapangan untuk mengetahui ketelitian bacaan sudut. Jika ketelitian bacaan sudut antara pengamatan ke pengamatan telah masuk toleransi, maka umumnya ketelitian bacaan sudut akan masuk toleransi.Ketelitian bacaan sudut untuk poligon :
keterangan : n = jumlah titik poligon f = salah penutup sudut Semua hasil bacaan direduksi ke sistem proyeksi polyder, karena peta yang dibuat dalam sistem
proyeksi polyder. Pengukuran Jarak Pengukuran akan dilakukan dengan alat ukur jarak elektronik (EDM) Sokhisa RED-1 dengan pembacaan ke muka dan kebelakang, sehingga jarak yang digunakan dalam hitungan poligon adalah
Keterangan :
D t1-t2 = jarak datar bacaan ke muka
D t2-t1 = jarak datar bacaan ke belakang
D t1-t2 = jarak yang digunakan dalam hitungan poligon.
Dalam pelaksanaannya, pengukuran jarak ini akan dilakukan bersamaan dengan pengukuran sudut horizontal, karena alatnya digabungkan dengan alat ukur T2/TM-1A. Alat EDM akan dilengkapi juga dengan alat thermo-meter dan barometer, hal ini diperlukan untuk menentukan koreksi refraksi, karena pengaruh temperatur dan tekanan. Pengukuran jarak akan dilakukan secara pergi dan pulang dengan tiap bacaan minimal 2 (dua) kali. Jika jarak diukur dengan pita ukur baja, maka diukur dengan dua kali pengukuran (pergi pulang) dan dikontrol dengan pengukuran jarak optis. Hasil ketelitian jarak yang dicapai akan diusahakan tidak melebihi dari 1 : 5.000.
Pengukuran Waterpass Jalur waterpass mengikuti jalur poligon dan melalui titik referensi. Mengingat persyaratan ketelitian yang diminta di dalam KAK/TOR, maka agar didapat hasil yang baik dan memenuhi persyaratan tersebut. 6. Pengukuran Titik Detail Pengukuran situasi detail dimaksudkan untuk mendapatkan posisi, baik horizontal maupun vertikal dari setiap permukaan topografi yang ada.
Pengambilan detail dilakukan terhadap setiap permukaan tanah dan setiap perbedaan terain yang cukup menyolok (lebih dari 1,0 m).
Data yang dicatat dari setiap bidikan titik detail untuk situasi adalah :
• Sudut horizontal/arah/azimuth (untuk ploting detail).
• Sudut vertikal (untuk hitungan beda tinggi).
• jarak optis Dalam pengukuran detail situasi perlu diperhatikan untuk pengambilan detail :
• Bangunan irigasi dan saluran yang ada.
• Jalan negara, jalan desa, jalan setapak, sungai dan arahnya, dll.
• Batas desa, batas vegetasi yang berupa sawah, ladang, tegal, kebun, hutan,
• Pengukuran Penampang Memanjang
• Pengukuran Penampang Melintang
• Perlengkapan dan peralatan 10. Perhitungan dan penggambaran B. Survei penyelidikan tanah (Geoteknik dan Mekanika Tanah)
Data Mekanika Tanah Penyelidikan tanah di calon lokasi TPST dilakukan melalui tes sondir, dan perkolasi pada posisi yang telah ditentukan untuk mendapatkan data teknis tanah guna perencanaan tempat penimbunan sampah.
Tujuan pengujian tanah dengan boring ini adalah untuk mengambil contoh inti dan tanah dan atau batuan sehingga diperoleh data susunan lapisan tanah dibawah permukaan. Hasil dari pemboran inti digambarkan pada suatu drilling log yang antara lain dicantumkan data mengenai deskripsi tanah/batuan, kepadatan/konsistensil kekerasan, core recovery, rock quality designation, letak muka air tanah dan nilai N Blow dan S.P.T. 1. Standart Penetration Test Digunakan untuk mengetahui kepadatan tanah berbutir kasar dan atau konsistensi tanah berbutir halus. Uji Standart Penetration Test (S.PT) akan dilakukan untuk memperoleh harga N - Blow dan contoh tanah yang representatif. Harga N dipakai untuk mengetahui kondisi tanah dalam kaitannya dengan daya dukung tanah untuk keperluan perencanaan pondasi. Apabila harga N-Blow nilainya lebih besar dari 50 pukulan maka uji SPT untuk interval kedalaman berikutnya dihentikan. 2.
Hand Boring Pelaksanaan pekerjaan hand boring mengacu pada standart baku ASTM D. 1452-80, mempunyai tujuan yang sarna dengan pemboran mesin, bedanya target kedalaman lebih dangkal dan prosedurnya teknisnya lebih sederhana yaitu menggunakan bor tangan diputar oleh tenaga manusia. Peralatan yang digunakan berupa stang bor dan mata bor Iwan auger diameter 76 mm sepanjang 40 em, untuk mengambil eontoh tanah tidak terganggu dalam lubang bor. Pengambilan contoh tanah setiap titik sebanyak 2 (dua) tabung. Pemboran dihentikan bila telah meneapai batuan keras hingga 1 (satu) meter. Deskripsi eontoh tanah tidak terganggu secara vertikal digunakan untuk membantu dalam korelasi dengan titik-titik bor dalam. Hasil pemboran tangan ini digambarkan dalam suatu hand boring Log.
Pemasangan dan Pengamatan Piesometer Sumur piesometer dipasang dengan instalasi pipa PVC perforated kedalam lubang pemboran inti dan bor tangan.
Sumur pengamatan atau piesometer di pasang pada beberapa titik pemboran dengan penyebaran merata. Tujuan pengamatan piesometer adalah agar didapatkan data fluktuasi muka air tanah, sehingga diketahui perubahan dan karakteristiknya. Pemasangan pipa PVC dilakukan pada titik-titik bor yang akan diamati muka air tanahnya. Stand pipe piezometer dipasang dengan memasukan pipa perforasi 2 inchi kedalam lubang bor. Pada lubang bor inti, pipa sepanjang 12 meter dimasukan ke lubang bor, pipa perforasi dibagian bawah mulai dari kedalaman 4 meter. Sedangkan pada lubang bor tangan, pipa dimasukan disesuaikan dengan kedalaman lubang bor. Selanjutnya bagian atas lubang bor di semen agar tidak terjadi longsoran atau erosi. 4. Pekerjaan Laboratorium Pekerjaan laboratorium terdiri dari sifat indeks (index properties) dan sifat teknik (engineering properties), Sifat Indeks terdiri dari : kadar air asli, berat jenis, batas atterberg, analisis besar butir dan berat isi. Sifat teknik terdiri dari Triaksial UU.
Uji Sondir:
Sondir-ringan dioperasikan secara manual dengan menggunakan penetrometer tipe Gouda yang berkapasitas tekan 2,5 ton dengan pengangkeran 4 ulir Ø 20 cm – 1 m. Untuk mengukur tahanan konus qc dan hambatan lekat fs dipakai bikonus Begeman yang mempunyai luas penampang 10 cm2 dan luas selubung 110 cm2.
Kecepatan penetrasi sondir diatur ± 2 cm/detik, dan pembacaan qc dan fs setiap interval 20 cm.
Apabila pada beberapa titik yang telah ditentukan, tes sondir sulit dilakukan karena terkendala adanya lapisan sirtu atau tanah yang berbatu, maka sebagai pengganti sondir dilakukan uji penetrasi dengan DCP (Dynamic Cone Penetration) yang tidak memerlukan pengangkeran.
DCP yang dipakai adalah standar, hammer 8 kg jatuh bebas 575 mm pada konus dengan sudut apex 60 dan diameter 20 mm.
C. Survei kondisi pengelolaan sampah eksisting dan Analisis kebutuhan pengembangan pengelolaan sampah
i. Sistem pengelolaan sampah di Kota Bandung, Kota Depok, Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Cianjur (dari pengumpulan sampah di setiap rumah tangga sampai ke TPA).
ii. Kondisi eksisting pengelolaan sampah, yang meliputi :
Kondisi calon lokasi TPST, meliputi :
Legalitas dan status lahan TPST.
