25 BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Sumber Kasih Kota Cirebon selama bulan Maret-April 2022. Berikut Uraian dari hasil penelitian yang dilakukan:
1. Gambaran Umum Rumah Sakit Sumber Kasih Kota Cirebon
Bermula dari klinik bidan yang kemudian berkembang menjadi Rumah Sakit Ibu dan Anak. Sejak berdirinya Rumah Sakit Ibu dan Anak Sumber Kasih senantiasa menjadi pilihan masyarakat Cirebon dan sekitarnya. Sejak bulan januari 2013 Rumah Sakit Ibu dan Anak Sumber Kasih berubah status menjadi Rumah Sakit Sumber Kasih dapat melayani Rawat Inap pasien laki-laki dewasa. Rumah Sakit Sumber Kasih selalu mementingkan keselamatan pasien dan mengedepankan layanan medis yang paripurna didukung oleh fasilitas yang lengkap dan nyaman sehingga semakin menjadi pilihan bagi masyarakat Cirebon. Profil Rumah Sakit sebagai berikut:
Nama Rumah Sakit : Rumah Sakit Sumber Kasih
Alamat : Jalan Siliwangi No.135
No. telepon : (0231)203815
No. Fax : (0231)210040
Website : www.kasih-group.com
Tahun berdiri : 1978
Luas Tanah : 4.135m2 (Parkir 1.564m2)
Luas Bangunan : 7034m2
Kepemilikan : Swasta
Visi, Misi, Motto, Tujuan, Sasaran, Ruang lingkup dan Nilai Utama dari Rumah Sakit Sumber Kasih Kota Cirebon sebagai berikut:
a. Visi
“ Menjadi Rumah Sakit Pilihan Utama Keluarga”
b. Misi
Kami bersama pasien dan keluarga mencintai dan melindungi kehidupan melalui penyediaan pelayanan kesehatan yang lebih baik yang mengutamakan kebaikan kesehatan pasien kami dengan sentuhan kasih.
c. Motto Rumah Sakit
Melayani dengan sentuhan KASIH d. Tujuan Rumah Sakit
1) Memberikan pelayanan kesehatan perorangan kepada masyarakat dengan menjadikan Rumah Sakit Sumber Kasih pilihan utama keluarga.
2) Meningkatkan kemampuan melalui penyediaan pelayanan kesehatan yang lebih baik.
3) Memberikan perlindungan terhadap keselamatan pasien, masyarakat, lingkungan rumah sakit, dan sumber daya manusia rumah sakit.
4) Meningkatkan mutu dan mempertahankan standar pelayanan rumah sakit.
5) Meningkatkan citra sebagai rumah sakit berpenampilan prima serta menjadi tujuan pengobatan bagi masyarakat.
6) Mengembangkan diri secara terus menerus sehingga menjadi rumah sakit yang mandiri dan berprestasi.
e. Sasaran
Menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang melayani seluruh masyarakat di Kota Cirebon, Wilayah III Jawa Barat, pada semua umur dan semua jeniskelamin, yang dititikberatkan pada kesehatan ibu dan anak.
f. Ruang Lingkup
Rumah Sakit Umum Sumber Kasih menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang bersifat promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitative meliputi:
1) UGD (24 jam)
2) Klinik Umum & Medical Check Up (MCU) 3) Klinik Spesialis
a) Anak
b) Obsgyn (Kebidanan & Penyakit Kandungan) c) Penyakit Dalam
d) Bedah Umum e) Bedah Anak
f) Bedah Tulang (Orthopedi) g) Bedah Digesif
h) THT i) Saraf
j) Kulit dan Kelamin k) Gizi Klinis
l) Jantung dan Pembuluh Darah m) Mata. dll
g. Nilai Utama 1) Komitmen
Kita berkomitmen untuk memberikan yang terbaik kepada masyarakat perusahaan dan mencapai pelayanan prima.
