• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV - Repository Poltekkes Tasikmalaya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "BAB IV - Repository Poltekkes Tasikmalaya"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

40 BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian

4.1.1 Gambaran Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di RSUD Arjawinangun Kabupaten Cirebon selama tiga minggu yaitu mulai dari tanggal 9-28 Mei 2022.

Lokasinya berada di Jl. By Pass Palimanan-Jakarta Km. 2 No. 1 Kebonturi, Arjawinangun, Kabupaten Cirebon. RSUD Arjawinangun merupakan rumah sakit negeri milik Pemerintah Daerah Kabupaten Cirebon yang termasuk kedalam rumah sakit kelas B. RSUD Arjawinangun memiliki beberapa ruang rawat inap, salah satu ruang rawat inap yang dijadikan sebagai penelitian oleh penulis yaitu ruang Imam Bonjol. Ruang Imam Bonjol merupakan ruang rawat inap kelas tiga yang dikhususkan untuk pasien pre dan post operasi. Jumlah petugas diruangan Imam Bonjol adalah 23 perawat, 1 kepala ruangan, 1 dokter ruangan, 1 administrasi, 1 farmasi dan 2 cleaning service. Kondisi lingkungan disekitar cukup luas, tertata dan bersih serta terdapat sarana dan fasilitas yang memadai, terdapat 12 kamar perawatan yang masing-masing kamarnya berisi 4 tempat tidur dan 1 kamar isolasi yang didalamnya berisi 1 tempat tidur. Selain itu, terdapat ruang dokter, ruang perawat, ruang tindakan, ruang obat, dan juga gudang. Pasien yang dijadikan sebagai penelitian ini berada pada kamar 5D dan 2A.

(2)

4.1.2 Gambaran Subjek Penelitian

Gambaran karakteristik pasien-1 dan pasien-2 yang dijadikan sebagai subjek penelitian salah satu intervensi keperawatan teknik relaksasi imajinasi terbimbing (guided imagery), yakni sebagai berikut.

4.1.2.1 Karakteristik Pasien-1 : a. Identitas pasien

Nama : Nn. A

Umur : 17 tahun

Jenis kelamin : Perempuan

Alamat : Perumahan Puri Sartika, Tukmudal Status perkawinan : Belum kawin

Agama : Islam

Suku : Jawa

Pendidikan : SMA

Pekerjaan : Pelajar No. Register : 1089272

Diagnosa medis : Apendisitis post apendiktomi Tanggal masuk RS : 10 Mei 2022

Tanggal operasi : 11 Mei 2022 Tanggal intervensi : 12-14 Mei 2022 b. Keluhan utama

Pasien mengeluh nyeri pada perut sebelah kanan bawah karena terdapat luka post op apendiktomi dengan skala nyeri 9 (nyeri berat).

(3)

4.1.2.2 Karakteristik Pasien-2 : a. Identitas pasien

Nama : Ny. T

Umur : 39 tahun

Jenis kelamin : Perempuan

Alamat : Desa Cupang, Kecamatan Gempol

Status perkawinan : Kawin

Agama : Islam

Suku : Sunda

Pendidikan : SMP

Pekerjaan : Pedagang

No. Register : 1089555

Diagnosa medis : Apendisitis post apendiktomi Tanggal masuk RS : 14 Mei 2022

Tanggal operasi : 18 Mei 2022 Tanggal intervensi : 19-21 Mei 2022 b. Keluhan utama

Pasien mengeluh nyeri pada perut sebelah kanan bawah karena terdapat luka post op apendiktomi. Skala nyeri yang dirasakan pasien skala 10 artinya nyeri berat.

(4)

4.1.3 Hasil Intervensi

Berikut adalah hasil yang didapatkan penulis setelah melakukan intervensi imajinasi terbimbing (guided imagery) kepada pasien-1 dan pasien-2.

4.1.3.1 Hasil intervensi pasien-1 :

Hasil intervensi teknik relaksasi imajinasi terbimbing (guided imagery) selama tiga hari dengan frekuensi latihan sebanyak satu kali dalam sehari yang didapatkan pada pasien-1 sebagai berikut.