Jarak dari permukiman terdekat, dan daerah pelayanan.
Jumlah sampah yang masuk ke TPST
Kondisi lingkungan di sekitar calon lokasi TPST iii. Data sarana dan prasarana Pengelolaan Persampahan meliputi:
Fasilitas umum (misal : jalan masuk, saluran drainase, kantor maupun pagar).
Fasilitas perlindungan lingkungan dan sosial
Fasilitas pengolahan utama (bangunan utama).
Fasilitas penunjang (misal : alat berat, truk, air bersih, bengkel maupun jembatan timbang).
iv. Kondisi pengoperasian di TPA atau TPST Eksisting, meliputi :
Proses pengangkutan sampah di sepanjang jalan masuk.
Proses penuangan sampah di area TPST.
Proses pemadatan sampah.
Kegiatan pemulungan sampah.
D. Survei timbulan dan komposisi sampah
Sampling sampah dan analisis sampah dilakukan di TPS : Komposisi dan timbulan sampah akan dilakukan di wilayah cakupan pelayanan lokasi perencanaan.
Metode yang yang digunakan untuk pengukuran jumlah timbulan dan komposisi sampah menggunakan SNI 19-3964-1994 tentang metode pengambilan dan pengukuran contoh timbulan dan komposisi sampah perkotaan.
a. Lokasi Sampling sampah dilakukan di wilayah perencanaan di Kota Bandung, Kota Depok, Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Cianjur
b. Frekuensi Sampling dilakukan selama 8 hari berturut-turut
c. Jumlah Sampel Sampel sampah yang diperoleh dari pengumpulan d. Peralatan dan Perlengkapan
- Timbangan (0-15) kg.
- Kantong kresek - Sarung tangan - Masker
- Alat pengukur volume, dengan menggunakan bak berukuran 0,2m x 0,2m x 1m yang dilengkapi dengan skala tinggi.
Gambar 4.1 Langkah-langkah Pengambilan dan Pengukuran Contoh Timbulan Sampah
Kemudian hal penting dalam prapelaksanaan pengukuran timbulan dan komposisi sampah yang dapat dilakukan sebagai berikut :
1. Membagikan kantong plastik yang sudah diberi tanda kepada sumber sampah satu hari sebelum pengumpulan.
2. Mencatat jumlah unit masing-masing penghasil sampah.
Mengumpulkan kantong plastik yang sudah terisi sampah.
Mengangkut seluruh kantong plastik ke tempat pengukuran.
Menimbang kotak pengukur.
Menuangkan secara bergiliran ke kotak pengukur.
Menghentakkan 3 kali dengan ketinggian 20 cm ke tanah.
Mengukur dan mencatat volume sampah (Vs).
Menimbang dan mencatat berat sampah (Bs).
Memilah sampah berdasarkan komponen komposisi sampah.
Menimbang dan mencatat berat sampah.
Menghitung komponen komposisi sampah
Komposisi sampah mencakup persentase dari komponen pembentuk sampah yang secara fisik dapat dibedakan antara sampah organik, kertas, plastik, logam, dan lain- lain. Komposisi sampah ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk menentukan pilihan kelayakan pengolahan sampah, khususnya daur ulang dan pembuatan kompos serta kemungkinan penggunaan gas landfill sebagai energi elternatif. Komposisi sampah juga dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya cuaca, musim, frekuensi pengumpulan, tingkat sosial ekonomi, pendapatan perkapita, kemasan produk, dan sebagainya (Darmasetiawan, 2004).
Timbulan sampah adalah banyaknya sampah yang timbul dari masyarakat dalam satuan volume maupun berat per kapita perhari, atau perluas bangunan, atau perpanjang jalan (SNI 19- 2454-2002).
Data timbulan sampah sangat penting diketahui untuk menentukan fasilitas setiap unit pengelolaan sampah dan kapasitasnya, misal fasilitas peralatan, kendaraan pengangkut, fasilitas daur ulang, luas dan jenis TPA. Menurut Pandebesie (2005) dan Tchobanoglous et al. (1993) terdapat beberapa metode untuk mengukur timbulan sampah, antara lain:
1. Load-Count Analysis (Analisis Perhitungan Beban). Metode ini menghitung jumlah masing-masing volume sampah masuk dengan mencatat volume sampah, berat sampah, jenis angkutan, dan sumber sampah. Kemudian, dihitung jumlah timbulan sampah kota selama periode tertentu.
2. Weight-Volume Analysis (Analisis Berat-Volume). Jumlah masing-masing volume sampah masuk dihitung dengan mencatat volume dan berat sampah.
Kemudian, menghitung jumlah timbulannya.
3. Material-Balance Analysis (Analisis Kesetimbangan Material). Metode ini menganalisis secara cermat aliran bahan masuk, bahan hilang dalam sistem, dan aliran bahan yang menjadi residu dalam sebuah boundary system
Komposisi sampah padat dipengaruhi oleh faktor berikut:
a. Aktivitas penghuni daerah tersebut.
b. Sistem pewadahan, pengumpulan, serta pengangkutan yang dipakai.
c. Adanya sampah-sampah yang akan dibuang sendiri atau dibakar.
d. Sosial-ekonomi.
e. Musim atau iklim.
f. Kebiasaan masyarakat.
g. teknologi.
Sumber dari mana sampah itu berasal.perhitungan komposisi sampah berdasarkan acuan SNI 19- 3964-1994 (Metode Pengambilan dan Pengukuran Contoh Timbulan dan Komposisi Sampah Perkotaan), yaitu dengan mengambil ±100 kg sampah yang akan dianalisis.
Menurut Tchobanoglous et al. (1993) pengambilan sampel sampah untuk analisis komposisi menggunakan metode perempatan. Dari total jumlah sampah yang masuk, kemudian dibagi menjadi 4 bagian dan diambil 1 bagian secara acak. Jika berat sampah tidak mencapai 100 kg, maka 3 bagian sisa dibagi menjadi empat bagian dan diambil 1 bagian secara acak sehingga mencapai ±100 kg.
Untuk karakteristik akan digunakan sesuai dengan literratur yang ada. Karakteristik sampah dapat dibedakan menjadi beberapa macam. Menurut Tchobanoglous et al.
(1993) karakteristik sampah terdiri dari 3 macam, antara lain:
1) Karakteristik Fisik Karakteristik fisik sampah dapat diketahui dengan analisis densitas sampah, kadar air, ukuran partikel, kapasitas lahan, dan permeabilitas sampah. Analisis densitas sampah dapat dilakukan dengan menghitung timbulan sampah yang dinyatakan dari hasil perbandingan berat terhadap volume. Satuan densitas adalah kg/m3 .
Perhitungan densitas dapat dilihat pada persamaan berikut”
Densitas (ρ) = 𝐁𝐞𝐫𝐚� 𝐕𝐨𝐥𝐮𝐦𝐞 ……….(1)
Menurut Zubair dan Haeruddin (2012) kepadatan (densitas) sampah menyatakan berat sampah per satuan volume. Data kepadatan sampah penting untuk perencanaan sistem pembuangan akhir karena rendahnya kepadatan (densitas) sampah menyebabkan meningkatnya luas areal yang diperlukan untuk pembuangan akhir dan penurunan permukaan tanah setelah penimbunan
2) Karakteristik Kimia Karakteristik kimia diperlukan sebagai data untuk mengetahui alternatif pengolahan sampah. Menurut Tchobanoglous et al.
(1993) karakteristik kimia sampah dapat diketahui dengan melakukan analisis proximate, analisis ultimate, titik lebur abu, dan potensi kandungan energi yang tersimpan dalam sampah.