2) Akuntabilitas
Kami mempunyai rasa memiliki dan tanggung jawab terhadap semua tindakan kami
3) Service dengan hati
a) Kami memberikan perhatian kepada semua pasien, dokter dan rekan kami.
b) Kami membahagiakan pelanggan kami dengan melampaui harapan mereka dan tanggapan kami yang sepenuh hati c) Kita memperlakukan pelanggan kami dengan penuh hormat
dan menghargai.
4) Integritas
Kami akan berusaha keras untuk mencapai standar tertinggi dalam pekerjaan kami, dalam memberikan pelayanan yang layak dan biaya yang efektif kepada pasien kami.
5) Hargai dan Hormati
a) Kami menghormati satu sama lain
b) Kami menciptakan lingkungan yang akan dapat membuat kami bekerja dengan bangga
c) Kami bekerja bersama lintas departemen dan keilmuan untuk mencapai misi kami
2. Hasil Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Sumber Kasih Cirebon selama 3 minggu terhitung dari tanggal 9-27 Mei 2022.
Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara terhadap 10 informan termasuk seorang wadir penunjang medis, seorang kepala Rekam Medis, dan delapan orang coder. Adapun karakteristik informan dijabarkan dalam tabel dibawah ini :
Tabel 4. 1Karakteristik informan No Nama Jenis
Kelamin
Usia Lama Kerja
Pendidikan Jabatan 1 Informan 01 Wanita 37
tahun
15 tahun 6 bulan
S1
Keperawatan
Wadir Penunjang Medis 2 Informan 02 Wanita 26
tahun
5 tahun DIII Rekam Medis
Kepala Rekam Medis 3 Informan 03 Wanita 22
tahun
1 tahun DIII Rekam Medis
Coder Casemix 4 Informan 04 Wanita 24
tahun
2 tahun 6 bulan
DIII Rekam Medis
Staf Rekam Medis 5 Informan 05 Wanita 22
tahun
1 tahun DIII Rekam Medis
Coder casemix 6 Informan 06 Wanita 27
tahun
6 tahun DIII Rekam Medis
Coder casemix 7 Informan 07 Wanita 27
tahun
5 tahun DIII Rekam Medis
Coder casemix 8 Informan 08 Wanita 22
tahun
1 tahun DIII Rekam Medis
Coder casemix 9 Informan 09 Wanita 24
tahun
3 tahun DIII Rekam Medis
Staf Rekam Medis 10 Informan 10 Wanita 25
tahun
4 tahun DIII Rekam Medis
Coder casemix a. Faktor Internal
1) Karakteristik Petugas a) Usia petugas
Hasil penelitian menunjukkan bahwa usia petugas tidak memiliki pengaruh terhadap keakuratan pengkodean kasus obstetri. Dari sepuluh informan yang usianya ≥ 25 tahun sebanyak 4 orang dan yang < 25 tahun sebanyak 6 orang.
b) Jenis kelamin
Hasil penelitian diperoleh bahwa seluruh informan berjenis kelamin perempuan. Sehingga jenis kelamin tidak menunjukkan pengaruh terhadap keakuratan pengkodean kasus obstetri.
c) Pendidikan
Dari hasil penelitian 9 informan berlatar belakang DII Rekam Medis dan 1 informan berlatar belakang SI Keperawatan.
Namun secara keseluruhan petugas Rekam Medis yang berlatar belakang SMA/SMK terdapat enam orang. Dalam penelitian menunjukkan bahwa coder yang berlatar belakang DIII Rekam medis masih sering kesulitan saat membaca diagnosa yang ditulis oleh dokter pada dokumen rekam medis hal ini dapat mengakibatkan kode yang dihasilkan kurang akurat.
d) Masa kerja
Hasil penelitian menunjukkan bahwa masa kerja dapat berpengaruh terhadap pengetahuan serta keterampilan petugas rekam medis. Dari hasil wawancara terlihat jawaban yang cukup spesifik dan cukup rinci terdapat pada petugas yang memiliki masa kerja ≥ 4 tahun.
2) Sikap petugas
Pada penelitian ini peneliti tidak dapat langsung ke lapangan untuk melihat sikap dari informan yang di wawancara, karena wawancara dilakukan secara via online melalui whatsapp dan telegram.