Tabel 4.1

Hasil Intervensi pada Pasien-1

No Waktu Pelaksanaan Skala Nyeri

Sebelum Sesudah

1. Hari ke-1

Tanggal : 12 Mei 2022

9 7

2. Hari ke-2

Tanggal : 13 Mei 2022

6 4

3. Hari ke-3

Tanggal : 14 Mei 2022

3 1

Berdasarkan tabel 4.1 terjadi penurunan skala nyeri secara signifikan sesudah dilakukan intervensi teknik relaksasi imajinasi terbimbing (guided imagery). Skala nyeri sebelum dilakukan intervensi yaitu skala 9 (nyeri berat) dan sesudah dilakukan intervensi selama tiga hari berturut-turut skala nyeri menurun menjadi skala 1 (nyeri ringan) artinya terjadi penurunan sebanyak 8 skala dari hari pertama sampai hari ketiga. Kondisi pasien sebelum dilakukan intervensi tampak meringis, gelisah dan menggigit bibir untuk menahan nyeri, namun setelah dilakukan intervensi kondisi pasien dari hari ke hari berangsur membaik, secara objektif pasien terlihat lebih nyaman dan rileks dari sebelumnya,

(5)

sudah tidak gelisah dan meringis serta pasien juga sudah bisa melakukan aktivitas secara bertahap.

4.1.3.2 Hasil intervensi pasien-2 :

Hasil intervensi teknik relaksasi imajinasi terbimbing (guided imagery) selama tiga hari dengan frekuensi latihan sebanyak satu kali dalam sehari yang didapatkan dari pasien-2 sebagai berikut.

Tabel 4.2

Hasil Intervensi pada Pasien-2

No Waktu Pelaksanaan Skala Nyeri

Sebelum Sesudah

1. Hari ke-1

Tanggal : 19 Mei 2022

10 9

2. Hari ke-2

Tanggal : 20 Mei 2022

8 7

3. Hari ke-3

Tanggal : 21 Mei 2022

5 3

Berdasarkan tabel 4.2 terjadi penurunan skala nyeri sesudah dilakukan intervensi imajinasi terbimbing (guided imagery). Skala nyeri pasien sebelum dilakukan intervensi yaitu skala 10 (nyeri berat) dan sesudah dilakukan intervensi selama tiga hari berturut-turut skala nyeri menurun menjadi skala 3 (nyeri ringan) artinya terjadi penurunan sebanyak 7 skala dari hari pertama sampai dengan hari ketiga. Kondisi pasien secara objektif sebelum dilakukan intervensi tampak meringis, gelisah, mengatupkan gigi, dan berkeringat, setelah dilakukan intervensi pasien terlihat lebih nyaman dan tenang dari sebelumnya, gelisah dan meringis berkurang, konsentrasi pasien membaik, namun pasien masih

(6)

takut untuk melakukan aktivitas secara bertahap dengan alasan nyeri yang dirasakan akan bertambah apabila melakukan aktivitas.

4.1.4 Perbedaan Hasil Intervensi Pasien-1 dan Pasien-2

Hasil dari intervensi yang sudah diberikan pada pasien-1 dan pasien-2 terdapat perbedaan penurunan skala nyeri. Perbedaan skala nyeri tersebut yaitu sebagai berikut.

Tabel 4.3

Perbedaan Skala Nyeri Pasien-1 dan Pasien-2

No Waktu Pelaksanaan Skala Nyeri

Pasien-1 Pasien-2

Sebelum Sesudah Sebelum Sesudah

1. Hari ke-1 9 7 10 9

2. Hari ke-2 6 4 8 7

3. Hari ke-3 3 1 5 3

Berdasarkan tabel 4.3 terdapat perbedaan penurunan skala nyeri pada kedua pasien sesudah dilakukan intervensi imajinasi terbimbing (guided imagery). Perbedaan skala nyeri yang signifikan antara pasien-1 dan pasien-2 sesudah dilakukan intervensi selama tiga hari berturut-turut yaitu pasien-1 menunjukkan skala nyeri 1 dan terjadi penurunan sebanyak 8 skala, sedangkan pasien 2 menunjukkan skala nyeri 3 dan terjadi penurunan sebanyak 7 skala artinya intervensi imajinasi terbimbing (guided imagery) dapat menurunkan skala nyeri pada pasien post op apendiktomi meskipun penurunan skala nyeri pada kedua pasien terdapat perbedaan. Pasien-1 mengalami penurunan lebih cepat dibandingkan dengan pasien-2 yang disebabkan oleh beberapa faktor. Namun, kondisi

(7)

pasien-1 dan pasien-2 dari hari ke hari semakin membaik karena nyeri yang dirasakan berkurang.