3) Karakteristik Biologis Karakteristik biologis sampah adalah komponen yang menyusun bahan organik. Karakteristik biologis sampah terdiri dari:
a. Unsur yang mudah larut dalam air.
b. Hemiselulosa, merupakan produk kondensasi dari karbon yang berantai lima atau enam.
c. Selulosa.
d. Lemak, minyak, dan bahan yang tergolong dalam kategori ester.
e. Lignin, merupakan salah satu unsur yang susah diurai oleh bakteri.
f. Lignoseluosa, merupakan kombinasi antara lignin dan selulosa.
g. Protein, terbentuk dari rantai asam amino.
Menurut Agustia et al. (2014) secara umum karakteristik sampah di Indonesia, yaitu:
Densitas sampah tinggi.
Kadar air tinggi.
Didominasi oleh sampah organik (terutama sampah yang mudah membusuk).
Mengandung pasir, debu, dan kotoran dari sampah sapuan jalan dengan ukuran partikel sampah kurang dari 50 mm.
E. Survey sosial dan Lingkungan Rencana TPST
Survey pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat di setiap kecamatan lokasi infrastruktur TPST. Dalam kegiatan ini diperlukan pengambilan data melalui metode survei. Data primer yang akan diperoleh dengan menggunakan teknik kuesioner, data ini berkaitan dengan data persepsi masyarakat.
Pra Konstruksi :
1. Persepsi masyarakat Konstruksi :
1. Peluang Kerja dan usaha 2. Persepsi Masyarakat 3. Prasarana Fisik jalan 4. Gangguan lalu lintas 5. Peningkatan kebisingan 6. Kebauan
7. Penurunan kualitas udara ambien 8. Kualitas air permukaan
Operasi
1. Gangguan Lalu-lintas 2. Peningkatan Kebisingan
3. Penurunan kualitas udara ambien 4. Kebauan
5. Kualitas air permukaan
6. Kualitas air bersih ( air tanah ) 7. Biota Air ( Diversitas Biota Air )
Pengumpulan data primer (sosial) melalui wawancara menggunakan questioner dengan warga masyarakat, meliputi parameter sikap dan perilaku warga dalam penanganan sampah di wilayah pelayanan TPST, dan persepsi masyarakat terhadap rencana kegiatan melalui FGD.
Penentuan responden untuk pengumpulan data primer sosial menggunakan metode purposive sampling. Pendekatan yang digunakan dalam menentukan jumlah responden menggunakan rumus Slovin, yaitu:
n= N 1 + N d
2 Keterangan :n = Jumlah/Ukuran Sampel N = Jumlah/Ukuran Populasi
d = Galat pendugaan (batas maksimum kesalahan yakni 10% atau 0,1).
Berdasarkan jumlah total penduduk di wilayah pelayanan di tiap Kota/Kabupaten berjumlah >20.000 jiwa, maka jumlah responden sebanyak 110 orang.
Penentuan sampel secara sengaja dilakukan sebagai berikut:
(a). Di tiap kota/kabupaten ditetapkan jumlah responden sebanyak 100 orang disebar secara merata pada 5 wilayah kecamatan pelayanan (20 orang per kecamatan),
(b). Di tiap wilayah kecamatan tersebut dipilih 2 wilayah kelurahan/desa (10 orang per kelurahan/desa),
(c). 10 orang responden di kelurahan/desa tersebut terdiri atas rumah tangga (2 orang, kalangan atas dan bawah), pusat pertokoan (1 orang), penginapan/hotel (1 orang), perkantoran (1 orang), rumah makan (1 orang), sekolah (1 orang), rumah sakit (1 orang), pengelola pasar (1 orang), industri kecil - menengah (1 orang),
(d). 10 orang responden warga masyarakat sekitar lokasi TPA/TPST.
Jadwal rencana Survey disajikan pada Tabel berikut ini
Tabel 4.1 Jadwal rencana survey
4.1..3. Tahap Penyusunan Studi Kelayakan
Analisis kelayakan setiap rencana lokasi TPST meliputi:
A. Kelayakan fisik lahan;
i. Analisis kesesuaian lokasi dengan RTRW sesuai dengan tata guna lahan.
ii. Luas lokasi dan kapasitas sesuai kebutuhan; lokasinya mudah diakses;
tidak mencemari lingkungan; penempatan tidak mengganggu estetika dan lalu lintas; dan memiliki jadwal pengumpulan dan pengangkutan.
iii. Luas lokasi TPST mencukupi untuk fasilitasi-fasilitas dasar; fasilitas perlindungan lingkungan; fasilitas operasional; dan fasilitas penunjang.
Minimal 1 Ha atau 10.000 m2.
iv. Untuk luas TPST, lebih besar dari 20.000 m2; penempatan lokasi TPST dapat di dalam kota dan atau di TPA;
v. Jarak TPST ke permukiman terdekat paling sedikit 500 m;
vi. Pengolahan sampah di TPST dapat menggunakan teknologi yang sesuai;
fasilitas TPST dilengkapi dengan ruang pemilah, instalasi pengolahan sampah, pengendalian pencemaran lingkungan, penanganan residu, dan fasilitas penunjang serta zona penyangga. serta zona penyangga.
vii. Pemilihan lokasi TPST paling sedikit memenuhi kriteria aspek: - Aspek
Aspek geologi, yaitu tidak berada di daerah sesar atau patahan yang masih aktif, tidak berada di zona bahaya geologi misalnya daerah gunung berapi, tidak berada di daerah karst, tidak berada di daerah berlahan gambut, dan dianjurkan berada di daerah lapisan tanah kedap air atau lempung;
Aspek hidrogeologi, antara lain berupa kondisi muka air tanah yang tidak kurang dari tiga meter, kondisi kelulusan tanah tidak lebih besar dari 10-6 cm/detik, dan jarak terhadap sumber air minum lebih besar dari 100 m (seratus meter) di hilir aliran.
Aspek kemiringan zona, yaitu berada pada kemiringan kurang dari 20% (dua puluh perseratus).
Aspek jarak dari lapangan terbang, yaitu berjarak lebih dari 3000 m (tiga ribu meter) untuk lapangan terbang yang didarati pesawat turbo jet dan berjarak lebih dari 1500 m (seribu lima ratus meter) untuk lapangan terbang yang didarati pesawat jenis lain;
Aspek jarak dari permukiman, yaitu lebih dari 1 km (satu kilometer) dengan mempertimbangkan pencemaran lindi, kebauan, penyebaran vektor penyakit, dan aspek sosial;
tidak berada di kawasan lindung/cagar alam; dan/atau
bukan merupakan daerah banjir periode ulang 25 (dua puluh lima) tahun.
B. Analisis Data topografi
Analisa data lapangan (perhitungan sementara) akan segera dilakukan selama Tim Survei masih berada di lapangan, sehingga apabila terjadi kesalahan dapat segera dilakukan pengukuran ulang. Setelah data hasil perhitungan sementara memenuhi persyaratan toleransi yang ditetapkan dalam spesifikasi teknis selanjutnya akan dilakukan perhitungan data defenitif kerangka dasar pemetaan dengan menggunakan metode perataan kuadrat terkecil. Metoda perhitungan diuraikan sebagai berikut.
1) Perhitungan Poligon Kriteria toleransi pengukuran poligon kontrol horizontal yang ditetapkan dalam spesifikasi teknis adalah :
a) Koreksi sudut antara dua kontrol azimut = 20”. Koreksi setiap titik poligon maksimum 10” atau salah penutup sudut maksimum 30”N, dimana N adalah jumlah titik poligon pada setiap kring.
b) Salah penutup koordinat maksimum 1 : 1000.
c) Berdasarkan kriteria toleransi diatas, proses Analisa perhitungan sementara poligon akan dilakukkan menggunakan metode Bowdith dengan prosedur sebagai berikut.
• Salah penutup sudut
Salam penutup[ koordinat
Dalam hal ini
Dimana:
S : Sudut ukuran poligon d : Jarak ukuran poligon
: Azimut
I : Nomor titik Poligon
Proses perhitungan data denitif hasil pengukuran poligon kerangka kontrol horisontal akan dilakukan dengan metode perataan Bowditch.
Formula perataan poligon cara Bowditch adalah sebagai berikut.
