5.1 Pengumpulan dan Determinasi
Pada penelitian ini, bahan yang digunakan adalah bagian biji dari tanaman salak yang telah dipisahkan dari kulit dan dagingnya. Biji salak ini diperoleh dari desa Cijambu Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Determinasi dilakukan di Herbarium Jatinangor, Laboratorium Taksonomi Tumbuhan, Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Padjadjaran, untuk mengetahui kebenaran identitas dari tanaman yang digunakan. Hasil determinasi dapat dilihat pada Lampiran 1. Berdasarkan hasil determinasi yang diperoleh dapat dipastikan bahwa tanaman yang digunakan adalahSalacca zalacca (Gaert.) Voss.
5.2 Pemeriksaan Makroskopik
Hasil pemeriksaan makroskopik terhadap 10 sampel yang digunakan menunjukkan biji salak berbentuk bulat lonjong, berwarna coklat kehitaman, tekstur sangat keras, tidak berbau dan tidak berasa. Hasil makroskopik ini sesuai dengan literatur yang digunakan yang menyatakan bahwa biji salak memiliki tekstur yang keras dan juga berwarna hitam kecoklatan (Schuilling & Moges;
1992: 282). Biji salak ini memiliki lebar berkisar antara 1,65 – 2,15 cm, dan
panjang 1,76 – 2,75 cm. Hasil pemeriksaan makroskopik simplisia dapat dilihat padaTabel V.1.
Tabel V.1Hasil pemeriksaan Makroskopik pada Simplisia Biji Salak
5.3 Pemeriksaan Mikroskopik
Hasil dari pengujian mikroskopik menggunakan kloralhidrat dan floroglusinol, dalam serbuk biji salak ditemukan adanya jaringan parenkim, sel batu dan sel minyak (Gambar IV.1). Hasil identifikasi ini sesuai dengan keberadaan senyawa minyak atsiri yang teridentifikasi pada tahapan penepisan skrining ftokimia.
Sementara keberadaan sel batu pada uji identifikasi mikroskopik didasarkan pada kerasnya dinding permukaan dinding biji salak, karena fungsi utama sel batu untuk melindungi bagian-bagian yang memiliki sifat lunak.
no lebar (cm) panjang (cm)
1 2,15 2,75
2 1,9 2,45
3 1,85 2,22
4 2,07 2,56
5 1,65 2,38
6 1,86 1,76
7 1,83 2,24
8 1,95 2,67
9 1,83 2,4
10 2,09 2,43
a b c
Gambar IV.1Hasil pengujian mikroskopik dengan menggunakan reagen flouroglusinol - HCl dan kloralhidrat dengan perbesaran 10x10. a. Kelenjar minyak, b. Jaringan parenkim, c Sel batu
5.4 Penetapan Parameter Standar Simplisia dan Ekstrak
Penetapan parameter standar simplisia dan ekstrak meliputi parameter spesifik dan non spesifik. Parameter non spesifik lebih terkait dengan faktor lingkungan dalam pembuatan simplisia, sedangkan parameter spesifik terkait langsung dengan senyawa yang ada di dalam tanaman, sehingga dapat digunakan untuk mengetahui identitas kimia dari simplisia.
Penetapan parameter non spesifik ini meliputi penetapan kadar abu total, kadar abu tidak larut asam, kadar air, susut pengeringan dan penetapan bobot jenis. Sedangkan parameter spesifik meliputi uji organoleptik, penetapan kadar sari larut air dan penetapan kadar sari larut etanol. Hasil penetapan parameter standar simplisia dan ekstrak ditunjukan padaTabel V.2.
Tabel V.2.Hasil Parameter Standar Simplisia dan Ekstrak
Keterangan : (-) tidak dilakukan pengujian
5.4.1 Penetapan kadar abu total
Parameter kadar abu total bertujuan untuk memberikan gambaran kandungan mineral internal dan eksternal yang berasal dari proses awal pengolahan simplisia sampai akhir. Penetapan kadar abu total dari simplisia yang diperoleh dari biji salak sebesar 2,883%. Kadar abu total ini bisa berasal dari dalam tumbuhan itu sendiri ataupun bisa dari luar seperti pasir yang menempel pada simplisia (Depkes RI, 2000:17). Contoh perhitungan dapat dilihat pada Lampiran 2.