4.2 Pembahasan

Pembahasan ini dimaksudkan untuk memberikan penjelasan terhadap hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis. Karakteristik pasien berdasarkan usia dalam penelitian ini adalah pasien yang berusia 17 tahun dan 39 tahun, yang termasuk kedalam kategori usia remaja dan dewasa.

Umumnya pada usia tersebut masih aktif dan mempunyai masalah kesehatan karena gaya hidup yang kurang baik sehingga memunculkan gangguan kesehatan termasuk penyakit apendisitis. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Simamora, dkk (2021) menyatakan bahwa sebagian besar usia responden yang melakukan operasi apendisitis yaitu responden yang berusia 15-25 tahun dengan jumlah 11 responden (68,8%) dari 16 responden. Sedangkan, penelitian yang dilakukan oleh Lestari & Isnanto (2016) menyatakan bahwa karakteristik pasien operasi apendiktomi berdasarkan usia paling banyak berada pada rentang usia 21-40 tahun yaitu 12 orang (60%) dari 20 orang.

Sehingga penulis berasumsi bahwa pasien yang terkena apendisitis dan dilakukan operasi apendiktomi terjadi pada usia 15-40 tahun (remaja-dewasa) yang disebabkan karena pola hidup yang kurang baik.

Karakteristik pasien berdasarkan jenis kelamin, dalam penelitian ini kedua pasien berjenis kelamin perempuan, keadaan tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Astrid & Memed (2019) menyatakan

(8)

bahwa responden yang dilakukan operasi apendiktomi paling banyak yaitu perempuan sebanyak 24 orang (66,7%), sedangkan laki-laki berjumlah 12 orang (33,3%). Sehingga penulis berasumsi bahwa pasien yang melakukan tindakan operasi apendiktomi terbanyak adalah perempuan.

Karakteristik pasien berdasarkan suku, dari hasil penelitian yang didapatkan penulis bahwa pasien-1 berasal dari suku jawa sedangkan pasien-2 berasal dari suku sunda. Hal ini disebabkan karena mayoritas masyarakat daerah Cirebon adalah suku jawa dan sunda. Selanjutnya, karakteristik berdasarkan pendidikan, diperoleh hasil bahwa pasien-1 masih bersekolah dibangku SMA sedangkan pasien-2 sudah tamat dengan pendidikan terakhir SMP. Pola hidup yang sehat bisa dilihat dari pengetahuan seseorang. Semakin tinggi tingkat pengetahuan seseorang akan semakin baik dalam menjaga kesehatannya dan juga proses pemahaman dalam menerima informasi akan lebih mudah dimengerti (Simamora, dkk, 2021). Sehingga penulis berasumsi bahwa seseorang yang berpendidikan lebih tinggi kemungkinan akan mudah dalam menerima informasi sehingga dapat kooperatif dalam menjaga pola hidup yang baik terutama post op apendiktomi.

Penatalaksanaan yang dilakukan pada pasien dengan diagnosa medis apendisitis yaitu apendiktomi. Apendiktomi merupakan suatu tindakan pembedahan yang dilakukan untuk mengangkat apendiks yang mengalami peradangan atau inflamasi. Tindakan ini dapat menimbulkan terjadinya perubahan kontinuitas jaringan pada tubuh. Saat terjadinya trauma pada jaringan, tubuh akan merespon rasa sakit berupa nyeri. Nyeri paling hebat

(9)

yang dirasakan pasien biasanya 12 sampai 36 jam setelah dilakukan pembedahan dan menurun setelah hari kedua atau ketiga post operasi (Jamaludin & Nur Khikmatul, 2017). Dari hasil penelitian didapatkan bahwa kedua pasien post op apendiktomi merasakan nyeri pada perut sebelah kanan bawah karena terdapat luka bekas operasi, hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Wijaya & Putri (2013) bahwa tanda dan gejala pasien post op apendiktomi salah satunya adalah nyeri pada luka post op. Sehingga penulis menarik kesimpulan bahwa antara fakta dan teori terdapat kesamaan.