Dimana :
fxi : Koreksi absis f yi : Koreksi ordinat di : Jarak yang dikoreksi
d : Jumlah jarak
x : Jumlah kesalah absis y : Jumlah kesalahan koordinat
Analisis Perhitungan Waterpass Kriteria teknis pengukuran waterpass yang ditetapkan dalam spesifikasi teknis yakni tiap seksi yang diukur pulang pergi mempunyai ketelitian 10 mm D (D = panjang seksi dalam km). Berdasarkan kriteria tersebut dapat diformulasikan cara Analisa data ukur waterpass pada setiap kring sebagai berikut.
Dimana :
fn : salah penutup beda tinggi tiap kring waterpass
h : beda tinggi ukuran
I : nomor slag pengukuran waterpass (I = 1,2,2…n)
Setelah dianalisa keseluruhan data waterpass kerangka kontrol vertikal memenuhi persyaratan toleransi akan dilakukan proses perhitungan denitif dengan menggunakan metode Bowditch seperti pada poligon.
Analisis Data Pengukuran Situasi/Detail Perhitungan situasi diperuntukan untuk mengetahui kondisi beda ketinggian lokasi pengukuran yang meliputi unsur alam maupun unsur buatan dan untuk mengetahui bentuk topografi TPA. Berdasarkan pengukuran situasi/detail didapat besaranbesaran melalui proses hitungan, diperoleh : jarak datar, beda tinggi, elevasi (Z) dan koordinat (X,Y) antara titik-titik detail/situasi.
a. Jarak datar (Dd) b. Beda Tinggi
c. Elevasi (Elv) d. Koordinat (x,y)
Dalam hal ini :
Dd : Jarak datar antara 2 titik (titik BM dengan titik 1 Dm : Jarak miring antara 2 titik (titik BM dengan titik 1 Ti : Tinggi instrument tempat berdiri alat (titik BM) Tp : Tinggi patok tempat berdiri alat (titik BM) T t : Tinggi target (titik 1)
Δh : Beda tinggi antara 2 titik (titik BM dengan titik 1
Α : Pembacaan sudut vertikal ke target (titik BM dengan titik 1)
Elv : Elevasi (titik 1) X : Nilai ordinat (titik 1) Y : Nilai absis (titik 1
Produk Kegiatan Survey Topografi Laporan disajikan dalam bentuk naskah ataupun gambar peta dan laporan ini harus disampaikan secara terpisah (volume penunjang) dengan laporan akhir.
Berikut ini adalah beberapa hal yang menjadi output dari kegiatan analisa topografi, yaitu :
a. Semua Bench Mark (BM) dan titik referensi harus digambar pada peta, dan dilengkapi dengan data elevasi dan koordinat
b. Pemberian angka kontur harus jelas terlihat, dengan interval 0,5 meter digambar lebih tebal
c. Legenda pada gambar harus sesuai dengan apa yang ada di lapangan, dan penarikan kontur/jalur data sadei bukit harus ada data elevasinya.
d. Titik pengikat/referensi peta harus tercantum pada peta, dan ditulis dibawah legenda.
e. Gambar peta topografi skala 1 : 1.000 digambar di atas kertas kalkir, dengan ukuran A1
f. Garis silang untuk grid koordinat dibuat 10 cm.
g. Semua BM, CP digambarkan dengan legenda yang telah ditentukan.
BM dan CP dilengkapi dengan elevasi dan koordinat.
h. Pada setiap interval 5 garis kontur dibuat tebal dan ditulis lengkap dengan elevasinya.
i. Pencantuman legenda pada gambar sesuai dengan yang ada di lapangan
C. Analisis Soil Investigation Amalisis data sondir
Daya Dukung Tanah Daya dukung tanah, yaitu apakah tanah yang bersangkutan cukup kuat untuk menahan beban fundasi tanpa terjadi keruntuhan akibat menggeser. Pada lokasi TPA hal ini akan dipakai untuk menahan beban sampah dan bangunan yang diperlukan seperti antara lain tanggul penahan sampah, bangunan kolam lindi, dan fundasi jalan. Untuk mendapatkan tegangan yang dipakai dalam perencanaan fundasi nilai ini dibagi dengan faktor keamanan. Nilai yang diperoleh demikian disebut daya dukung yang diperbolehkan atau tegangan yang diperbolehkan, didapat dari contoh tanah dilapangan dan dianalisa di laboratorium mekanika tanah. Tegangan yang diperbolehkan : Daya dukung keseimbangan/Faktor keamanan Ada pembatasan dalam pemakaian terutama disebabkan oleh kondisi tanah fundasi, yaitu kedalaman dan tebal tanah pendukung, ketebalan dan kekerasan lapisan antara, muka air tanah dan lainnya.
Fundasi disarankan pada lapisan keras batuan dasar terdapat sekitar antara 0,5 hingga 6 meter dibawah muka tanah. Untuk menentukan daya dukung ponadi biasanya dianggap bahwa terdukung pada dasarnya saja, jadi perlawanan akibat gesekan atau pelekatan antara dinding dengan tanah tidak diperhitungkan.
4.2 Batasan Daya Dukung Yang diijinkan
Adapun perhitungan daya dukung tanah dihitungan dengan menggunakan rumus terzaghi (berdasarkan data hasil pengujian laboratorium), untuk menghitung daya dukung ultimit (ultimit bearing capacity/qult) didefinisikan sebagai beban maksimum per satuan luas, dimana tanah masih dapat mendukung beban tanpa mengalami keruntuhan. Untuk lebihjelasnya dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut.
Dimana : Q : daya dukung ultimit pondasi C : kohesi tanah γ : berat isi tanah D : kedalaman fundasi tanah B : lebar fundasi (dianggap 1m) Nc,Nq,Ny : faktor daya dukung Terzaghi ditentukan berdasarkan besar sudut geser dalam Setelah kita mendapatkan nilai daya dukung Ultimit Tanah (qult). Langkah selanjutnya menghitung daya dukung ijin Tanah yaitu
Dimana : q : Daya Dukung ijin Tanah qult : Daya Dukung Tanah Ultimit Sf : Faktor Keamanan biasanya nilainya diambil 3
Tabel 4.3 Nilai Faktor Daya Dukung Tezaghi
Tinggi dan Sudut Pemotongan Lereng Tebing Masalah kemantapan lereng di dalam suatu pekerjaan pemotongan yang melibatkan kegiatan penggalian maupun penimbunan untuk lahan TPST merupakan masalah yang penting, karena akan menyangkut keselamatan pekerja, peralatan serta bangunan yang berada di sekitar lereng tersebut. Dalam pekerjaan penggalian dengan terasiring,
lereng yang tidak mantap akan dapat membahayakan. Gaya yang mempertahankan massa tanah untuk tetap stabil diperoleh dari kuat geser tanah, sedangkan gaya pendorong untuk bergerak di sepanjang bidang longsoran diperoleh dari berat massa tanah itu sendiri. Jadi dengan memperbandingkan kedua gaya tersebut akan diperoleh angka faktor keamanan (Fs): Gaya Pendorong gesergaya Massa Tanah GayaPenahan kuatgeser Massa Tanah
Untuk mendapatkan acuan besarnya pemotongan sudut lereng yang stabil, perhitungan dilakukan dengan pendekatan Hoek and Bray (1981) dengan asumsi bidang longsoran berbentuk lengkung seperti terlihat pada gambar dibawah (cyrcular) dalam tiga kondisi : kering, setengah jenuh dan jenuh, untuk mencari besarnya nilai x, y dan z (Gambar 3). Cara ini tergantung dari: • Jenis tanah dalam hal ini dianggap homogen • Longsoran yang terjadi menghasilkan bidang luncur berupa busur lingkaran • Tinggi permukaan air tanah (MAT) pada lereng.
Gambar 4.2 besaran x,y,z Keterangan :
Ɣ : Berat isi asli, (gram/cm3) Fs : Angka Faktor Keamanan.