Namun dilihat dari hasil wawancara masih banyak petugas yang memiliki kesamaan pada jawaban seperti hal nya copy paste.
Menurut peneliti hal ini disebabkan oleh kurangnya percaya diri petugas terhadap jawaban-jawaban wawancara sehingga
kebanyakan petugas bertanya kepada petugas lain terkait jawaban wawancara tersebut.
3) Pengetahuan petugas
Hasil penelitian menunjukkan bahwa seluruh informan dapat menjelaskan alur beserta aspek-aspeknya meliputi penyulit persalinan, cara melahirkan (spontan atau Caesar), dan kondisi bayi saat dilahirkan (hidup atau mati). Kemudian petugas coder dapat menjelaskan alur pengkodean kasus obstetri yang dimulai dari melihat diagnosa dan tindakan yang di tulis dokter pada ringkasan masuk dan keluar pasien (RM 01) dan resume medis (RM 18) dan melihat laporan operasi untuk menguatkan tindakan yang sudah di tulis oleh dokter lalu melakukan pengkodean diagnosa tersebut dengan melihat pada pada icd 10 dan icd 9.
4) Kebijakan Rumah Sakit
Dalam penelitian menunjukkan bahwa Standar Prosedur Operasional terkait pemberian kode penyakit dan masalah kesehatan sudah terdapat di rumah sakit yang diterbitkan pada tanggal 8 januari 2021. Namun SPO secara spesifik terkait kasus obstetri belum diterapkan seperti proses pengumpulan data kasus obstetri, pengolaha data kasus obstetri, dan pelaporan data kasus obstetri.
Gambar 4. 1 SOP Pemberian Kode Penyakit dan Masalah Kesehatan
b. Faktor Eksternal 1) Pelatihan petugas
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 3 dari 9 informan yang berlatar belakang DII Rekam Medis sudah mengikuti pelatihan terkait kodefikasi penyakit dan tindakan. Berikut tabel penjelasannya :
Tabel 4. 2 Data Pelatihan Petgas No.
informan Jabatan Umur Masa
Kerja Pendidikan
Mengikuti Pelatihan Sudah Belum 02 Kepala 26 5 tahun DIII Rekam
Rekam Medis
tahun Medis
03 Coder Casemix
22 tahun
1 tahun DIII Rekam
Medis
04 Coder Casemix
24 tahun
2 tahun 6 bulan
DIII Rekam
Medis
05 Coder Casemix
22 tahun
1 tahun DIII Rekam
Medis
06 Coder Casemix
27 tahun
6 tahun DIII Rekam
Medis
07 Coder Casemix
27 tahun
5 tahun DIII Rekam
Medis
08 Coder Casemix
22 tahun
1 tahun DIII Rekam
Medis
09 Coder Casemix
24 tahun
3 tahun DIII Rekam
Medis
10 Coder Casemix
25 tahun
4 tahun DIII Rekam
Medis
Berdasarkan tabel diatas menunjukkan bahwa masih kurangnya petugas terutama coder dalam mengikuti pelatihan terkait kodefikasi penyakit.
2) Beban kerja
Hasil penelitian menunjukkan bahwa beban kerja petugas rekam medis masih tinggi sehingga terjadinya double job yang membuat pekerja kurang teliti pada proses pengkodean. Double job dapat diartikan sebagai merangkap pekerjaan, dalam kenyataannya bahwa Kepala rekam medis di Rumah Sakit Sumber Kasih merangkap pekerjaan menjadi coder dan ada beberapa coder yang merangkap menjadi bagian reporting.
3) Lingkungan kerja
Hasil penelitian menunjukkan bahwa lingkungan kerja yang terdapat pada unit rekam medis cukup nyaman dan aman serta fasilitas didalam ruangan unit kerja rekam medis ini sudah layak dan sudah
sesuai dengan kebutuhan petugas dalam bekerja. Nyaman dapat diartikan dengan cukupnya penerangan pada unit kerja rekam medis, cukup baiknya sirkulasi udara di unit kerja rekam medis, minimnya kebisingan yang terjadi pada unit kerja rekam medis, serta hubungan antar petugas yang terjalin baik dan harmonis. Aman yang dimaksud berarti hanya petugas rekam medis saja yang diperbolehkan masuk ke unit kerja rekam medis hal ini dilakukan agar meminimalisir kehilangan dokumen rekam medis. Oleh karena itu lingkungan kerja sangat berpengaruh terhadap kinerja petugas.
