• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV - Smart Library UMRI

N/A
N/A
Nguyễn Gia Hào

Academic year: 2023

Membagikan "BAB IV - Smart Library UMRI"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

Anak yang lahir dari perkawinan yang tidak tercatat hanya memiliki hubungan keperdataan dengan ibu dan keluarga ibu, tidak memiliki hak waris dari ayah, tidak dapat menunjukkan akte kelahiran, tidak diakui oleh negara, tidak mendapat perlindungan hukum dan akan berdampak pada pendidikan dan perkembangan anak. Dengan pemahaman masyarakat yang sangat sedikit, akibatnya kesadaran masyarakat juga mempengaruhi pelaksanaan perkawinan di luar nikah dengan anggapan bahwa dicatatkan atau tidak dicatatkan adalah sama. Dari pemaparan faktor-faktor di atas dapat dilihat atau disimpulkan bahwa meningkatnya perkawinan tidak tercatat akan berdampak pada.

Nikah siri membawa dampak yang sangat buruk, ada istri dan wanita yang melakukan nikah siri pada umumnya, baik secara hukum maupun sosial. Dalam hal perkawinan, anak yang lahir dari perkawinan yang tidak tercatat akan sulit menuntut hak warisnya karena statusnya tidak jelas. Bagi anak perempuan yang lahir dari perkawinan yang tidak tercatat akan sulit untuk menikah, karena yang wajib menikah adalah bapaknya.

44 Perkawinan di luar nikah mempunyai pengaruh yang sangat buruk tidak hanya terhadap anak yang lahir dari perkawinan di luar nikah, tetapi juga terhadap perempuan sebagai istri, karena dalam konsepsi hukum perkawinan di luar nikah dianggap tidak ada, sehingga perkawinan tersebut dianggap tidak pernah terjadi. terjadi. Sangat jelas dari uraian di atas bahwa anak yang lahir dari perkawinan di luar nikah juga mempunyai hak seperti anak lainnya. Dilihat dari segi kekerabatan, anak yang lahir dari perkawinan di luar nikah tidak mempunyai hubungan langsung dengan keluarga ayahnya sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 43 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bahwa anak yang lahir dari perkawinan di luar nikah hanya mempunyai hubungan keperdataan dengan pihak keluarga. ibu dan keluarga ibu.

Status anak dalam perkawinan siri berdasarkan uji hukum putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010 (Studi Kasus Status Anak.

Status Anak Dalam Perkawinan Siri Berdasarkan Tinjauan Yuridis Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 (Studi Kasus Status Anak

Sekilas Tentang Mahkamah Konstitusi

48 1) Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai yang bertindak untuk menikahkannya; Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang menjalankan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

Kedudukan Perkara Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU- VIII/2010 (Studi Kasus Status Anak Dalam Perkawinan Siri

Dengan berlakunya Pasal 2 UU Perkawinan alinea kedua tersebut, maka hak konstitusional pemohon sebagai warga negara yang dijamin oleh Pasal 28b alinea pertama dan kedua serta Pasal 28D UUD 1945 alinea pertama terlanggar. dasar Ayat 1 Pasal 43 undang-undang tentang perkawinan, anak pemrakarsa hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya, demikian pula dalam Islam. Hanya saja tidak benar jika anak di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan keperdataan dengan ibu dan keluarga ibu saja, karena tergantung dari itu sah atau tidaknya perkawinan menurut norma hukum. .

Dengan berlakunya Pasal 43 Ayat 1 UU Perkawinan, maka hak konstitusional Pemohon sebagai ibu dan anak untuk memperoleh pengesahan perkawinannya dan status hukum anak-anaknya dijamin oleh Pasal 28B Ayat 1 dan Ayat 2 dan Pasal 28D Ayat 1 UUD 1945 telah dilanggar. Merujuk pada ketentuan UUD 1945, Pasal 2(2) dan Pasal 43(1) UU Perkawinan bertentangan dengan hak konstitusional pemohon dan anaknya. Bahwa pemohon adalah pihak yang secara langsung mengalami dan meyakini bahwa hak konstitusionalnya dirugikan oleh diundangkannya UU Perkawinan terkait dengan Pasal 2(2) dan Pasal 43(1), sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum yang ditimbulkannya.

Hak konstitusional pemohon telah dilanggar oleh norma hukum dalam UU Perkawinan. Terbukti bahwa Pemohon mempunyai hubungan sebab akibat kerugian konstitusional dengan berlakunya UU Perkawinan yaitu Pasal 2(2) dan Pasal 43(1), yang bertentangan dengan Pasal 28B(1) dan (2) dan Pasal 28D, alinea 1 UUD 1945. 56 Karena ketentuan dalam UU – UU Perkawinan tidak ada kepastian hukum mengenai perkawinan pemohon dan anak hasil perkawinan.

Menimbang bahwa maksud dan tujuan pemohon a quo untuk memperbaiki Pasal 2(2) dan Pasal 43(1) UU Perkawinan bertentangan dengan ketentuan Pasal 28B(1) dan (2) dan Pasal 28D ayat 1 yang menetapkan hak konstitusional Pemohon dan anaknya, adanya hubungan sebab akibat antara kerugian yang dimaksud dengan sahnya undang-undang yang diminta oleh Pemohon untuk diuji, sehingga pemohon memenuhi persyaratan status hukum untuk mengajukan uji materiil yang diajukan . Permohonan para Pemohon adalah untuk menguji konstitusionalitas norma Pasal 2(2) dan Pasal 43(1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 terhadap UUD 1945, salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi, sehingga bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili permohonan a quo. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia yang diatur dengan undang-undang;

Hilangnya hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 akibat berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujiannya. Hak konstitusional ini dirugikan karena ditetapkannya ketentuan Pasal 2 ayat 2, dan Pasal 43, ayat 1, dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Berdasarkan akibat yang dialami para Pemohon terhadap hak konstitusional para Pemohon, menurut Mahkamah terdapat hubungan sebab akibat antara kerugian tersebut dengan lahirnya undang-undang yang dimintakan pembaharuan, sehingga para Pemohon memenuhi.