: Sudut geser dalam ( ) : Tinggi lereng, (m)
Gambar 4.1. Besaran x y dan z pada Grafik Hoek and Bray (1981) Akan didapatkan tinggi lereng pemotongan yang aman. Pemotongan dengan tinggi tebing antara 2 hingga 9 meter, didapat kemiringan sudut tebing antara 270 hingga 800, tergantung dari kondisi sifat fisik tanah dan batuan. Tinggi dan kemiringan ini ada dalam keadaan ideal. Faktor-faktor retakan, rekahan, patahan, perbedaan kekerasan batuan, talud penahan dan beban diatas lahan tidak diperhitungkan.
Tabel 4.4 Pemotongan Tebing Berat Isi tanah 1736 kg/m3, Kohesi 2290 kg/m2
Faktor-faktor pemotongan tebing diatas dianggap lereng terbentuk dari tanah pelapukan. Dalam kondisi muncul batuan dasar maka kondisi diatas tidak berlaku. Pemotongan tebing memperhatikan kondisi fisik batuan keras, misalnya retakan, fragmen yang akan runtuh, dan ikatan antar fragmen.
Metoda Pengolahan Boring Uji resapan dimaksudkan untuk mengetahui daya serap atau nilai permeabilitas (kelulusan) langsung di permukaan tanah setempat secara langsung dilapangan terhadap air hujan atau air permukaan yang meresap ke dalam tanah. Uji resapan ini dilakukan di daerah tapak rencana mewakili jenis litologi, morfologi dan kemiringan lereng tertentu. Pengukuran harga k pada lubang pemboran mempergunakan bor tangan tipe ‘Iwan Auger’
berdiameter 2.5 inchi, mempergunakan pipa PVC berdiameter 2.5 inch. Dengan metoda head tetap (Zangar dan Talsma, 1960). Waktu penurunan air dan ketinggian muka air dicatat kemudian harga k dihitung dengan rumus sebagai berikut (Zangar 1953)
Untuk perbandingan H/r=10, rumus (Zangar dan Talsma, 1960) disederhanakan menjadi:
Dimana: k = konduktivitas hidrolik Q = debit infiltrasi.
H = kedalaman yang diukur D. Kelayakan teknis operasional;
a)
Analisis Timbulan dan Densitas Sampah
Dalam pengambilan jumlah timbulan sampah per hari yang ada di TPST di
masing- masing lokasi (Kota Bandung, Kota Depok dan Kabupaten
Indramayu) disesuaikan dengan kapasitas yang telah ditetapkan pada
masing-masing lokasi dibawah ini:
Rencana TPST dikota Bandung
TPST Pasir Impun dengan Kapasitas 90 ton sampah/ hari
TPST Gede bage dengan Kapasitas 300 ton/hari namun direncanakan bertahap.
Rencana TPST di Kota Depok dengan kapasitas 300 ton sampah/hari.
Rencama TPST di Kabupaten Indramayu dengan kapasitas 300 ton sampah /hari.
dilakukan pengukuran berat sampah yang masuk tiap harinya dengan metode load count analysis. Untuk menghitung jumlah timbulan dan densitas sampah dihitung dengan cara : Timbulan sampah dihitung dengan rumus : Ms = N x M Keterangan : Ms : Massa/berat sampah (kg) N : nilai ritas armada pengangkut M : jumlah berat sampah yang diangkut armada (kg) Densitas sampah : Untuk menghitung densitas sampah diperlukan data jumlah berat sampah dan data jumlah volume bak armada pengangkut yang masuk ke TPA. berikut rumus perhitungan yang digunakan :
Densitas = M (kg)/V (m3) Keterangan :
Densitas : Kepadatan sampah (kg/m3) M : Jumlah berat sampah (kg)
V : jumlah volume bak armada pengangkut (m3) b) Komposisi Sampah
Selanjutnya dihitung adalah komposisi sampah. Berikut pembagian jenis- jenis sampah berdasarkan komponennya, perhitungan komposisi tiap karakteristik sampah yang digunakan adalah sebagai berikut.
Komponen (%) = (massa komponen (kg)/massa total sampah (kg)) x 100 % c) Analisis Penentuan Wilayah Pelayanan
Dalam penetuan wilayah pelayanan memperhatikan juga Rute pengangkutan agar efektif dalam operasional nantinya. Rute sangat tergantung dari beberapa faktor yaitu:
Peraturan lalu lintas yang ada;
Pekerja, ukuran dan tipe alat angkut;
Sampah yang diangkut diusahakan untuk kontainer/TPS terdekat ke TPST sesuai dengan kapasitas yang akan direncanakan.
Timbulan sampah pada daerah sibuk/lalu lintas padat diangkut
sepagi mungkin;
Daerah yang menghasilkan timbulan sampah terbanyak diangkut lebih dahulu;
Daerah yang menghasilkan timbulan sampah sedikit diusahakan terangkut dalam hari yang sama.
d) Analisis Pemilihan teknologi
Dalam pemilihan teknologi yang akan digunakan, terdapat beberapa alternatif teknologi yang mungkin untuk diterapkan di lokasi kegiatan.
Tentu saja, pertimbangan karakteristik sampah, wilayah, kemampuan Pemda, ketersediaan offtaker juga akan menjadi pertimbangan utama dalam menentukan teknologi yang tepat. Sebagai ilustrasi, teknologi yang terpilih merupakan teknologi yang mampu menjawab menanggulangi kapasitas sampah yang akan diolah, meliputi data sumber sampah, jumlah timbulan dan jenis/komposisi sampah. Dengan memperhatikan faktor teknis dan non teknis, dimana faktor teknis disini meliputi aspek kemudahan dalam operasional, sesuai dengan kemampuan sumber daya manusia, biaya operasional dan perawatan, dan kualitas effluent yang dihasilkan serta energi yang digunakan. Selain itu, disisi non teknis, teknologi yang akan diterapkan harus mampu memberikan nilai lebih dan memiliki nilai kearifan lokal serta mampu mengurangi dampak sosial yang bisa muncul dari keberadaan unit pengolahan air lindi. Dalam penentuan teknologi pengolahan pengelolaan sampah, metode yang digunakan adalah dengan metode "Equivalent Annual Cost Method". Dimana metoda ini akan membandingkan teknologi yang sesuai baik secara teknis, maupun non teknis untuk menjadi dasar dalam memilih teknologi, dengan faktor-faktor sebagai berikut:
1. Ketersediaan lahan yang cukup
2. Komposisi dan karakteristik sampah yang akan diolah 3. Ketersediaan biaya operasional dan pemeliharaan 4. Ketersediaan dan kemampuan SDM
5. Kualitas hasil olahan yang diharapkan 6. Ketersediaan off taker
7. Dukungan dan partisipasi masyarakat
Setelah masing-masing kriteria tersebut dianalisis, maka langkah selanjutnya adalah dengan membandingkan masing-masing teknologi yang sudah dianalisi dengan bantuan Metode Pembobotan dan Koefisien Pentingnya Faktor (KPF) dengan langkah penilaian sebagai berikut :
1. Menentukan faktor-faktor/parameter penting dalam menunjang
terwujudnya system
2. Membandingkan nilai kepentingan satu persatu, satu parameter terhadap parameter lainnya.
•
Lebih penting : 1
•
penting : 0.5
•
Kurang penting : 0 3.
3. Menjumlahkan nilai kepentingan
4. Membandingkan sebuah faktor untuk satu alternatif dengan faktor yang sama pada altenatif lainnya, ditinjau dari segi keuntungan dan kepentingan teknis bentuk skor penilaian skala
o Baik = 1 o Sedang : 0,5 o Buruk : 0 5.