5.4.2 Penetapan kadar abu tidak larut asam
Penetapan kadar abu tidak larut asam bertujuan untuk mengetahui derajat kebersihan dari sebuah simplisia yang akan diteliti, karena semakin besar persentase yang dihasilkan maka semakin tidak bersih atau banyak kontaminasi dari luar barupa pasir atau tanah. Tanah atau pasir adalah suatu silikat yang tidak terbakar dan senyawa silikat ini tidak larut asam. Tidak hanya masalah kebersihan, tapi juga keamanan/kualitas simplisia berdasarkan tingkat kandungan senyawa anorganik yang berasal dari polutan. Penetapan kadar abu tidak larut
n-heksana Etil asetat Etanol
1 Kadar abu total 2,88% - - -
2 Kadar abu tidak larut asam 0,53% - - -
3 Kadar air 4,78% - - -
4 Susut pengeringan 2,27% - - -
5 Bobot jenis ekstrak - 0,63 0,772 0,86
6 Kadar sari larut air 15,37% - - -
7 Kadar sari larut etanol 5,09% - - -
Ekstrak
No Parameter Simplisia
asam dari simplisia biji salak adalah sebesar 0,53%. Contoh perhitungan dapat dilihat padaLampiran 2.
5.4.3 Penetapan kadar air
Penetapan kadar air bertujuan untuk mengetahui banyaknya air yang terkandung dalam simplisia. Karena semakin tinggi kandungan air dalam simplisia akan mempengaruhi masa simpan dan simplisia tersebut. Semakin tinggi kandungan air pada simplisia mengakibatkan bakteri, kapang dan kamir mudah untuk berkembang biak dan mempercepat reaksi enzimatis sehingga dapat mempengaruhi kualitas simplisia. Penetapan kadar air pada simplisia dilakukan menggunakan destilasi azeotroph. Hasil yang diperoleh dari simplisia biji salak ini yaitu 4,775 %. Persyaratan yang ditentukan oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia (1985:33) untuk kadar air yaitu tidak boleh lebih dari 10% v/b. Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa simplisia biji salak pada penelitian yang digunakan masih memenuhi syarat yang ditentukan. Contoh perhitungan dapat dilihat padaLampiran 3.
5.4.4 Penetapan susut pengeringan
Penetapan susut pengeringan ini bertujuan untuk mengetahui jumlah senyawa yang hilang pada proses pengeringan, (Depkes 2000:13) yang disebabkan oleh pemanasan saat proses terjadi. Pada penelitian ini, susut pengeringan simplisia diperoleh 2,273%. Contoh perhitungan dapat dilihat pada Lampiran 4.
5.4.5 Bobot jenis (BJ) Ekstrak
Penetapan bobot jenis bertujuan untuk memberikan batasan tentang besarnya massa persatuan volume yang merupakan parameter khusus ekstrak yang memberikan gambaran senyawa kimia terlarut (Depkes RI 2000:13). Hasil yang diperoleh dari ektrak kental ekstrak n-heksana 0,630, ekstrak etil asetat 0,772, ekstrak etanol 0,86. Hasil ini memberikan informasi bahwa pada ekstrak etanol yang diperoleh menunjukan kandungan kimia yang lebih tinggi dibanding dengan ekstrak n-heksana maupun ekstrak etil asetat. Contoh perhitungan dapat dilihat padaLampiran 5.
5.4.6 Organoleptik
Pengujian organoleptik dilakukan terhadap simplisia dan ekstrak biji salak.
Hasil pemeriksaan organoleptik serbuk biji salak yang telah dikeringkan yaitu berwarna putih, barbau khas, dan berasa pahit, sedangkan hasil pemeriksaan organoleptik pada ketiga ekstrak berbeda-beda. Ekstrak n-heksana berbentuk kental, warna hitam agak kuning, bau khas. Ekstrak etilasetat berbentuk padat, warna kekuningan, bau khas, sedangkan ekstrak etanol 70% berbentuk kental, warna coklat kehitaman, bau khas.
5.4.7 Penetapan kadar sari larut air
Pada penetapan kadar sari larut air, simplisia terlebih dahulu dimaserasi selama ± 24 jam dengan air. Pada penetapan kadar sari larut air, simplisia ditambahkan kloroform terlebih dahulu, penambahan kloroform tersebut bertujuan sebagai zat antimikroba atau sebagai pengawet. Pada saat maserasi yang yang
menggunakan pelarut air, ekstrak akan lebih mudah rusak karena air merupakan media yang baik untuk pertumbuhan mikroba, atau dikhawatirkan terjadi proses hidrolisis yang akan merusak senyawa pada ekstrak. Hasil kadar sari larut air dari simplisia biji salak adalah 15,369 %. Hal ini menunjukan kandungan senyawa polar yang larut air pada biji salak. Contoh perhitungan dapat dilihat pada Lampiran 6.
5.4.8 Penetapan kadar sari larut etanol
Pada penentuan kadar sari larut etanol, simplisia terlebih dahulu dimaserasi selama ± 24 jam dengan etanol 95%. Hasil yang didapat dari kadar sari larut etanol, yaitu 5,09 %. Hasil tersebut menunjukkan kadar zat khasiat yang terkandung dalam simplisia yang dapat tersari dengan baik dalam etanol. Contoh perhitungan dapat dilihat padaLampiran 6.