Inisiatif utama para pemrakarsa adalah pengujian konstitusional alinea kedua Pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa,. Adapun Ayat 1 Pasal 43 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa “anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan keperdataan dengan ibunya dan keluarga ibunya”, secara bersyarat bertentangan dengan UUD 1945 yaitu inkonstitusional sepanjang ayat tersebut ditafsirkan menghapuskan hubungan hukum perdata dengan seorang laki-laki yang dapat ditunjukkan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah dengan ayahnya.

Analisis Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 tentang Uji Materil (Yudicial Review) Terhadap Pasal 2 Ayat 2 Dan Pasal 43

Anak yang lahir di luar nikah hanya memiliki hubungan keperdataan dengan ibu dan keluarga ibu. Anak yang lahir di luar perkawinan berada dalam hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya dan dengan seorang laki-laki sebagai bapak yang dapat dibuktikan adanya hubungan darah berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan. hukum, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayah. Dengan berlakunya Pasal 2 Ayat 2 dan Ayat 1 Pasal 43 UU No. 1 Tahun 1974, Machica Mochtar dan Muhammad Iqbal Ramdhan hak konstitusionalnya sebagai warga negara Indonesia dijamin oleh Pasal 28B(1) dan (2) dan Pasal 28D(1) UUD 1945 dicabut karena status perkawinannya menjadi tidak sah, mereka juga telah menjadi anak haram yang dilahirkannya.

Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa anak yang lahir di luar nikah dianggap sebagai anak di luar nikah. Menurut Mahkamah Konstitusi, tentu tidak mungkin seorang perempuan hamil tanpa adanya pertemuan antara ovum dan spermatozoa, baik melalui hubungan seksual maupun melalui cara lain berdasarkan perkembangan teknologi yang menyebabkan terjadinya pembuahan. Oleh karena itu, tidak tepat dan tidak adil apabila undang-undang menetapkan bahwa anak yang lahir dari kehamilan karena hubungan seksual di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan dengan perempuan itu sebagai ibunya.

Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan penggugat dengan salah satu diktumnya mengubah ketentuan Pasal 43 ayat 1, di mana dinyatakan bahwa. Anak yang lahir di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya, serta dengan laki-laki sebagai bapaknya, yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk perdata. hubungan dengan keluarga ayah mereka. Dalam Islam tidak ada pencatatan perkawinan Jika perkawinan dilakukan sesuai dengan rukun dan rukunnya, maka perkawinan itu sah dan anak yang lahir dari perkawinan itu disebut juga anak sah, sehingga anak tersebut mempunyai hubungan keluarga. dengan orang tuanya.

Anak yang lahir di luar nikah atau anak yang lahir di luar nikah yang dilaksanakan menurut ketentuan agama dan kepercayaannya, tetapi tidak tercatat di KUA atau Kantor Catatan Sipil, adalah anak sah secara substantif tetapi secara formal tidak sah. Sedangkan anak yang lahir di luar perkawinan orang tuanya atau anak yang lahir dari hubungan antara laki-laki dan perempuan tanpa ikatan perkawinan adalah anak yang pada hakekatnya tidak sah dan juga tidak sah secara formal (anak hasil zina). Mahkamah Konstitusi melihat bahwa jika ada anak, maka harus ada laki-laki dan perempuan yang menyebabkan anak tersebut dilahirkan.

Putusan MK ini menegaskan adanya hak keperdataan bagi anak yang harus dipenuhi oleh laki-laki yang dapat dibuktikan sebagai ayah kandungnya. mengakui status ini sebagai status perdata anak luar nikah. 67 tidak serta merta berarti bahwa anak luar nikah mempunyai hubungan keluarga dengan laki-laki yang menghamili ibunya. Hak keperdataan yang diberikan oleh Mahkamah Konstitusi kepada anak yang bersangkutan hanyalah hak keperdataan yang terbatas pada hubungan perseorangan antara anak dengan bapak kandungnya.

Oleh karena itu, putusan Mahkamah Konstitusi ini tidak bertentangan dengan hukum Islam yang mengkaitkan lahirnya anak luar nikah hanya dengan ibunya, karena hak-hak yang diakui Mahkamah Konstitusi bagi anak yang lahir di luar nikah bukanlah hak tersebut. Jadi ini berlaku baik bagi anak sah maupun anak luar kawin, persoalannya siapa yang wajib memenuhi hak-hak tersebut.

Referensi

Dokumen terkait

Undang-Undang No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan membahas sebatas pada kedudukannya saja pada pasal 43 ayat (1) yang mengatakan bahwa anak diluar perkawinan

74 Tahap Kreativitas Pembahasan Kesimpulan dan Saran Selesai Implementasi Metode A Tahap Analisa Tahap Pengembangan Tahap Rekomendasi Gambar 4.1 Flowchart Metodologi Penelitian