5. Mengalikan masing-masing faktor pada masing-masing alternatif yang diperoleh ada langkah 4 dan bobot nilai tiap faktor
6. Menjumlahkan total nilai keuntungan dan kepentingan teknik bagi setiap alternatif.
Alternatif yang mempunyai nilai terbesar dipertimbangkan untuk dipilih e) Analisis Circular Economic Dalam Pengolahan Sampah Non Organik
Sirkular ekonomi adalah sebuah pendekatan dalam pengelolaan sumber daya yang bertujuan untuk meminimalkan pembuangan limbah dan memaksimalkan pemanfaatan kembali bahan-bahan yang dapat didaur ulang. Dalam konteks pengelolaan sampah, sirkular ekonomi dapat diterapkan dengan cara mengubah sistem pengelolaan sampah dari pola konvensional yaitu pengumpulan, pengangkutan, dan pembuangan menjadi pola yang lebih berkelanjutan yaitu pengambilan, pemakaian, pengumpulan, pengolahan, dan pengembalian. Dalam sistem pengelolaan sampah yang menerapkan sirkular ekonomi, sampah yang dihasilkan akan dikumpulkan dan dipilah-pilah sehingga bahan-bahan yang masih bisa didaur ulang dapat diproses dan dijadikan produk baru. Selain itu, bahan- bahan yang tidak dapat didaur ulang juga akan diproses dan dimanfaatkan menjadi energi, sehingga limbah yang dihasilkan menjadi lebih sedikit. Dengan demikian, sirkular ekonomi dalam pengelolaan sampah dapat membantu mengurangi dampak negatif dari pembuangan sampah ke lingkungan dan memberikan manfaat ekonomi yang lebih berkelanjutan. Circular economy adalah model ekonomi yang berfokus pada penggunaan ulang sumber daya dan pengurangan limbah. Dalam pengolahan sampah non organik, konsep circular economy dapat diterapkan dengan memperhatikan tiga prinsip utama:
mengurangi, menghasilkan ulang, dan mendaur ulang.
Dengan menerapkan konsep circular economy dalam pengolahan sampah non organik, dapat membantu mengurangi limbah yang dihasilkan dan mengurangi dampak lingkungan. Selain itu, hal ini juga dapat menghasilkan sumber daya baru dan membuka peluang bisnis baru dalam pengelolaan sampah.
f) Analisis ketersediaan Offtaker
Ketersediaan offtaker dalam penanganan hasil produksi atau pengolahan sampah untuk teknologi terpilih merupakan hal yang sangat penting. Permintaan pasar terkait hasil yang akan dihasilkan oleh pengolahan akan diseuaikan dengan kualifikasi atau spesifikasi sesuai dengan permintaan pasar.
g) Analisis Perkiraan Biaya Operasional
Analisis untuk estimasi biaya operasional disesuaikan dengan teknologi terpilih atau sesuai dengan kesepakatan maksimal Rp. 250.000/ton sampah sehingga pemerintah daerah sudah mendapatkan estimasi alokasi biaya operasional yang harus di sediakan setiap tahunnya.
h) Analisis Estimasi Biaya Investasi
Analisis Beban Pelayanan Jumlah tiap volume sampah yang terangkut masuk ke TPST dihitung dengan mencatat volume, berat, jenis angkutan dan sumber sampah, kemudian dihitung jumlah timbulan sampah terlayani. Timbulan sampah per-ekivalensi penduduk diperoleh dengan melacak jumlah dan jenis penghasil sampah yang dilayani oleh gerobak pengumpul sampah.
BEBAN PELAYANAN (lt/hr) = JUMLAH PENDUDUK TERLAYANI (org) X TIMBULAN SAMPAH PERKAPITA (l/org/hr)
E. Kelayakan pembiayaan/ekonomi;
Indikasi biaya dan pola investasi dihitung dalam bentuk nilai sekarang (present value) dan harus dikonversikan menjadi nilai masa datang (future value) berdasarkan metode analisis finansial, serta sudah menghitung kebutuhan biaya untuk jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang.
Berdasarkan beberapa sumber pembiayaan umumnya dipisah menjadi 3 jenis, yaitu biaya investasi, biaya operasional dan pemeliharaan, dan biaya lain-lain.
Indikasi retribusi sampah, perhitungannya didasarkan pada indikasi biaya satuan penanganan sampah (Rp/m3 atau Rp/kapita/tahun dan lain-lain). Serta potensi sumber dana dari pihak swasta Hal yang perlu diperhatikan dalam rencana keuangan atau pendanaan adalah:
Sumber dana
Kemampuan dan kemauan masyarakat Standar Perhitungan Ekonomi dan Keuangan
a. Perhitungan kelayakan ekonomi dan keuangan TPST menggunakan metode:
Internal Rate of Return (IRR)
Net Present Value (NPV)
b. Perubahan nilai uang terhadap waktu (Time value of money) dihitung berdasarkan Discout Factor (DF)
c. Discout Factor (%) dihitung berdasarkan rata-rata tingkat inflasi selama tahun proyeksi ditambah perkiraan faktor resiko investasi.
F. Kriteria Kelayakan Ekonomi Persampahan
a. Proyek dikatakan layak ekonomi apabila manfaat ekonomi lebih besar dibanding dengan biaya yang ditimbulkan baik berupa biaya operasional maupun biaya pengembalian modal;
b. Perhitungan kelayakan ekonomi proyek dihitung dengan metode: Economic Internat Rate of Return (EIRR); Economic Net Present Value (ENPV); dan Economic Benefit Cost Ratio (EBCR)
c. Apabila hasil perhitungan EIRR proyek menghasilkan angka prosentase (%) lebih besar dari faktor diskon, maka perhitungan tersebut merekomendasikan bahwa proyek layak diterima dalam pengertian melaksanakan proyek (Do Something) lebih baik dibanding tidak melaksanakan proyek (Do Nothing).
Tidak melaksanakan proyek berarti membiarkan pencemaran persampahan tetap berlangsung dengan konsekuensi kerugian yang lebih besar akibat penurunan kualitas sumber daya air dan penurunan derajat kesehatan;
d. Apabila hasil perhitungan EIRR proyek menghasilkan angka prosentase (%) lebih kecil dari faktor diskon, maka proyek ditolak. Proyek ini perlu direvisi skala investasinya agar tidak kelebihan investasi.
G. Kriteria Kelayakan Keuangan Proyek
Proyek dikatakan layak keuangan apabila pendapatan tarif/retribusi Persampahan lebih besar dibanding dengan biaya yang ditimbulkan baik berupa biaya operasional maupun biaya pengembalian modal.
Perhitungan kelayakan keuangan proyek dihitung dengan metode Finansial Economic Internal Rate of Return (FIRR) dan Net Present Value (NPV);
Kelayakan keuangan diukur berdasarkan: Pay back period, Financiual Net Present Value (FNPV), Financial Internal Rate of Return (EIRR). Apabila hasil perhitungan FIRR menghasilkan angka prosentase (%) lebih besar dari faktor diskon, maka pendanaan investasi proyek dapat dibiayai dari pinjaman komersial tanpa membebani Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) untuk pengembalian cicilan pokok dan bunganya. Bahkan proyek ini mendapat manfaat keuangan sebesar nilai NPV-nya (NPV positif);
Kelayakan keuangan memperhitungkan hal-hal sebagai berikut:
Tingkat inflasi Jangka waktu proyek,
Biaya investasi,
Biaya operasi dan pemeliharaan,
Biaya umum dan adminstrasi,
Biaya penyusutan,
Tarif retribusi,
Pendapatan retribusi.
Apabila hasil perhitungan FIRR menghasilkan angka prosentase (%) sama dengan nol yang berarti lebih kecil dari faktor diskon, maka pendanaan investasi proyek hanya layak apabila dibiayai dari sumber pendanaan APBD atau sumber dana lain yang tidak mengandung unsur bunga pinjaman dan pembayaran cicilan pokok. Apabila kelayakan keuangan proyek tidak dapat menutup biaya operasional, maka proyek ditolak. Proyek ini perlu direvisi perencanaannya dan pilihan teknologinya agar biaya O/P- nya dapat menjadi lebih rendah.