5.5 Penapisan Fitokimia
Hasil penapisan fitokimia yang terkandung pada serbuk simplisia dan ekstrak n-heksana, ekstrak etil asetat, dan ekstrak etanol biji salak dapat dilihat pada Tabel V.3. Penapisan fitokimia dilakukan untuk mengetahui senyawa apa saja yang terkandung pada simplisia. Hasil yang diperoleh memperlihatkan bahwa serbuk simplisia memiliki keseragaman kandungan dengan ekstrak etil asetat dan ekstrak etanol 70%. Keseragaman kandungan pada simplisia dan ekstrak biji salak ditunjukan dengan teridentifikasinya senyawa golongan alkaloid, tanin, kuinon, monoterpen/sesquiterpen dan polifenolat. Adapun hasil penapisan pada ekstrak n- heksana hanya dapat mendeteksi keberadaan senyawa monoterpen/sesquiterpen.
Hasil studi literatur menunjukan bahwa pada salak terdapat asam tanin (Cronquist, 1981:1085).
Tabel V.3 Hasil Penapisan Fitokimia Simplisia dan Ekstrak Biji Salak (Salacca edulisReinw)
Keterangan:
(+) = Terdeteksi (-) = Tidak terdeteksi
5.6 Ekstraksi
Ekstraksi adalah pemisahan satu atau beberapa senyawa dari suatu padatan atau cairan dengan bantuan pelarut. Pada penelitian ini metode ekstraksi yang digunakan yaitu ekstraksi cara panas yaitu refluks. Cara refluks dipilih karena di masyarakat biji salak digunakan dengan cara diseduh dan disajikan seperti kopi.
Prinsip refluks hampir sama dengan cara penyeduhan, yaitu simplisia biji salak yang telah dihaluskan direndam dengan air bersuhu tinggi, selain itu refluks juga dapat digunakan untuk mengestraksi sempel sempel yang bertekstur kasar dan tahan terhadap pemanasan. Tujuan pemilihan refluks ini juga bertujuan untuk memantau apakah dengan adanya suhu panas senyawa-senyawa yang terdapat pada simplisia akan rusak atau tidak.
Ekstraksi refluks yang digunakan menggunakan tiga macam pelarut dengan tingkat polaritas yang berbeda yaitu n-heksana, etilasetat, dan etanol 70%.
Senyawa Simplisia Ekstrak n-heksan Ekstrak etil asetat Ekstrak etanol
Flavonoid - - - -
Saponin - - - -
Tanin + - + +
Quinon + - + +
Monoterpen dan Sesquiterpen + + + +
Terpenoid dan steroid - - - -
Alkaloid + - + +
polifenolat + - + +
Ketiga pelarut tersebut memiliki pengaruh polaritas yang berbeda pada proses ekstraksi, sehingga hasil ekstrak yang diperoleh berbeda. Pertama-tama serbuk simplisia biji salak dimasukan pada labu bundar, kemudian direfluks menggunakan pelarut n-heksan selama 2-3 jam. Pelarut n-heksan memiliki sifat non polar yang berfungsi sebagai pelarut yang akan menarik senyawa yang bersifat non polar. setelah diperoleh ekstrak n-heksan, ampasnya kemudian dikeringkan dan diektraksi kembali dengan pelarut etil asetat selama 2-3 jam. Etil asetat berfungsi sebagai pelarut yang bersifat semi polar sehingga dapat menarik senyawa non polar yang tersisa pada ampas dan senyawa yang bersifat semi polar.
Dari proses ektraksi dengan pelarut etil asetat ini diperoleh ekstrak etil asetat dan ampas. Ampas ini kemudian dikeringkan dan diekstraksi kembali dengan pelarut etanol 70%. Pelarut etanol 70% bersifat polar dan berfungsi untuk menarik senyawa polar.
Selanjutnya ekstrak cair yang diperoleh dilakukan pemekatan, dilakukan dengan menggunakan rotary vacuum evaporator. Proses ini bertujuan untuk menghilangkan pelarut yang ada sehingga didapat tiga jenis ektstrak kental.
Penguapan dapat terjadi karena adanya pemanasan yang dipercepat oleh putaran dari labu bulat dibantu dengan penurunan tekanan. Dengan bantuan pompa vakum, uap dari pelarut akan naik ke kondensor dan mengalami kondensasi menjadi molekul-molekul cairan pelarut murni yang ditampung dalam labu alas bulat penampung. Terkandung ekstrak kental yang diperoleh, dapat terhitung rendemen ekstrak untuk ekstrak n-heksana sebesar 0,249%, etil asetat sebesar 0,929 %, dan ektrak etanol 70% sebesar 8,82%Lampiran 7.