B. Pembahasan 1. Faktor internal
Faktor internal adalah faktor-faktor yang diyakini oleh setiap individu bahwa mereka dapat mengendalikan tujuan mereka karena memiliki kekuatan dalam diri mereka (Tantri Sarzuli,2015). Faktor internal meliputi:
a. Karakteristik petugas
Menurut Notoatmodjo (2014) bahwa Karakteristik adalah ciri khas seseorang dalam meyakini, bertindak ataupun merasakan. Karakteristik meliputi :
1) Usia petugas
Menurut Wawan dan Dewi (2010) usia adalah umur individu yang terhitung mulai dari saat dilahirkan sampai berulang tahun. Semakin cukup umur, tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berpikir dan bekerja. Hasil penelitian menunjukkan bahwa usia petugas rekam medis yang ≥ 25 tahun sebanyak 4 orang dan yang < 25 tahun sebanyak 6 orang. Hal ini sesuai dengan penelitian dari Selvia Apriliyanti (2017) bahwa Usia yang masih dalam masa produktif biasanya mempunyai tingkat produktivitas
lebih tinggi dibandingkan dengan tenaga kerja yang sudah berusia tua sehingga fisik yang dimiliki menjadi lemah dan terbatas.
2) Jenis kelamin
Menurut Wawan dan Dewi (2010) jenis kelamin yaitu perbedaan nilai dan sifat berdasarkan jenis kelamin ini akan mempengaruhi pria dan wanita dalam membuat keputusan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa seluruh informan dalam penelitian ini berjenis kelamin perempuan. Badan pusat statistik mengatakan bahwa jumlah perempuan di Indonesia lebih banyak dibadingkan dengan laki-laki. Menurut Selvi Apriliyanti (2017) bahwa perempuan lebih teliti dalam melakukan pekerjaan dibandingkan pria. Hal ini juga sesuai dengan penelitian dari Lailatus Sa’adah (2021) bahwa perempuan dikenal lemah lembut, cantik, teliti, rapih. Sementara laki – laki dianggap kuat, rasional, tegas.
3) Pendidikan
Sebagian besar perekam medis termasuk wadir penunjang medis, kepala rekam medis dan coder berlatar belakang DIII Rekam Medis, sehingga sudah memahami alur serta aspek aspek terakit pengkodean kasus obstetri. Hal ini sejalan dengan penelitian Wawan dan Dewi (2010) yang menyebutkan bahwa semakin tinggi pendidikan, maka dapat mempengaruhi seseorang termasuk juga perilaku seseorang akan pola hidup terutama dalam memotivasi untuk sikap dalam pembangunan. Dalam hasil penelitian menunjukkan bahwa coder yang berlatar belakang DIII Rekam medis masih sering kesulitan saat membaca diagnosa yang ditulis oleh dokter pada dokumen rekam medis hal ini dapat mengakibatkan kode yang dihasilkan kurang akurat. Sesuai dengan penelitian Tantri Sarzuli (2015) bahwa tingkat pendidikan yang
dimiliki oleh seseorang tidaklah menjamin bahwa orang tersebut semakin mudah dalam menerima informasi.