Nyeri merupakan campuran reaksi fisik, emosi, dan perilaku seseorang. Respon terhadap nyeri yang dirasakan oleh pasien berbeda-beda tergantung dari berat ringannya nyeri yang dirasakan dan bagaimana pasien bisa menyikapi nyeri tersebut, serta nyeri dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti usia, jenis kelamin dan koping individu (Andarmayo, 2013).

Faktor usia merupakan salah satu faktor yang dapat mengubah presepsi dan pengalaman nyeri seseorang. Hasil penelitian yang didapatkan penulis yaitu pasien-1 berusia 17 tahun termasuk kategori remaja akhir dan pasien-2 berusia 39 tahun termasuk ke dalam kategori dewasa akhir. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Wijaya (2016) menyatakan bahwa usia dapat mempengaruhi intensitas nyeri, semakin tinggi usia responden semakin tinggi intensitas nyerinya. Sehingga penulis berasumsi bahwa skala nyeri lebih tinggi pada pasien usia dewasa daripada pasien usia remaja yang dibuktikan dengan skala nyeri pasien-1 di hari pertama yaitu skala 9 sedangkan pasien-2 skala nyeri yang dirasakan adalah skala 10.

(10)

Faktor jenis kelamin, kedua pasien dalam penelitian ini berjenis kelamin perempuan. Jenis kelamin dapat menjadi faktor yang signifikan dalam respon terhadap nyeri, karena laki-laki lebih jarang melaporkan nyeri dibandingkan dengan perempuan. Hal ini tidak berarti bahwa laki-laki sedikit merasakan nyeri, hanya saja mereka jarang untuk memperlihatkan hal tersebut (Black & Hawks, 2014). Sehingga penulis berasumsi bahwa perempuan akan lebih sering merespon terhadap nyeri yang dirasakan.

Faktor koping individu dari kedua pasien berbeda, pasien-1 lebih kooperatif dalam mengontrol nyeri dibandingkan dengan pasien-2, sama hal nya dengan presepsi pasien mengenai nyeri yang dirasakan. Koping individu merupakan respon individu terhadap hal maupun situasi yang mengancam dirinya baik fisik maupun psikologi. Indriyati & Vitri (2021) mengemukakan bahwa individu yang memiliki kepribadian mudah mengalami stress kemungkinan besar akan memilih menggunakan koping negatif yaitu dengan menghindari masalah. Akan tetapi bagi seseorang yang memiliki kepribadian percaya diri menjadikan stress sebagai suatu tantangan dan bukan ancaman sehingga mampu menghadapi dan mengatasi stressor dengan cepat. Selain faktor tersebut, bisa juga karena terjadinya komplikasi yang menyebabkan nyeri yang dirasakan oleh pasien lebih hebat dan akan berpengaruh terhadap kondisi pasien. Berdasarkan data objektif yang didapatkan penulis dalam penelitian ini bahwa pasien tampak meringis, menggigit bibir, gelisah dan immobilisasi. Sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh Judha, dkk (2012) yang menyatakan bahwa tanda dan gejala nyeri yaitu meringis, merintih, dahi

(11)

berkerut, menggigit bibir, gelisah, serta immobilisasi yang artinya antara fakta dan teori memiliki kesamaan. Untuk mengatasi nyeri yang dirasakan oleh kedua pasien, penulis melakukan intervensi teknik relaksasi imajinasi terbimbing (guided imagery) selama tiga hari dengan frekuensi terapi sebanyak satu kali dalam sehari dengan durasi waktu ± 10 menit.

Hasil penelitian yang didapatkan penulis setelah menerapkan teknik relaksasi imajinasi terbimbing (guided imagery) selama tiga hari yaitu terjadi penurunan skala nyeri, yang semula kedua pasien mengalami nyeri berat (skala 7-10) menjadi nyeri ringan (skala 1-3), sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Lolo & Nensi (2018) yang menyatakan bahwa dari 20 responden post operasi apendiktomi setelah diberikan intervensi imajinasi terbimbing skala nyeri ringan sebanyak 17 orang (85,0%) dan yang tidak nyeri sebanyak 3 orang (15,0 %), skala nyeri terbanyak adalah nyeri ringan.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa penerapan intervensi teknik relaksasi imajinasi terbimbing (guided imagery) dapat menurunkan skala nyeri pada pasien post op apendiktomi.

Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Jamaludin & Nur Khikmatul (2017), yang menunjukkan bahwa adanya penurunan skala nyeri setelah diberikan intervensi teknik relaksasi imajinasi terbimbing (guided imagery) yang dilakukan selama tiga hari kepada empat pasien post op apendiktomi. Keberhasilan terapi imajinasi terbimbing (guided imagery) disebabkan karena sikap kooperatif pasien yang dapat mengikuti arahan dengan baik sehingga penerapan terapi tersebut bisa berjalan sesuai

(12)

dengan apa yang diharapkan. Selain itu, posisi pasien yang nyaman dan kondisi lingkungan yang tenang dapat mempengaruhi terjadinya penurunan skala nyeri, karena terapi ini dibutuhkan konsentrasi dalam pelaksanaannya.

Konsentrasi pasien dapat terkontrol apabila suasana disekitar pasien kondusif serta terapi ini juga tidak menimbulkan efek samping yang dapat mengancam keselamatan pasien. Hasil penelitian yang didapatkan penulis bahwa kedua pasien post op apendiktomi melakukan teknik relaksasi imajinasi terbimbing (guided imagery) dengan baik dan didukung oleh lingkungan yang tenang sehingga efek penurunan skala nyeri dapat dilihat secara nyata. Penurunan skala nyeri yang terjadi tidak hanya disebabkan oleh relaksasi imajinasi terbimbing saja, namun didukung juga dengan terapi farmakologi yang merupakan kolaborasi antara perawat dan dokter yang menekankan pada pemberian obat. Obat yang digunakan untuk menghilangkan nyeri pada kedua pasien dalam penelitian ini diberikan melalui injeksi. Pasien-1 diberikan obat analgesik berupa santagesik yang mengandung metamizole sodium, digunakan untuk membantu mengatasi nyeri baik akut maupun kronis, begitu juga dengan pasien-2 diberikan obat antrain yang dimana kandungan dan kegunaannnya sama, kandungan didalamnya yaitu natrium metamizole, digunakan untuk mengurangi nyeri yang dirasakan pasien.

Penelitian ini menerapkan terapi relaksasi imajinasi terbimbing (guided imagery) dikarenakan terapi tersebut merupakan salah satu upaya yang dilakukan untuk penanganan nyeri secara non farmakologi pada pasien.

Terapi ini dapat mengalihkan konsentrasi dan perhatian dari rasa nyeri serta

(13)

berangsur-angsur menurunkan presepsi terhadap rasa sakit yang sedang dirasakan. Pasien akan merasa rileks dan tenang saat pasien menghirup oksigen dari udara melalui hidung menuju paru-paru, oksigen tersebut masuk kedalam tubuh sehingga aliran darah menjadi lancar dan pasien dapat mengalihkan perhatian terhadap nyeri ke hal-hal yang membuat pasien merasa senang dan bahagia sehingga nyeri yang dirasakan pasien berkurang (Yuhbaba & Megawati 2017). Berdasarkan hasil penelitian yang didapatkan oleh penulis, pada pasien-1 terjadi penurunan skala nyeri sebanyak 8 skala dan pada pasien-2 terjadi penurunan sebanyak 7 skala. Hal tersebut dapat membuktikan bahwa ada pengaruh yang signifikan dalam pemberian teknik relaksasi imajinasi terbimbing (guided imagery) pada pasien post op apendiktomi.

Imajinasi terbimbing (guided imagery) merupakan teknik menciptakan kesan dalam pikiran pasien, kemudian pasien berkonsentrasi pada kesan tersebut sehingga secara bertahap dapat menurunkan presepsi pasien terhadap nyeri. saat pasien berimajinasi dengan baik maka akan membantu menurunkan intensitas nyeri yang dirasakan karena fokus pasien terhadap nyeri dapat teralihkan dengan imajinasi yang menyenangkan tersebut (Yuhbaba & Megawati 2017). Rangsangan imajinasi akan dijalankan ke batang otak menuju sensor talamus untuk diformat. Rangsangan akan ditransmisikan ke amigdala dan hipokampus, sebagian lagi dikirim ke korteks serebri. Pada hipokampus hal yang menyenangkan akan diproses menjadi sebuah memori dan ketika mendapat rangsangan berupa imajinasi, memori

(14)

yang tersimpan tersebut akan muncul kembali. Setelah sampai di hipokampus rangsangan yang telah mempunyai makna dikirim ke amigdala yang akan membentuk pola respon sesuai dengan makna rangsangan yang akan diterima, sehingga subjek akan lebih mudah dalam mengasosiasikan dirinya untuk menurunkan sensasi nyeri yang dialami (Novarenta, 2013).