5.7 Pemantauan Ekstrak dengan KLT (Kromatografi Lapis Tipis)
Kromatografi adalah teknik pemisahan campuran berdasarkan perbedaan kecepatan perambatan komponen dalam medium tertentu. Pada kromatografi, komponen-komponennya akan dipisahkan antara dua buah fase yaitu fase diam dan fase gerak.
Pada penelitian kali ini kromatografi yang digunakan adalah kromatografi lapis tipis (KLT). Prinsip kerja dari kromatografi lapis tipis (KLT) ini yaitu memisahkan sampel berdasarkan perbedaan kepolaran antara sampel dengan pelarut yang digunakan. Fase diam yang digunakan yaitu plat GF254, dan fase gerak yang digunakan adalah n-heksana:etil asetat dengan perbandingan 8:2 untuk memantau ekstrak n-heksana dan etil asetat dan pelarut butanol:asam asetat grasial:air dengan perbandingan 4:1:5 untuk memantau ekstrak etanol 70%. Hasil pemantauan dapat dilihat padaGambar V.2.
Pada Gambar V.2. a dan b menggambarkan hasil dari ekstrak n-heksana dan etil asetat dimana bercak dengan nomor 1 adalah ekstrak n-heksana dan bercak nomor 2 adalah ekstrak etil asetat, sedangkan Gambar V.2. c menggambarkan hasil dari ekstrak etanol 70%. Nilai Rf yang didapatkan yaitu untuk n-heksana 0,94, etil asetat 0,85 dan etanol 0,7Lampiran 8.
a b c
Gambar V.2.Pola kromatografi lapis tipis pada pemantauan ekstrak. fase diam plat GF254dan fase gerak n-heksana : etil asetat (8:2) dan butanol :as.asetat grasial:air (4:1:5) Keterangan : a. Diamati pada sinar UV 254 nm (fase gerak n-heksan:etil asetat)
b. Diamati dengan penampak bercak universal (H2SO4 10% dalam metanol)
c. Diamati pada sinar UV 254 nm ( fase gerak butanol:as.asetat grasial:air)
5.8 Brine Shrimp Lethality test(BSLT)
Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) adalah salah satu metode uji toksisitas yang banyak digunakan dalam penelusuran senyawa bioaktif yang bersifat toksik dari bahan alam. Metode ini dapat digunakan sebagai bioassay-guided fractionation dari bahan alam, karena mudah, cepat, murah dan cukup reproducible(Fathiyawati, 2008: 8-12).
Pada penelitian ini digunakan beberapa variasi konsentrasi yang berbeda- beda yaitu 25, 50, 75, 100, 125 µg/ml untuk ekstrak etanol 70% dan 150, 175, 200, 225, 250 µg/ml untuk ekstrak n-heksana dan etil asetat, hal ini bertujuan untuk membandingkan toksisitas dari masing-masing konsentrasi. Pada ekstrak n-
2 1
heksana dan etil asetat digunakan variasi konsentrasi yang lebih tinggi, karena pada 125µg/ml belum terlihat adanya aktivitas sitotoksik. Dilakukan pengulangan pengujian sebanyak enam kali (6 vial) untuk setiap konsentrasi ekstrak dan setiap vial berisi 10 ekor larvaA. salina.
Pengujian skrining bioaktivitas dengan metode BSLT menggunakan DMSO sebagai pelarut ekstrak, sehingga kontrol yang digunakan adalah larutan air garam ditambah DMSO untuk mengetahui ada atau tidak pengaruh dari larutan kontrol pada larva A. salina Setelah diinkubasi selama 24 jam, seluruh larva A.salina pada kontrol tetap hidup, sehingga pengaruh larutan garam dan DMSO sebagai pelarut ekstrak dapat diabaikan. Di samping itu kondisi lingkungan tempat pemeliharaan larva A.salina dinilai cukup baik dan tidak menyebabkan kematian.
Hasil pengamatan mortalitas larva A. salina setelah 24 jam dengan pemberian ekstrak n-heksana, etil asetat, dan etanol 70% dapat dilihat padaTabel V.4, Tabel V.5, Tabel V.6.
Tabel V.4.Hasil Perhitungan Uji BSLT Ekstrak n-heksana pada larvaArtemia salina
Persentase mortalitas pada ekstrak n-Heksana berkisar antara 41,429-80%.