4) Masa kerja
Menurut Tantri Sarzuli (2015) masa kerja adalah peristiwa yang diperoleh dan dialami selama perjalanan kerja. Semakin lama seseorang bekerja dalam satu bidang maka semakin terampil seseorang dalam pekerjaannya. Dalam hasil penelitian dikatakan bahwa petugas yang memiliki masa kerja ≥ 4 tahun dapat menjawab pertanyaan wawancara relatif lebih spesifik. Hal ini sesuai dengan penelitian dari Idayanti (2017) bahwa faktor masa kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap produktivitas tenaga kerja.
b. Sikap Petugas
Menurut Notoatmodjo (2014) menyebutkan bahwa sikap merupakan konsep yang sangat penting dalam komponen sosio-psikologis, karena merupakan kecenderungan bertindak, dan berpersepsi. Dalam penelitian ini, peneliti tidak dapat turun langsung ke lapangan sehingga peneliti tidak dapat melihat sikap dari para informan. Namun dilihat dari hasil wawancara terdapat banyak kesamaan dalam menuliskan jawaban seperti hal nya copy paste. Menurut peneliti hal ini disebabkan karena kurangnya percaya diri pada petugas terhadap pendapatnya sendiri. Tidak percaya diri dapat berdampak kepada kinerja maupun kehidupan dari petugas itu sendiri maka dari itu perlunya sosialisasi dan asah kembali pengetahuan terkait kodefikasi kasus obstetri. Hal ini sesuai dengan penelitian Wirna Tri (2019) bahwa kepercayaan diri merupakan salah satu aspek kepribadian yang penting. Salah satu aspek kepribadian yang berupa keyakinan akan kemampuan diri seseorang sehingga tidak terpengaruh oleh orang lain dan dapat bertindak sesuai kehendak, optimis, dan bertanggung jawab.
c. Pengetahuan petugas
Menurut Notoatmodjo (2014) Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap suatu objek melalui indra yang dimilikinya sehingga menghasilkan pengetahuan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari sepuluh informan mampu menjelaskan alur beserta aspek-aspeknya terkait pengkodean kasus obstetri, secara tidak langsung dengan adanya pengetahuan yang dimiliki oleh petugas dapat mempengaruhi keakuratan pengkodean. Hal ini sesuai dengan penelitian dari Tantri Sarzuli (2015) bahwa perilaku seseorang itu didasari oleh pengetahuan yang diketahuinya, semakin banyak pengetahuan seseorang maka perilakunya lebih baik dari pada seseorang yang pengetahuannya sedikit.
d. Kebijakan Rumah Sakit
Yaitu suatu rangkaian konsep yang menjadi garis besar dasar rencana dipelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak.
Dalam menjaga agar pengelolaan rekma medis berjalan dengna baik perlu adanya kebijakan yang mengacu pada pedoman yang dapat digunakan sebagai dasar dalam pengelolaan rekam medis. Agar penentuan kode diagnosis akurat diperlukan suatu perangkat instruksi atau langkah-langkah yang dibakukan dalam bentuk SOP. SOP merupakan tata cara atau tahapan yang dilalui untuk menyelesaikan suatu proses kerja tertentu. Tujuan umum SOP adalah untuk mengarahkan kegiatan agar tercapai tujuan dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan melalui pemenuhan standar yang berlaku (Depkes RI, 2006). Hal ini sesuai dengan penelitian Harjanti Ningtyas (2018) bahwa dengan adanya SOP maka petugas coding memiliki pedoman atau standar yang sesuai. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Standar Operasional Prosedur terkait pemberian kode penyakit dan masalah kesehatan di Rumah Sakit sudah
diterapkan. Tetapi Standar Operasional Prosedur terkait kasus obstetri belum diterapkan seperti proses pengumpulan data kasus obstetri, pengolaan data kasus obstetri, dan pelaporan data kasus obstetri.