Berdasarkan hasil observasi dan pengukuran yang dilakukan penulis terdapat perbedaan penurunan skala nyeri sesudah dilakukan intervensi imajinasi terbimbing (guided imagery). Hal ini dapat terjadi disebabkan oleh beberapa faktor seperti faktor usia, dalam penelitian ini pasien-1 berusia 17 tahun sedangkan pasien-2 berusia 39 tahun. Pasien-1 lebih bisa mengontrol nyeri dengan baik dibandingkan dengan pasien-2, dibuktikan dengan pasien-1 dapat mengikuti arahan perawat dengan melakukan aktivitas secara bertahap sesuai dengan yang dianjurkan sedangkan pasien-2 belum bisa mengikuti saat diberikan arahan untuk melakukan aktivitas secara bertahap. Sehingga, penulis berasumsi bahwa pasien yang mengalami penurunan skala nyeri sesudah dilakukan intervensi bisa dipengaruhi oleh usia karena usia remaja lebih mudah untuk mengikuti arahan yang diberikan dan bersikap kooperatif dibandingkan dengan usia dewasa.

Faktor kecemasan juga bisa berpengaruh terhadap perbedaan penurunan nyeri pada pasien, dimana tingkat kecemasan yang dialami oleh pasien dapat meningkatkan presepsi pasien terhadap nyeri. Hasil observasi yang didapatkan bahwa pasien-2 cenderung lebih terlihat gelisah dan cemas

(15)

sehingga fokus pasien kurang dibandingkan dengan pasien-1. Hal ini terjadi karena intensitas nyeri yang dirasakan oleh pasien-2 lebih tinggi. Namun, kedua pasien masih bisa mengikuti arahan yang diberikan dan adanya kontak mata saat berkomunikasi. Secara teori menyatakan bahwa seseorang yang terlihat gelisah lebih sensitif terhadap nyeri dan lebih sering mengeluh nyeri yang dirasakan. Ketakutan yang tinggi terhadap nyeri dapat meningkatkan tingkat kecemasan seseorang sehingga terjadinya peningkatan sensitivitas terhadap nyeri (Nida & Sari, 2016). Penulis berasumsi bahwa perbedaan penurunan skala nyeri sesudah dilakukan intervensi bisa dipengaruhi oleh faktor usia serta tingkat kecemasan seseorang.

4.3 Keterbatasan Penelitian

Penelitian yang dilakukan penulis memiliki beberapa keterbatasan dalam pelaksanaannya, diantaranya yaitu:

4.3.1 Pasien yang dilakukan operasi apendiktomi jumlahnya terbatas, hal ini terjadi karena ada beberapa pasien yang menolak untuk dilakukan tindakan operasi tersebut.

4.3.2 Lama rawat inap post operasi antara pasien-1 dan pasien-2 berbeda.

Pasien-1 sudah diperbolehkan pulang dua hari setelah operasi, sedangkan pasien-2 tiga hari setelah operasi baru diperbolehkan pulang sehingga pelaksanaan intervensi di hari ketiga pada pasien-1 melakukan kunjungan rumah.

(16)

4.3.3 Intensitas nyeri yang dirasakan pasien pada penelitian ini termasuk ke dalam kategori nyeri berat sehingga konsentrasi pasien berkurang.

4.4 Implikasi Keperawatan

Penelitian yang dilaksanakan di RSUD Arjawinangun Kabupaten Cirebon dengan judul “Penerapan Teknik Relaksasi Imajinasi Terbimbing (Guided Imagery) terhadap Penurunan Skala Nyeri pada Pasien Post Op Apendiktomi” dapat memberikan dampak positif bagi pelayanan kesehatan di rumah sakit, terutama perawat dalam memberikan asuhan keperawatan secara mandiri. Terapi non farmakologis tersebut diharapkan dapat digunakan sebagai alternatif dalam penanganan nyeri khususnya untuk pasien post op apendiktomi selain dengan menggunakan terapi farmakologis (obat analgesik).

Referensi

Dokumen terkait