Dari data persentase tersebut, dapat dibuat grafik yang menunjukkan hubungan
konsentrasi
(ppm) 1 2 3 4 5 6
125 4 3 2 5 6 6 4,1428571 2,096910013 41,42857143
150 5 5 8 5 4 5 5,3333333 2,176091259 53,33333333
175 5 5 6 5 6 6 5,5 2,243038049 55
225 8 8 7 7 5 7 7 2,352182518 70
250 7 8 8 8 9 8 8 2,397940009 80
Jumlah artemia mati pervial
Rata rata Log konsentrasi % Mortalitas
antara persentase mortalitas dengan konsentrasi ekstrak yang larut dalam n heksana seperti pada grafik
Berdasarkan persamaan garis yang diperoleh pada persamaan mortalitas n
yaitu sebesar heksan memiliki
pengujian tahap awal senyawa sitotoksik dengan metode BLST,
yang diperoleh masih lebih rendah dari 1000 ppm. Tingkat toksisitas tersebut akan memberi makna terhadap potensi aktivitasnya sebagai antitumor. Semakin kecil harga LC50
Hasil 150,175, 200,
antara persentase mortalitas dengan konsentrasi ekstrak yang larut dalam n heksana seperti pada grafik
Gambar V.
Berdasarkan persamaan garis yang diperoleh pada persamaan mortalitas n
yaitu sebesar 148,479 ppm, dengan demikian dapat dipastikan bahwa ekstrak n an memiliki potensi untuk menghasilkan
pengujian tahap awal senyawa sitotoksik dengan metode BLST,
yang diperoleh masih lebih rendah dari 1000 ppm. Tingkat toksisitas tersebut akan memberi makna terhadap potensi aktivitasnya sebagai antitumor. Semakin kecil
50semakin toksik suatu senyawa.
Hasil pengujian BSLT untuk
150,175, 200, 225, dan 250 ppm dapat dilihat pada
antara persentase mortalitas dengan konsentrasi ekstrak yang larut dalam n heksana seperti pada grafikGambar
Gambar V.3.Hubungan
ekstrak n
Berdasarkan persamaan garis yang diperoleh pada persamaan mortalitas n-heksana didapatkan nilai LC
148,479 ppm, dengan demikian dapat dipastikan bahwa ekstrak n potensi untuk menghasilkan
pengujian tahap awal senyawa sitotoksik dengan metode BLST,
yang diperoleh masih lebih rendah dari 1000 ppm. Tingkat toksisitas tersebut akan memberi makna terhadap potensi aktivitasnya sebagai antitumor. Semakin kecil
semakin toksik suatu senyawa.
an BSLT untuk
225, dan 250 ppm dapat dilihat pada
antara persentase mortalitas dengan konsentrasi ekstrak yang larut dalam n Gambar V.3.
Hubungan persentase mortalitas dengan
ekstrak n-Heksana
Berdasarkan persamaan garis yang diperoleh pada heksana didapatkan nilai LC
148,479 ppm, dengan demikian dapat dipastikan bahwa ekstrak n potensi untuk menghasilkan
pengujian tahap awal senyawa sitotoksik dengan metode BLST,
yang diperoleh masih lebih rendah dari 1000 ppm. Tingkat toksisitas tersebut akan memberi makna terhadap potensi aktivitasnya sebagai antitumor. Semakin kecil
semakin toksik suatu senyawa.
an BSLT untuk ekstrak etil asetat biji sal 225, dan 250 ppm dapat dilihat pada
antara persentase mortalitas dengan konsentrasi ekstrak yang larut dalam n
persentase mortalitas dengan
Heksana
Berdasarkan persamaan garis yang diperoleh pada heksana didapatkan nilai LC
148,479 ppm, dengan demikian dapat dipastikan bahwa ekstrak n potensi untuk menghasilkan efek toksik terhadap
pengujian tahap awal senyawa sitotoksik dengan metode BLST,
yang diperoleh masih lebih rendah dari 1000 ppm. Tingkat toksisitas tersebut akan memberi makna terhadap potensi aktivitasnya sebagai antitumor. Semakin kecil
ekstrak etil asetat biji sal 225, dan 250 ppm dapat dilihat padaTabel
antara persentase mortalitas dengan konsentrasi ekstrak yang larut dalam n
persentase mortalitas dengan konsentrasi
Berdasarkan persamaan garis yang diperoleh pada Gambar heksana didapatkan nilai LC50 dari ekstrak n
148,479 ppm, dengan demikian dapat dipastikan bahwa ekstrak n efek toksik terhadap
pengujian tahap awal senyawa sitotoksik dengan metode BLST, karena nilai LC yang diperoleh masih lebih rendah dari 1000 ppm. Tingkat toksisitas tersebut akan memberi makna terhadap potensi aktivitasnya sebagai antitumor. Semakin kecil
ekstrak etil asetat biji salak untuk kosentrasi Tabel V.5.
