Merujuk kepada definisi tersebut, ternyata sunnah atau hadis mempunyai makna yang sangat kompleks yang merangkumi semua riwayat yang bersumberkan Rasulullah dari segi ucapan, perbuatan, taqrir, sifat dan tingkah laku baginda baik sebelum diangkat menjadi rasul mahupun sesudahnya (qabla). nubuwwat dan ba'da mubuwwat). Berkaitan dengan perkara di atas, Muhammad 'Ajjaj al-Khatib menambah dalil bahawa apabila disebut hadith, khususnya pada pendapat ahli hadith (muhadditsun), yang dimaksudkan ialah riwayat-riwayat yang datang daripada Rasulullah saw. dan riwayat yang dimaksudkan ialah apa yang berlaku selepas baginda dilantik sebagai rasul (ba'da nubuwwaat).4 Maka dapat dipastikan bahawa pengertian hadith adalah lebih sempit skopnya berbanding dengan pengertian sunnah, yang meliputi segala sesuatu , apa. sedang diberitahu. daripada Nabi saw, baik yang berlaku sebelum dan selepas bi'tsah. Pengertian sunnah menurut lafaz takrifnya ialah merangkumi semua riwayat yang bersumberkan Rasulullah selain al-Quran, yang wujud dalam bentuk perkataan, perbuatan dan taqrir (ketetapan) baginda yang boleh dijadikan hujjah. hukum syar'i.
Kerana ulama Ushul Fiqh ternyata hanya merujuk kepada makna sunnah dalam riwayat-riwayat Rasulullah saw yang hanya mengandungi hukum syar'i. Ya, ini bermakna riwayat-riwayat Rasulullah saw yang tidak ada kaitan sama sekali dengan hukum syar'i, misalnya riwayat-riwayat yang menjelaskan masalah agama, tidak termasuk dalam kategori memahami Sunnah. Khalid berkata: “Setelah Rasulullah bersabda demikian, aku segera memotong daging cicak itu dan memakannya, sedangkan Rasulullah hanya melihatku” (HR. Bukhari dan Muslim).
Sungguhpun begitu, tidak semua sikap berdiam diri Rasulullah terhadap perkataan dan perbuatan para sahabat boleh dikatakan sebagai takrir. Contohnya: “Rasulullah s.a.w. adalah sebaik-baik manusia dari segi bentuk muka dan badannya, tidaklah terlalu tinggi dan tidak pula terlalu pendek” (HR. Bukhari dan Muslim); (2) salasilah, nama dan tahun lahir yang ditetapkan oleh rakan dan ahli sejarah; (3) Himet atau hajatnya yang masih belum tertunai. Mengenai kesahihan hadis, sebahagian orientalis berpendapat bahawa hadis pada masa awal perkembangannya pada umumnya tidak tercatat sebagai al-Quran.
Adapun hadis Nabi sendiri, selain menghafalnya, mereka cenderung langsung melihat amalan yang dilakukan Nabi, kemudian mereka mengikutinya; ketiga, karena kekhawatiran terjadinya iltibas (pencampuran) antara Al-Qur'an dan hadis.15.
Problem Otentisitas Hadis
Dengan tegas – sebagaimana dikutip oleh Juynboll – Goldziher mengatakan bahwa “hampir tidak ada satu tradisi pun yang dapat dibuktikan sebagai kata-kata otentik dari nabi Orientalis, suatu gambaran yang dapat diandalkan mengenai perilakunya”.34 Ini berarti bahwa Goldziher mencoba memasukkan virus keraguan ke dalam pikiran umat Islam mengenai keaslian hadis tersebut. Namun pada kenyataannya banyak kitab hadis yang ditulis oleh para ulama seperti yang dikenal dengan tiang as-sittah atau bahkan tiang as-sab'ah. Orientalis ini berkesimpulan bahwa tidak ada satu pun hadis Nabi yang benar-benar bersumber dari Nabi, khususnya hadis yang berkaitan dengan fiqih.
Mengenai kepalsuan hadis dan perlunya pembuktian kesahihan hadis, penulis harus mengemukakan salah satu pandangan SG. Lebih jauh lagi, keberadaan dan bahaya pemalsuan hadis telah diketahui sejak masa awal Islam. Pada mulanya hadis tersebut mungkin cukup murni karena sebagian besar para sahabat adalah orang-orang yang mengenal Nabi dengan baik.