Proses Perhitungan Kelayakan Ekonomi dan Keuangan Proses
perhitungan kelayakan ekonomi dan keuangan proyek persampahan harus memperkirakan seluruh biaya yang timbul dan manfaat yang timbul dari kegiatan investasi dan operasi serta memperkirakan selisih atau membandingkan antara biaya dan manfaat selama tahun proyeksi
H. Kelayakan kelembagaan dan hukum peraturan;
Analisis aspek hukum/peraturan perundang-undangan dilakukan dengan metode analisis yuridis empiris, dengan metode desk study pada referensi-referensi hukum terdiri atas peraturan perundang-undangan yang terkait langsung dengan pengelolaan sampah dokumen resmi lainnya yang terkait yang diperoleh secara langsung di lapangan yang ditujukan kepada penerapan hukum yang berkaitan dengan penggunaan saksi keluarga tersebut.
Analisis pengembangan kelembagaan akan ditinjau melalui metode yuridis dengan peraturan penrundang-undangan terkait dengan kelembagaan perangkat daerah, antara lain:
1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;
2) Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah;
3) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 12 Tahun 2017 tentang Pedoman Pembentukan Dan Klasifikasi Cabang Dinas Dan Unit Pelaksana Teknis Daerah; dan
4) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 79 Tahun 2018 tentang tentang Badan Layanan Umum Daerah.
Dalam kajian kelembagaan didasarkan pada rencana pengembangan kelembagaan untuk meningkatkan pelayanan pengelolaan sampah.
1. Penyelenggaraan Pengelolaan Sampah Yang Efektif, Efisien Dan Profesional Untuk penyelengaraan kegiatan pengelolaan sampah secara efektif, efisien dan profesional, maka selayaknya institusi pengelola persampahan dapat melakukan program yang tepat guna dan tepat sasaran. Hal ini diwujudkan
dengan adanya sumber daya manusia yang memiliki kemampuan dan kapasitas yang baik serta jumlah sumber daya manusia yang mencukupi.
Kajian kelembagaan yang dilakukan antara lain:
a. Kajian Kapasitas dan Kualitas SDM Pengelola Sampah • Kajian kualifikasi SDM struktural dan non struktural dalam kegiatan pengelolaan sampah • Kajian kapasitas SDM
b. Kajian Kuantitas SDM Pengelola Sampah • Kajian perekrutan jumlah tenaga struktural dalam bidang pengelolaan sampah • Kajian jumlah tenaga dalam kegiatan pengelolaan sampah
2. Peran regulator dan operator serta penguatan implementasi program terkait pengelolaan sampah Pembagian urusan kerja dalam pengelolaan sampah sebagaimana telah diatur oleh pemerintah, maka hal tersebut terkait erat dengan kondisi kelembagaan yang ada saat ini. Oleh karena itu, pembagian peran regulator dan operator terkait pengelolaan sampah, dapat dikaji melalui kegiatan: tupoksi dan struktur organisasi.
3. Penyelenggaraan Pengelolaan Sampah Yang Transparan, Partisipatif Serta Akuntabel Melalui penyelenggaraan kegiatan pengelolaan sampah yang transparan, partisipatif dan akuntabel, maka keberhasilan dalam pelayanan sampah akan tercapai. Oleh karena itu melalui kerjasama yang baik antar semua pihak dalam hal pengelolaan sampah akan mewujudkan kondisi yang bersih dan sehat. Kajian yang dapat dilakukan yaitu:
a. Penyusunan rencana mekanisme koordinasi internal dalam institusi pengelola persampahan
b. Penyusunan rencana mekanisme koordinasi eksternal KIS (KoordinasiIntegrasi-Sinkronisas)
I. Kelayakan lingkungan dan sosial;
Analisa dampak lingkungan dan sosial akibat rencana kegiatan TPST pada tahap prakonstruksi, konstruksi,dan pasca konstruksi.
a. Identifikasi dampak penting hipotetik, meliputi: pencemaran udara dan peningkatan kebisingan, bau, longsor/amblesan, peningkatan aliran air permukaan (genangan/ banjir), penurunan kualitas air tanah, penurunan sanitasi lingkungan, gangguan lalu lintas, penurunan produksi pertanian, terbukanya kesempatan kerja dan berusaha, dan keresahan masyarakat;
b. Memprakirakan besaran dan sifat penting dampak hipotetik;
c. Merumuskan rencana penanganan dampak pada setiap tahapan kegiatan;
d. Analisis kebutuhan dokumen lingkungan sesuai peraturan yang berlaku.
Analisis sosial, meliputi:
a. Legalitas dan status lahan TPST: antara lain potensi penurunan pendapatan pemilik lahan / penggarap;
b. Resiko dan dampak sosial dari lokasi TPST dan sekitarnya, akses jalan, serta keselamatan dan kesehatan kerja: antara lain potensi timbulnya keresahan, penolakan, dan gangguan keamanan masyarakat;
c. Keterbukaan informasi dan konsultasi: antara lain tentang dukungan dan penerimaan masyarakat terhadap rencana kegiatan;
d. Mekanisme penanganan pengaduan;
e. Merumuskan penanganan dampak sosial dalam bentuk rencana aksi.
J. Kajian Resiko Rencana TPST Di Setiap Lokasi.
Untuk mencapai hasil yang efisien dan efektif dalam mengantisipasi risiko lama maupun risiko baru, perlu didasari suatu persepsi yang sama terhadap pengelolaan risiko.
Analisa dampak lingkungan dan sosial akibat rencana kegiatan TPST pada tahap prakonstruksi, konstruksi,dan pasca konstruksi.
Identifikasi dampak penting hipotetik, meliputi: pencemaran udara dan peningkatan kebisingan, bau, longsor/amblesan, peningkatan aliran air permukaan (genangan/ banjir), penurunan kualitas air tanah, penurunan sanitasi lingkungan, gangguan lalu lintas, penurunan produksi pertanian, terbukanya kesempatan kerja dan berusaha, dan keresahan masyarakat;
Memprakirakan besaran dan sifat penting dampak hipotetik;
Merumuskan rencana penanganan dampak pada setiap tahapan kegiatan;
Analisis kebutuhan dokumen lingkungan sesuai peraturan yang berlaku.
Dalam membuat kelayakan lingkungan maka akam memperhatikan 10 kriteria sesuai dengan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 26 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan Dokumen Lingkungan Hidup yaitu :
Kesesuaian dengan Tata Ruang
Kebijakan di bidang Perlindungan Pengelolaan Lingkungan Hidup serta Sumber Daya Alam yang diatur dengan perundang-undangan
Kepentingan Pertahanan dan Keamanan
Prakiraan secara cermat mengenai besaran dan sifat penting dampak sebagaimana dijelaskan dalam data primer diatas yaitu :
Pra Konstruksi :
Persepsi masyarakat terkait
Konstruksi :
Peluang Kerja dan usaha
Persepsi Masyarakat
Prasarana Fisik jalan
Gangguan lalu lintas
Peningkatan kebisingan
Kebauan
Penurunan kualitas udara ambien
Kualitas air permukaan
Operasi
Gangguan Lalu-lintas
Peningkatan Kebisingan
Penurunan kualitas udara ambien
Kebauan
Kualitas air permukaan
Kualitas air bersih ( air tanah )
Biota Air ( Diversitas Biota Air )
Hasil Evaluasi secara holistic terhadap seluruh dampak penting
Kemampuan pemrakarsa dalam menanggulangi dampak
Rencana kegiatan tidak mengganggu nilai-nilai sosial dan pandangan masyarakat
Rencana kegiatan tidak mempengaruhi entitas ekologis (spesies kunci, nilai penting secara ekologis, ekonomi dan ilmiah )
Rencana kegiatan tidak menimbulkan gangguan terhadap kegiatan sekitar
Proses Inti Manajemen Risiko Proses inti manajemen risiko secara garis besar meliputi
a. Kegiatan Mengidentifikasi Risiko, b. Analisis Risiko dan Evaluasi Risiko
c. Memberi Tanggapan/perlakuan terhadap Risiko.
Langkah – langkah identifikasi risiko meliputi kegiatan :
• Mengenali Indikasi Risiko
• Menentukan Sumber Risiko dan Penyebab Terjadinya Risiko
• Memformulasikan Akibat Risiko
• Nomor Identifikasi Risiko Risiko yang telah diidentifikasi sumber, penyebab, dan akibatnya, perlu diberi nomor identifikasi risiko untuk memudahkan penyusunan action plan maupun tindak lanjutnya.