antara persentase mortalitas dengan konsentrasi ekstrak yang larut dalam n
konsentrasi
Gambar V.3. dari data dari ekstrak n-heksana 148,479 ppm, dengan demikian dapat dipastikan bahwa ekstrak n
efek toksik terhadap A. salina karena nilai LC yang diperoleh masih lebih rendah dari 1000 ppm. Tingkat toksisitas tersebut akan memberi makna terhadap potensi aktivitasnya sebagai antitumor. Semakin kecil
ak untuk kosentrasi antara persentase mortalitas dengan konsentrasi ekstrak yang larut dalam n-
dari data heksana 148,479 ppm, dengan demikian dapat dipastikan bahwa ekstrak n- pada karena nilai LC50
yang diperoleh masih lebih rendah dari 1000 ppm. Tingkat toksisitas tersebut akan memberi makna terhadap potensi aktivitasnya sebagai antitumor. Semakin kecil
ak untuk kosentrasi
Tabel
Persentase mortalitas pada ekstrak etil asetat
Grafik yang menunjukkan hubungan antara persentase mortalitas dengan konsentrasi ekstrak yang larut dalam etil asetat diperlihatkan pada
Berdasarkan perhitungan menggunakan persamaan regresi pada V.4., didapatkan nilai LC
disimpulkan bahwa ektrak etil asetat juga efek toksik terhadap
dengan metode BLST,
Tingkat toksisitas tersebut memberi makna terhadap potensi bahwa ekstrak etil asetat biji salak memiliki aktivitas sebagai antitumor.
konsentrasi (ppm)
150 175 200 225 250
Tabel V.5.Hasil Perhitungan Uji BSLT Ekstrak etil asetat pada
Persentase mortalitas pada ekstrak etil asetat
Grafik yang menunjukkan hubungan antara persentase mortalitas dengan konsentrasi ekstrak yang larut dalam etil asetat diperlihatkan pada
Gambar V.
erdasarkan perhitungan menggunakan persamaan regresi pada didapatkan nilai LC
disimpulkan bahwa ektrak etil asetat juga efek toksik terhadap
dengan metode BLST,
Tingkat toksisitas tersebut memberi makna terhadap potensi bahwa ekstrak etil asetat biji salak memiliki aktivitas sebagai antitumor.
1
1 4 4 6 6
Hasil Perhitungan Uji BSLT Ekstrak etil asetat pada
Persentase mortalitas pada ekstrak etil asetat
Grafik yang menunjukkan hubungan antara persentase mortalitas dengan konsentrasi ekstrak yang larut dalam etil asetat diperlihatkan pada
Gambar V.4.Hubungan ekstrak etil asetat
erdasarkan perhitungan menggunakan persamaan regresi pada didapatkan nilai LC50 dari ekstrak etil asetat sebesar
disimpulkan bahwa ektrak etil asetat juga efek toksik terhadap A. salina
dengan metode BLST, karena memiliki nilai LC
Tingkat toksisitas tersebut memberi makna terhadap potensi bahwa ekstrak etil asetat biji salak memiliki aktivitas sebagai antitumor.
2 3
2 1
2 3
6 4
7 6
5 7
jumlah artemia mati pervial
Hasil Perhitungan Uji BSLT Ekstrak etil asetat pada
Persentase mortalitas pada ekstrak etil asetat
Grafik yang menunjukkan hubungan antara persentase mortalitas dengan konsentrasi ekstrak yang larut dalam etil asetat diperlihatkan pada
Hubungan persentase mortalitas dengan konsentrasi ekstrak etil asetat
erdasarkan perhitungan menggunakan persamaan regresi pada dari ekstrak etil asetat sebesar
disimpulkan bahwa ektrak etil asetat juga
pada pengujian tahap awal senyawa sitotoksik karena memiliki nilai LC
Tingkat toksisitas tersebut memberi makna terhadap potensi bahwa ekstrak etil asetat biji salak memiliki aktivitas sebagai antitumor.
4
2 3 5 5 5 jumlah artemia mati pervial
Hasil Perhitungan Uji BSLT Ekstrak etil asetat pada
Persentase mortalitas pada ekstrak etil asetat
Grafik yang menunjukkan hubungan antara persentase mortalitas dengan konsentrasi ekstrak yang larut dalam etil asetat diperlihatkan pada
persentase mortalitas dengan konsentrasi
erdasarkan perhitungan menggunakan persamaan regresi pada dari ekstrak etil asetat sebesar
disimpulkan bahwa ektrak etil asetat juga memiliki potensi untuk menghasilkan pada pengujian tahap awal senyawa sitotoksik karena memiliki nilai LC50 lebih rendah dari 1000 ppm.