2. Faktor Eksternal
Faktor eksternal adalah faktor-faktor yang mempengaruhi individu dan diyakini bahwa yang terjadi dalam diri mereka dikendalikan oleh kekuatan luar (Tantri Sarzuli, 2015). Faktor eskternal meliputi:
a. Pelatihan petugas
Menurut Nitisemito (1992) pelatihan adalah suatu kegiatan dari perusahaan yang bermaksud untuk dapat memperbaiki dan memperkembangkan sikap, tingkah laku, keterampilan dan pengetahuan dari para karyawan, sesuai dengan keinginan dari perusahaan yang bersangkutan. Kegiatan pelatihan dilakukan dalma upaya peningkatan kompetensi petugas sesuai dengan Kemenkes Republik Indonesia No.377/Menkes/SK/III/2007. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 3 dari 9 petugas yang berlatar belakang DII Rekam Medis sudah mengikuti pelatihan terkait kodefikasi penyakit. Hal ini menunjukkan bahwa masih kurangnya petugas terutama coder dalam mengikuti pelatihan terkait kodefikasi penyakit. Hal ini sesuai dengan penelitian Heidjrachman (2008) dalam seruni (2015) yang menyatakan bahwa kompetensi seseorang dapat ditingkatkan melalui pelatihan. Adanya pelatihan koding obstetri dapat meningkatkan kompetensi seorang perekam medis karena diadakannya pelatihan maka akan mendapatkan pengetahuan tentang cara menentukan kode klasifikasi obstetri sesui dengan arahan ICD-10.
b. Beban kerja
Menurut Koesomowidjodo (2017) mengemukakan bahwa beban kerja merupakan segala bentuk pekerjaan yang diberikan kepada
sumber daya manusia untuk diselesaikan dalam kurun waktu tertentu.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa beban kerja petugas masih tinggi sehingga terjadinya double job yang membuat pekerja kurang teliti pada proses pengkodean. Dilihat dari jumlah petugas rekam medis berjumlah 15 orang yang terdiri dari 9 orang berlatar belakang pendidikan DII Rekam Medis sedangkan 6 orang lainnya berlatar belakang pendidikan SMA/SMK. Hal ini belum sesuai dengan peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Reformasi dan Birokrasi Nomo 30 Tahun 2013 tentang Jabatan Fungsional Perekam Medis dan Angka Kreditnya, menjelaskan mengenai jumlah ideal jabatan fungsional perekam medis untuk rumah sakit umum kelas C adalah 30 orang perekam medis terampil dan 6 orang perekam medis ahli. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa jumlah petugas rekam medis saat ini masih jauh dari jumlah ideal, maka menyebabkan terjadinya double job bagi setiap petugas. Hal ini sesuai dengan penelitian Manuaba (2000) dalam Harjanti dan Ningtyas (2018) beban kerja yang terlalu berlebihan akan menimbulkan efek berupa kelelahan baik fisik maupun mental dan reaksi emosional seperti sakit kepala, gangguan pencernaan, dan mudah marah. Petugas yang mengalami kelelahan akan mengakibatkan kesalahan dalam mennetukan kode diagnosis.
c. Lingkungan kerja
Menurut Sedarmayanti (2017), lingkungan kerja adalah suatu tempat bagi sejumlah kelompok di mana di dalamnya terdapat beberapa fasilitas pendukung untuk mencapai tujuan perusahaan sesuai dengan visi dan misi perusahaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lingkungan kerja pada unit rekam medis cukup nyaman dan aman serta fasilitas didalam ruangan unit kerja rekam medis sudah layak dan sudah sesuai dengan kebutuhan petugas dalam bekerja hal ini
dapat berpengaruh terhadap kinerja para petugas. Nyaman dapat diartikan dengan cukupnya penerangan pada unit kerja rekam medis guna mendapat keselamatan dan kelancaran bekerja, cukup baiknya sirkulasi udara di unit kerja rekam medis, minimnya kebisingan yang terjadi pada unit kerja rekam medis guna mendapatkan ketenangan saat bekerja, serta hubungan antar petugas yang terjalin baik dan harmonis. Aman yang dimaksud berarti hanya petugas rekam medis saja yang diperbolehkan masuk ke unit kerja rekam medis hal ini dilakukan agar meminimalisir kehilangan dokumen rekam medis. Hal ini sesuai dengan penelitian A.A Anwar Prabu Mangkunegara (2005) dalam Sedarmayanti (2017) mengatakan bahwa ada beberapa indikator lingkungan kerja bisa dikatakan nyaman dan aman diantaranya penerangan/ cahaya, suhu udara di tempat kerja, tingkat kebisingan di tempat kerja, sirkulasi udara ditempat kerja, hubungan antar petugas, dan keamanan pada unit kerja.