Sementara itu, Mahmud Muhamad Thaha menyatakan dengan nada agak pesimistis bahwa segala upaya untuk mengubah keaslian hadis dari pemalsuan atau mengembalikan sunnah yang tercemar adalah tugas yang hampir mustahil dilakukan saat ini.37. Sebab jika kajian Islam hanya didasarkan pada pendekatan teologis, maka akan cenderung menghasilkan kesimpulan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan dan kurang kritis dalam melihat permasalahan, bahkan terkesan tidak ilmiah sama sekali. Permasalahan yang kemudian muncul adalah apakah keautentikan hadis tersebut dapat dibuktikan secara historis dan ilmiah serta pendekatan apa dan bagaimana sebaiknya digunakan.
Ia telah menunjukkan fakta sejarah bahwa semua permasalahan hadis Nabi bertumpu pada pertanyaan sentral status sunnah, yang merupakan sumber ajaran kedua setelah Al-Qur'an. Dengan mengumpulkan semua materi yang terkait atau katakanlah semua hadis yang terkait, membandingkannya secara cermat satu sama lain, seseorang akan menilai keakuratan para ulama. Azami—Ibnu Mubarak (118-181 H) pernah berkata: “Untuk sampai pada pernyataan yang shahih seseorang harus membandingkan perkataan ulama yang satu dengan yang lain.”39.
Bandingkan hadis tersebut dengan ayat Al-Qur'an yang terkait.40 Perhatikan poin-poin yang disebutkan oleh M.M. Azami, dapat ditegaskan bahwa pengecekan keabsahan hadis dapat dilakukan dengan melakukan kritik eksternal atau kritik sanad dan kritik internal atau kritik sanad. Selain itu, kaidah kesahihan hadis setidaknya dapat dijelaskan melalui empat kriteria kesahihan hadis sebagai berikut: (1) Sanad yang berkesinambungan (ittishal as-sanad); (2) Perawinya jujur ('is ar-rawi); (3) Naratornya bodoh; dan (4) Tidak ada kejanggalan ('adam ash-syudzudz).41.
Kedudukan Sunah atau Hadis dalam Islam
Jika sunnah berfungsi sebagai penjelasan atau penafsiran terhadap Al-Quran, maka jelas statusnya berada di bawah Al-Quran. Hadits sendiri menegaskan bahwa hadits atau sunnah menempati urutan kedua setelah Al-Quran. Senada dengan dalil as-Syatibi yang pertama di atas, Mahmud Abi Rayyah mengatakan bahwa kedudukan Sunnah atau Hadits di bawah Al-Quran disebabkan oleh perbedaan tingkat penularannya.
Al-Qur'an sampai kepada umat Islam secara mutawatir dan tanpa keraguan sedikit pun, oleh karena itu Al-Qur'an dikatakan qath'i al-wurud, baik secara global maupun rinci. Sementara itu, tidak semua hadis sampai kepada umat Islam melalui mutawatir, bahkan sebagian besar diterima pada hari-hari biasa. Dengan demikian, hadis-hadis tersebut bersifat zhanni al-wurud, kecuali hadis mutawatir yang jumlahnya relatif sedikit.
اظيفح مهيلع ك انلسرأ امف ىّل وت نمو الله ع اط أ دقف ل وسرلا عطي نم
ن إف ,مكنم رملأا ى
م ويلاو للهاب نونم ؤت متنك نإ لوسرلاو الله ىل إ هوّدرف ئيش ىف متعز انت لايو أت نسحأ و ريخ كل ذ .رخلأا
Urgensi dan Fungsi Sunnah terhadap al-Qur’an
Sebagai salah satu sumber ajaran Islam, Sunnah memegang peranan penting dalam penafsiran Al-Qur'an. Dengan kata lain kehadiran Muhammad SAW dengan Sunnahnya berperan dalam menjelaskan makna atau tujuan Firman Tuhan (al-Qur’an) yang sebagian besar masih mempunyai makna global.