Tingkat toksisitas tersebut memberi makna terhadap potensi bahwa ekstrak etil asetat biji salak memiliki aktivitas sebagai antitumor.
5 6
3 2
3 3
5 5
5 6
7 6
Hasil Perhitungan Uji BSLT Ekstrak etil asetat padaArtemia salina
berkisar antara
Grafik yang menunjukkan hubungan antara persentase mortalitas dengan konsentrasi ekstrak yang larut dalam etil asetat diperlihatkan pada
persentase mortalitas dengan konsentrasi
erdasarkan perhitungan menggunakan persamaan regresi pada
dari ekstrak etil asetat sebesar 212,8639 ppm. Dapat potensi untuk menghasilkan pada pengujian tahap awal senyawa sitotoksik lebih rendah dari 1000 ppm.
Tingkat toksisitas tersebut memberi makna terhadap potensi bahwa ekstrak etil
1,8333333 2,176091259 3 2,243038049 4,8333333 2,301029996 5,8333333 2,352182518 6 2,397940009 rata rata log konsentrasi
Artemia salina
berkisar antara 18,33- Grafik yang menunjukkan hubungan antara persentase mortalitas dengan konsentrasi ekstrak yang larut dalam etil asetat diperlihatkan padaGambar V
persentase mortalitas dengan konsentrasi
erdasarkan perhitungan menggunakan persamaan regresi pada Gambar 212,8639 ppm. Dapat potensi untuk menghasilkan pada pengujian tahap awal senyawa sitotoksik lebih rendah dari 1000 ppm.
Tingkat toksisitas tersebut memberi makna terhadap potensi bahwa ekstrak etil
2,176091259 18,33333333 2,243038049
2,301029996 48,33333333 2,352182518 58,33333333 2,397940009
log konsentrasi %Mortalitas
-60%.
Grafik yang menunjukkan hubungan antara persentase mortalitas dengan V.4.
Gambar 212,8639 ppm. Dapat potensi untuk menghasilkan pada pengujian tahap awal senyawa sitotoksik lebih rendah dari 1000 ppm.
Tingkat toksisitas tersebut memberi makna terhadap potensi bahwa ekstrak etil
18,33333333 30 48,33333333 58,33333333
60
%Mortalitas
Hasil perhitungan persentase mortalitas dari ekstrak etanol dengan konsentrasi 25, 50, 75, 100 dan 125 ppm. Didapat hasil sebagai berikut pada Tabel V.6 :
Tabel V.6.Hasil Perhitungan Uji BSLT Ekstrak etanol 70% pada Artemia salina L
Persentase mortalitas pada ekstrak etanol 70% berkisar dari 13,33- 66,667%. Hubungan antara persentase mortalitas dengan konsentrasi ekstrak yang larut dalam etanol 70% seperti pada grafik Gambar V.5. Dari data persentase mortalitas larva A. salina pada ekstrak etanol 70% tersebut, dapat dibuat grafik yang menunjukkan
Gambar V.5.Hubungan Persentase Mortalitas dengan KonsentrasinEkstrak etanol
Nilai LC50yang diperoleh untuk ekstrak etanol 70% adalah sebesar 80,728 ppm. Berdasarkan nilai tersebut dapat disimpulkan bahwa ekstrak etanol 70%
konsentrasi
(ppm) 1 2 3 4 5 6
25 1 2 0 2 2 1 1,33333333 1,397940009 13,33333333
50 4 4 5 3 3 4 3,83333333 1,698970004 38,33333333
75 4 5 4 5 4 4 4,33333333 1,875061263 43,33333333
100 6 7 6 5 4 5 5,5 2 55
125 6 7 6 8 7 6 6,66666667 2,096910013 66,66666667
rata-rata % Mortalitas
Jumlah artemia awal pervial
log konsentrasi
y = 71.638x - 86.602 R² = 0.974
0 10 20 30 40 50 60 70
0 0.5 1 1.5 2 2.5
mortalitas(%)
Log konsentrasi
juga memiliki potensi untuk menghasilkan efek toksik terhadap A. salina pada pengujian tahap awal senyawa sitotoksik dengan metode BLST, karena memiliki LC50 lebih rendah dari 1000 ppm. Hal tersebut menunjukan ekstrak etanol 70%
biji salak memiliki potensi aktivitas sebagai antitumorLampiran 9.
Berdasarkan hasil analisis uji sitotoksik antara ekstrak n-heksana, etil asetat dan etanol 70%, dapat disimpulakan bahwa semakin tinggi nilai konsentrasi maka semakin besar pula persentase mortalitas terhadap larva A. salina. Hal ini dinyatakan oleh Harbone (1994) yang menyatakan bahwa semakin tinggi konsentrasi ekstrak maka tingkat toksiknya pun semakin tinggi pula.