4.1..4. Tahap Basic Engineering Design Infrastruktur TPST
Pada tahap penyusunan Basic Desain Infrastrutur TPST kegiatan yang dilakukan secara bertahap meliputi:
A.
Pra-rencana teknis desain infrastruktur
a.
Menyusun konsep pengolahan dan teknologi TPST
b.
Mengidentifikasi kebutuhan perencanaan bangunan TPST dan prasarana pendukungnya.
c.
Penentuan kriteria desain
d.
Pendetailan hitungan masing-masing kebutuhan unit fasilitas pengolahan sampah
B.
Pengembangan rencana desain infrastruktur meliputi:
a. Rencana arsitektur b. Rencana struktur
c.
Rencana sistem mekanikal/elektrikal
d.
Rencana utilitas
C.
Rencana basic desain infrastruktur, menyusun dokumen DED berupa:
a.
Gambar
b.RAB
c.
Nota Desain
d.Spesifikasi teknis
e.SOP
f.
Rancangan konseptual SMK3
g.Perhitungan TKDN
h.
Dokumen lelang
Metodologi penyusunan basic engineering desain infrastruktur TPST akan diimplementasikan melalui serangkaian kegiatan yang akan dilakukan meliputi :
A. Analisis Keseimbangan Material (Mass Balance) Dalam melakukan analisis keseimbangan material,
langkah-langkah yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:
a) Setelah proses teknologi di tentukan, dibuat diagram alir dan proses akhirnya menghasilkan residu maksimal 12 %
b) Identifikasi semua aliran masuk dan keluar dari sistem. Aliran masuk dan keluar dapat berupa bahan mentah, produk, limbah, atau gas yang terbentuk akibat proses.
c) Tentukan jumlah massa yang masuk dan keluar dari sistem. Jumlah massa dapat dinyatakan dalam satuan massa atau volume tergantung pada jenis sistem yang dianalisis.
d) Hitung selisih antara jumlah massa yang masuk dan keluar dari sistem.
Jika selisih tersebut tidak nol, maka terdapat kebocoran massa atau kesalahan dalam pengukuran.
e) Gunakan analisis untuk mengoptimalkan proses dan meningkatkan
efisiensi. Mass Balance bertujuan untuk mengetahui jumlah sampah yang
masuk ke unit pengolahan berdasarkan komposisi dan karakteristik . data
hasil Langkah ini bertujuan untuk membuat material balance guna
mengetahui proses pengolahan yang akan dilakukan serta berapa produk
yang di hasilkan dan residu yang dihasilkan. Langkah ini juga merupakan
langkah awal untuk menentukan prakiraan luas lahan serta kebutuhan
peralatan bagi sitem di TPST. Analisis keseimbangan material sangat
penting dalam evaluasi proses karena dapat membantu menentukan
efisiensi proses, mengidentifikasi sumber kebocoran massa, dan
meningkatkan pengendalian proses.
B. Perhitungan Material Loading Rate Material Loading Rate (MLR)
MLR atau tingkat pemuatan material adalah ukuran yang digunakan untuk mengetahui seberapa banyak material yang dapat dimuat atau diproses pada suatu waktu. Perhitungannya tergantung pada jenis material yang digunakan dan peralatan yang digunakan untuk memuat atau memproses material tersebut.
Berikut adalah langkah-langkah umum untuk menghitung Material Loading Rate:
Tentukan jumlah material yang akan dimuat atau diproses pada suatu waktu. 2
Tentukan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk memuat atau memproses jumlah material yang ditentukan pada langkah 1.
Hitung Material Loading Rate dengan membagi jumlah material yang dimuat atau diproses pada suatu waktu dengan waktu yang dibutuhkan untuk memuat atau memproses material tersebut.
Formula untuk menghitung Material Loading Rate adalah: Material Loading Rate = Jumlah material yang dimuat atau diproses pada suatu waktu/waktu yang dibutuhkan untuk memuat atau memproses material tersebut.
C. Analisis Kebutuhan Ruang TPST
Dalam analisis kebutuhan ruang TPST, terdapat beberapa hal yang perlu dipertimbangkan:
Luas lahan: TPST membutuhkan lahan yang luas untuk memfasilitasi proses pengolahan sampah yang beragam. Luas lahan yang dibutuhkan tergantung pada kapasitas TPST dan jenis sampah yang akan diolah. Sebagai acuan, luas lahan minimal yang dibutuhkan untuk TPST seuai dengan yang disyaratkan di KAK untuk luas Area Bangunan TPST, sarana pendukung dan penunjang maksimal 10.000 m
2.
Kebutuhan luasan hangar atau bangunan yang di perlukan antara lain area loading atau penerimaan sampah, hangar pemilahan , hangar pengolahan sampah, hanggar pengepakan produk olahan, ruang penyimpanan hasil olahan, hanggar penyimpanan untuk sampah yang mempunyai nilai jual, ruang kantor, garasi loader, garasi mobil, Gudang penyimpanan peralatan, jalan akses, parkir kantor, pos jaga atau pos satpam dan kebutuhan ruang lainnya.
Sarana dan prasarana: TPST membutuhkan sarana dan prasarana yang memadai untuk mendukung proses operasinal dengan memperhatikan kenyamana dan Kesehatan dalam bekerja.
Teknologi pengolahan:
Teknologi pengolahan sampah terus berkembang dan menjadi semakin efektif.
TPST perlu memilih teknologi pengolahan yang paling sesuai dengan jenis
sampah dan kapasitas yang akan diolah dengan residu 12 % dari kapasitas. Hal ini
akan berdampak pada efisiensi, efektivitas, dan kualitas hasil pengolahan
sampah.
Lingkungan: TPST harus memperhatikan dampak lingkungan dari proses pengolahan sampah. Proses pengolahan harus meminimalkan dampak negatif pada lingkungan dan mencegah pencemaran air dan udara. TPST harus memenuhi regulasi lingkungan yang berlaku dan memiliki sistem pengelolaan limbah yang baik. Dalam analisis kebutuhan ruang TPST, semua faktor di atas perlu dipertimbangkan dengan baik. Penting bagi TPST untuk merencanakan dan mengelola semua faktor ini
dengan baik agar proses pengolahan sampah dapat berjalan efisien dan efektif, serta dapat meminimalkan dampak negatif pada lingkungan.
D.
Analisis Instalasi MEP
MEP (Mechanical, Electrical, and Plumbing) adalah salah satu bagian penting dalam desain bangunan dan konstruksi. Instalasi MEP melibatkan desain, pemasangan, pengujian, dan pemeliharaan sistem mekanik, listrik, dan plumbing dalam sebuah bangunan. Berikut adalah beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam analisis instalasi MEP:
Desain:
Desain instalasi MEP harus dilakukan dengan sangat hati-hati agar sistem dapat berfungsi dengan efektif dan efisien. Ini melibatkan pemilihan peralatan dan sistem yang tepat, perencanaan layout yang efektif, dan perhitungan beban yang akurat.
Pemasangan
Pemasangan instalasi MEP harus dilakukan dengan benar agar sistem berfungsi dengan optimal. Hal ini melibatkan pemasangan pipa, kabel, dan peralatan secara tepat dan dalam posisi yang tepat.
Pengujian:
Setelah instalasi selesai dipasang, sistem harus diuji untuk memastikan bahwa semuanya berfungsi dengan baik. Ini melibatkan pengujian beban, pengujian kebocoran, dan pengujian fungsional.
Pemeliharaan:
Sistem MEP harus dipelihara secara teratur untuk memastikan bahwa mereka tetap berfungsi dengan baik. Ini melibatkan pembersihan, penggantian suku cadang, dan perbaikan jika diperlukan. Dalam hal ini juga perlu menganalisis kapasitas olah mesin yang dibutuhkan, ketersediaan teknologi dalam negeri, pemenuhan prasayaratan TKDN.
E.