ذلا اهّي أ ايأ اولك أت لا اونم ا ني
لط ابل اب مكنيب مكل اوم
هسفن نم بيطب ّلاإ ئرما ل ام ّلحي لا
ىّلص أ ىن ومتي أر امك اوّلص
اّمم بيصن ء اسّنللو ن وبرق لأاو ن ادل اولا كرت اّمم بيصن لاجرلل اض ورفم ابيصن ,رثك وا هنم ّاق اّمم نوبرقلأاو نادلاولا كرت
ائيش ل وتقملا نم لت اقلا ثري لا
Kemudian Nabi SAW menetapkan batas dipotongnya tangan kanan sampai pergelangan tangan.
نيحف اسم ريغ نينسحم مكل اومأب اوغتبت نأ مكل ذ ء ارو ام مكل ّلح أ
اهتل اخ و ةأرملا نيب لاو اهتّمعو ة أرملا نيب عمجي لا
Artinya: “Tidak boleh seseorang mengumpulkan (menggabungkan) seorang wanita dengan ‘ammahnya (saudara perempuan bapaknya), dan seorang wanita dengan khalahnya (saudara perempuan ibunya)” (HR. Bukhari-Muslim). Namun jika dicermati, apa yang ditetapkan Nabi pada hakekatnya merupakan penjelasan atas apa yang disinggung Allah dalam Al-Qur'an, atau perluasan dari apa yang Allah sebutkan secara terbatas. Namun sebenarnya larangan tersebut hanyalah “perpanjangan” dari larangan Allah terhadap memakan sesuatu yang najis dalam Qs.
Dalam hal ini, ternyata tidak semua ulama sepakat mengenai fungsi Sunnah tersebut; kelompok yang sepakat mendasarkannya pada Ismah Nabi, khususnya di bidang syariah, apalagi banyak ayat yang menunjukkan adanya wibawa Nabi yang harus diperhitungkan. Sedangkan kelompok yang menolak anggapan bahwa sumber hukum Islam hanya Allah (la hukm illa Allah), sehingga rasul harus mengacu pada kitab-Nya ketika hendak menentukan hukum. Jika hal ini menjadi permasalahan, Quraish Shihab55 memberikan solusi bahwa jika fungsi Sunnah Al-Qur’an diartikan sebagai bayan murad (penjelasan maksud Allah) Allah SWT, baik itu sebagai penjelasan, penguatan, perincian, pembatasan atau penguatan. ketentuan hukum, maka tetap saja semua itu berasal dari Tuhan.
Jadi, ketika rasul melarang seorang laki-laki mengawinkan istrinya dengan 'ammah atau khlah, itulah zhahirnya. Fungsi ini diperuntukkan bagi mereka yang meyakini hadis dapat menafsirkan Al-Qur'an, padahal pendapat seperti ini terkesan berlebihan.
إ مكيلع بتكا مكدح أ رضح اذ
ا اريخ كرت نإ تومل نيدل اولل ةّيص ول
اب نيبرق لأاوفورعمل
Malik, Hanafi dan mayoritas ulama – baik dari kalangan Mu’tazilah maupun Asy’ariyah – berpendapat bahwa ada kemungkinan adanya teks seperti itu.56 Sekalipun berbeda pendapat, mereka semua sepakat dengan apa yang disepakati secara umum. bahwa yang dapat diartikan adalah Al-Qur'an, dimana itu bersifat mutawatir. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah memang ada hadis-hadis mutawatir yang membenarkan Al-Qur'an. Quraish Shihab mengutip az-Zarqani menyatakan bahwa hadits Ahad ada empat, namun dikemukakan oleh para ulama bahwa hadits-hadits tersebut merupakan menasakh Al-Qur'an.
Sebaliknya, setelah diteliti, ternyata yang menunjukkan pemansuhan bukanlah hadis itu sendiri, tetapi ayat al-Quran yang ditunjukkan oleh hadis itu. Sehingga ini, isu pembetulan hadis-hadis ayat al-Quran menjadi semakin rumit kerana teori dan fakta sejarahnya berbeza. Contoh di atas masih diperdebatkan oleh ulama, adakah benar hadis (Ahad) mengupas al-Quran Qs.
Berdasarkan hal tersebut, lanjut Shihab57, sebenarnya hadis tersebut menyatakan bahwa menasakh merupakan ayat warisan, bukan hadis yang bernilai pada minggu sebelumnya.