Menurut Meyer dkk, (1982) dilihat dari nilai LC50nya. Jika nilai LC50dari ekstrak di bawah 30 ppm maka ekstrak tersebut dapat disimpulkan sangat toksik, jika ekstrak memiliki LC50 antara 30-1000 ppm maka dapat disimpulkan bahwa ekstrak tersebut toksik, dan bila nilai LC50 dari ekstrak di atas 1000 ppm maka dapat disimpulkan ekstrak tersebut dikatakan tidak toksik. Sehingga semakin kecil nilai dari LC50 dari suatu ekstrak maka semakin tinggi toksisitas dari senyawa yang terkandung dalam ekstrak tersebut.
Hasil analisis di atas menunjukan ekstrak yang memiliki toksisitas yang tinggi ditunjukan oleh ekstrak etanol 70%. Hal ini dapat disebabkan oleh kandungan senyawa-senyawa yang terdapat di dalam ekstrak tersebut yang memiliki sifat toksik. Senyawa yang diperkirakan memberikan sifat toksik dari ekstrak etanol adalah senyawa golongan tanin, monoterpen/seskuiterpen, polifenolat dan alkaloid. Menurut penelitian sebelumnya (Rita, dkk., 2008;
Nguyen & Widodo, 1999 cit Cahyadi, 2009), mekanisme dari senyawa alkaloid dalam menimbulkan kematian pada larva A. salina diperkirakan karena senyawa alkaloid yang dapat menghasilkan memberikan efek racun perut, penghelat makanan atau menghambat daya makan dari larva A. salina. Sehingga jika senyawa alkaloid ini termakan akan menimbulkan gangguan pada alat pencernaan. Selain itu efek lain yang ditimbulkan oleh senyawa alkaloid ini adalah hilangnya stimulus untuk mengenali rasa terhadap makanan, sehingga larva A.salina akan mati kelaparan. Sedangkan senyawa tanin dapat merusak dinding sel dan dapat berikatan dengan ion logam sehingga menimbulkan efek toksik yang lebih tinggi.
5.9 Identifikasi Golongan Senyawa Aktif pada Ekstrak Terpilih dengan menggunakan Kromatografi Lapis Tipis
Pada hasil uji sitotoksik menggunakan metode BSLT dapat diketahui ekstrak yang paling tinggi menimbulkan efek sitotoksiknya yaitu ekstrak etanol 70%. Ekstrak yang paling tinggi menimbulkan efek sitotoksiknya kemudiaan diidentifikasi secara kualitatif, dengan menggunakan metode kromatografi lapis tipis (KLT) menggunakan fase diam plat GF254dan fase gerak menggunakan fase gerak butanol:asam asetat:air (4:1:5). Tujuan dari analisis kualitatif ini untuk mengetahui golongan senyawa yang dapat memiliki aktifitas sitotoksik di ekstrak etanol sebagai ekstrak yang memiliki LC50terbaik. Selanjutnya hasil yang didapat diamati di bawah sinar UV 254 dan 365 nm dan penampak bercak spesifik Folin
cioucalte, vanillin 5% dalam asam sulfat, FeCl3 1%dan dragendroff, hasil pemantauan dapat dilihat padaGambar V.6.
a b c d
Gambar V.6. Hasil Pemantauan KLT untuk identifikasi menggunakan berbagai penampak bercak.Fase diam plat GF254dan fase gerak butanol :as.asetat grasial:air (4:1:5). Pemantauan menggunakan penampak bercak a. folin cioucalte, b. FeCl31%, c. Dragendroff, d. bercak vanillin 5% dalam H2So4
Hasil pemantauan pada Gambar a menggunakan penampak bercak folin cioucalte terlihat bercak berwarna biru tipis yang menunjukan adanya senyawa polifenolat, pada Gambar b menggunakan penampak bercak FeCl3diperlihatkan bercak berwarna hijau tipis yang menunjukan adanya senyawa tanin. Pada Gambar c menggunakan penampak bercak dragendroff terdeteksi senyawa alkaloid dengan adanya bercak merah bata pada plat KLT, dan pada Gambar d
menggunakan penampak bercak vanillin 5% terdeteksi senyawa monoterpen/seskuiterpen dengan adanya bercak berwarna coklat kekuningan.
Berdasarkan hasil analisis uji kualitatif menggunakan metode kromatografi lapis tipis, dapat disimpulkan bahwa pada ekstrak etanol 70%
terdeteksi senyawa golongan tanin, monoterpen/seskuiterpen, polifenolat dan alkaloid yang diduga memiliki aktifitas sitotoksik terhadap larvaA.salina.